MINDPORTER: Mindporting to Plante di An1magine Volume 2 Nomor 9 September


MINDPORTER:
Mindporting to Plante
M.S. Gumelar


"Kau boleh saja menyebutnya palsu. Namun kenyataannya dunia palsu ini bisa menghidupimu selama ini, termasuk leluhurmu. Kau boleh menyebutnya palsu, namun bukan berarti Plante buruk”

“Camkan itu Rhalemug. Jangan mudah terpengaruh! Kita harus belajar dari sejarah. Cukup orang tua kita yang melakukan kesalahan tersebut. Tidak perlu diulangi kembali," pintanya bersungguh-sungguh.

"Tapi aku ingin pergi dari sini Alo. Ke dunia lain di mana hujan dan petir ada. Kau mungkin mengira aku gila. Tapi aku merasa sesuatu telah hilang dari Generoro. Aku ingin pergi," tolak Rhalemug.

Mereka sama-sama keras kepala dan konsisten mempertahankan pendapatnya masing-masing. Menilai pendapatnya adalah benar sementara yang lain salah dan harus dibangunkan dari impian palsunya. Relatif, kebenaran itu mengandung unsur relativitas.

"Kalau sudah begini, tampaknya aku harus mulai menggunakan kekerasan. Tapi kau harus percaya kalau aku melakukannya dengan terpaksa Rhalemug, sungguh," katanya dengan raut wajah yang datar.

Selesai bicara Alo bergerak cepat, kemudian mengangkat Rhalemug dan menghempaskannya ke tanah dengan kasar.

Keadaan nampaknya tidak menjadi lebih baik. Rencana yang telah Jhatatysa dan Rhalemug susun kini berantakan. Rencana awal mereka tidak ingin berlama-lama di sini.

“Kau yang akan membuat suku Plante binasa, Alo! Pesawat ini sudah rusak. Kita sudah tidak mungkin tinggal di dalamnya lagi!”

Detik berikutnya, Rhalemug merasa ada sesuatu yang menghantamnya dengan keras di wajah.

Rhalemug merasa pandangannya kabur dan kepalanya sedikit pusing. Sekop itu mengenai kepalanya.
Ia dapat mendengar jeritan Jhatatysa. Tapi tubuhnya belum mau bergerak.

"Kami sudah mendapatkan persetujuan dari RFY, kurasa tidak ada yang perlu diperdebatkan," bentak Jhatatysa marah.

"Tidak mungkin!" pekik Alo, suaranya mirip perempuan jika tinggi begitu.

“Jangan mengarang cerita! Kami pasti mendengarnya jika RFY memang membuat keputusan seperti itu!” bentak Ahora. Ia mendekati Jhatatysa dan menamparnya. “Pembohong. Aku tahu kau cantik saja tapi otakmu kosong”.

Jhatatysa memegangi pipinya yang terasa panas. “Tidak kukira seorang Ahora iri padaku. Kau butuh seribu kali usaha lebih keras untuk dapat menjadi seperti aku.

Setidaknya aku tidak pernah menggunakan cara-cara picisan seperti ini. Aku menghadapi musuhku, bukan berusaha secara sembunyi-sembunyi. Dasar pengecut!”

Ahora nampak ingin menampar Jhatatysa lagi tapi Rhalemug sudah bangkit dan menahan tangannya.
“Kuharap kita tidak mengunakan kekerasan,” sahutnya sembari meringis. Kepalanya yang kena pukul masih berdenyut-denyut.

“Kurasa iri tidak ada salahnya karena dari iri kita bisa memiliki tujuan dan semangat buat mencapainya,” ujar Alo sok bijak.

Ia menyandarkan dirinya ke panel dekat Rhalemug berada. Membelai-belai sekopnya seolah mengingatkan dia yang lebih berkuasa di sini.

“Seperti aku. Sejak awal aku memang tidak menyukai Glaric. Mungkin karena Glaric berasal dari divisi energi, bidang yang tidak pernah kukuasai. Bidang yang membuatku harus menjadi petani...”

“… kebencian itu bertambah besar setelah mengetahui temanku satu-satunya menjadi dekat dengan Glaric. Mungkin hal itu dapat dikategorikan sebagai perasaan cemburu”.

Kemudian Alo tertawa dengan sangat keras seperti orang gila.

Alo tidak ingin menjadi petani, rasanya kata-kata itu menampar Rhalemug. Persahabatan mereka seama ini juga palsu. Alo memerankan orang lain sepanjang hidupnya. Alo yang dikenal Rhalemug bukanlah jati diri Alo yang sesungguhnya.

