CERPEN: TANTANGAN PASIR



Aku bertanya-tanya apakah harus berhenti sekarang. Jaraknya sudah tidak jauh lagi, tapi konsekuensi yang harus kudapatkan tiap langkah yang kutapakkan ke tanah, rasanya makin berat.


Aku meludahkan pasir yang ada di dalam mulutku. Rasanya benar-benar tidak nyaman. Benda asing yang seharusnya tidak ada di dalam mulutku, tapi nyatanya ada.

Padahal aku tidak membuka mulut sama sekali dari tadi. Tidak ada angin yang berhembus yang menerbangkan pasir-pasir di bawahku. Lalu bagamana caranya pasir itu muncul di mulutku? Tiap langkah, makin memenuhi mulutku.

Awalnya aku bisa melakukan belasan langkah sebelum meludah, tapi sekarang sekitar lima langkah saja mulutku sudah sangat penuh.

Aku kembali meludah. Takut pasirnya mungkin tertelan. Aku ingin muntah, tapi toh aku tidak muntah. Langkahku semakin berat, napasku juga.

Ini benar-benar menyiksa, tapi aku tetap melangkah.

Gedung yang tengah kutuju sudah kelihatan, tapi karena pasir-pasir sialan ini aku merasa gedung itu masih berkilo-kilo jauhnya.

Tidak ada cahaya lampu yang terlihat, seperti bangunan tua yang sudah menunggu untuk roboh. Setidaknya itu yang akan dilihat manusia.

Tapi aku bukan manusia.

Maka dari itu penglihatanku berbeda. Itu adalah rumah. Cahaya yang berasal dari salah satu jendela menuntunku ke sana. Manusia biasa juga tidak akan merasakan sensasi mulut penuh berpasir ketika melewati jalan ini.

Aku berhenti sebentar dan mengeluarkan pasir dari mulutku. Kupadangi cahaya dari kamar itu, tujuanku. Segala jerih payah dan kemauan untuk menaklukan tantangan ini ada di sana.

Perjalananku sudah separuh lebih dan tentunya makin sulit ketika mendekati tempat yang kutuju. Sulit.

Aku ingin menyerah. Pasir-pasir ini membuatku tertekan.

Aku ingin berhenti. Tapi dia menungguku.

Aku sudah berjanji untuk datang.

Jadi kuayunkan langkahku kembali. Maju. Maju. Daripada menggunakan energi untuk berpikir buat menyerah, aku memaksa diriku buat maju.

Kadang aku merasa akan tumbang, pingsan di jalanan, tidak berhasil menyelesaikan tantangan, gagal.

Tapi jika aku harus jatuh, maka aku akan jatuh. Jika tubuhku tidak kuat mengatasi tantangan ini, setidaknya aku telah berusaha yang terbaik.

Aku pasti bisa!

Kukeluarkan isi mulutku sekali lagi. Tentu saja tidak semua pasirnya hilang. Masih ada yang tersisa, tapi lebih baik dari sebelumnya.

Aku mengambil napas panjang kemudian berlari. Berlari seperti orang gila. Tanpa beban.
Aku tertawa-tawa. Ini lucu. Semestinya aku menikmatinya saja dari tadi dengan pemikiran yang tenang.

Sejurus kemudian, hujan turun tertarik gravitasi. Tanah basah. Aku ikut basah.

Kemudian aku menari-nari di antara hujan. Air datang dari atas, pasir tetap berada di bawah kakiku.

Aku tidak bisa berbohong, aku sungguh, sungguh menikmatinya!

Rasa sedih, khawatir, dan tertekan seolah tidak pernah menghinggapiku. Aku bebas dan bahagia!

Aku terus menjalankan tarianku hingga ke depan pintu tempat yang kutuju.

Gerbangnya tinggi, tapi siapa peduli dengan ketinggian kalau kau punya sayap?

Kujejakkan kaki kananku ke Bumi dan sepasang sayap muncul. Bersinar keperakan, bukan dari daging atau bulu. Manusia yang melihatku akan mengiraku sebagai malaikat.

Tapi tentu saja bukan, dan aku senang menyadari kenyataan bahwa manusia tidak dapat melihatku.

Aku terbang, membumbung  tinggi, meninggalkan gerbang itu jauh di bawah, memutari rumah itu sekali kemudian turun ke balkon yang cahaya jendelanya menjadi petunjuk arah buatku sedari tadi.

