Komodo-External Instant Evolution di An1magine Volume 2 Nomor 8 Agustus 2017
Rangga mengangguk. Bio Body Armor bakal melindunginya. Tidak akan terlalu sakit.
"Pak Made setrum dia ya," sahut Prof. Habibie, lagi.
"Gak papa, Mas Rangga?" tanya Pak Made, tidak enak.
"Tidak masalah pak! Yang penting Prof. Habibie bisa mendeteksi laju listriknya," jawab Rangga, mantap.
"Maaf ya kalau sakit, Mas Rangga," kata Pak Made. "Gaji saya jangan dipotong, kalau sakit. Mas Rangga, jangan dendam sama saya."
Rangga tertawa mendengar celotehan Pak Made.
"OK. Semua siap?" tanya Prof. Habibie.
Kedua orang di hadapannya menyerukan siap bersamaan. Rangga sangat siap, ini adalah hal yang ditunggu-tunggunya. Memecahkan misteri bagaimana mengeluarkan kekuatannya dari dalam tubuh.
Pak Made menyetrum Rangga. Seperti sebelumnya, Rangga hanya merasakan sengatan kecil.
Prof. Habibie menggeleng. "Coba lebih kuat, pak."
Pak Made melakukannya lagi. Ia tampak berkonsentrasi.
"Masih belum, coba sekali lagi, pak," pinta Prof. Habibie. "Aku hanya mendapat getaran kecil, belum jelas. Aku butuh pergerakan yang jelas untuk mengetahui bagaimana aliran listrik dalam tubuh keluar.
Rangga mengangguk ke arah Pak Made yang menatapnya dengan tidak enak.
"Ikuti perintah Prof. Habibie saja, Pak. Tidak perlu ragu," katanya meyakinkan.
"Kita coba lagi. Pak Made, semangat," kata Prof. Habibie sembari tetap memandangi layar monitor di hadapannya sembari sesekali membuat catatan dengan kertas dan pen yang dipegangnya.
Kali ini Pak Made mengeluarkan setrumannya lagi. Lebih kuat, meski bagi Rangga rasanya mirip-mirip saja.
"Nah begitu, bagus pak!" sahut Prof. Habibie senang.
Setelah beberapa detik, Pak Made menghentikan setrumannya, ia terlihat agak pucat.
"Saya capek, Professor," keluhnya. "Apa saya boleh istirahat sebentar sebelum menyetrum Rangga lagi?"
"Tentu, tentu. Rasanya aku sudah cukup mengerti. Rangga, tolong bantu Pak Made melepaskan detektornya," sahut Prof. Habibie masih menatap layar monitornya.
Ia benar-benar nampak fokus dengan apa yang tengah dikerjaannya. Tidak heran ia menjadi orang yang berhasil di bidang ilmu penelitian.
"Aku akan membeli minuman untuk kita. Kuharap tidak ada larangan makan dan minum di laboratorium," ujar Rangga sembari menuju pintu. "Tadi aku lihat di sini ada mesin penjual minuman otomatis."
"Tentu saja boleh minum. Tapi makan di sini tidak boleh," kata Prof. Habibie. "Pilihkan jus apel untukku."
"Pak Made ingin minum apa?" tanya Rangga menawarkan.
"Saya minta air dingin, Mas Rangga," ucapnya, masih dengan wajah pucat.
Setelah mengetahui keinginan masing-masing orang, Rangga segera meluncur ke tempat mesin penjual minuman otomatis yang ia maksud. Kasihan juga Pak Made harus mengeluarkan banyak energi.
Tapi jika Prof. Habibie benar-benar bisa menganalisanya, jasa Pak Made sungguh luar biasa. Rangga yakin usaha mereka hari ini tidak akan sia-sia. Semoga Prof. Habibie bisa segera mengetahui apa yang sebenarnya terjadi dalam tubuh Pak Made sehingga orang itu mampu mengeluarkan listrik.
"Jus apel, air dingin, mungkin Pak Made butuh tambahan minuman isotonik juga. Sementara aku ingin minuman berdosa eh... berdosa," sahut Rangga di depan mesin minuman.
Untung mesin minumannya sudah tidak minta koin lagi, tapi bisa menggunakan uang lembaran. Jadi Rangga bisa menyelesaikan transaksinya dengan mudah.
Ketika kembali, Prof. Habibie terlihat sudah tidak sibuk dengan monitornya. Ia malah sedang berbincang dengan Pak Made yang nampaknya sudah lebih baikan.
"Minuman datang," sahut Rangga sembari membagi-bagikan pesanan. "Tambahan buat Pak Made biar gak lemes. Atau kalau perlu sebentar lagi kita cari makan dulu baru melanjutkan analisanya lagi."
"Kau mujur. Aku sudah mendapatkan hasilnya," sela Prof. Habibie, berbangga diri.
