CERMIN: ZENIUS
Aku ingin menyebutnya malam tapi tengah malam sudah lewat dua jam lalu. Aku ingin menyebutnya pagi tapi semburat keemaasan belum nampak di langit.
Malam kali ini sangat sunyi dengan awan berarak pelan di atas sana, sesekali menutupi sinar bulan. Tapi hanya sebentar saja, kemudian cahaya bulan kembali memandikan bumi.
Aku mendesah pelan. Mereka mengatakan sudah saatnya aku beristirahat.
Orang-orang sudah banyak yang tertidur, bersembunyi di balik selimut mereka.
Tapi aku malah berdiri di sini, di salah satu kamar dalam bangunan tinggi ini. Bangunan yang dibangun di antara pohon-pohon yang menjulang tinggi.
Pepohonan dengan daun-daun rimbun yang menyembunyikan tanah dari pandanganku.
Gemerisik pelan terdengar ketika angin menggesekkan seluruh dedaunan, seolah meminta mereka menyapa satu sama lain.
Dan malam ini terasa begitu menyesakkan. Aku sendirian. Aku tanpa teman. Berperang dengan pikiranku sendiri.
Kutundukkan kepala, memandangi jari-jariku yang keriput. Tak masalah sebenarnya, yang jadi masalah adalah aku kedinginnan.
Tapi aku tidak ingin masuk ke dalam. Aku sedang menunggu. Menunggu dia datang. Dia yang sama hitamnya dengan malam.
“Kau tetap saja terjaga hingga larut”
Suara itu menyapaku. Suara yang kutunggu-tunggu sejak tadi. Tapi benarkah aku terjaga demi menunggunya datang? Atau aku hanya sedang bersenang-senang, berperang dengan pikiranku sendiri.
“Jangan menceramahiku! Kau sendiri juga masih bangun,” sahutku pelan, suara khas orang tua. Suara yang kadang tak kupercayai muncul dari mulutku.
“Kau tahu aku tidak mungkin menceramahimu,” katanya dengan nada mengejek. Tiap kata-katanya diucapkan dengan sangat jelas, menggema pelan.
Kuperjelas di sini: itu bukan suara manusia.
Dia tidak akan menua seperti aku. Tapi bukan berarti dia tidak bisa mati. Bukankah yang abadi adalah perubahan itu sendiri?
Mengenai benda-benda mati yang jadi bernyawa, dan apa yang bernyawa kemudian jadi mati. Hidup memang seperti itu, bahkan jika kau berumur panjang sekalipun. Ribuan tahun? Jutaan tahun?
Tetap saja kematian itu akan menjemputmu. Jika sial maka ia akan datang dengan cepat, jika lambat, kau bisa banyak melihat peristiwa di sekelilingmu.
Awalnya kau memiliki banyak impian, melewati berbagai tantangan.
Kemudian ketika kau dapat menaklukannya satu per satu, tantangan itu sudah tidak menarik lagi.
Kau hanya ingin beristirahat, menikmati hidup dan bertanya-tanya kapan kiranya ini akan berakhir.
“Zenius! Zenius!”
“Hmmm?” Aku tidak tahu sudah berapa kali makhluk itu memanggil namaku.
“Kau terlalu banyak berpindah ke dalam alam pikirmu belakangan ini. Kadang aku bingung harus membawamu kembali ke kenyataan atau tidak”
“Pilihan,” desahku. Aku mengusap-usap jari-jariku lagi.
“Apa yang sebenarnya kau lakukan dengan keriput-keriput itu, Zenius? Kau menciptakan penemuan terbesar abad ini!”
“Manusia tidak lagi menua karena penelitianmu. Kau membuat mereka tetap muda, tetap hidup, bahkan kebal dari berbagai macam penyakit. Tapi....”
“Hentikan ocehanmu itu,” potongku dengan nada datar yang sering kuberikan padanya. Ciptaanku. Robot terbaik di masa ini.