Jhatatysa mengatakan kebenaran. Rhalemug tidak pernah memahami Alo. Ia harus minta maaf pada Mozza dan Glaric setelah ini.

Rasa percaya telah membutakannya. Namun ia tidak akan membuat kesalahan yang sama.

“Kau, Rhalemug, aku sama sekali tidak menyangka. Makhluk yang selalu hidup dengan tanaman sepertimu bisa melakukan pemberontakan sejauh ini.

Rhalemug mendengus. “Kau menyesal Alo?”

“Hanya kecewa, Rhalemug. Aku lebih menyukai kau yang tergila-gila pada tanaman, bukan Rhalemug yang berkeliaran di tempat yang bukan divisinya”.

Alo melirik tombol pendaratan dan menelaah layar monitor dengan matanya yang bulat besar. “Sudah menentukan koordinat mendarat rupanya. Sangat cerdas, namun tetap saja gagal”.

“Bukan kau yang menggagalkan rencana kami, Alo. Tombolnya memang tidak bekerja”. Jhatatysa sudah menemukan kembali suaranya dan menguraikan keterkejutan.

“Memang sebaiknya kau tidak menyentuh tombol itu lagi,” ejek Alo. Ia berjalan menghampiri Jhatatysa.
Agak keras namun setidaknya tombol itu sedikit bisa ditekan.

“Kau pikir kau bisa menjadi jagoan?” hardik Alo sembari memukul tengkuk Rhalemug dengan keras. Kali ini menggunakan tangannya.

Rhalemug jatuh tersungkur ke lantai ruang kendali. Sakit sekali, tapi Rhalemug tidak sampai pingsan. Ia tidak boleh pingsan. Jhatatysa akan mendapatkan kesulitan tanpanya.

Jhatatysa berlari dari tempatnya duduk. Ia harus melakukan sesuatu, kalau tidak dirinya dan Rhalemug bisa mati konyol di tempat ini oleh dua orang sinting.

“Mau apa kau?” hardik Ahora, tapi Jhatatysa berhasil melewatinya dan menekan serangkaian tombol.
“Habislah kalian!” seru Jhatatysa penuh kemenangan.

“Memangnya apa yang bisa dilakukan oleh penduduk biasa sepertimu?” cemooh Ahora. Kemudian ia tertawa namun hanya sebentar, sangat sebentar.

Setidaknya dua belas orang memasuki ruangan sembari memegangi senjata. Seragam mereka berwarna hitam, mirip yang dikenakan Ahora.

“Bagus sekali. Kami baru menemukan dua orang penyusup di sini,” kata Ahora dengan nada tercekat.
Alih-alih menangkap Jhatatysa dan Rhalemug, para aparat menangkap dua kakak beradik tadi. Mereka memborgol keempat tangan kedua penjahat tadi.

“Hei! Kalian salah tangkap!” pekik Ahora tidak terima.

Tapi para aparat tidak mendengarkannya. Mereka menggiring dua orang tadi pergi.

“Terima kasih Guna, tanpamu kami bisa mati di sini,” sahut Jhatatysa sembari merosot di kursi dekatnya.
“Aku khawatir sekali kau tidak lekas mengirimkan sinyal. Tapi baguslah semuanya baik-baik saja”.

“Kau sahabat yang baik Guna. Aku akan merindukanmu,” katanya, kemudian mereka berpelukan.
“Kuharap kau tetap bisa mengirimkan sinyal. Keberhasilanmu sangat kuharapkan”.

“Terima kasih banyak,” ujar Jhatatysa sembari melepaskan pelukannya.

“Apakah temanmu baik-baik saja?”

Jhatatysa menolek ke arah Rhalemug yang mirip orang mabuk, lalu tertawa.

“Aku akan mengganti rugi pukulan yang didapatkannya dengan merawatnya sepenuh hati”.

“Baiklah aku harus segera kembali dan memproses kedua penjahat tadi, sukses untukmu”.

Setelah Guna berlalu, Jhatatysa segera mendekati Rhalemug. Ia mengeluarkan salep yang sudah ia siapkan dan mengoleskan dibagian yang memar.

“Maafkan aku, tapi aku  harus merencanakan semuanya”.

“Sebenarnya tidak ada tombol yang macet?” tanya Rhalemug merasa agak dikhianati. Ia sudah menjadi pihak yang dikorbankan malam ini.