"Benarkah?" tanya Rangga sembari membulatkan matanya, kaget. Begitu cepat, Prof. Habibie sungguh seorang genius.
Prof. Habibie mengangguk. "Aku sudah tahu alirannya. Jadi untuk mengeluarkan setruman hanya energi ion plus saja yang bergerak dari kaki mengalir ke tubuh ke tangan. Seluruhnya plus, bukan plus dan minus seperti dugaan awal."
"Jadi semuanya plus," ucap Rangga sembari mengangguk-angguk.
"Benar. Sekarang kita bersantai dulu."
Mereka semua duduk dan minum minuman yang dibawa Rangga. Prof. Habibie menanyakan keadaan Pak Made yang dijawab bahwa dia sudah baikan. Baguslah semuanya bisa berjalan dengan lancar.
Hanya kurang satu. Tinggal Rangga mencoba energi plus dalam tubuhnya dan merasakan kekuatannya muncul. Ia mencobanya, bukankah tujuan dari seluruh penelitian ini adalah menjajal kemampuannya?
Setelah menarik napas panjang, Rangga mulai berkonsentrasi. Plus dengan ion plus, maka akan terjadi ledakan.
Dia bisa merasakan aliran dalam tubuhnya. Ion plus dengan ion plus, pikirnya dalam kepala. Plus dengan plus. Ulangnya lagi.
Mendadak listrik di sana menjadi tidak stabil dan lampu-lampu di ruangan pecah. Prof. Habibie dan Pak Made berlindung ke bawah meja untuk menghindari serpihan lampu.
"Rangga! Siapa yang menyuruhmu mempraktekkannya di sini?" geram Prof. Habibie memprotes.
"Maaf, professor. Aku tidak tahu kalau aku akan berhasil ketika mencoba. Kupikir akan gagal dulu atau butuh waktu," sahut Rangga panik melihat lampu-lampu di laboratorium Universitas Bajo pecah.
"Aku tidak mau tahu. Pokoknya kau harus mengganti kerusakan di sini!" serunya lagi.
Kerusakan yang disebabkan Rangga cukup parah. Seluruh jaringan listrik di gedung laboratorium rusak, juga beberapa lampu di ruangan laboratorium. Ternyata impaknya tidak hanya di ruangan tempat penelitian dan penemuan Prof. Habibie, tapi merembet keruangan lain.
Yang paling menyedihkan, alat pendeteksi laju listrik dalam tubuh milik Prof. Habibie ikutan rusak. Mungkin karena waktu mencoba Rangga berada di dekatnya. Ia sangat tidak enak.
Prof. Habibie meminta maaf ke pihak universitas. Ia menjelaskan bahwa sudah terjadi kecelakaan percobaan yang menyebabkan kerusakan listrik dan pecahnya lampu-lampu dan orang yang bertanggung jawab atas insiden ini akan melakukan ganti rugi.
"Prof. maaf alatmu jadi rusak," kata Rangga, menyesal.
"Sudahlah. Mau diapakan lagi juga sudah rusak. Mungkin sudah saatnya aku membuat alat yang baru, yang lebih canggih," balas Prof. Habibie. "Lain kali dengarkan perintahku dulu, jangan asal main coba."
Rangga sudah menyelesaikan proses ganti rugi dan sekarang mereka sudah kembali ke rumah. Pak Made izin buat istirahat di kamarnya sementara Rangga bersama Prof. Habibie ada di ruang televisi tanpa menyalakan televisi.
Alat-alat yang dipesan Rangga semalam sudah datang. Prof. Habibie terlihat senang dengan segala materi yang didapatkannya dari Rangga. Mungkin ia sudah punya gambaran untuk membuat alat baru.
"Iya, professor. Aku salah. Untung kekuatanku tidak mengenai kalian. Kalian bisa terluka karena keteledoranku," kata Rangga lagi.
"Jadi apa yang akan kau lakukan setelah ini?"
"Aku akan ke Jakarta dan menghentikan wanita itu. Aku tidak ingin ada kekacauan, meski sebenarnya sekarang sudah cukup kacau karena pastinya masyarakat bertanya-tanya siapa wanita gila yang berani mengultimatum presiden supaya menyerahkan jabatannya."
"Wanita yang menyebalkan," komentar Prof. Habibie.
"Lebih menyebalkan lagi karena dia sudah menipuku dan memanipulasiku untuk mencuri topeng Calon Arang. Tapi aku akan membereskan kekacauan yang sedikit banyak sudah kubuat."
Prof. Habibie membenahi kacamatanya. "Jadi kau akan berangkat kapan?"
"Sore ini juga," jawab Rangga, mantap.
"Semoga berhasil, nak. Kadang aku merasa khawatir ketika kau berkelahi di luar sana. Kita tidak pernah tahu jika mendadak kau kena serangan yang tidak bisa ditahan Bio Body Armor-mu atau membuatnya lemah," ucap Prof. Habibie sungguh-sungguh.
