Komodo-External Instant Evolution di An1magine Volume 2 Nomor 7 Juli 2017


Lanjutan Komik Komodo edisi sebelumnya:

“Terima kasih atas waktu dan bantuan yang kau berikan, Rangga," sahut Selo sembari menjabat tangan Rangga.

Tugas Rangga sebagai penjaga Selo hari itu sudah selesai. Satu hari yang memalukan bagi Rangga, perkiraannya salah, dia melihat Cleo dengan cara berpikirnya dia sendiri, sesuatu yang sering kali Rangga lakukan terhadap orang lain.

Rangga selalu menilai orang lain dengan tolok ukur dirinya sendiri.

Rangga masih berada di Bali hingga beberapa hari berikutnya. Ia masih ingin bersantai dan mencari  hal-hal baru yang mungkin bisa membantunya mengalahkan Cleo.

Meski ia masih belum tahu apa itu. Prof. Habibie juga masih belum mendapatkan jalan keluar.

Dari pada ia sendirian di kantor detektif atau kamar apartemennya yang sepi. Ia yakin berjalan-jalan akan lebih memberinya inspirasi.

Hari itu ia main ke Pura Petilan di Desa Kesiman di bagian timur Kota Denpasar lebih populer disebut Pura Pengerebongan.

Hari itu pura sangat ramai. Bukan karena ledakan turis karena hari ini ternyata umat Hindu tengah menggelar upacaraan keagamaan mereka.

Rangga melihat mereka melakukan sembahyang di pura, dan ada tarian Barong dan Rangda.
Kemudian Barong dan Rangda ke luar dari area Pura dan mulai bergerak mengelilingi wantilan.

Mendadak beberapa orang warga menusukkan sebilah keris ke tubuhnya masing-masing.

Penonton mulai menyingkir menjauh melihat beberapa orang melakukan menusukkan keris ke tubuhnya masing-masing.

“Lihat mereka mulai Ngurek” teriak seroang wanita berpakaian adat khas dari Bali.

“Ngunyiiing” teriak beberapa orang lainnya.

Tetabuhan yang mengiringi semakin cepat sepertinya menyemangati kejadian tersebut.

Mereka yang disebut sedang melakukan ngurek atau ngunying nampak tidak terluka. Setelah berputar di wantilan sebanyak sekitar tiga kali.

Lalu seorang kemudian masuk ke  area tengah dan berkata “Hari ini adalah hari spesial, di mana saya memberikan suguhan tambahan, yaitu demonstrasi  tenaga dalam” katanya.

Kemudian dia menunjuk penonton, dan tenaga dalam yang dia maksud ternyata menyentuh orang tersebut dan orang tersebut terkejut.

“tersetrum” teriaknya.

Lalu penontong bertepuk tangan bersamaan.

Mendadak ada seorang pemuda bule maju, sepertinya tidak percaya.

Orang yang menyetrum mengerti, lalu disentuhnya pemuda bule tadi.

Pemuda bule tadi segera berteriak, “Amazing, its true”

“Its true!” teriaknya lagi.

Penonton semakin bersorak dan bertepuk tangan dengan meriah.

"Upacara apa ini, pak?" tanya Rangga pada salah seorang Warga Bali yang juga menggunakan pakaian adat. Sepertinya Rangga mendapati upacara ini pada detik-detik puncak hampir akhir.

"Upacara Pengerebongan, dik," kata orang itu menjawab.

"Oh ya, siapa tadi orang yang bisa menyetrum orang?" tanya Rangga, tertarik.

"Itu namanya Pak I Made Wirautama." Kata orang tersebut, sepertinya mengenalnya.

"Betulan bisa mengalirkan listrik?" sahut Rangga, tanpa menyembunyikan keingintahuannya.

"Mau Coba?" tanyanya menawarkan.

Rangga mengangguk. Ia pun segera mengikuti bapak yang belum ditanyai namanya itu untuk bertemu dengan manusia penyetrum.

"Pak I Made Suarta, ada yang ingin mencoba kekuatanmu," katanya sumringah.

