CERPEN: PERINGATAN BUAT OSEA


"Bagaimana mungkin kau selamat? Bukankah seharusnya kau mati bersama teman-temanmu?"

Aku membanting buku ke atas meja.

Uche selalu bermain-main dengan emosiku, ia selalu berusaha membuatku marah.

Temperamenku memang buruk, tapi Uche membuatnya makin buruk dari waktu ke waktu.

"Apa kau menginginkan aku mati, Uche?" tanyaku sembari memicingkan mata.

Uche memamerkan seringainya. Aku membenci Uche sejak pertama kali kami bertemu.

Bagaimana ia berusaha menjadikanku sebagai pihak yang kalah. Seorang pecundang.

"Aku menginginkan kau segera pergi dari sini," katanya tanpa basa-basi.

"Setidaknya kau mengakuinya," sahutku sembari memasukkan buku ke dalam tas dan menutupnya. "Aku tidak mau menyia-nyiakan waktuku untuk berinteraksi denganmu."

Dengan sentakan kasar, aku menaruh ransel di punggungku dan pergi meninggalkan Uche si gadis gila.
Sekarang, aku hanya ingin menghindarinya. Ia akan terus mengungkit kematian dua sahabatku.

Kami bertiga sebenarnya berencana untuk pergi ke pantai bersama pada akhir pekan kemarin. Hanya saja suatu kejadian aneh membuatku mengurungkan niat buat pergi.

Aku mengira aku bermimpi, tapi aku tahu aku tidak sedang tidur. Siang itu, sehari sebelum rencana kami pergi, mendadak aku merasa Teri, burung peliharaanku seolah mengajakku bicara.

"Jangan pergi, Osea."

Mulanya aku berpikir ada orang yang sedang mengajakku bicara. Aku menoleh ke kanan dan ke kiri. Tidak ada siapa-siapa.

Dengan dahi mengerut, aku memutuskan bahwa aku tengah berhalusinasi.

Suara yang tidak pernah kudengar sebelumnya. Tidak mungkin salah satu dari anggota keluargaku. Tidak mungkin juga suara tetangga karena jarak antar rumah di sini dipisahkan oleh kebun yang cukup luas. Lagi pula suaranya juga cukup dekat. Bukan suara orang berteriak.

"Jangan pergi, Osea."

Aku mendengarnya lagi. Apakah suara itu palsu, buatan pikiranku belaka? Tidak nyata?

Kutepuk-tepuk pipiku. “Sadarlah! Masa aku perlu pergi ke psikiater karena mendengar suara tanpa sosok? Aku rasa aku tidak gila?”

“Osea! Osea! Osea!”

Aku menutup telinga dengan kedua tangan dan mengucapkan “Aku tidak mendengar apa-apa” berulang kali.
Hampir saja aku membuka pintu kamar untuk keluar ketika mendapati Teri mengepak-ngepakkan sayapnya dengan gusar. Seolah ia ikut gelisah karena aku gelisah.

“Teri tenanglah,” pintaku.

Tapi Teri tidak menuruti ucapanku, tentu saja. Dia mungkin tidak tahu apa yang sedang kukatakan. Dia tidak tahu....

"Jangan pergi, Osea."

Hal pertama yang kulakukan adalah menutup mulutku yang terbuka lebar dengan kedua tangan.

Shock!

Aku merasa harus ke dokter jiwa sekarang.

Bagaimana mungkin aku membayangkan Teri sedang berbicara padaku sekarang?

Apa ada yang salah dengan kepalaku?

Tapi kepalaku tidak sedang cedera, aku merasa sehat-sehat saja.

“Ombaknya terlalu berbahaya akhir pekan ini. Besok, kau jangan pergi ke pantai, Osea."

“Ombaknya?” ulangku, ngeri. Entah ngeri membayangkan ombaknya atau ngeri karena Teri berbicara padaku. Aku sedang kebingungan sekarang.

“Aku tidak mau kehilangan kau Osea. Laut akan memerangkapmu di sana,” kata Teri lagi.

“Apa aku akan mati kalau pergi ke pantai besok?” tanyaku pada Teri.

“Aku tidak akan melihatmu lagi jika kau ke pantai, maka dari itu jangan pergi,” bisik Teri.

Sungguh, aku benar-benar tidak tahu apakah itu sungguhan atau bukan. Realitas atau halusinasi, tapi yang jelas pengalaman bicara dengan Teri begitu nyata.

Setelah mengatakan itu, Teri kembali mendendangkan cicitannya yang biasa, seolah dia tidak pernah bicara dalam bahasaku.

Kusambar ponselku dan segera keluar kamar, masih dengan jantung yang berdebar.

Ini sinting. Ini gila. Tapi mau tidak mau, suka tidak suka, ocehan Teri bercokol di kepalaku sepanjang hari. Teri bilang aku akan mati kalau ke pantai besok. Apa lebih baik kubatalkan saja?