"Aku akan berhati-hati," janji Rangga. "Sebelum ke Jakarta, aku akan pulang ke rumah sebentar."
Sore itu juga Rangga berangkat ke Jakarta. Pak Made berkata sudah berani naik pesawat sendiri.
"Sudah pernah, kurang lebih sama kan caranya. Saya pasti bisa melakukannya! Apalagi perjalanan menggunakan pesawat lebih cepat. Saya jadi lebih cepat berkumpul kembali dengan anak istri," sahutnya menjawab perihal kepulangannya ke Bali.
Sebenarnya mereka akan melakukan check in bersama. Ruang tunggunya juga sama karena Bandara Labuan Bajo tidak terlalu besar.
"Aku benar kan? Bapak pasti ketagihan naik pesawat," kekeh Rangga.
Pak Made mengangguk. "Terima kasih sudah memberi pengalaman baru buat saya."
"Terima kasih juga atas bantuan bapak," kata Rangga sembari menjabat tangan Pak Made.
"Mas Rangga, hati-hati ya. Saya bisa merasakan kekuatan Mas Rangga, waktu pertama kali saya menyetrum, Mas Rangga tidak terlihat sakit. Itu tandanya kau bukan orang biasa. Saya harap Mas Rangga bisa menghadapi dan mengalahkan musuh yang membuatmu harus belajar laju listrik dalam tubuh."
“Oh ya, nama ajian itu Panglebur Jagad” kata Pak Made.
"Hmm… nama ajian yang mengerikan. Ok Pak Made, hati-hati di jalan. Salam buat keluarga di Bali, Pak!" sahut Rangga sembari melambaikan tangan dan beranjak dari tempat duduknya. Ia harus naik ke pesawat dan meninggalkan Pak Made di ruang tunggu.
"Semoga kita bisa bertemu lagi," balas Pak Made, tersenyum.
*
Chapter 18
Petang itu. Jakarta terlihat mulai menunjukkan kegemerlapannya. Lampu-lampu dari gedung-gedung bertingkat, lampu-lampu dari mobil-mobil yang berlalu lalang, terlihat layaknya jutaan kunang-kunang kecil.
Orang Jakarta selalu punya alasan untuk membawa mobilnya ke jalanan, tidak peduli jalanan macet, tetap di-lakoni.
*
"Kota ini memang tidak pernah tidur. Biar jam tiga pagi, tetap ada yang beraktivitas dan berkeliaran di jalanan. Entah apa yang sebenarnya mereka kerjakan," sahut Selo sembari memandangi kota dari balik jendela.
"Aku tahu sebenarnya bukan itu yang sedang kau pikirkan, Selo," sahut seorang pria.
"Kau memahamiku dengan baik, Bodas," kata Selo, namun tidak ada senyuman di wajahnya.
"Jadi apakah kau sudah menemukan jalan keluarnya?" sahut Maung Bodas sembari duduk di salah satu bangku di sana.
Selo mengikuti temannya buat duduk. Mungkin duduk bisa membuatnya berpikir dengan lebih santai. Mungkin juga tidak. Semuanya mendadak buram dan ia khawatir dengan masa depan Indonesia.
"Aku tidak yakin kita bisa mengalahkannya," kata Selo setelah terdiam karena sibuk dengan pikirannya.
"Hei! Kau tidak sendirian. Ada aku juga anakku. Kau tidak berpikir kami hanya akan menonton kan?" ledek Maung Bodas.
"Aku tahu kau memang teman yang baik. Tapi aku tetap tidak yakin. Rasanya masih kurang karena aku tahu kekuatan Calon Arang tidaklah selemah yang kau bayangkan."
"Calon Arang yang terhormat. Aku masih tidak mengerti mengapa gadis itu berhasil mendapatkannya. Sungguh sial benda seperti itu harus berada di tangan orang jahat."
"Aku tidak tahu bagaimana, tapi yang jelas wanita itu culas. Aku bisa merasakannya. Firasat, meski seseorang mengatakan padaku firasat adalah hal yang tidak logis," lanjut Selo.
Maung Bodas tertawa. "Kau masih bicara firasat? Firasat memang tidak logis! Firasat kadang benar, kadang salah. Ngomong-ngomong siapa yang mengatakan hal itu padamu?"
"Rangga," sahut Selo pendek.
"Oh si Rangga yang setengah bule itu," celetuk Maung Bodas.
"Kau kenal juga?" tanya Selo terkejut.
Maung Bodas mengangguk. "Waktu itu aku bertemu di dermaga. Katanya umurku sekitar empat puluhan. Bukankah itu bagus? Kemudian sebelum pergi aku memanggil dengan namanya."
"Kau usil sekali. Dia pasti binggung kenapa ada orang yang baru ditemuinya bisa tahu namanya. Aku yakin kau tidak berkenalan," timpal Selo membayangkan kejadian yang diceritakan temannya.