“Aku tiba!” pekikku senang.

Seorang wanita membuka tirai, ia tersenyum kepadaku. Rambutnya lebih panjang dari pada tinggi tubuhnya, tebal-menyapu lantai.

Manusia akan menganggap dia kakak atau adikku, atau malah pacarku. Bukan, wanita dihadapanku ini adalah ibuku. Kami sama mudanya, wajah kami juga mirip.

Yang membedakan adalah pengalaman dan kebijaksanaan. Aku masih muda, ceroboh, dan suka ngawur. Sementara ibu berpembawaan tenang, ia tidak pernah benar-benar terhanyut dalam kesedihan atau kegembiraan.

Aku berjingkat sedikit untuk meng-non-aktifkan sayapku. Kemudian merapikan rambut cepakku dengan tangan kanan seolah-olah ketampananku meningkat karena melakukannya.

“Aku berhasil! Aku memenuhi janjiku padamu, juga pada ayah!” seruku, riang.
Ibu mengangguk samar. Matanya tetap tenang seperti biasanya, sementara bibirnya sedikit ditarik. Ia tersenyum karena anaknya berhasil.

Dengan gerakan yang anggun, ibu memimpin. Aku mengikutinya dari belakang  sembari merasakan mulutku. Tidak ada pasir yang berbekas di sana. Harusnya pasir-pasir itu terselip di gigi kan?

Pasir itu datang dan pergi secara ajaib. Hujan yang mendadak datang sekarang juga sudah tinggal gerimis.

Aku memandangi sepatu bootsku yang kotor.

Begitu menjejakkan langkah pertama ke dalam rumah, robot pembersih kami yang bernama Yuki segera meluncur ke arahku dan membersihkan kotoran asing yang ada di tubuhku.

Yuki menunjukkan gambar love di kedua matanya setelah selesai membersihkanku. Ia juga membersihkan lantai bekas sepatuku yang kotor kemudian kembali ke tempatnya, menunggu hal lain untuk dibersihkan.

Ayahku, sangat berbeda dari ibu yang anggun dan elegan. Dia pendek, hanya setinggi lututku. Kulitnya hitam dan bibirnya tebal. Jika ibu hampir selalu tenang dan datar, maka ayah sangat ekspresif.

“Kau keren, nak!” serunya sembari memberikan dua jempol padaku. Ayah lari kepadaku kemudian memeluk kakiku.

“Aku bangga padamuuu!”

Ayah berlari-lari kegirangan memutari ruangan untuk meluapkan kebahagiannya.


Tapi detik berikutnya tidak terduga. Pasir-pasir itu muncul kembali. Merembes keluar dari lantai. Mula-mula menutupi lantai, kemudian mengibur hingga mata kakiku.

Aku terpekik ngeri. Kenapa pasir-pasir ini muncul lagi? Bukankah tantangannya sudah selesai? Lalu ini apa?

Aku menoleh mencari ibuku untuk minta penjelasan, tapi dia sudah tidak ada. Ke mana perginya ibu?

Aku memandangi pasir-pasir itu lagi. Pasirnya meninggi dengan lebih cepat. Sudah setengah lututku sekarang. Pamandangan yang  tidak menyenangkan.

Yang lebih tidak kuharapkan lagi, pasir-pasir kembali muncul di mulutku. Padahal aku tidak bergerak! Apa artinya ini?

Tantangan lain? Mengapa tidak ada instruksi khusus akan hal ini?

Kuludahkan pasir-pasir itu lagi. Mengapa aku harus merasakan hal ini lagi? Aku mual, lebih parah lagi aku muak dengan pasir-pasir ini! Aku tidak suka pasir memenuhi mulutku!

Kakiku gemetaran. Rasa takut kembali menjalari setiap sendi tubuhku, mengalir dalam pembuluh darah.

Apakah aku akan terkubur hidup-hidup di sini? Haruskah aku menyudahi rasa terkejut dan tidak menerimaku, lalu mulai bergerak?

Bergerak! Berdiam diri hanya akan membuatmu gagal.

Berusaha! Pikir apa yang harusnya kau lakukan.

Aku menjerit saat pasir itu sudah setinggi lututku.