Aku berbalik, menatap lurus-lurus ke mata ciptaanku. “Alfa, kadang kau membuatku takut”
Alfa terkekeh pelan, suaranya menggema pelan. Suara robot. Ia bukan manusia. Tapi bukan berarti ia tidak bernyawa, ia hidup dan bisa mati, sama seperti aku.
“Memangnya kau punya musuh hingga merasakan takut?”
“Siapa musuhku? Kau kah Alfa? Atau sebenarnya aku sedang bermusuhan dengan diriku sendiri?” tuntutku.
“Kau dan filsafatmu itu....” Alih-alih melanjutkan kalimatnya, Alfa melompat dan berjongkok di pagar pembatas.
Kami ada dua puluh meter di atas tanah dan Alfa tidak akan mati terjatuh hanya karena ia mengambil posisi seperti itu.
“Aku serius, Zenius, memangnya apa sih yang bisa membuatmu takut dan khawatir?”
“Waktu,” jawabku.
“Apa ini? Jangan bilang kau takut mati, Zenius! Itu akan jadi hal terkonyol yang pernah kuketahui tentang dirimu!”
“Apa dayaku? Orang tua memang suka memiliki ketakutan untuk disimpan. Kadang kau ingin membenahi segalanya, tapi aku tidak mampu. Meski aku tidak mampu aku ingin semuanya jadi lebih baik”
“Kau tidak perlu meletakkan semua beban dunia di pundakmu dan merasa bertanggung jawab atas segalanya. Mungkin kau tidak menyadarinya, tapi kadang kau ini sangat rakus.”
“Begitukah?” tanyaku datar.
Alfa mengangguk. “Kau ingin menyelamatkan dunia seorang diri, semuanya memerlukan tim.”
“Kadang aku merasa aneh bisa menciptakan makhluk sehebat dirimu, Alfa. Aku kadang tidak bisa menandingimu,” kekehku pelan.
“Apanya yang lebih hebat? Karena aku bisa berlari lebih cepat darimu? Karena aku bisa melompat dari satu gunung ke gunung lain atau karena....”
“Karena kau dapat terbang sementara aku tidak?” potongku geli karena mendengar Alfa mengoceh. Rasanya ia tidak secerewet ini ketika aku baru menciptakannya.
“Aku baru saja mau mengatakan hal itu,” gerutu Alfa sebal, karena aku menyelesaikan kalimatnya. “Tapi, tetap saja aku tidak bisa menciptakan diriku sendiri.”
“Tapi kau bisa menciptakan dirimu yang lain,” jawabku, kalem. “Kau memiliki kemampuan untuk itu”
“Kau memberiku kemampuan untuk itu,” koreksinya. “Zenius, bukankah aku adalah dirimu yang lain itu?”
“Kau benar. Tapi tetap saja aku adalah aku dan engkau adalah engkau” Aku menghela napas berat.
“Setelah aku pergi kuharap kau juga bisa menghadirkan dirimu yang lain”
“Apa kita sedang membicarakan suatu kesepakatan di sini?”
Aku menatap tubuh Alfa. Aku tidak membuatnya dari bahan silikon termutakhir sehingga kulitnya seperti kulit manusia. Dia masih terbuat dari bahan-bahan metal. Hitam mengkilap, memantulkan cahaya bulan.
“Kau....” Alfa bertanya lambat-lambat, suara robotnya bergetar. “Apa mungkin kau akan meninggalkanku, Zenius?”
“Dari benda mati jadi makhluk hidup, seperti kau, Alfa. Dan yang hidup juga akan jadi mati, seperi aku,” gumamku pelan.
Angin berhembus pelan, aku kembali merasa kedinginan. Aku bisa melihat diriku dari pantulan tubuh Alfa.
Wajah orang tua yang penuh keriput, seperti tanganku dengan rambut putih dan janggut panjang keperakan.
“Aku juga akan mati suatu saat,” kata Alfa mantap. “Orang-orang masa lalu berpikir robot hanya sekadar mesin. Tidak bernyawa.”
“Nyawa. Apa itu nyawa, Alfa?”