"Pastinya. Tapi membahas soal Rangga memberiku ide buat mengajaknya masuk ke tim kita. Bagaimanapun kita harus menolong, tapi tantangannya tidak terlihat oleh masyarakat umum," kata Maung Bodas memberikan usulan.
"Menolong secara diam-diam," sahut Selo sembari mengangguk.
*
Rangga mengetuk-ngetukkan jarinya dengan tidak sabar. Ia tidak tahu apa Cleopatra sungguhan mewujudkan omongannya atau itu hanya gertakan. Tapi mestinya sungguhan. Satu televisi swasta sudah di bajaknya dan kini tidak beroperasi.
Itu artinya dia telah membantai orang-orang di sana. Jujur saja, tindakannya benar-benar sinting. Langsung merebut tahta presiden dari yang menempatinya langsung. Pantas ia tidak berencana menyerang Selo saat berkampanye di Bali.
Selo belum tentu menang pemilu. Tapi presiden yang sekarang menjabat jelas-jelas memiliki kekuatan presiden. Segala keputusan negara ada di tangannya. Sangat, sangat licik.
Ia tengah berjalan-jalan di sekitar hotelnya. Jakarta tidak nyaman buat pejalan kaki. Trotoar kadang ada, kadang tidak. Kadang sangat kecil dan di sebelah nya terdapat seng-seng berdiri berjajar terkadang miring untuk menutupi pembangunan gedung.
Rangga mendongak, benar dugaannya, satu gedung bertingkat tengah di bangun. Selalu ke atas karena lahan sudah sangat mahal harganya. Jakarta sudah menjadi metropolitan tempat orang atas, menengah, dan bawah mencari penghasilan buat menyambung hidup.
Mendadak Rangga sensing rangga yang peka merasakan goncangan. Ia kembali mendongak dan melihat ikatan crane yang mengangkat bahan bangunan hampir lepas. Ia tidak punya banyak waktu.
Tanpa memikirkan ada yang memerhatikan atau tidak, Rangga segera melompat tinggi sembari berganti kostum Komodo. Segalanya terjadi begitu cepat.
Dalam kerjapan mata, Rangga sudah menangkap bahan bangunan yang jatuh itu.
Spontan orang-orang bersorak-sorai.
"Aku tidak percaya, Komodo ada di Jakarta!" teriak salah seorang pekerja.
"Komodo! Komodo! Komodo!" sontak orang-orang menyerukan nama pahlawan yang telah menghindarkan mereka dari celaka.
"Tetap selamat!" sahut Rangga, kemudian ia melompat tinggi dan tidak berada di sana lagi.
Rasanya kasihan juga melihat orang-orang yang harus bekerja hingga larut, meninggalkan keluarga demi uang. Tapi itu hidup, hidup bagi orang-orang yang ekonominya masih belum cukup baik.
Rangga kembali ke hotelnya dan melihat ponselnya bergetar. Mungkin itu Mala. Ia belum memberitahu kekasihnya kalau dia sedang berada di ibu kota.
Begitu mengangkat ponselnya, ia terhenti dan mengernyitkan dahi. Nomor tidak dikenal. Relasi bisnis kah? Atau klien lainnya? Tapi sekarang ia sedang memilih untuk tidak mendapat klien. Ia harus fokus mengalahkan Cleopatra.
Tidak mungkin orang dari perusahaan kartu kredit kan ya? Sekarang kan sudah lewat jam kerja. Dari pada penasaran, Rangga memutuskan buat menerimanya.
"Rangga!" suara yang familiar muncul begitu ia mengonfirmasi sambungnya.
"Mala, nomor siapa ini?" sahut Rangga kaget.
"Nomorku. Baru. Aku baru kecopetan. Pengurusan kartu yang lama baru bisa besok saat jam kerja. Aku menghubungimu supaya kau tidak binggung kalau nomorku yang biasanya tidak tersambung," jelasnya, panjang-lebar.
"Terima kasih sudah memberitahuku nomor barumu. Kau benar, aku pasti akan sangat kebingungan kalau tidak bisa menghubungimu," kata Rangga.
"Aku merindukanmu, bagaimana kalau besok kita makan malam bersama?" ajak Mala, riang.
"Makan malam? Ah! Mala aku sedang di Jakarta. Kita bisa kencan setelah aku pulang," jawab Rangga.
"Jakarta? Astaga Rangga, apa yang sedang kau lakukan di sana? Aku mendengar ada orang gila yang mengancam presiden, sepanjang hari ini orang-orang terus mengatakannya. Aku tidak yakin Jakarta dalam kondisi aman. Kau pulang saja ke Flores," rengek Mala, khawatir.
Seandainya ia bisa bersantai di Flores. Tapi tidak. Kasus Cleopatra adalah kesalahannya. Ia terlibat, ia harus menyelesaikan. Mala tidak tahu posisinya. Sama seperti ia tidak tahu kalau kekasihnya adalah Komodo.