"Siapa, Wayan?" katanya balik bertanya.
"Perkenalkan Pak Made, saya Rangga," sahutnya sembari mengulurkan tangan untuk bersalaman.

Zrrrt

Rangga terkejut.

Ternyata Made sengaja menyetrumnya saat mereka berjabat tangan. Bukankah itu mengejutkan.

Biar sedikit, ada harapan.

"Pak saya sedang mencari orang dengan kekuatan seperti Bapak. Maukah bapak ikut saya ke Flores untuk mengetahui bagaimana caranya bapak mengeluarkan listrik," pinta Rangga, sedikit mendesak.

"Mas Rangga tenang dulu. Sebenarnya ada apa?" tanya Made sembari mengakhiri pertunjukkan dengan memberikan simbol swastiastukepada penonton.

Kemudian Made Wirautama mengajaknya duduk di dalam pura.

"Jadi saya ini senang belajar bela diri, pak. Termasuk ingin mengeluarkan listrik dari dalam tubuh seperti Bapak," jelasnya.

"Tidak banyak orang yang hebat seperti bapak."

"Tapi kekuatan ini tidak bisa di dapat dengan belajar semalam, nak. Kamu harus puasa ini itu, belum juga ada upacara-upacara khusus," katanya sembari menjelaskan.

Rangga mengernyitkan dahi. Ia tidak suka puasa. Ia tidak mau menjalankan hal-hal semacam itu karena ia perlu mempelajari bagaimana mengeluarkan listrik dari tubuh secara cepat.

"Saya inginnya mempelajari secara fisika, Pak. Teman saya seorang professor akan membantu kita untuk mempelajari cara Bapak melalui jalur ilmu pengetahuan," terangnya pada Pak Made.

Made mengernyitkan dahinya. "Sepertinya adik memiliki keperluan yang mendesak. Baiklah, jika memang ilmu pengetahuan bisa menjelaskan bagaimana saya mampu menyetrum orang, saya akan ikut bersama Mas Rangga ke Flores. Tapi tentunya tidak gratis ya."

"Tidak masalah, Pak! Sore ini juga kita terbang ke Labuan Bajo," jawab Rangga, mantap.

"Hah? Pesawat?"

Pak Made ternyata belum pernah naik pesawat!

Ia benar-benar gugup. Tidak tahu apa yang harus di perbuat, tidak tahu apa yang harus dibawa.

"Mas Rangga yakin kita naik pesawat? Kan biayanya mahal. Kenapa tidak pakai kapal laut saja?" katanya mula-mula.

"Biar cepat pak. Kalau kapal bisa berjam-jam. Lebih lama perjalanannya. Kalau pesawat, satu jam bisa sampai," balas Rangga.

"Tapi saya tidak punya kopor, dik," katanya lagi.

"Pakai tas buat pergi-pergi biasa saja juga tidak masalah kok. Kalau bawaannya tidak terlalu banyak, bisa disimpan di kabin saja."

"Terus, anu... saya tidak punya paspor."

Rangga menggaruk-garuk kepalanya.

"Tidak masalah Pak. Kan penerbangan domestik. Kalau keluar negeri baru harus punya paspor."

"Tapi saya takut. Tidak ngerti cara naik pesawat," keluhnya lagi.

"Kan sama saya. Pak Made sekarang tinggal bersiap-siap."

"Memangnya, Mas Rangga mau bawa saya ke Flores berapa lama?" tanyanya lagi.

Rangga berpikir sejenak. Harapannya bisa cepat. Kalau bisa, dalam hari yang sama Prof. Habibie bisa meneliti orang ini dan langsung mendapat hasilnya. Tapi ia tidak tahu apakah harapannya bisa segera terwujud.

"Sekitar tiga hari," katanya memberitahu.

"Seandainya ada penambahan, pastinya bayaran Bapak juga akan ditambah."

"Oh ya, Mas Rangga, pesawatnya bukan saya yang bayar kan? Maksudnya bayaran saya tidak dipotong tiket pesawat," ujarnya melakukan klarifikasi.

Rangga mengangguk.