“Itu benar kok. Hanya aku mengatur segalanya supaya kita tetap aman. Memasukkanmu dalam rencana itu wajib karena Alo mengincarmu. Mungkin Glaric akan jadi umpan yang bagus, tapi kurasa fisiknya tidak sekuat kau,” sahutnya sembari mengecup puncak kepala Rhalemug.

“Aku sangat panik tadi, tidak tahu apa yang harus aku lakukan, aku petani, buka petarung…” gerutu Rhalemug sembari memejamkan mata. Menikmati tiap kali jari-jari Jhatatysa membuat memarnya baikan.

“Aku sudah bekerja sama dengan Guna, aku memintanya untuk berjaga-jaga di sekitar sini dan mematai kita dari kamera pengawas. Waktu kita sangat sempit untuk mencari bukti bahwa dua orang itu bersalah, sementara mereka terus mengganggu kita”.

“Alo... Ia hanya senang memastikan Plante berjalan normal, dari generasi ke generasi. Terjebak dalam dunia yang sebenarnya bukan dunia kita. Ia merasa aku terlalu tahu banyak hal”.

Ia tidak memiliki rasa sakit hati, cepat atau lambat Alo pasti akan menyadari bahwa apa yang ia dan Jhatatysa adalah hal yang benar.

“Kuharap kau tidak marah padaku”.

“Agak kesal tadi, tapi aku bisa mengerti”.

Wajah Jhatatysa bersemu malu. Ia membantu Rhalemug berdiri. Mereka berpegangan tangan. Keempatnya menyatu.

Rhalemug memandang ke atas dan memandangi kamera pengawas yang dimaksud Jhatatysa.
“Apa temanmu masih mengawasi kita?”

“Kurasa tidak,” jawab Jhatatysa masih menunduk. Ia sok sibuk memandangi jari-jarinya yang bertaut dengan jari-jari Rhalemug.

“Seandainya kita diberi kesempatan untuk melanjutkan hidup di Planet, apakah kau bersedia menjadi pasanganku di sana?” tanya Rhalemug sembari menatap mata Jhatatysa lekat-lekat. Tangannya meremas pelan tangan Jhatatysa yang berada dalam genggamannya.

Jhatatysa mengangguk mantap. Ia tidak bersuara. Alih-alih mengucapkan sesuatu ia malah menjatuhkan dirinya dalam pelukan Rhalemug.

"Aku tahu kamu bukan pelabuhan, tapi teman setia untuk melanjutkan perjalanan”.

*
Lepas Landas

Tidak semua orang berhasil memecut dirinya sendiri, memaksa dirinya untuk maju
Maka dari itu tidak semua mampu mendapatkan kesuksesan dan perhatian

“Kuulangi sedikit. Barisan tombol di hadapanmu untuk menjaga tekanan. Di samping kananmu untuk membantuku mengemudikan seandainya pesawat mengalami goncangan hebat ketika memasuki atmosfer. Dan kiri atas untuk mengambil alih kemudi,” Jhatatysa terdiam sejenak.

“Jika sesuatu menimpaku, kau harus menyelesaikannya. Tidak ada jalan kembali. Pesawat ini bukan dunia kita”.

“Kita akan menyelesaikannya bersama,” timpal Rhalemug yakin.

Jhatatysa menghela napas panjang sejenak sebelum menjawab. “Kau benar”.

Hari ini mereka akan meninggalkan Plante. Mozza akan menjadi operator, dan terbang kedua terakhir setelah Rhalemug dan Jhatatysa.

Niaqu dan Guna sudah meluncur duluan bersama peserta lain. Dua ribu penduduk Generoro telah bergabung dalam Sekoci. Sungguh menyenangkan memiliki banyak sukarelawan. Mereka tidak akan membutuhkan waktu lama untuk membuat koloni di tempat yang baru.

Tidak semua dari sukarelawan bisa melakukan simulasi dengan baik, maka dari itu orang-orang yang memiliki kemampuan baik dalam menerbangkan pesawat yang ditunjuk untuk berada di balik kemudi. Sisanya tinggal duduk saja sampai tujuan.

Sekoci yang digunakan tidak sampai seratus delapan puluh. Tapi itu bagus karena jika ada orang yang ingin melanjutkan jejak mereka, generasi berikutnya bisa mempelajari sekoci yang tersisa.

Detik itu Rhalemug beserta sepuluh orang lainnya sudah bersiap dalam pesawat. Ia bisa melihat kotak tempat Glaric menyimpan bahan bakar.