"Tenang aku akan menjaga diri. Aku bisa bela diri, waktu sekolah dulu sempat belajar," tolak Rangga.
"Tapi Rangga...."
"Mala. Aku akan baik-baik saja. OK?" sela Rangga.
"Aku tidak mengerti mengapa kau harus ke sana."
"Aku ada sedikit keperluan," jawab Rangga tidak menyebutkan tujuannya.
Mala terdengar menghela napas panjang. "Baiklah. Aku tidak bisa mengaturmu. Jadi kapan kau akan pulang ke Sepang?"
Kapan Rangga akan pulang? Dia sendiri tidak tahu. Tapi selama Cleopatra ada di Jakarta, ia tidak mungkin pulang ke Sepang.
"Mungkin seminggu atau dua minggu. Kalau urusanku bisa selesai lebih cepat, aku pasti akan segera menemuimu," jawab Rangga tanpa mampu memberi kepastian kaena ia sendiri tidak tahu.
"Sering-seringlah menghubungiku. Aku ingin tahu kalau kau benar dalam keadaan baik-baik saja," tuntut Mala.
"Tidak masalah. Aku akan sering meneleponmu," ujar Rangga, mantap.
"Bagus, kalau begitu aku bisa lebih tenang. Aku mencintaimu."
"Aku mencintaimu."
Biar Rangga tidak menceritakan keadaannya yang sebenarnya, tidak berarti ia tidak menyayangi Mala. Ada beberapa rahasia yang tidak ingin dibagi. Mungkin suatu saat akan dibuka, tapi tidak sekarang. Itu pilihan.
Ia baru saja hendak meletakkan ponselnya ketika nomor asing lain muncul di layarnya.
"Tidak mungkin Mala mengerjaiku dengan membeli banyak nomor kan?" tanyanya pada diri sendiri.
Ragu, namun akhirnya ia memilih buat menerimanya.
"Halo?"
"Halo dengan Bapak Rangga?" sahut orang dari seberang sambungan.
"Ya, benar. Dengan siapa saya bicara?"
"Saya penanggung jawab keselamatan Pak Selo. Waktu di Bali Pak Rangga sempat bekerja untuk Pak Selo maka dari itu saya memiliki data Pak Rangga," terang orang itu.
"Oh ya, ada apa ya, Pak?" tanya Rangga sembari memindahkan ponselnya dari telinga kiri ke telinga kanan.
"Kami perlu bantuan Pak Rangga. Kalau tidak keberatan, besok Pak Rangga terbang ke Jakarta," sahut orang itu menyampaikan maksudnya.
"Kebetulan saya sudah di Jakarta, pak," ujar Rangga memberi tahu.
"Wah! Bagus sekali. Kalau begitu apa malam ini juga Pak Rangga bisa bertemu dengan Pak Selo?"
"Ada apa ya pak? Nampaknya sangat mendesak."
"Lebih baik tidak membicarakannya di telepon. Jadi apa Pak Rangga bisa segera datang?"
Rangga menimbang-nimbang. Selo ingin menemuinya, ia tidak boleh menolak.
"Tentu. Saya akan datang malam ini. Boleh tahu ke mana saya harus datang?"
Berikutnya si penelepon memberitahu tempat di mana Selo berada. Rangga bergegas mengambil pinsil dan kertas yang ada di meja hotelnya, dan menuliskan alamatnya.
Mereka ternyata ada di hotel yang berada tidak jauh dari istana. Apakah itu berarti Selo menginginkan Rangga buat membantunya menyelamatkan presiden?
Tapi untuk apa? Selo tentunya tidak memiliki kepentingan dengan keselamatan presiden. Mungkin orang itu butuh tambahan orang buat menjaganya, seperti dalam masa kampanye. Itu alasan yang paling masuk akal.
Rangga segera merapikan diri dan berangkat ke tempat yang sudah diberitahukan oleh si penelepon. Mereka rencananya akan bertemu di area restoran hotel.
Selo sendiri yang muncul di hadapan Rangga. Penjagaan yang ketat layaknya masa kampanye sudah tidak ada lagi. Tetap ada pengawal namun hanya satu orang dan berdiri agak jauh dari Selo. Rangga tidak tahu apakah penjaga itu yang tadi meneleponnya atau orang lain.
"Rangga, senang sekali kita dapat bertemu kembali. Pasti kau belum sempat makan malam, ayo makan malam bersama," sambut Selo.
Rangga tidak menyangka bisa langsung bertemu Selo. Tidak dipersulit seperti ketika ia di Bali. Tapi ini karena keadaannya berbeda. Selo yang meminta Rangga datang, sementara sebelumnya Rangga yang tidak dikenal, memaksa buat bertemu Selo.