“Energi juga kenangan. Orang-orang masa lalu menyatakan kenangan sebagai jiwa, bukankah begitu?”
“Lihatlah betapa genius dirimu, Alfa”
“Karena aku copy-anmu....”
“Kau memang copy-anku pada awalnya, tapi bukankah kau sudah mengalami hal-hal yang belum kualami?” tukasku, cepat.
“Karena aku menciptakanmu, bukan berarti aku akan selalu lebih hebat darimu”
“Kuharap itu bukan cuma kata-kata manis untuk menghiburku,” kata Alfa masih dalam nada gerutuan yang sama, gerutuan yang menggaung pelan.
Suara robot.
“Tentu saja bukan,” kataku, meyakinkannya.
“Kalau ada hal yang bisa kulakukan untukmu....”
Aku kembali memotong ucapannya, seolah-olah kami tengah berkejaran dengan waktu.
Aku ingin membuat segalanya singkat dan mudah dimengerti bagi Alfa.
“Kau bisa melakukannya!” seruku, riang.
“Katakan padaku, Zenius”
“Bagaimana kalau membawaku terbang?”
Alfa nampak ragu mendengar permintaanku. “Apa kau yakin Zenius? Meski kau menciptakanku untuk kebal terhadap paparan suhu panas atau dingin”
“Aku tahu kau kedinginan sekarang”
“Belum lagi kecepatanku terbang akan membuat anginnya makin menusuk tulang” lanjut Alfa.
“Jangan khawatirkan aku” ujarku.
Alfa masih belum puas dengan pernyataanku, tapi ia memilih untuk tidak berdebat.
“Kau ingin pergi ke mana?” tanyanya.
“Kau pernah menceritakan mengenai bunga biru yang hanya mekar tiap jam tiga pagi hingga lima pagi.”
“Bagaimana kalau kau mengajakku ke sana?”
“Aku ingin melihatnya.”
Alfa tidak perlu komando lagi. Ia langsung memelukku dari belakang dan begitulah kami sudah tidak menginjak bumi lagi.
Malam itu aku pertama kalinya terbang bersama Alfa.
Seolah-olah kami adalah satu. Aku adalah dia, dia adalah aku.
Sepanjang perjalanan Alfa menceritakan rute-rute yang sering dilaluinya saat berkelana.
Beberapa di antaranya pernah kulalui lewat jalur darat, tapi banyak pula yang tidak pernah kulihat sebelumnya.
Pemandangan dari atas sini benar-benar menakjubkan. Aku menikmatinya.
Kami terbang terus ke arah utara. Melewati lembah, bukit, dan sungai.
Kemudian Alfa menurunkan ketinggiannya. Sudah pasti kami hampir sampai.
Tidak sampai tiga puluh menit ternyata.
“Pukul berapa sekarang?” tanyaku, lirih. Alfa benar, aku kedinginan.
“Pukul tiga pagi. Selamat datang ke Padang Bunga Deolinum.”
Kemudian aku melihat bunga yang selalu diceritakan Alfa.
Bunga biru yang misterius karena waktu mekarnya yang unik.
Aku memetik setangkai bunga misterius itu dengan tanganku yang keriput lalu memberikannya pada Alfa.
“Setelah aku pergi kuharap kau juga bisa menghadirkan dirimu yang lain”
“Bagaimana dengan menciptakan robot perempuan?” ujarku.
“Cinta tak mengenal kelamin, robot juga tidak perlu kawin layaknya manusia,” ucap Alfa.
“Kau benar, tapi aku kadang berpikir apakah menyenangkan menjadi seorang wanita”
Alfa membuka mulutnya untuk berkomentar tapi Zenius roboh.
Dengan kecepatan melebihi manusia, Alfa menopang tubuh renta itu sebelum sempat menyentuh tanah.
Zenius telah meninggalkannya. (ARC)
Cerpen ini ada di An1magine majalah eMagazine Art and Science Volume 1 Nomor 5 Juli 2016
yang dapat di-download gratis di Play Store, share yaa
Comments
Post a Comment