"Itu bagian saya Pak. Tidak perlu dipikir. Pak Made cukup datang saja. Nanti kalau pas pulang Pak Made masih ragu, saya  bisa pesankan tiket kapal laut saja," terang Rangga.

Pak Made terlihat menghela napas lega.

Mereka berjanji buat bertemu lagi pukul lima di hotel yang Rangga tinggali karena pesawat akan berangkat sekitar pukul enam lewat.

Pak Made muncul dengan pakaian rapi, ia sudah membawa tas yang berisi pakaiannya.

"Ganteng, Pak!" sahut Rangga yang juga muncul dengan tas tangan.

Pak Made tersipu mendengar pujian Rangga.

Menurut Rangga, untuk perjalanan cepat, lebih enak membawa tas tangan karena ia tidak ingin membawa banyak benda.

Sebagai tambahan ia hanya membawa satu plastik yang lumayan besar untuk oleh-oleh kekasihnya, ayahnya, juga Prof. Habibie.

Isinya ada pie susu, brem, pia legong, juga brem dan kacang. Ia benar-benar belanja banyak. Porsi masing-masing sudah dipisahkan, termasuk untuk cemilannya sendiri.

Setelah Rangga membereskan masalah administrasi hotel, mereka segera naik taksi yang sudah dibantu dipanggilkan oleh pihak hotel untuk menuju bandara.

"Mas Rangga, maaf ya kalau nanti saya malu-maluin," bisik Pak Made tidak percaya diri.

"Santai saja, Pak! Nikmati. Nanti waktu pulang Bapak bisa cerita ke anak istri soal rasanya naik pesawat," kata Rangga menyemangati.

Setibanya di bandara, Rangga segera memperlihatkan tiket elektroniknya melalui smartphone ke petugas dan mereka melewati tempat pemeriksaan.

Pak Made meng-copy tindakan yang dibuat Rangga, seperti ketika Rangga meletakkan tasnya di troli berjalan dan menarih ponselnya ke wadah plastik.

Mereka masuk dan melewati bagian check in karena Rangga sudah melakukan web checking menggunakan ponselnya, di samping itu juga tidak ingin memasukkan tasnya ke bagasi. Setelah membayar airport tax, mereka masuk ke ruang tunggu.

"Ternyata Bandara itu ramai ya mas. Saya belum pernah coba soalnya tiketnya mahal," kata Pak Made.
"Iya ramai, apalagi Bali kan tujuan wisata yang terkenal, Pak. Banyak acara yang digelar di sini juga," timpal Rangga

"Jadi kita menunggu apa ini Mas Rangga?"

"Menunggu dipanggil masuk untuk boarding. Maksudnya sampai kita dipersilakan masuk ke badan pesawatnya," jelas Rangga.

Pak Made mendengarkan Rangga dengan seksama. Rangga menceritakan beberapa pengalaman yang akan dijumpai saat naik pesawat.

"Jadi waktu naik dan turun, nanti telinga kita bakal berdenging Pak. Nanti bapak telan ludah saja. Juga mungkin pesawat bakal terguncang saat mengenai awan, seperti ketika Bapak naik mobil terus kena kerikil, gitu," kata Rangga bercerita agar Pak Made nanti tidak panik.

"Oh, begitu, jadi kerikilnya langit itu awan ya"

"Nanti pramugrarinya juga akan menjelaskan beberapa aturan keamanan di dalam sebelum kita berangkat. Bapak nanti perhatikan ya. Ada brosur keselamatan juga yang bisa dibaca."
Pak Made menunduk.

"Sa-saya agak gugup ini, Mas Rangga."

"Pesawat itu transportasi massal yang cukup aman kok, Pak."

"Tapi kita bakal bermeter-meter jauhnya dari tanah."

"Tenang pak. Saya sudah bolak-balik naik pesawat. Buktinya masih bisa ketemu Bapak."

Mendadak terdengar panggilan penumpang menuju Labuan Bajo dari pengeras suara. Beberapa penumpang beranjak dari tempat duduknya.

"Ayo, pak! Saatnya menjajal pesawat terbang!" sahut Rangga senang.

