CERPEN: SI UMUR PANJANG DAN SI PANJANG UMUR
SI PANJANG UMUR
Archana Universa
Anak kecil itu meniup lilin dengan bentuk angka sembilan di atas kue yang penuh dengan stroberi di atasnya. Begitu lilinnya padam, orang-orang di sekitarnya bertepuk tangan.
Tumpukan kado menjadi gundukan kecil di meja lain di sebelah meja kuenya.
Hari ini aku bertanya-tanya, sudah berapa lama sejak aku merayakan ulang tahun.
Tidak, aku tidak merayakan ulang tahunku.
Sama seperti aku tidak merayakan tahun baru. Pengulangan yang sama, aku tidak merasakan adanya hal menarik untuk merayakannya lagi dan lagi.
Apalagi untuk ukuran makhluk sepertiku, setahun di Bumi amatlah singkat. Orang-orang juga cepat menua, tidak seperti aku.
“Apa kau sendirian saja, nak?”
Aku mendongak dan mendapati ibu anak yang berulang tahun itu menghampiriku dengan sepotong kue.
“Buatmu,” katanya sembari tersenyum.
“Terima kasih banyak,” balasku, tanpa senyum.
Aku memang jarang tersenyum. Bukan karena aku tidak bahagia, aku hanya tidak melakukannya sama seperti aku tidak merayakan ulang tahunku.
“Sendirian?” ibu itu mengulang pertanyaannya.
Aku menyeringai.
Seribu persen aku yakin lebih tua dari ibu di hadapanku. Hanya saja untuk manusia, aku terlihat seperti anak laki-laki berumur sebelas atau dua belas tahun.
“Kakakku sedang membeli buku, dia memintaku menunggu di sini,” ujarku.
Tentu saja bohong, aku tidak punya kakak di Bumi. Kakakku baru kembali ke planet asal kami dan baru akan kembali bulan depan.
Setidaknya kakakku bernasib lebih mujur jika ke bumi. Ia terlihat seperti anak remaja usia delapan belas tahun meski umurnya sudah 21.600 tahun lebih.
Cara menghitung makhluk seperti kami sebenarnya mudah.
Tinggal mengalikan umur penampilan manusia yang kami miliki dengan 1200 tahun, itulah umur kami.
Jadi umurku sudah lewat dari 14.000 tahun menurut penghitungan versi bumi.
Tapi bukan berarti kami terlalu lama menghabiskan waktu dalam wujud bayi seperti manusia Bumi.
Hanya butuh waktu sekitar enam bulan sebelum kami memiliki fisik bocah umur lima tahunan Bumi. Di usia dua tahun, fisik kami seperti anak-anak sepuluh tahun usia bumi.
Baru setelah 12.000 tahun, penampilan fisik kami baru berubah seperti lebih tua setahun dalam kurun waktu 1200 tahun. Kurang lebih seperti itu.
Meski aku sudah hidup lama, bukan berarti juga aku sudah di bumi selama 14.000 tahun. Aku tidak lahir di sini. Belum lama tinggal di sini.
“Kau boleh ikutan pestanya supaya gak boring,” ajak si ibu lagi.
Ikutan pesta anak berusia sembilan tahun? Seribu persen nggak tertarik.
Tapi aku kali ini memaksakan senyum.
“Terima kasih atas kuenya.”
“Jangan sungkan,” angguk si ibu sembari kembali ke tempat anaknya berada.
Aku menyendok kue dengan potongan stroberi itu. Rasanya lumayan. Mirip buah di tempat asalku. Hanya saja warnanya tidak merah seperti di bumi. Warnanya biru.
Sudah tiga bulan di sini, jadi aku cukup tau buah yang rasanya enak, juga yang tidak enak.
Pepaya dan pisang benar-benar rasanya aneh, aku sampai muntah waktu mencobanya. Stroberi dan anggur jadi buah favoritku di sini.
“Aku baru liat ada anak cowok yang terang-terangan suka stroberi,” cerocos anak yang baru saja duduk di seberangku.
Si anak yang berulang tahun.
“Memangnya kenapa? Rasanya enak kok,” ujarku setelah menelan kue yang ada di mulut.
“Yah... kebanyakan mikir itu buah khusus cewek,” jawab anak itu sembari mengangkat bahu.
“Masa makan buah saja perlu ada diskriminasi berdasar jenis kelamin,” balasku sembari kembali menyedokkan kue itu ke mulut.
“Aku setuju soal itu. Tapi aku tidak setuju sikapmu. Kau makan kue ulang tahunku, tapi tidak memberiku selamat!”
Aku membulatkan mata. Benar juga. Pasti aku terkesan tidak sopan sekarang.
Kuulurkan tanganku. “Selamat ulang tahun.”
Bukannya menerima uluran tanganku, anak itu malah menepisnya.
“Santai aja,” kekehnya.
Aku mengernyit. Kurasa anak ini agak aneh. Tapi harusnya aku yang lebih aneh, bukan? Kan yang alien itu aku, bukannya dia.
“Kenapa kau kemari, tidak bergabung dengan teman-temanmu?” sahutku diantara kunyahan kue.