Impiannya terwujud hari ini. Jakarov, usahanya hampir seratus tahun silam bukanlah sesuatu yang sia-sia. Itu hanyalah bagian dari proses panjang saja.

Jhatatysa memastikan kembali koordinat yang akan di ambilnya. Koordinat Planet yang mengirimkan balasan padanya. Dari monitor radar, ia bisa melihat orang-orang mengarah ke tujuan yang benar. Beriringan seperti komet.

"Sekoci 620 selamat pagi," kata Jhatatysa dari kemudi pilot.

Rhalemug ada di sebelahnya, berperan sebagai asisten pilot. Jhatatysa tentu saja ingin jadi bos di pengalamannya meninggalkan Plante.

Tahu begitu Rhalemug mungkin tidak akan mati-matian belajar simulasi. Tapi ada baiknya juga, kegugupannya mulai memudar.

"Ini adalah operator Plante, selamat pagi," suara Mozza terdengar dari headphone.
"Kami membutuhkan landasan pacu untuk penerbangan 620”.

"Sekoci 620 silakan menggunakan DS57”.

"Sekoci 620 menggunakan DS57, Terima kasih”.

Rasanya seperti Deja Vu mengingat Rhalemug menggunakan kode pesawat yang sama seperti saat ia melakukan simulasi.

"Sekoci 620 menuju koordinat Romeo Oscar. 861 19 dapat di lewati untuk penerbangan”.

"Sekoci 620 melewati 861 19, terima kasih dan sampai jumpa," kata Jhatatysa mantap.

Ia mengarahkan pesawat ke DS57. Seketika mesin pesawat menderu-deru. Mereka sudah berada dalam tenaga penuh untuk peluncuran pesawat.

Pintu Juhi sudah satu jam belakang ini dibuka dan melepaskan ratusan Sekoci. Maka dari itu orang-orang tidak ada yang berlalulalang. Mereka sudah di pesawat dulu baru pintu ke luar angkasa dibuka.

Mozza dan Glaric ada di ruangan lain atau mereka akan tercekik karena ketidaksediaan udara yang mereka perlukan untuk bernapas. Nantinya mereka berdua akan mengenakan pakaian khusus ketika akan mencapai Sekocinya.

Sementara para aparat sudah berjaga-jaga untuk segera menutup pintu Juhi begitu semua orang sudah pergi.
“Sekoci 620 lepas landas”.

Detik itu juga Rhalemug merasakan pesawat berlari kencang kemudian dalam hitungan detik sudah tidak lagi menyentuh lantai pacu. Mereka meninggalkan Plante. Sekoci sudah terbang memulai misinya.

Jhatatysa melepaskan headphonenya dengan senyuman lebar. Ia mengubah mode menjadi loud speaker sehingga bila ada pesawat lain yang ingin masuk, mereka bisa segera mendengarnya.

“Dua hari lagi kita baru akan sampai,” katanya pada penumpang lain. “Silakan nikmati waktu kalian di Sekoci”.

Sekoci tidak di desain bagus untuk tempat tinggal. Namun punggung kursinya dapat di kebelakangkan sehingga orang-orang bisa lebih nyaman di sana. Kebanyakan sudah mengisi komputernya dengan buku-buku pengetahuan alam. Mereka membaca untuk membunuh waktu juga untuk persiapan.

Para sukarelawan juga telah mempelajari cara hidup yang dasar. Memasak, membuat tempat tinggal dan sebagainya. Mulanya pasti sulit karena jauh dari gaya hidup mereka sehari-hari, tapi bukan berarti mustahil.
Glaric dan Mozza segera menghubungi Sekoci 620 beberapa saat setelah mereka lepas landas.

Sambungannya terkadang putus-nyambung, tapi mampu menawarkan kerinduan Rhalemug.

“Aku merasa lebih ganteng,” kata Glaric ketika memulai sambungan.

“Ayolah sobat! Kau pasti punya kata-kata yang lebih keren dari pada itu,” Rhalemug menjaga agar suaranya tetap rendah. Ia memandangi orang-orang di pesawatnya yang kebanyakan sudah terlelap. Sepertinya bosan perjalanan.

“Kita kini tengah menghadapi tingkat radiasi yang lebih tinggi, dan juga menghadapi gravitasi rendah. Apa kau merasa kesehatanmu terganggu?”

“Semua orang di 620 baik-baik saja”. Ia memandang sekelilingnya. Benar-benar berjalan lancar.

“Hahaha aku hanya bercanda, sekoci dilengkapi dengan gravitasi buatan. Jika tidak dari tadi kita sudah melayang-layang. Kutidak percaya kita berhasil melakukannya!”