Mereka keluar dari ruang tunggu dan naik bus yang disediakan untuk membawa penumpang ke pesawat. Rangga sengaja mencari yang ada di dekat pintu supaya bisa langsung keluar nantinya.

Begitu sampai, mereka segera turun dan menaiki tangga untuk masuk ke dalam pesawat. Pilot dan pramugari menyapa setiap pengunjung yang datang dan tersenyum ramah.

Rangga segera mencari tempat duduk yang sudah di dapatkan nomornya. Agak ke belakang rupanya. Dengan dibantu pramugari mereka memasukkan tas ke dalam kabin.

"Bapak mau duduk di sebelah jendela?" tawar Rangga.

"Iya, saya mau," katanya antusias.
Rangga tidak perlu memperingatkan Pak Made buat menunduk karena kepalanya tidak akan menyentuh bagian di atasnya. Berbeda dengan Rangga yang harus sedikit menunduk.

Setelah seluruh penumpang masuk, beberapa pramugari mengambil posisi. Masing-masing di bagian depan, tengah, juga agak ke belakang. Mereka menjelaskan bagaimana menggunakan sabuk keamanan, bagaimana memakai dan melepas.

"Pak Made, jangan lupa mematikan ponselnya ya."

"Lho kenapa? Nanti kalau istri saya SMS gimana?"

"Nanti dinyalakan lagi setelah tiba ditujuan. Sinyal ponsel bisa mengganggu penerbangan. Intinya membahayakan, bisa membuat pesawat jatuh," sahut Rangga serius.

Mendengar kata 'jatuh' langsung membuat Pak Made pucat pasi. Ia segera mematuhi perintah Rangga.

Saat para pramugari mempraktekkan kejadian di mana tekanan dalam kabin berubah, penumpang diminta untuk menggunakan masker oksigen, Pak Made makin kelihatan kalut. Juga ketika penjelasan bagian life vest.

"Mas Rangga yakin kalau pesawat itu aman?"

Rangga mengangguk. "Nanti setelah Bapak mencoba, pasti akan ketagihan," kelakarnya.

"Semoga saya bisa ajak keluarga naik pesawat."

Seluruh penumpang telah menggunakan sabuk pengaman. Pesawat secara perlahan berjalan menuju landasan pacu.
Mendadak pesawat melaju dengan cepat dan mereka mulai tidak lagi berada di atas tanah.

Mereka terbang dengan besi.

Teknologi menjadi sumber kemajuan peradaban manusia.

Selebihnya Pak Made banyak berdiam diri. Ia terus memandang ke luar jendela. Memandangi awan yang biasa dipandanginya ternyata bertingkat-tingkat. Yang biasa ia lihat dari bawah, ternyata di atasnya masih ada lagi. Awan di atas awan.

Meski begitu ia tidak bisa terlalu lama memandangi keanggunan tersebut. Langit harus menjadi gelap. Dan jendela harus menjadi hitam.

Rangga tidak berbohong padanya, ternyata naik pesawat memang asik. Perjalanan menjadi lebih cepat. Dan yang terpenting, tidak semua orang mampu memiliki kesempatan buat mencicipi rasanya naik pesawat.

Mereka tiba di Labuan Bajo. Hari sudah gelap dan Rangga senang karena ia dan temannya tidak perlu menunggu bagasi karena memang tidak ada yang mereka titipkan.

"Jadi kita akan ke rumah Professor Habibie. Dia orang cerdas dan sangat pintar soal ilmu pengetahuan. Orangnya baik," kata Rangga sembari memanggil satu unit taksi.

Pak Made hanya mengangguk-angguk. Ia tidak berkomentar.

Rangga sengaja meminta sopir buat berhenti di suatu rumah makan. Ia akan membungkus makanan untuk dirinya sendiri, Pak Made, Prof. Habibie, juga pak sopir.

Menunya adalah ayam rica-rica. Biar begitu, ia membelinya bukan di restoran ala Manado, tapi restoran ala Makassar. Selain itu ia juga membeli sup asparagus. Ia harap supnya masih panas ketika tiba nanti.