Aku bicara sembari menjaga agar makanan di mulutku tidak menyembur keluar.
“Aku mengganggumu ya?” tanyanya dengan nada tersinggung.
Dasar ABG labil, pikirku. Gampang bener marah.
“Kan cuman nanya,” jawabku, tetap tenang.
Anak yang berulang tahun itu kembali tenang. Cepat terbakar, cepat pula padamnya.
“Aku gak terlalu suka pesta,” ujarnya sembari mengernyitkan hidung, seolah mencium bau yang tidak enak.
“Kebanyakan yang datang anak teman kantor mama atau sepupuku.”
Labil dan kesepian, pikirku.
“Kenapa tidak bilang saja kalau tidak mau?” sahutku sembari memasukkan potongan kue terakhir ke dalam mulut.
“Sudah!” serunya. “Tapi orang tuaku memaksa.”
“Kau pasti menginginkan sesuatu yang mahal,” komentarku diantara kunyahan kue.
“Dan kau pasti lebih tua dari pada kelihatannya,” timpal anak itu.
Aku hampir tersedak kue yang sedang kunikmati. Setelah agak tenang, aku menelannya dan meminum cola yang sudah kupesan sebelumnya. Cola adalah minuman kesukaanku.
Rasanya agak aneh ketika roti dan cola berpadu dalam perut. Tidak menyakitkan, hanya tidak nyaman.
“Kok kau ngomongnya kayak gitu sih?” tanyaku dengan nada memprotes, padahal dalam kepala aku penasaran kok anak ini bisa nebak gitu? Asal nebak kah?
Anak itu memicingkan mata. “Karena aku bisa merasakannya. Rasanya kayak ngomong sama orang dewasa.”
Dewasa katanya. Padahal aku lebih tua dari kakek buyutnya.
“Tapi itu bukan sesuatu yang buruk,” tambahnya buru-buru. “Kurasa kita bisa berteman.”
Obrolan kami ditunda karena mama dari anak itu membawakan berbagai macam makanan ke meja kami. Banyak sekali macamnya.
“Selamat menikmati, anak-anak,” kata mama dari anak yang berulang tahun yang kemudian ngeloyor pergi.
Kurasa anak dihadapanku memang benar. Ini bukan pestanya, tapi pesta orang tuanya. Buktinya orang tuanya yang lebih banyak berinteraksi dengan tamu.
Aku tidak biasa makan banyak, mungkin karena lambungku kecil, tapi jujur aku ingin mencicipi semuanya. Hal-hal baru selalu membuatku tergoda.
“Ini apa?” tanyaku sembari menunjuk makanan bulat yang di potong-potong. Ada potongan nanas, juga kotak-kotak yang kukira itu daging.
Entah apa lagi yang lain, aku belum banyak mencoba makanan olahan di sini.
Anak itu kembali mengenyit seolah mencium bau yang tidak enak, tapi aku tahu ia memang gemar membuat ekspresi seperti itu.
“Pizza!” katanya seolah-olah aku ini aneh.
“Masa kau gak tau pizza sih?
“Pizza,” gumamku. Aku menggigitnya sedikit dan ternyata rasanya luar biasa enak. “Ini enak!”
“Kau gak pernah makan pizza sebelumnya? Serius?” tanyanya, tak percaya.
“Ini pertama kalinya. Di tempat asalku kami kebanyakan makanan tidak diolah....”
“Tempat asalmu? Kau ini alien ya?” potong anak itu tanpa repot-repot menungguku menyelesaikan kalimat.
Glek! Kok dia bisa tau sih?
“Kau ngomong apa sih?” dengusku, pura-pura marah.
“Aku bisa jaga rahasia,” katanya dengan penuh keyakinan.
Tatapan mata tajam anak itu seolah-olah tengah menelanjangiku. Membuatku tak nyaman.
“Aku alien kalau kulitku hijau,” jawabku sembari menyeringai.
“Alien gak harus hijau,” tandasnya. “Kau alien kan?”
Itu bukan pertanyaan, itu tuduhan dan tuduhan anak kecil di hadapanku ini seribu persen akurat.
Aku menggigit pizza lagi. “Kenapa kau berpikir alien itu tidak harus hijau?”
“Karena aku rasa, pernyataan alien berkulit hijau terlalu membatasi semesta. Aku sudah belajar soal planet-planet, galaxy di sekolah. Semesta itu luas. Jadi kupikir varian makhluknya pasti beragam,” tuturnya.
Aku mengangguk, tidak tahu harus memberi respon apa.
“Kau lihat pizza ini? Anggap pizza ini semesta. Nah, sekarang anggap topping-nya sebagai planet. Banyak kan? Tersebar? Jadi pasti makhluk di semesta itu beragam. Mungkin ada alien yang bentuknya kayak anjing, kucing, juga alien yang mirip manusia kayak kau!” cerocos anak itu panjang lebar.
“Memangnya kentara banget ya kalau aku ini alien?” bisikku.
Anak itu mengangguk. “Manusia tidak bisa mengubah-ubah warna matanya seperti itu, sobat!”
ia mengeluarkan kaca dari tas kecilnya dan menyodorkannya padaku.
