CERPEN: TAMASYA KE TAMAN TEKNO

http://www.conceptart.org/forums/attachment.php?attachmentid=2021551&stc=1

Tamasya ke Taman Tekno
Archana Universa


Aku tertawa. Jeremy selalu penuh kejutan termasuk hari ini ketika ia membawakanku kamera tapi lupa melepas baterainya dari alat charge. Jadilah kameranya tidak dapat di-on-kan karena tidak ada sumber dayanya.

“Aku benar-benar minta maaf Luna, aku sungguh-sungguh minta maaf,” katanya dengan nada penyesalan yang sudah sangat kuhafal.

“Gak masalah. Memang kadang kita melupakan baterai atau memory card sehingga meski membawa kamera kita tidak bisa menggunakannya,” ujarku menghiburnya.

“Mestinya aku mengecek ulang sebelum kemari. Aku ceroboh,” sesalnya, nyaris menangis.

Jeremy boleh jadi salah satu cowok paling cengeng yang kukenal. Ia menangis saat sedih, saat melakukan kesalahan, juga saat kami menonton adegan film yang sedih.

Kadang aku merasa dia begitu rapuh. Seolah-olah jika aku salah menyentuhnya sedikit saja, ia akan hancur berkeping-keping. Lebih mudah rusak dari pada gelas kaca.

Aku merogoh jaket dan menyodorkan ponselku padanya. “Kita bisa pakai ini.”

“Tapi hasilnya tidak akan sebaik kamera....” gumamnya lirih.

Selain ceroboh, Jeremy selalu fokus pada masalah bukan pada solusi. Aku juga mungkin seharusnya tidak bete pada Jeremy. Aku harusnya membenci kesalahannya, bukan orangnya.

Tapi tetap saja kadang sulit dilakukan. Aku tidak sabaran. Tapi itu juga bukan pembenaran. Siapa bilang kesabaran itu ada batasnya?

“Ayo mulai berkeliling! Kupikir kita dapat menemukan beberapa hal menarik di sini,” ujarku berusaha fokus pada perjalanan kami hari ini.

Hari ini kami berkunjung ke Taman Tekno. Katanya pengunjung dapat menemukan berbagai hal menarik di sini. Sebenarnya taman ini merupakan area cagar alam. Dua tahun terakhir taman ini ditutup untuk renovasi. Tidak hanya cagar alam, taman ini akan jadi taman ilmu pengetahuan terbaik di negara ini.

“Apa kau pernah kemari sebelum tempat ini direnovasi, Luna?” tanya Jeremy yang nampaknya sudah dapat menerima kenyataan kalau kami tidak perlu mengambil gambar dengan kameranya.

“Sekali,” kataku, mengakui.

“Benarkah?” tanyanya sembari membulatkan matanya, mirip anak anjing.

“Dengan siapa?”

Tepat sasaran! Dengan siapa adalah pertanyaan yang malas kujawab karena penjelasannya bisa panjang. Jadi terpaksa aku berbohong saja.

“Sendirian.”

“Oh.”

Jelas Jeremy menaruh kecurigaan padaku, tapi aku diam saja. Selama Jeremy memilih untuk tidak memaksaku mengaku, aku juga tidak akan berbuat apa-apa.

Jeremy bukan orang yang dapat kuajak curhat, intinya aku tidak terlalu banyak mengungkap kehidupan pribadiku meski kami sering bertemu dan bepergian bersama.

https://i.pinimg.com/736x/ee/14/ff/ee14ffa262c2e6f2c551dfb0aec013fb--foggy-forest-misty-forest.jpg

“Apa banyak yang berubah?” tanyanya lagi, sedikit ragu-ragu.

“Kurasa kita harus menyurusi taman ini lebih dalam lagi, kita belum terlalu jauh dari gerbang masuk,” jelasku tanpa memandangnya, sesuatu yang sering kulakukan ketika merasa bersalah.

“Tentu saja,” timpalnya.

Pengunjung Taman Tekno hari ini tidak banyak. Kami sengaja merencanakan tamasya ini dua bulan setelah renovasi. Aku tidak suka berada di tempat yang terlalu ramai. Membuatku pusing.