"Ah! Bapak tahu saja kalau saya lapar," sahut Rangga sembari tersenyum. Ia memang belum makan malam karena buru-buru kemari.
"Mari ke meja dulu," katanya misterius.
Perut Rangga yang sudah keroncongan itu pun berbunyi. Jadi harus ada ramah tamah sebentar sebelum makan. Untung suara musik di restoran ini mampu menyamarkan bunyi perutnya.
Restoran ini sepi. Hanya ada beberapa orang, itu pun duduknya saling berjauhan. Begitulah restoran hotel. Biasanya lebih ramai di pagi hari karena ada kupon untuk sarapan gratis. Namun untuk makan siang dan malam tidak disediakan.
Dekorasinya bagus, serasa berada di dekat pantai. Terlebih adanya taman terbuka yang menjadi pemandangan restoran. Beberapa pohon kelapa dipadu dengan indahnya kolam air mancur. Kolamnya cukup luas dan ada yang berbeda tingkatan tingginya.
Kemudian mata Rangga tertuju pada meja yang ditunjuk Selo. Ia melihat sudah ada dua orang yang duduk di sana. Seorang pria dan seorang gadis.
"Bapak itu...."
"Ayo Rangga, aku tahu kau senang bisa berjumpa kembali dengan Maung Bodas!"
Maung Bodas, pikir Rangga. Jadi itu namanya. Nama pria yang sudah mengerjaiku dengan meninggalkan setumpuk misteri mengenai dirinya ternyata kawan dari Selo Adimulyo.
"Rangga!" seru Maung Bodas dengan suaranya yang berat, wajah berewokan dengan cukuran tipis yang khas. Ia melambai-lambaikan tangannya dengan bersemangat.
"Itu dia orang yang tadi meneleponmu," sahut Selo memberitahu.
Rangga tertawa. "Maung Bodas! Sekarang aku tahu namamu. Posisi kita sudah seimbang sekarang!"
Mereka berjabat tangan.
"Jangan terlalu yakin kita sudah seimbang," katanya tergelak.
"Kenalkan putriku, Maung Geulis!"
Rangga kembali bersalaman, kali ini dengan orang yang baru ditemuinya.
"Coba tebak berapa umurnya!"
Si Maung Bodas ini sungguh suka tebak-tebakkan umur rupanya. Dulu waktu di dermaga ia juga meminta Rangga menebak umurnya.
"Hmm... Dua puluh tahun?"
"Saya sedang berstatus sebagai mahasiswa. Perkiraan yang benar secara mata dan status, tapi kadang hidup bisa memberimu lebih dari apa yang kau perkirakan," balasnya sembari tersenyum.
Ah! Benar-benar ayah dan anak yang misterius, kata Rangga dalam kepalanya.
"Ayo kita ambil makanan dulu baru melanjutkan obrolannya," sahut Selo menawarkan.
Asiknya makan di hotel, pilihannya banyak dan bahan-bahannya juga tidak menipu. Misal hot chocolate ya benar-benar dari coklat. Bukan bubuk minuman rasa coklat kemudian disajikan encer.
Rangga segera mengambil berbagai jenis bacon di hadapannya juga sosis dengan agak kalap. Ia benar-benar kelaparan setelah perjalanan dari Labuan Bajo ke mari. Padahal menggunakan pesawat. Tentu saja pesawat kelas ekonomi yang memang tidak memberikan makanan dan minuman.
"Jangan lupa buah dan sayur juga Rangga," tegur Selo.
"Tenang, Pak. Saya biasa ambil beberapa piring dulu baru makan," cengir Rangga.
"Untung kau tinggi, jadi makan banyak sekalipun tidak terlihat gendut," celetuk Maung Bodas.
Rangga tertawa.
Senang rasanya berada di antara orang-orang ini. Sama seperti ia berkumpul dengan Prof. Habibie, ayahnya, atau Mala. Rangga merasa diterima dan nyaman.
Rangga tidak main-main dengan ucapannya. Ia sudah mengambil semangkuk salad buah dan sayur, makanan berat yang didominasi bacon dan telur juga dua buah puding coklat.
"Aku senang melihat orang dengan nafsu makan sepertimu, nak," gelak Maung Bodas.
"Dia senang karena ada yang menemaninya makan banyak," terang Selo.
"Kita bisa menghabis-habiskan sajian di sini dan membiarkan Selo yang membayar."
"Tentu saja aku, kau kan pelit," sahut Selo, menggoda temannya.
"Kau tahu aku sudah bekerja Selo. Aku bekerja di beberapa pelabuhan beberapa tahun terakhir dan malah selalu dipecat karena pekerjaanku yang terlalu bagus. Mereka tidak mau membayarku tinggi," gerutu Maung Bodas.
"Kau tahu aku sudah berpindah-pindah. Dari Jakarta ke Semarang ke Surabaya ke Bali hingga Flores?" Maung Bodas menoleh ke arah Rangga, "Si Tomi rajin ya kerjanya."