Aku ingin mengacuhkan kejadian aneh gara-gara Teri. Tapi nyatanya aku takut. Aku jadi tidak ingin pergi. Tapi bagaimana menjelaskannya pada sahabatku Kara dan Manda?

Mereka tidak akan menerima pengunduran diriku dengan mudah karena kami sudah merencanakan acara jalan-jalannya sekian lama. Aku butuh alasan.

Ganti hari? Ya! Ganti hari akan terdengar masuk akal untuk mengubah rencana.

Pertanyaan selanjutnya, kenapa aku perlu meminta pergantian hari?

“Aku perlu membatalkan rencana karena Teri!”  seruku frustasi sembari mengacak-acak rambutku karena tak kunjung mendapatkan alasan yang pas.

“Memangnya Teri kenapa?” sahut kakakku yang baru saja keluar dari kamarnya. Rambunya basah, kentara kalau ia baru selesai mandi.

Aku nyengir. “Teri sakit,” jawabku asal. Atau sebenarnya aku yang mengalami gejala sakit jiwa.

“Oh ya? Kenapa?” sahut kakakku sembari mengeringkan rambutnya dengan handuk.

“Dia lebih aktif dari biasanya,” balasku sekenanya.

“Itu artinya dia segar bugar dong,” celetuk kakakku sembari menuruni tangga.

Aku memandangi kakakku hingga ia menghilang dari pandangan. Masih memandangi tangga yang kosong, aku merogoh ponselku dari dalam saku.

Kuputuskan aku tidak akan pergi besok. Jadi aku mengabari kedua sahabatku lewat grup chatting.

Mereka kecewa padaku, tentu saja. Aku berusaha menjelaskan kalau aku belum mengerjakan tugas kuliah untuk hari Senin, jadi aku meminta acara jalan-jalan ke pantai dipindahkan ke lain hari saja.

Tapi jelas Kara dan Manda tidak setuju. Mereka memutuskan untuk tetap pergi tanpaku.

“Kita bisa pergi bertiga lain waktu. Tapi untuk rencana besok tetap akan berjalan.” Kurang lebih hal itu yang mereka katakan.

Aku berusaha membujuk mereka agar pergi denganku juga di lain waktu, tapi gagal. Kata-kata Teri benar-benar menghantui pikiranku.

Teri bilang ia tidak akan melihatku lagi jika aku ke pantai besok. Apa itu berarti aku juga tidak akan melihat sahabatku lagi? Aku tidak yakin keputusanku membatalkan rencana jalan-jalan memang tepat, tapi nyatanya sudah kulakukan.

Malamnya aku tidak berani tidur di kamarku. Aku pindah ke kamar kakakku untuk sementara karena masih belum siap mental seandainya Teri mengajakku bicara lagi.

Keesokan paginya aku membuka pintu kamar. Mendapati Teri masih tenang di sangkarnya. Ia sudah bangun, tapi belum banyak beraktivitas.

“Pa-pagi Teri,” sapaku gugup.

Biasanya hal pertama yang kudengar adalah kicauan Teri, terlebih ia memang ada di kamarku. Tiap pukul delapan, petugas akan membawa Teri ke bawah untuk dimandikan, kandangnya juga dibersihkan. Baru setelah itu air minum dan makanannya diganti.

“Aku tidak pergi, seperti permintaanmu,” lanjutku, ragu-ragu.

Semoga tidak ada yang tengah memergokiku. Aku kelihatan konyol sekarang.

Teri hanya berkicau layaknya burung biasa. Apa aku berhalusinasi kemarin? Apa aku sudah tidak dapat membedakan mana yang nyata dan mana yang tidak?

“Teri, kau tidak ingin mengatakan sesuatu padaku, hari ini?” tanyaku, setengah merasa konyol karena sedang bicara dengan burung. Burung, bukan manusia. Burung tidak bicara dalam bahasa manusia. Mereka berkicau. Bukan bicara.

Teri seolah tidak memahami apa ucapanku, layaknya burung normal. Mungkin memang Teri yang normal, akulah yang gila.

Kuputuskan untuk membersihkan kandang Teri seperti biasa.

Aku mengambil sangkarnya dan membawanya keluar kamar menuju halaman.

Aku membuang kotoran Teri, membersihkannya. Kemudian dengan semprotan, aku memandikan Teri. Ia lucu seperti biasanya.

Ketika melakukan kegiatan ini aku bahkan sempat lupa kalau burung ini sempat mengajakku bicara dengan bahasa manusia. Pengalaman yang unik sekaligus sulit diterima logika.

Sementara Teri berjemur di bawah sinar matahari pagi untuk mengeringkan tubuhnya, aku membersihkan tempat minumnya, mengganti airnya dan menggantungkan sebuah pisang kesukaan Teri.

Waktu aku masuk dan menggantungkan Teri di dekat jendela kamar, aku mendengar ponselku berbunyi. Beberapa pesan masuk. Kebanyakan dari Kara dan Manda yang mengirimkan foto-foto mereka di pantai.

Mereka mengatakan akan memesan kerang, ikan bakar, juga air kelapa untuk makan siang. Juga tentunya mengatakan aku rugi tidak ikut bersama mereka ke pantai hari ini.