“Apa di pesawatmu semua baik-baik saja? Aku membayangkan kalian terbang tanpa operator. Itu agak gila”.

“Tenang sobat, Mozza sudah hapal karena bolak-balik memberikan instruksi. Kami melakukannya dengan mulus”.

“Ngomong-ngomong sedang apa Mozza?”

“Mengirimkan data-data koordinat Sekoci ke Plante. Kita harus memenuhi janji kita. Bagaimanapun RFY sudah banyak membantu kita. Plante sengaja tidak bergerak untuk seminggu kedepan untuk menunggu data yang kita kirimkan. Semoga kita masih tetap dapat terhubung”.

“Kuharap kita mampu bertahan ditempat yang baru”. Kata Rhalemug.

“Pasti sobat! Sekarang kita hanya bisa optimis. Baiklah aku akan beristirahat. Aku dan Mozza akan bergantian mengirimkan data sehingga kami tidak bisa istirahat bersama”. Ujar Glaric.

“Katakan saja jika butuh bantuan,” sahut Rhalemug menawarkan diri.

“Pasti! Baiklah, aku akan mengontakmu lagi nanti,” sahutnya kedengaran sangat senang.

Sebenarnya semua orang sedang senang sekaligus gugup pada waktu yang bersamaan. Mereka tidak tahu seperti apa Planet yang mereka tuju dan itu kadang membuat para awak merasa tertekan.

Jhatatysa muncul dari kompartemen buangan, sebutan toilet di Sekoci. Ia nampak mencari-cari sesuatu. Kemudian ia membuka salah satu laci dan mendapatkan apa yang ia inginkan. Makanan kemasan siap makan, di sini tidak ada dapur dan memang makanan yang disediakan tidak perlu di masak.

Ia sesekali memeriksa tekanan atmosfer, suhu dan kelembaban dalam kabin. Meyakinkan dirinya semua berjalan dengan baik.

“Glaric dan Mozza tengah bergantian mengirimkan data ke Plante. Koneksinya tidak terlalu bagus,” jelas Rhalemug sembari bergeser sedikit, memberikan ruang pada Jhatatysa supaya dapat duduk di sampingnya.

“RFY akan mengikuti jejak kita jika kita berhasil,” katanya sembari mengunyah makanannya. Ia menyodorkan pada Rhalemug. “Kau mau?”

Rhalemug mencoba makanan kemasan itu. Tidak terlalu enak, tapi mau bagaimana lagi. Mereka tidak sedang piknik. Ini proyek Sekoci.

“Sebelum aku ke kompartemen buangan, aku sempat mengecek ulang Planet yang kita tuju. Sesuai data yang sudah masuk Planet tersebut ramah bagi kita. Udaranya cukup sesuai, begitupula dengan keadaan alam juga gravitasinya,” jelasnya lagi sembari mengambil makanan itu dari bungkusnya lagi.

“Tinggal penduduk lokalnya saja, atau kita harus bersembunyi dalam hutan-hutan,” desah Rhalemug.

“Ide bagus seandainya kita diburu. Hutan akan menjadi jawaban kita,” kata Jhatatysa yang sengaja memiringkan bungkusan makanannya. Ia benar-benar menelan semuanya hingga habis.

Ia segera membersihkan tempat makan. Untuk makanan beramai-ramai tugas mereka akan lebih panjang. Mulai dari mengganti penyaring udara ruangan, mengumpulkan sampah, setelah itu mereka harus membersihkan dinding dan lantai.

Untuk membersihkan isi Sekoci, mereka menggunakan deterjen cair, sarung tangan plastik, serbet pembersih serbaguna, dan vacuum cleaner untuk membersihkan ruangan.

“Kita beruntung satu tim dengannya,” bisik Jhatatysa.

“Siapa?”

Jhatatysa menunjuk gadis dengan gelang medis di tangannya. Gelang itu sudah kusam.

“Ada sukarelawan dari divisi Kesehatan dan di pesawat kita”.

“Memangnya tidak semua mendapatkan awak yang jago medis?” tanya Rhalemug kaget.

Jhatatysa menggeleng. “Dua puluh persen sekoci tidak dapat karena memang ahli medis yang menjadi sukarelawan tidak sebanyak itu. Mungkin mereka membatasi juga karena jumlah tim medis di Plante memang tidak terlalu banyak. Kalau perhitunganku benar, kita menyedot lebih dari sepertiga dari mereka”.
“Jumlah yang cukup besar”.