"Begitulah," sahut Rangga sembari menusuk saladnya. Orang yang pernah diceritakan Tomi dulu, yang cepat kerjanya seperti Rangga, adalah Maung Bodas. Betapa kecilnya dunia, orang-orang saling mengenal.
"Kau bahkan sebenarnya tidak perlu benar-benar bekerja. Aku tahu tabunganmu banyak," ledek Selo.
"Ah! Tidak Selo, aku hanya seorang pria berumur empat puluhan yang sederhana," cibir Maung Bodas.
"Apakah itu benar? Empat puluh?" sahut Rangga yang mulai menumpuk piring dan mangkuknya yang sudah kosong.
"Menurutmu?" ujar Maung Bodas mengembalikan pertanyaan Rangga.
"Ribuan tahun," goda Rangga sama seperti ketika mereka di pelabuhan sebelumnya.
"Ah! Rangga, aku tidak setua itu. Masih lebih tua Selo dari pada aku dan itu benar."
Rangga menatap Selo dengan pandangan bertanya. Ia tidak tahu apakah kata-kata Maung Bodas hanya bercandaan saja atau memang serius. Mungkinkah serius?
"Sebaiknya kita selesaikan makan segera dan ngobrol di atas. Rangga, apa kau bisa pindah kemari? Aku menyewa ruangan dengan tiga kamar. Seperti apartemen, kalau kau ingin tahu," ujarnya menceritakan.
"Tentu aku akan pindah kemari, Pak," jawab Rangga, mantap.
"Bagus, mari segera menyelesaikan makan malam ini."
*
Sesuai perintah, Rangga langsung melakukan check out dari hotel yang sebelumnya sudah di sewanya. Ia mengambil tas pakaiannya dan segera kembali ke hotel tempat Selo berada.
Sebenarnya hotel mereka tidak terpaut jauh, hanya saja dari hotel Selo, mereka bisa melihat langsung istana kepresidenan. Sungguh tempat yang sangat strategis untuk mengawasi istana, itu kalau tebakannya benar.
Sembari membawa tas berisi barang-barangnya, Rangga mencari-cari nomor kamar dari koridor. Ternyata letaknya tidak jauh dari lift. Cukup keluar dari lift, ambil kanan, kemudian ke kanan lagi.
Sampai di depan nya, Rangga mengetuk pintu dan segera dibukakan oleh Maung Geulis.
"Selamat datang kembali, Rangga," ujarnya sembari melirik ke kopor bawaan Rangga.
"Kami baru saja membersihkan diri. Kamarmu yang paling besar Rangga. Aku tidak suka ruangan yang terlalu luas. Maung Geulis sudah membuatkan kita semua teh. Kuharap kau segera bergabung dengan kami setelah selesai dengan barang-barangmu," sahut Selo tenang. Ia tetap saja menggunakan setelan jas meski sudah berada di hotel.
Rangga menuju kamar yang dimaksud. Jujur ia baru mencoba hotel seperti ini. Begitu masuk langsung ada pantry juga tempat duduk yang nyaman untuk beberapa orang. Kamarnya ada tiga di mana masing-masing kamar memiliki toilet pribadi.
Yang paling unik, terdapat kamar pakaian yang cukup luas yang sebenarnya bisa digunakan untuk kamar yang lain. Sungguh ruangan yang besar.
Meskipun begitu, Rangga sudah tidak melihat penjaga Selo. Entah ke mana perginya, mungkin Selo sudah mengizinkannya buat beristirahat berhubung sekarang sudah malam.
Selesai berganti pakaian yang lebih casual, Rangga bergabung di ruang duduk. Ia tahu pembicaraan yang penting baru akan dimulai sekarang.
"Bagus sekarang kita sudah lengkap," sahut Maung Bodas.
"Duduklah Rangga. Aku ingin kau menyimak dengan jelas. Tujuan kami mengundangmu kemari adalah karena kami membutuhkan bantuanmu."
"Kenapa kau butuh bantuanku? Bukankah kau sudah memiliki pengawal yang banyak?"
"Karena pengawalku tidak memiliki kekuatan sebesar milikmu. Kami tahu kau memiliki kekuatan tersembunyi."
"Haaaaaah?" Rangga tidak mampu menyembunyikan rasa terkejutnya.
"Klik!"
Maung Bodas tidak melewatkan moment ini. Ia sudah menyiapkan ponselnya dan memfoto wajah jelek Rangga.
"Maung kau bercanda mulu," tegur Selo.
"Ekspresinya itu Selo, sangat berharga," kekeh Maung Bodas sembari memandangi gambar yang baru saja diambilnya. Tidak peduli kalau sebenarnya Selo sedang sangat serius sekarang.
"Ke-kenapa Anda bicara seperti itu?" tanya Rangga, was-was. Ia mencoba tidak memedulikan kelakukan usil Maung Bodas.