Mirip sepertiku, Jeremy juga tidak pernah tenang ditempat yang ramai, berdesak-desakan. Ia bisa kena serangan panik, kemudian napasnya menjadi pendek-pendek dan wajahnya memucat seperti tembok.

Aku pernah melihat Jeremy begitu sekali, dan aku tidak ingin melihatnya dalam keadaan tidak waras lagi. Itu cukup merepotkan. Orang-orang juga akan mengerubungi kami dengan tatapan ingin tahu.

“Kuharap kita segera menemukan sesuatu yang menarik,” keluh Jeremy setelah kami berjalan sekitar setengah jam dan tidak menemukan apa pun selain pohon-pohon khas daerah tropis yang menjulang tinggi.

“Seharusnya kita mengambil peta saat di gerbang depan, jadi arah kita pergi lebih jelas,” ujarku sembari mengerucutkan bibir.

“Kenapa tadi kau tidak mengambilnya?” tuntut Jeremy. Nada bicaranya sekarang kentara menyalahkanku.
“Aku lupa, lagi pula mengapa kau tidak mengingatkanku?” balasku, tidak mau kalah.

“Aku juga lupa,” cengirnya, tidak ada rasa bersalah yang tegambar di wajahnya.

Aku menarik kedua pipi Jeremy dengan gemas.

“Sakit!” rengek Jeremy.

“Maka dari itu stop mengeluh. Kita buat petualangan ini jadi menarik karena kita tidak tahu apa yang akan kita temukan,” kekehku.

“Semoga kita segera mendapat kejutan!” sorak Jeremy riang.

Kami menyusuri taman Tekno dengan berjalan kaki. Sebenarnya ada angkutan yang akan membawa pengunjung mengelilingi tempat ini. Hanya saja kami memang ingin pengalaman yang lebih dekat ke alam.

Jalan kaki di awal. Jika nantinya kami terlalu kelelahan atau terlalu kebingungan untuk mencari jalan keluar. Barulah kami akan menggunakan angkutan tersebut.

Untuk anak berumur sebelas, Jeremy cukup tinggi. Dia belum menandingi tinggiku memang, tapi kurasa tidak akan lama lagi ia akan menyalip tinggiku.

Pertumbuhan anak laki-laki ketika memasuki masa puber kadang begitu fantastis.

Aku ingat benar saat masih SD, aku termasuk murid yang akan berbaris di belakang. Termasuk siswi dengan tinggi di atas rata-rata, bahkan hampir semua anak di kelas lebih pendek dariku.

Keadaannya berbeda jauh ketika memasuki fase SMP. Anak laki-laki seolah ditarik mesin ulur. Mereka meninggi dengan cepat. Sekarang hanya ada beberapa anak cowok yang lebih pendek dariku.

Kami berhenti sebentar untuk membeli es krim di salah satu pedagang yang ada di taman ini. Es krim rasa anggur untuk Jeremy si pecinta buah-buahan dan coklat buatku.

“Apa ada wahana ilmu pengetahuan di sekitar sini?” tanyaku pada penjualnya.

“Yang paling dekat ada di dekat percabangan di depan sini. Lurus dulu, ketika menemukan percabangan pertama belok kiri. Nanti di sana ada gedung ilmu pengetahuan, tapi aku sendiri belum pernah masuk. Jadi aku tidak tahu ada apa di dalamnya,” jelas si penjual.

Jeremy nampak lebih bersemangat setelah makan es krim. “Tidak masalah. Yang penting kami sudah ada tujuan bukannya berputar-putar di dalam taman ini saja, sekadar melintasi jalan penuh pohon.”

Dalam pikiranku aku juga sependapat dengan Jeremy.

“Akhirnya petualangan kita hari ini dimulai, Luna!” sorak Jeremy, girang.

Kami sudah tiba di gedung yang dimaksud penjual es krim. Gedung dengan cat putih dengan jendela-jendela besar, mengingatkanku pada style bangunan zaman Belanda.

“Kuharap ada pengunjung lain di dalamnya. Atau harusnya kita datang ke sini pas lagi rame aja ya?"

Kesannya agak aneh karena kita jarang banget berpapasan sama pengunjung lain sejak masuk sini,” gumam Jeremy lebih pada dirinya sendiri.

 “Ayo masuk,” sahutku sembari memotret bangunan itu dengan ponselku.