Begitu kembali, Rangga langsung menyerahkan bagian pak sopir. Sementara Pak Made masih tertidur. Sepertinya ia kelelahan. Hari ini pasti banyak yang ia siapkan untuk Upacara Pengarebongan dan mendadak sorenya ia diminta terbang ke Labuan Bajo.

Mereka melanjutkan perjalanan sekitar sepuluh menit lamanya, hingga tiba di depan rumah Prof. Habibie.

Selesai mengambil tas di bagasi, Rangga membangunkan Pak Made dan membayar biaya taksi.

"Kita sudah sampai."

Rumah Prof. Habibie tenang seperti biasanya. Tanpa menekan bel, Prof. Habibie sudah muncul membukakan pintu.

"Aku tadi sedang memandangi keluar jendela ketika taksimu datang. Aku tahu pasti kau yang datang. Ngomong-ngomong siapa Bapak ini?" tanya Prof. Habibie sembari tersenyum ramah.

"Persilakan kami masuk dulu, Professor," pinta Rangga.

"Ah, kau benar! Silakan masuk! Silakan masuk!"

Prof. Habibie menunggu hingga tamu-tamunya masuk dan ia pun segera mengunci gerbang rumahnya lagi.

"Sudah makan malam belum Prof? Kubawakan kau ayam bumbu rica-rica!" sahut Rangga sembari membuka makanan yang telah dibelinya. Tasnya dan tas Pak Made diletakkan di atas sofa ruang tamu.

"Sudah, sih. Tapi siapa yang bisa menolak ayam bumbu rica-rica? Ayo makan malam bersama!" sahutnya senang karena banyak teman. Prof. Habibie segera mengambil beberapa tempat untuk masakan juga tiga wadah piring.

"Mungkin istri professor juga mau makan bersama?" tanya Rangga, ragu.

Prof. Habibie menggeleng. "Dia sudah ada di kamar. Kau tahulah kerjaannya. Arisan, belanja. Pulang-pulang sudah malam dan langsung masuk kamar."

"Kurasa memang kita harus makan bertiga saja," tawa Rangga lega. Ia sebenarnya tidak terbiasa dengan kehadiran istri Prof. Habibie di sekitarnya, kesannya itu bukan hal yang wajar.

"Oh iya Prof. kenalkan ini Pak Made. Pak Made, ini Professor Habibie yang genius."

Mereka bersalaman. Pak Made kelihatan agak kikuk di sana. Wajar saja karena ia harus berkumpul dengan orang-orang yang dikenalnya.

"Jadi Pak Made aku bawa ke sini agar professor bisa meneliti soal bagaimana dia mengeluarkan listrik dari tubuhnya," jelas Rangga sembari membuka pembungkus nasi.

Mereka bertiga kini duduk di ruang makan Prof. Habibie yang mungil.

"Benarkah?" tanya Prof. Habibie ke Pak Made.

Pak Made mengangguk.

"Coba saja, Prof," usul Rangga.

Dan mereka pun mencobanya.

"Aduh!" pekik Prof. Habibie kaget saat kena setrum.

Ternyata setrumannya cukup kuat untuk orang biasa, sementara Rangga hanya merasa sedikit karena Bio Body Armor-nya.

"Ma-maaf, pak. Saya tidak berusaha terlalu kuat barusan," ujar Pak Made tidak enak.

"Tidak masalah. Tapi Bapak hebat!" puji Prof. Habibie. "Bagaimana Bapak bisa mengeluarkan aliran listrik semacam itu?"

"Dapat dari kakek saya juga melakukan ritual khusus dan berpuasa," jawabnya mantap.

Prof. Habibie langsung mengernyitkan dahi mendengarkan jawaban yang super mistis seperti itu. Tapi setidaknya ia tahu kalau kemampuan itu diturunkan.

"Maka dari itu aku membawa Pak Made dari Bali untuk Professor periksa secara fisika," sahut Rangga yang bisa membaca ekspresi Prof. Habibie yang sangat terkejut.