Maung Geulis hanya menyesap tehnya. Sudah terbiasa dengan kelakuan ayahnya itu.
"Karena kami pun memiliki kekuatan dengan keunikan masing-masing sehingga bisa merasakan kekuatanmu, semacam sensing energy," jelas Selo.
Sepertinya mereka tidak perlu basa-basi lagi. Jadi Rangga langsung bertanya. "OK. Kekuatan apa yang kalian miliki?"
"Baiklah mulai dari saya dulu. Pernah dengar legenda Ki Ageng Sela penangkap petir?"
Iya, naskah-naskah tua, yang dipercaya sebagian Masyarakat Jawa. Orang bilang dia berkaitan dengan Mataram. Kudengar Masyarakat Jawa yang bunyi petir akan segera mengatakan bahwa dirinya adalah cucunya Ki Ageng Sela, agar petir tidak menyambarnya.
"Tapi itu itu hanya legenda, bukan cerita sesungguhnya," imbuh Rangga.
"Kadang-kadang apa yang dikatakan legenda merupakan cerita yang sesungguhnya. Seperti ketika mendengar cerita peri, bukan berarti peri itu tidak ada. hanya karena belum melihatnya kau menganggapnya tidak ada," jelas Selo.
"OK. Sekarang mana petir yang telah kau tangkap?" tuntut Rangga.
"Nah! Kadang-kadang dalam suatu legenda ada yang luput. Dalam legenda disebutkan menangkap, sebenarnya bukan menangkap, tapi mengeluarkan petir," cerita Selo. Dengan santai ia mengeluarkan petir kecil dari ujung jarinya.
Rangga benggong. Ternyata Selo Adimulyo adalah Ki Ageng Sela dari zaman Mataram? Bagaimana hal seperti ini eksis di muka bumi?
Untuk memutus bengongnya Rangga, Maung Bodas berkata, "Sekarang giliranku!"
"Aku ini andal dalam angkat mengangkat barang, lari cepat, dan tentu saja cakar. Tapi tentunya aku tidak akan menunjukannya di sini. Maung Geulis punya kekuatan yang sama denganku. Sekarang kekuatanmu apa?
Rangga benggong. Kekuatannya apa? "Tidak tahu. Aku hanya kebal seperti tidak mempan peluru. Tapi selebihnya.... tidak ada."
Rangga sekarang tahu. Maung Geulis sebenarnya juga bukan gadis berumur dua puluhan sesuai dengan tampilannya. Ia pasti berumur ratusan tahun seperti ayahnya. Hanya saja di mana istri dari Maung Bodas berada? Mungkinkah ibu dari Maung Geulis hanyalah wanita biasa tanpa keanehan?
"Kekuatan yang bersifat menyerang?" tanya Maung Bodas penuh harap.
Rangga menggeleng. Bingung.
Selo dan Bodas berpandangan. Mereka sudah bisa merasakan energi kekuatan rangga. Energi besar yang terpancar. Yang mereka heran, Rangga belum bisa mengoptimalkan kekuatannya. Apa yang dilakukannya selama ini menurut mereka masih biasa-biasa saja, belum dahsyat.
"Nak, jadi sebenarnya kita ingin membantu presiden sekarang supaya lepas dari masalahnya, tapi secara diam-diam. Musuh kita adalah Cleopatra. Kami harap kau bisa membantu kami," ujar Maung Bodas menyatakan tujuannya.
"Tentu aku akan membantu!" jawab Rangga mantap.
Selo bangkit dari tempat duduknya. "Baiklah nanti kita akan cari tahu kekuatanmu. Tetapi yang paling penting adalah bagaimana mencegah Cleo. Kuharap Indonesia tidak porak-poranda karena seorang wanita yang sangat haus akan kekuasaan."
"Lebih baik sekarang kita tidur dan segera bangun pagi-pagi. Mungkin Cleopatra akan menyerang pada jam yang sama seperti ketika ia membajak televisi. Ia suka berita pagi sepertinya."
"Berarti sekitar pukul tujuh atau delapan pagi. Tapi itu hanya perkiraan. Coba kita bangun subuh untuk berjaga-jaga," usul Selo.
"Kau benar, sobat! Mari semuanya mengumpulkan energi. Besok akan jadi hari yang berat!" sahut Maung Bodas sembari memperlihatkan otot-otot tangannya.
bersambung....
Cerbung ini ada di majalah AN1MAGINE Volume 2 Nomor 8 Agustus 2017 eMagazine Art and Science yang dapat di-download gratis di Play Store, share yaa
“Menerbitkan buku, komik, novel, buku teks atau
buku ajar, riset atau penelitian di jurnal? An1mage jawabnya”
AN1MAGINE: Enlightening Open Mind Generations
AN1MAGE: Inspiring Creation Mind Enlightening
website an1mage.net www.an1mage.org
Comments
Post a Comment