“Kalau isinya jelek, kita segera pindah aja ya ke tempat lain?” usul Jeremy.

Aku tidak mengerti kategori jelek yang dimaksud Jeremy, tapi aku tetap mengangguk.

“Ayo masuk!” ajakku.

Pintunya berderit ketika kami mendorongnya.

“Selamat datang!” sapa suara serak itu, bahkan sebelum kami sempat mengucapkan ‘halo, apa ada orang di sini?’ atau kalimat semacam itu.

http://media.blizzard.com/sc2/media/artwork/loading-hyperionlab-full.jpg

Kami melihat orang separuh baya yang nyaris kehilangan semua giginya, tapi ajaibnya rambutnya masih hitam semua. Mungkin dia mengecat rambutnya?

“Aku senang hari ini mendapat pengunjung!” lanjutnya, riang. Aku dan Jeremy berpandangan. “Tempat ini ramai saat awal-awal dibuka kembali. Aku sedih mengingat tidak banyak pengunjung yang benar-benar tertarik pada sains.”

“Apa yang kau punya, emm... professor?” tanya Jeremy, setengah binggung harus memanggil apa pria tua ini.

“Kemari, kalian akan tercengang dengan apa yang sudah kubuat!” serunya sembari mendorong kami berdua masuk lebih dalam.

“Apa kau sendirian saja, professor?” tanyaku, menyadari gedung ini sepi sekali.

“Tidak. Aku bekerja bersama dengan yang lain. Kalian kakak adik?” tanya pria tua itu.

“Aku kakak Jeremy. Namaku Luna,” sahutku memperkenalkan diri.

“Luna dan Jeremy. Jeremy dan Luna. Nama yang bagus.” Orang itu mendekatkan bibirnya ke telingaku. “Aku bahkan sudah lupa namaku sendiri!”

Dia bahkan tidak ingat namanya dan membuat percobaan? Tidak kah ini terlalu beresiko?

Aku meremas tangan Jeremy dengan cemas. Mendadak aku merasa tidak seharusnya masuk ke gedung ini. Orang tua yang ada di hadapan kami terlalu aneh.

“Kami rasa, kami akan kembali setelah makan siang. Maafkan aku, tapi aku benar-benar lapar,” ujarku berusaha pamit keluar dari gedung ini.

“Tapi kita baru makan es krim, Luna! Kita akan melihat-lihat dulu sebelum cari makan, ok?” pinta Jeremy.
Bagus! Jeremy tidak menangkap maksudku untuk kabur dari tempat ini.

“Jangan khawatir soal makanan, Luna! Ada banyak cemilan di sini. Ikut aku!” perintah orang tua itu.
Ia membawa kami mendekati seunit mesin yang ada di dekatnya.

“Pikirkan makanan yang sederhana. Mesin ini akan memberikannya untukmu.

Ingat! Yang sederhana karena mesin ini belum bisa membuatkan makanan yang kompleks misalnya ayam rica-rica, mesin ini belum bisa membuatnya!” cerocos orang tua itu.

Aku mengangkat satu alis, berharap mesin ini benar-benar bisa menciptakan makanan seperti yang dikatakan.

“Apel?” sahutku ragu-ragu.

“Apel!” seru orang tua itu. “Permintaan yang bagus nak, mesin ini bisa memberikanmu apel. Aku sudah pernah memintanya dan mesin ini memberikanku apel.”

Maka pria tua itu mulai memasukkan beberapa perintah yang rumit menggunakan tuts-tuts keyboard yang ada pada mesin tersebut.

Mesin itu bergetar sebentar sebelum bunyi “plop” pelan. Kemudian dari lubang pengambilan makanan, aku melihat sebuah apel muncul.

“Keren!” puji Jeremy. “Bolehkah aku mencobanya juga?”

Orang itu memberikan apel pesananku kemudian berbalik menghadapi Jeremy. “Katakan permintaanmu!”

“Pisang! Berikan aku pisang!” ujar Jeremy dengan penuh semangat.

Pria tua itu mengulangi prosedur rumit untuk beberapa saat sebelum pisang pesanan Jeremy keluar dari lubang pengambilan makanan.

“Terima kasih,” kata Jeremy, senyum sumringah mengembang di wajahnya.