“Sangat besar sebenarnya,” ralat Jhatatysa. “Semalam sebelum keberangkatan Niaqu mengatakan wabah gatal-gatal mulai menyerang Plante. Sudah kukatakan susunan di Plante sedang berubah. Sekarang aku hanya bisa berharap RFY mendapatkan jalan keluar.

“Di pesawat, tim medis telah dilatih tidak hanya untuk memberikan pertolongan pertama, tapi juga untuk memberikan pertolongan medis seperti menjahit luka dan memberi injeksi. Pengetahuan untuk memberikan pertolongan pertama mestinya dikuasai semua awak mengingat tidak banyak tim medis yang tersedia,” tambah Jhatatysa.

“Pertolongan seperti apa? Memberikan obat dan membebat luka?”

“Maksudku seperti memberikan napas buatan atau memberikan pertolongan pada orang yang terkena serangan jantung. Dalam kotak medis kita terdapat beberapa peralatan kedokteran dan obat-obatan,” terangnya lagi.

Rhalemug merasa bersalah karena sebagai awak pesawat tidak mempelajari itu sebelumnya. Mereka juga tidak memasukkan hal sepenting itu ke pelatihan. Benar-benar ceroboh. Bagaimana jika gadis di hadapannya yang membutuhkan pertolongan? Siapa yang bisa menolong?

“Apa kau bisa melakukannya?”

Jhatatysa mengangguk.

“Kalau begitu, kumohon ajari aku,” pinta Rhalemug mendadak bersemangat.

Maka beberapa waktu berikutnya mereka habiskan untuk belajar memberikan pertolongan pertama. Rhalemug paling suka di bagian napas buatan, ketika bibir Jhatatysa dan dia bertemu. Semestinya ia tidak berpikir macam-macam, tapi ia tidak bisa menghentikan pikiran liarnya.

Setelah mereka saling praktek satu sama lain Jhatatysa mengatakan akan mengirimkan data Planet yang di tuju pada RFY.

“Sebaiknya tidak menunda. Kita tidak tahu kapan kita bisa kehilangan kontak,” katanya.

Rhalemug izin untuk beristirahat. Dari kursinya ia memandangi luar angkasa yang gelap. Kadang juga terang ketika ia melihat pantulan cahaya Planet.

Ia penasaran dengan makhluk di sana, makhluk yang tidak pernah ia lihat.

Kehidupan yang seratus persen berbeda. Namun satu yang pasti mereka sama-sama memiliki emosi. Marah, bahagia, sedih, keingintahuan. Semua makhluk hidup memilikinya dengan tingkatan yang berbeda-beda.

Rhalemug tidak tahu sudah berapa lama ia tertidur karena Jhatatysa juga sudah tidur di sampingnya.

Sementara beberapa awak lain sudah beraktivitas kembali. Beberapa melemparkan senyum padanya. Rhalemug ingat mereka semua belum benar-benar mengenal.

Sempat saling menyebutkan nama, sayang memorinya tidak sanggup mengingat orang-orang itu. Yang ia ingat hanya segelintir. Misalnya seorang pria seumurannya dari divisi teknik, bertubuh tinggi besar. Namanya Fipp.

Atau wanita yang sedang memeriksa kotak medis. Ia bukan perawat atau dokter. Asalnya dari divisi kebersihan. Ia minta dipanggil dengan sebutan Thearr.

“Membutuhkan sesuatu?” tanya si gadis medis mendekati Thearr.

“Aku merasa agak tidak enak badan,” keluh Thearr padanya.

“Mabuk perjalanan. Biar kucarikan obat buatmu”.

“Terima kasih. Kau sangat baik Sierra,” katanya kemudian segera kembali ke tempat duduknya.

Wajahnya memang agak pucat. Beruntung ada Sierra di Sekoci. Ia benar-benar anugerah bagi kami.

Padahal penempatan awak Sekoci dilakukan dengan pengacakan komputer. Benar-benar tidak di desain oleh tim Rhalemug.

Kurang dari satu hari lagi mereka akan mendarat. Waktu di Sekoci benar-benar kacau. Karena dari waktu ke waktu terkesan sama. Plante sebenarnya mirip namun ketika malam hari, petugas akan mengurangi tingkat terangnya lampu sehingga kesan yang ditimbulkan jadi berbeda.

Siang hari lampu putih menyala. Malam hari lampu-lampu kuning yang tidak terlalu terang akan membuai Plante dalam keremangan.