“Ayah!” seruku, ngeri. Dia pasti sudah terkubur di antara pasir-pasir ini. Kabar buruknya aku tidak ingat di mana posisi ayah terakhir kali. Seingatku ia masih berlari-lari mengelilingi ruangan ini karena bahagia anaknya berhasil menaklukan tantangan.

Tapi aku tidak ingat di mana.

“Ayah!” panggilku lagi. Aku harus menyelamatkannya! Waktuku tak banyak.
Aku mulai menggerakkan kakiku, tapi ternyata sulit untuk melangkah. Pasir-pasir ini tidak hanya mengubur ayah, tapi juga akan menguburku!

Aku mencoba menaiki pasir itu. Berhasil, ini bukan semacam pasir hisap. Hanya saja tiap kali aku berhasil mengangkat kedua kakiku dari kuburan pasir, pasirnya kembali meninggi semata kaki.

Tidak masalah. Seperti para pendaki gunung yang mundur selangkah tiap menanjak medan pasir sebanyak dua langkah, yang terpenting aku maju. Aku berusaha, tidak pasrah.

Pasir-pasir itu kukeluarkan lagi lewat mulutku. Aku tidak menyukainya, bagaimana butiran-butiran itu memenuhi mulutku, menyelip di antara gigi juga terasa di lidahku.

Ruangan di rumahku ini langit-langitnya cukup tinggi, kini aku merasa langit-langitnya merendah tiap detiknya. Tidak mungkin keluar karena separuh tinggi pintu sudah terkubur.

Jika pintunya tertutup, maka tidak ada cara lain untuk menghilangkan pasir-pasir sialan ini. Jendelanya!

Aku tidak tahu berapa banyak waktu yang kumiliki untuk menemukan ayah. Tapi aku akan melakukannya! Aku setengah berlari menuju pintu. Tidak bisa benar-benar berlari karena pasir yang kian meninggi, menghambat langkahku.

Sempat terjatuh dua kali, kulit kakiku yang tidak tertutup pakaian serasa diparut oleh butiran pasir kasar. Lecet, perih, tapi tidak ada waktu untuk cengeng.

Begitu mencapai jendela, aku segera berusaha memecahkannya. Kusambar satu lampu meja yang nyaris tertimbun pasir. Lampu kesayangan ibu yang terbuat dari besi.

Kuharap benda yang diturunkan dari generasi ke generasi ini dapat mengatasi tantangan pasir ini. Kuharap ibu juga tidak marah karena aku merusak benda kesayangannya.

Kupukul-pukulkan lampu itu ke kaca jendela sembari sesekali membuang pasir yang terus-terusan muncul di mulut. Tapi tidak mudah, kacanya tebal. Aku berusaha memecahkan kaca juga sembari menjaga agar kakiku tetap berada di permukaan timbunan pasir.

“Ayah, bertahanlah!” isakku. Aku merasa beberapa butir pasir tertelan sembari aku menangis.

Aku ingin muntah sekarang.
Tidak, tidak ada waktu untuk cengeng. Setelah mengeluarkan pasir dari  mulut, aku kembali memukul-mukul lampunya ke kaca.

Kacanya lecet, mirip kakiku, tapi belum ada tanda-tanda retak besar.

Perjuanganku masih panjang.

Frustasi. Aku mulai membentur-benturkan bahu ke kaca sembari mencoba melukai kacanya di tempat lain.

Harus berhasil! Harus berhasil! Pikirku. Entah mengapa pemikiranku terdengar seperti permohonan. Aku merasa kesempatan untuk menyelamatkan ayah sudah semakin tipis.

Aku butuh alat lain yang lebih canggih! Senapan! Begitu membayangkannya, benda itu sudah muncul di tanganku.

Mestinya kulakukan saja dari tadi!
Senapan itu keperakan, seolah tidak nyata. Mirip sayapku, senapan yang kumunculkan lewat pikiranku ini berwarna keperakan.

Aku mulai menembaki jendelanya. Sepuluh, dua puluh peluru. Jendelanya mulai retak, makin lama makin besar.

Pasir-pasir ini sulit membuatku konsentrasi.

Aku kembali meludahkan pasir dari mulutku. Kuharap kondisi buruk ini segera berakhir.

Kembali memusatkan pikiran, aku mengaktifkan kembali sayapku. Kemudian aku terbang dengan kecepatan tinggi, menabrak kaca dengan tubuhku dan....