Aku menghela napas. Mungkin aku seharusnya memang ikut pergi saja. Bukankah memang kami bertiga sudah merencanakannya?

Ini gara-gara halusinasi bodoh itu saja!

Aku melirik Teri yang sedang berkicau sembari melihat keluar. Mungkin ia ingin terbang bebas seperti burung-burung lain.

Tapi aku terlalu egois, aku sudah sayang sama Teri. Aku lebih bahagia bisa memastikan dia makan dengan baik, tidak dijadikan mangsa oleh hewan lain. Meski itu artinya aku memenjarakannya dalam sangkar kecil. Membatasi hidupnya.

Aku baru saja mendapatkan foto-foto makanan dari grup chatting ketika mama memanggilku untuk makan siang.

Mereka akan baik-baik saja, aku tidak tenang hanya gara-gara halusinasi bodoh itu saja, pikirku.

Setelah makan, aku tidak ada kegiatan lagi. Jadi aku kembali ke kamar lagi. Mungkin untuk main game di komputer atau sekadar mendengarkan lagu.

Saat aku masuk ke kamar, aku mengalaminya lagi. Teri kembali mengajakku bicara.

“Aku senang kau tidak ke pantai hari ini, Osea,” katanya.

“Teri! Kenapa kau tidak menjawab saat tadi pagi aku mengajakmu bicara?” tuntutku. Sekarang aku yakin benar tidak sedang berhalusinasi dan tidak perlu pergi memeriksakan diri ke rumah sakit jiwa.

Ini nyata. Teri bicara padaku menggunakan bahasa manusia.

Aku tidak sedang berhalusinasi. Aku tidak sedang bermimpi.

“Tadi pagi?” Teri mengambil jeda sesaat.

“Oh, saat itu aku belum online.”

“Online?” ulangku dengan nada meninggi.

“Memangnya kau bisa internetan apa?”

Teri diam saja.

“Teri? Aku sedang menunggu penjelasan sekarang, penjelasan yang masuk akal!” kataku mirip cewek yang sedang merajuk ke cowoknya.


“Well, sebenarnya aku hanya menjadikan Teri sebagai perantara....”

“Lalu siapa kau?” potongku dengan dahi mengernyit.

“Aku adalah orang yang membantumu untuk tetap hidup.”

“Semua orang akan mati. Mungkin aku tidak mati hari ini, tapi tetap saja aku akan mati,” jawabku, tenang.

“Memang, tapi kau akan menjadi penemu yang akan membawa kehidupan manusia ke tingkat yang lebih advance.”

Aku berusaha tidak mendengus. “Penemu apa? Aku bahkan bukan ahli science.”

“Tidak perlu menjadi ahli science, Osea. Yang jelas kau akan menjadi penemu hebat di masa depan,” jawab suara yang muncul dari mulut Teri.

“Menciptakan apa? Aku tidak mengerti.”

“Kau tidak mengerti sekarang, tapi dimasa depan kau akan mengerti. Aku senang kau tetap bisa melanjutkan hidupmu di timeline ini.”

Itulah kata-kata terakhir Teri. Mungkin bukan Teri, dia bilang hanya menggunakan Teri sebagai media saja. Aku tetap tidak tahu siapa yang berusaha membuatku tetap hidup dan apa maksud ucapannya.

Aku tidak tahu harus bereaksi bagaimana. Yang jelas sampai sore aku hanya berada di kamar. Tidak jadi memainkan game di komputer atau menyetel musik seperti rencanaku pada awalnya.

Pada saat sore hari, aku baru menyadari kedua sahabatku tidak memberi kabar lagi setelah foto makan siang mereka.

Tapi aku masih belum menilai bahwa pesan yang dibawakan entah siapa itu mengenai ombak ganas memang benar. Keraguan itu masih berlanjut hingga malamnya orang tua Manda meneleponku dan menjadikan ucapan Teri menjadi kenyataan.

Hari itu aku kehilangan kedua sahabat terbaikku. Mereka diseret ombak dan tak pernah kembali. Mayatnya juga tidak pernah ditemukan.

Peringatan itu benar. Ada seseorang, yang hingga detik ini tidak kuketahui namanya, juga wujudnya, tengah mengawasiku.

Tapi niat baiknya untuk menjagaku tetap hidup membuatku merasa cukup mengenalnya. Seorang teman tanpa nama.


Cerpen ini ada di majalah AN1MAGINE Volume 2 Nomor 6 Juni 2017 eMagazine Art and Science yang dapat di-download gratis di Play Store, share yaa


“Menerbitkan buku, komik, novel, buku teks atau 
buku ajar, riset atau penelitian di jurnal? An1mage jawabnya”

AN1MAGINE BY AN1MAGE: Enlightening Open Mind Generations
AN1MAGE: Inspiring Creation Mind Enlightening 
website an1mage.net www.an1mage.org

Comments

Popular Posts

PARTNERS

Contact Form

Name

Email *

Message *