Rhalemug bisa merasakan ada bagian dari dirinya yang merindukan Plante. Ia tidak akan lagi bisa melihat Aracheas. Ini pesawat satu arah. Mereka mungkin tidak akan kembali. Kemungkinan komunikasipun masih belum jelas.

Dalam pkirannya Rhalemug berharap Plante bisa bertahan lebih lama. Setidaknya orang-orang di dalamnya memiliki hak untuk hidup lebih lama dan lebih baik. Termasuk merasakan hujan.

Ia bertanya-tanya, mungkinkah di Planet yang ia tuju akan ada hujan? Semestinya ada! Ia sangat ingin merasakan hujan betulan. Mungkin ia bisa bertanya pada Jhatatysa begitu gadis itu bangun. Atau Glaric jika ia kembali mengadakan sambungan. Hanya saja mungkin ia sedang  bertugas sekarang.

Ia merasa hidupnya berubah semenjak masuk ke Sekoci. Pesawat kecil dengan kompartemen buangan. Lucu juga menyebut toilet dengan sebutan berbeda. Mungkin karena memang toiletnya tidak sebagus di Plante. Segalanya serba minim dalam Sekoci.

Tapi memang Sekoci tidak membutuhkan hal-hal kompleks. Dia hanya pesawat penjelajah.
“Rhalemug kau di sana?”

Rhalemug segera menyalakan mode headphone supaya suara Glaric tidak menggema di ruangan.
“Hai Glaric,” entah mengapa Rhelemug merasa lega mendengar suara temannya. Seolah sudah lama mereka tidak melakukan kontak.

“Kabar buruk. Kita kehilangan empat sekoci. Autopilot mereka sepertinya mengalami kerusakan”.
Rhalemug menahan napas. Ia berusaha tetap terlihat tenang mengingat para awak yang lain seperti sedang menguping pembicaraannya. Ia tidak boleh menyebarkan kepanikan.

“Apa yang terjadi?”

“Sekoci 397, 211, 648, dan 015 menabrak benda luar angkasa dan hancur berkeping-keping. Aku yakin seluruh awaknya meninggal, lagipula kita tidak bisa meninggalkan pesawat masing-masing,” bisiknya pelan.

Sepertinya Glaric juga tidak ingin menyebarkan berita ini ke penumpang biasa.

“Kuharap kita bisa mendarat dengan selamat,” balas Rhalemug. Masih berusaha terlihat tenang.

“Ada baiknya memberi perhatian pada pesawat. Jangan biarkan semuanya diatur oleh autopilot. Aku akan menyebarkan surat elektronik masal kepada seluruh Sekoci yang masih bertahan”.

“Semuanya akan berjalan lancar. Oh ya Glaric, menurutmu di Planet yang kita tuju apakah akan ada hujan?”

“Tentu saja ada! Aku sudah melihat data dari Jhatatysa dan aku yakin di sana kemungkinan akan hujan ketika kita mendarat”.

“Kabar yang sangat baik kalau begitu”.

“Kau akan merasakan bagaimana menjadi katak sejati!” ucap Glaric memberi motivasi.

Rhalemug tertawa. Sambungan mereka terputus. Di sini sinyal memang buruk.

Dalam pikiran Rhalemug menduga-duga berapa lama lagi waktu yang mereka perlukan sebelum tiba di tempat tujuan. Jhatatysa masih terlelap.

Ia sudah bekerja keras belakangan ini, senang rasanya bisa memandanginya tidur seperti bayi.

Berhubung tidak banyak yang dilakukan, kebanyakan awak Sekoci memilih untuk membaca, mendengarkan musik piano Jhatatysa yang sengaja sudah disebar ke seluruh armada, atau tidur. Tidak banyak interaksi yang terjadi. Kebanyakan mencoba menyibukkan dirinya sendiri.

Ia berusaha mengikuti pergerakan di monitornya, tapi tanpa sadar Rhalemug malah kembali tertidur. Ia bangun ketika Jhatatysa mengguncang-guncangkan pundaknya.

“Ada apa?” tanya Rhalemug merasa tidak enak karena istirahatnya terganggu.

“Siap-siap! Kita sebentar lagi akan memasuki atmosfer”.

Semua orang dibangunkan dan diminta menegakkan kursi. Mereka semua mengenakan sabuk pengaman. Mirip saat Sekoci hendak lepas landas.

“Pesawat akan sedikit terbakar karena atmosfer. Tapi kita akan melakukan gerakan miring sehingga tidak akan mengalami kerusakan yang berarti, hanya seperti kena gores saja di lapisan luarnya,” sahut Jhatatysa menerangkan.