“Kalian bisa menghapus kelaparan dari muka Bumi dengan mesin ini!” decakku, kagum.

“Masih perlu banyak penyempurnaan,” geram orang tua itu. “Aku yakin, kalian sekarang pasti bertanya-tanya aku memiliki alat keren apa lagi!”

“Benar. Tunjukkan kami sesuatu yang bagus!” pinta Jeremy sembari mengunyah pisangnya.

“Kalian akan menyukai yang satu ini!” Pria tua itu mengajak kami berjalan hingga ujung ruangan. “Teleportasi bukan isapan jempol belaka!”

“Benarkah?” tanyaku setengah tidak percaya. “Alat itu bisa memindahkan benda dalam sekejap?”

“Tidak hanya benda. Bisa hewan, bahkan manusia. Bisa lintas area, bisa lintas waktu,” jelas si pria tua.

“Kalian pernah mengirim apa? Kemana?” sahut Jeremy penasaran.

Dia sudah menghabiskan pisangnya, sementara aku belum segigit pun menyentuh apelku.

“Mengirimkan belut ke kutub utara,” jawab si pria tua. Entah kenapa aku merasa jawabannya seperti asal-asalan. Kenapa dia harus mengirim belut?

Pria tua itu tersenyum, memperlihatkan sisa-sisa giginya.

“Jadi kalian ingin mengirim apa? Kemana?”

Aku dan Jeremy kembali berpandangan. Kurasa Jeremy juga kurang menyukai mesin ini. Mesin ini terasa begitu berbahaya, sama berbahayanya dengan pria yang ada di hadapan kami.

“Aku tidak ada ide,” ujar Jeremy yang ketertarikannya sudah menguap entah kemana.

“Aku juga tidak tahu,” kataku, pura-pura tenang.

“Benarkah? Tidak ada yang ingin menyumbangkan ide di sini? Kalau begitu bagaimana kalau aku yang menentukan? Abad ke 17 mungkin? Kalian ingin mengunjungi kota mana? Amerika? Tidak. Lebih baik Eropa. Aku akan mengantar kalian ke Inggris abad 17! Menarik, bukan?” kekeh pria tua itu.

“Mengirim kami?” Aku sudah tidak bisa berpura-pura tenang lagi sekarang. Pria tua ini akan membuat kami menghilang dari sini, memindahkan aku dan Jeremy ke kota asing yang sama sekali bukan di zaman kami lahir! Kami bahkan tidak tahu bagaimana caranya kembali jika dia sudah mengirim kami pergi.

Pria ini gila!

“Professor, maaf kami tidak bersedia melakukannya,” tolakku.

“Aku tidak meminta izin kalian!” geram si pria tua. “Bersiaplah!”

Maka orang tua itu mulai meng-inputkan serangkaian perintah pada alat teleportnya.

Dengan tololnya aku dan Jeremy tidak ke mana-mana. Kaki kami terlalu lemas buat bergerak, terlalu ketakutan.

“Alatnya sudah siap! Kuharap kalian akan mendapat pengalaman yang tak terlupakan,” kekeh si pria tua. Ia mulai mendekati kami. Selangkah. Dua langkah. Kemudian....

“Arrrgh!”

Pria itu terpeleset kulit pisang dan masuk ke alat teleport.

Aku tidak menyia-nyiakan kesempatan lagi. Kusentakkan tangan Jeremy dan terus memegangi tangannya.
Kami berlari keluar dari gedung si pria gila. Kami berlari keluar dari Taman Tekno dan bersumpah tidak akan kembali ke tempat ini lagi.

 https://i.neoseeker.com/ca/cold_fear_conceptart_BZOId.jpg


Cerpen ini ada di majalah AN1MAGINE Volume 2 Nomor 9 September 2017 eMagazine Art and Science yang dapat di-download gratis di Play Store, share yaa


“Menerbitkan buku, komik, novel, buku teks atau 
buku ajar, riset atau penelitian di jurnal? An1mage jawabnya”

AN1MAGINE: Enlightening Open Mind Generations
AN1MAGE: Inspiring Creation Mind Enlightening 
website an1mage.net www.an1mage.org

Comments

Popular Posts

PARTNERS

Contact Form

Name

Email *

Message *