Prof. Habibie mengangguk-angguk dan segera mengambil ayam rica-ricanya, juga mengaduk sup asparagusnya. Ternyata masih cukup panas, jadi tidak perlu dihangatkan lagi.

Mereka makan dengan lahap. Terutama Pak Made, dia yang makan paling banyak. Sementara Prof. Habibie hanya mengambil sepotong ayam dan menghabiskan semangkuk sup. Ia sudah makan jadi tidak ingin makan banyak, lagi pula juga sudah malam.

"Kurasa Pak Made perlu istirahat. Hari ini dia baru mengikuti upacara adat," jelas Rangga sembari membereskan meja makan. Mereka baru selesai makan.

Prof Habibie mengangguk. "Kebetulan kemarin keponakanku baru menginap, jadi ruangan belakang sudah dibersihkan."

Mereka mengantarkan Pak Made ke kamarnya, setelah itu segera menuju ke ruangan penelitian Prof. Habibie. Rangga juga sudah menaruh tasnya di kamar yang biasa digunakannya, kamar putri Prof. Habibie.

"Jadi untuk meneliti Pak Made, aku membutuhkan pembangunan alat pendeteksi laju listrik dalam tubuh. Alat ini tentunya tidak ada di pasaran, tapi bisa dibuat karena bahannya tersedia. Di sini aku membutuhkan bantuan dari lima orang muridku buat membangunnya," jelas Prof. Habibie.

"Kurasa kita perlu membangunnya dengan cepat," ujar Rangga, bersemangat.

"Kalau begitu malam ini juga kau bisa membeli bahan-bahannya dari internet, supaya besok materi untuk pembuat alatnya bisa sampai."

Prof. Habibie membuat daftar benda-benda yang dibutuhkannya, sementara Rangga memerhatikan.

Ternyata bagian alat yang dibutuhkan untuk pembangunannya sangat banyak. Pastinya itu juga akan menjadi alat yang besar.

"Kelihatannya professor sudah tahu apa yang harus diperbuat, tapi aku tidak memiliki uang sebanyak itu untuk membeli alat-alatnya," keluh Rangga.

"Gunakan uang Cleo saja, bodoh. Jangan mempersulit diri seperti itu!" cibir Prof. Habibie sembari menyerahkan daftarnya ke Rangga.

"Mau tidak mau akhirnya aku harus menggunakan uang dari wanita penyihir itu lagi," gerutu Rangga.

"Mengapa harus terbeban. Gunakan uanganya untuk menyerang balik melalui jalur penelitian. Yang penting kau segera mengetahui bagaimana cara menghadapinya," kata Prof. Habibie.
"Kau benar, Prof." aku Rangga.

Dengan kemampuan mengetik yang cepat dan nomor kartu kreditnya, Rangga sudah menyelesaikan pemesanan dan pembayaran dari bahan-bahan yang dibutuhkan Prof. Habibie buat meneliti Pak Made.

Rasanya sangat senang bisa menemukan Pak Made hari ini. Tidak lama lagi ia akan bisa mengeluarkan kemampuan menyerang seperti Pak Made.

Ketika ia bisa menguasainya, Rangga tidak akan menunggu lama buat kembali menghadapi Cleopatra.

Tentunya gadis itu akan sangat terkejut ketika mengetahui ninja belum mati dan malah memiliki kekuatan yang tak kalah dahsyatnya dari sekadar topeng.

"Sudah kupesan semua Prof. Semoga tidak ada yang tertinggal, mestinya tidak karena aku mengikuti daftarmu dengan sangat teliti. Alat-alatmu akan datang besok, aku yakin itu akan menjadi alat yang sangat hebat. Asli penemuanmu," sahut Rangga sembari menjauhkan dirinya dari layar komputer.

"Bagus. Aku baru akan menghubungi para muridku besok karena ini sudah cukup larut. Besok aku akan mengecek lagi apakah masih ada bahan yang kubutuhkan untuk membuat alat pendeteksi laju listrik dalam tubuh," katanya bersemangat.

"Baiklah. Kita lanjutkan esok pagi. Selamat malam professor."

"Selamat beristirahat," balas Prof. Habibie.