Rambutnya masih acak-acakan karena nampaknya dia sendiri juga belum lama bangun dari tidur panjangnya.
“Hitungan mundur memasuki atmosfer. 10... 9... 8... 7... 6... 5... 4... 3... 2... 1”.

Guncangan itu seolah tidak memiliki akhir. Rhalemug hanya bisa terus berharap mereka berhasil mendarat dan membentuk kehidupan baru.

Jauh di lubuk hati, Rhalemug sebenarnya agak-agak takut bila ternyata planet yang mereka tuju tidak sesuai dengan harapan. Maksudnya bisa saja udara planet tersebut tidak cocok untuk mereka, atau kedatangan Bangsa Generoro tidak diterima dengan baik oleh penghuni planet setempat.

Tapi bukankah semestinya ia mempercayai Jhatatysa, sama seperti gadis itu mempercayainya. Jhatatysa pastinya sudah memperhitungkan segala sesuatunya. Sekarang yang ia butuhkan hanya berfokus pada panel yang sedari tadi di genggamnya dengan erat.

“Jhatatysa tidakkah kau merasa segala sesuatunya terasa lebih berat?” teriak Rhalemug.

Jhatatysa balas berteriak. “Tombol gravitasinya! Kita semestinya sudah boleh mulai mematikan beberapa!”
“Yang mana tombolnya?”

“Di sebelah jari keempat tangan kananmu!”

Dan memang jari mereka hanya berjumlah empat batang. Berarti jari terakhir. Rhalemug segera melakukan perintah Jhatatysa.

Begitu ditekan, tubuh mereka terasa sangat ringan. Rhalemug merasa melayang.

Jhatatysa segera meraih tombol pengatur gravitasi, memberikan sedikit gaya tarik supaya penduduk pesawat tidak terus menerus melayang sembari tangan kanannya secara perlahan mengendalikan katup-katup pesawat supaya tidak terlalu meluncur bebas.

“Sekarang apa?” Rhalemug kembali berteriak di tengah gemuruh goncangan. Ia yakin pesawat tengah membelah atmosfer.

“Lihat di monitor! Berapa lama lagi kita akan menyentuh tanah?” perintah Jhatatysa, napasnya terdengar pendek-pendek.

Kata-kata menyentuh tanah seolah-olah terasa asing karena mestinya tanah adalah teman sehari-hari Rhalemug. Tanah rekayasa. Sebentar lagi ia akan tahu tanah yang sesungguhnya.

Yang bukan hasil rekayasa. Tanah alami. Berbedakah? Atau teknologi membuat mereka semua sama?

“Jangan melamun!” tegur Jhatatysa agak kewalahan. Ia masih mengatur gravitasi pesawat. Makin lama, makin mengecil.

“Maaf! Maksudku, dua menit lagi”.

“Kita akan menghantam tanah dengan cukup keras,” peringatnya.

Para awak yang lain terlihat tegang. Mereka mencengkeram tempat duduk masing-masing. Tidak ada satu pun yang mengeluarkan komentar.

Berikutnya Rhalemug bisa merasakan pesawat mereka sudah tidak berada lagi di udara. Pesawat ini tengah bergesekan dengan benda di bawahnya. Berusaha untuk berhenti. Makin lama goncangan memudar.

Bangsa Generoro akhirnya mendarat setelah lima ratus tahun berlayar di luar angkasa dan sempat kehilangan arah, dan menganggap itu adalah planet mereka sesungguhnya, surga ilusi untuk menjelajah mencari surga yang sesungguhnya telah berhasil dilakukan oleh tim di bawah Rhalemug.

Rhalemug merasa lega, cita-cita ibunya berhasil dia teruskan, sekaligus membuktikan bahwa ibunya benar. Rhalemug mendadak ingin merasakan belaian ibunya, air matanya menetes tanpa disadarinya.

bersambung....



Cerbung ini ada di majalah AN1MAGINE Volume 2 Nomor 9 September 2017 eMagazine Art and Science yang dapat di-download gratis di Play Store, share yaa


“Menerbitkan buku, komik, novel, buku teks atau 
buku ajar, riset atau penelitian di jurnal? An1mage jawabnya”

AN1MAGINE: Enlightening Open Mind Generations
AN1MAGE: Inspiring Creation Mind Enlightening 
website an1mage.net www.an1mage.org

Comments

Popular Posts

PARTNERS

Contact Form

Name

Email *

Message *