PYAAAAAAAR!

“Kacanya pecah! Aku berhasil! Aku berhasil!” ujarku setengah senang, setengah khawatir dengan keadaan ayah.

Tantangannya belum berlangsung terlalu lama, kuharap aku bisa melihat ayah muncul dari antara pasir yang tengah berjatuhan, keluar melalui jendela.

Seseorang menepuk bahuku. Aku menoleh. Ayah tengah melayang di sisiku dengan menggunakan sayap keperakan seperti yang ada di punggungku.

“Kau tidak apa-apa?” rengekku pada ayah. Tanpa basa-basi aku mendekapnya.

“Kupikir... kupikir kau terkubur di sana.”

“Tentu saja tidak, nak. Aku dan ibumu sedari tadi memerhatikan kok. Good job! Good job! Good job!” kekeh ayah kembali memberikan kedua jempolnya padaku.

Ibu muncul dari udara kosong. Kami bertiga melayang memerhatikan pasir yang masih turun ke bawah dari jendela yang telah kupecahkan.

“Aku bangga padamu,” ujar ibu, hampir tanpa emosi.

“Emosional sekali tantangan yang terakhir. Kuharap sudah cukup tantangan untuk hari ini,” pintaku sembari menyeka air mata.

Aku berusaha tidak menangis, tapi nyatanya aku terus menangis mirip cewek-cewek ABG yang baru putus cinta.

“Aku sudah mengatakan pada ibumu supaya tidak memasukkanku sebagai goal tantangan,” gumam ayah sembari mengerutkan dahi.

“Aku tidak setuju, sayang!” seru ayah pada ibu.

“Tentu saja latar belakang cerita perlu. Anakmu akan lebih cepat menyelesaikan tantangannya kalau dia berpikir kau sedang merenggang nyawa,” balas ibu, acuh.

Ayah mengerucutkan bibir, masih tidak setuju pada ibu meski ia telah melakukannya. Mereka berdua berhasil membuatku mengira ayah bakal mati kalau aku tidak berhasil mengatasi tantangan.

“Semua tantangan butuh tujuan supaya pelakunya tidak gampang menyerah,” sambung ibuku.

“Bukan salah kalian. Harusnya aku menyadarinya lebih cepat kalau ayah tidak mungkin membiarkan dirinya terkubur di pasir”

“Minimal kalau ada kejadian sungguhan seperti itu pasti ayah akan membantuku mengatasinya,” ujarku, baru tersadar kalau aku ini gampang panik.

Ayah melayang sedikit lebih tinggi supaya tangannya lebih tinggi dari kepalaku.

Ia menepuk-nepuk kepalaku dengan sayang.

“Kau hari ini sudah terlihat sepertiku, nak! Layaknya pria sejati yang tidak bertekuk lutut pada tantangan. Aku bangga padamu.”

“Tentu saja. Aku tahu kalian sedang melatihku supaya tidak mudah panik. Agar aku tetap berpikiran tenang saat menemui kesulitan,” balasku sembari mengangguk-angguk.

Ibu memicingkan mata ke dalam ruangan tempat tantanganku.

“Kau menggunakan lampu antikku untuk memukul jendela?”

“Eh itu... sebelumnya aku hanya kepikiran memecahkan jendelanya dengan benda yang ada saja dan kebetulan aku melihat lampu itu....” ujarku berusaha membela diri.

Ibu memindahkan pandangannya dari lampu antiknya yang sudah berantakan ke arahku.

“Bagaimana dengan tantangan lain malam ini? Bukan sebagai latihan, tapi sebagai hukuman?”

“Oh! Tidaaaaak!” pekikku, tidak setuju.


Cerpen ini ada di majalah AN1MAGINE Volume 2 Nomor 4 April 2017 eMagazine Art and Science yang dapat di-download gratis di Play Store, share yaa


“Menerbitkan buku, komik, novel, buku teks atau 
buku ajar, riset atau penelitian di jurnal? An1mage jawabnya”

AN1MAGINE BY AN1MAGE: Enlightening Open Mind Generations
AN1MAGE: Inspiring Creation Mind Enlightening 
website an1mage.net www.an1mage.org

Comments

Popular Posts

PARTNERS

Contact Form

Name

Email *

Message *