Ia benar. Warna mataku berubah-ubah, pasti karena salah satu makanan yang kumakan di sini.
Apakah karena pizza? Atau percampuran cake stroberi dengan cola?
Aku menelan ludah. “Kau tidak takut padaku?”
“Kenapa? Kau akan berubah jadi monster? Aku malah kepengen lihat,” kekehnya sembari mencomot pizza.
Aku melotot mendengarkan celotehan anak di hadapanku.
Ini pertama kalinya aku ngobrol banyak dengan manusia.
Seorang anak kecil pula dan dia berasil mengetahui siapa aku sebenarnya. Bukan makhluk asli bumi. Alien.
“Aku tidak akan berubah jadi makhluk mengerikan karena memang wujudku seperti ini,” gumamku.
“Kenapa kau kemari? Apakah tempat asalmu jauh?”
Aku memandangi pizza di tanganku.
“Penelitian. Aku scientist. Jarak jadi agak kurang signifikan kalau kau sudah mengenal alat teleport. Aku bisa dalam satu kedipan mata kembali ke planetku.”
“Scientist,” gumamnya. “Apa kau akan membedah tubuh manusia? Tubuhku mungkin?”
“Untuk apa aku membedahmu?” tanyaku, bingung.
“Untuk diteliti,” celetuknya, asal.
“Penelitian macam apa yang kau pikirkan?” tanyaku dengan senyum mengembang. Ternyata anak ini benar-benar unik. Aku jadi penasaran apa yangdipikirkannya.
“Anak-anak SMP banyak melakukan pembedahan katak di laboratorium, setidaknya itu yang kudengar. Aku belum pernah membedah apa pun,” tuturnya sembari mengernyitkan dahi hingga kedua alisnya nyaris bertabrakan.
“Aku juga tidak bertugas membedah apa pun kok. Hanya mengamati bumi?” kataku sembari mengira-ngira.
“Apa itu tepatnya yang kau amati?” tanya anak itu sembari membersihkan jarinya yang kena saus dengan cara memasukannya ke mulut.
“Tingkat peradaban manusia dari segi teknologinya.”
“Kurasa teknologi kami belum canggih-canggih amat,” ujar anak di hadapanku, geli.
“Memang,” ujarku mengakui.
“Kalau kau scientist, berarti kau benar-benar sudah tua ya? Berapa umurmu?”
Aku kembali menyeringai. “Lebih tua dari orang tuamu, lebih tua dibanding seluruh manusia yang masih hidup di permukaan Bumi ini.”
“Apa kau lebih tua dari dinosaurus?” tanyanya dengan mata terbelalak.
“Aku kan bilang lebih tua dari seluruh manusia yang masih hidup di permukaan Bumi ini. Umurku sekitar 14.000 tahun.”
“Apakah menyenangkan hidup selama itu? Kau masih terlihat muda. Sepertinya kau tidak akan mati dalam waktu dekat juga.”
“Tidak juga. Melihat orang-orang yang tidak berumur panjang sepertiku lebih dulu mati membuatku merasa sering sedih. Mestinya aku sudah bisa berdamai dengan perasaan kehilangan. Tapi, tetap saja terasa berat.”
“Yah, tidak ada kehidupan yang sempurna kurasa,” komentar anak itu.
“Lihat! Lihat! Kau sendiri terdengar seperti sudah hidup ribuan tahun,” sahutku, curiga.
Anak itu tertawa. “Aku manusia biasa kok dan umurku benar sembilan tahun.”
“Bagiku kau manusia yang luar biasa, Daissy,” ujarku, tulus.
Dia mengangkat alis. Tapi tentunya tidak butuh kemampuan khusus untuk mengetahui nama anak yang beberapa menit ini kuajak ngobrol.
Namanya ditulis di kue ulang tahunnya dengan selai stroberi.
Anak itu dipanggil mamanya. Acara mereka nampaknya sudah selesai. Bekas-bekas pesta tengah dibereskan.
Aku sendiri terkejut menyadari ternyata para tamu pesta anak ini sudah banyak yang pulang. Aku benar-benar terhanyut dengan obrolan ini hingga kehilangan kesadaran akan sekelilingku.
“Senang bertemu denganmu, Tuan Alien si umur panjang,” katanya sembari turun dari kursi yang selama ini didudukinya.
“Kuharap kita bisa bertemu lagi di lain kesempatan karena aku masih memiliki banyak pertanyaan buatmu!”
Aku mengangguk. “Selamat ulang tahun yang ke-sembilan, Daissy. Kuharap kau panjang umur.”
Cerpen ini ada di majalah AN1MAGINE Volume 2 Nomor 7 Juli 2017 eMagazine Art and Science yang dapat di-download gratis di Play Store, share yaa
“Menerbitkan buku, komik, novel, buku teks atau
buku ajar, riset atau penelitian di jurnal? An1mage jawabnya”
AN1MAGINE: Enlightening Open Mind Generations
AN1MAGE: Inspiring Creation Mind Enlightening
website an1mage.net www.an1mage.org
Comments
Post a Comment