Chapter 17

Tidur Rangga benar-benar pulas. Ia tidak bermimpi. Maka dari itu ia bangun dengan sangat bugar. Sebenarnya ia memang selalu merasa segar, tidak kenal lelah, karena Bio Body Armor-nya.

Hari ini alat-alat yang dipesannya semalam akan tiba. Internet sungguh mengubah cara bisnis. Kini orang-orang bisa mendapatkan apa yang mereka butuhkan dengan cepat, tanpa perlu ke toko, dengan biaya pengiriman ekstra tentunya karena memerlukan pengantaran dalam waktu singkat.

Seandainya semalam Rangga harus ke toko pastinya semalam sudah tutup juga. Otomatis ia harus kembali keesokan paginya.

Rangga baru saja turun ketika mendapati Pak Made dan Prof. Habibie tengah berolah raga bersama. Ia baru menyadari kalau umur kedua orang itu cukup dekat. Mereka juga sudah kelihatan cukup akrab. Entah apa saja yang sudah mereka bincangkan.

"Hai Rangga, sudah bangun kau? Bagaimana kalau kau menyiapkan sarapan untuk kita semua?" perintah Prof. Habibie tanpa basa-basi.

"Ingin sarapan apa?" tanya Rangga sembari menguap. Ia memang sering membuatkan sarapan buat Prof. Habibie tiap kali menginap di sini. Lama-lama ia merasa menjadi seperti pengganti tukang masak dari istri dari pria tua itu.

Istri Prof. Habibie sangat cuek. Biasanya ia membuat roti selai dan langsung menghilang dari rumah.

"Bubur! Aku punya bahan-bahannya dikulkas. Yang rasa seafood ya!" katanya lagi sembari berlari di atas treadmill. Sementara itu Pak Made sedang mengangkat barbel.

"OK," sahut Rangga sembari menguap lagi, ternyata kantuknya belum benar-benar hilang.

Ia segera ke dapur dan membuat pesanan Prof. Habibie dalam porsi tiga orang. Ia bahkan memotong dadu udang dari freezer untuk ditambahkan ke bubur. Seafood, ia tidak mungkin menambahkan daging ayam.

Tidak membutuhkan waktu lama hingga sarapan mereka jadi. Rangga yang masih menggunakan celemek memanggil kedua pria itu untuk sarapan.

Prof. Habibie dan Pak Made segera menghentikan olah raga pagi mereka dan masuk ke dalam. Sementara Rangga menyetel televisi untuk mendapatkan berita pagi.

Tapi betapa terkejutnya ia saat melihat wajah orang yang diketahuinya muncul di layar kaca. Cleopatra. Ini saatnya gadis itu bereaksi kembali. Justru disaat Rangga merasa sudah mulai menguasai keadaan. Mungkin pemikirannya salah.

"Aku Cleopatra memerintahkan Presiden Indonesia untuk turun dari kursi pemerintahan dan menyerahkan kekuasaannya kepadaku. Apabila Anda menolak, aku akan datang sendiri ke istana untuk mengambil jabatan Anda secara langsung.

"Kuberi waktu satu kali dua puluh empat jam untuk penyerahan kekuasaan. Jika Anda menolak, silakan menyiapkan seluruh pasukan yang Anda punya untuk melawanku, sementara aku akan datang sendirian."

"Rangga?" sahut Prof. Habibie yang sudah masuk ke ruangan bersama Pak Made.

"Wanita gila itu muncul! Pintar sekali ia langsung ingin mendapatkan kekuasaan dari tangan presiden secara langsung," geram Rangga sembari mengepalkan tangan. Harus begitu atau dia bisa merusak rumah Prof. Habibie.

"Membajak stasiun televisi. Aku bisa merasakan ketakutan kameramen dan operatornya," gumam Rangga, sedih.

"Siapa wanita itu?" tanya Pak Made kebingungan. "Apakah kata-katanya perlu dipercaya?"

"Perlu. Cleopatra tidak main-main dengan ucapannya. Prof. Habibie benar, wanita itu haus kekuasaan," jawab Rangga, cepat.

"Jadi kau bisa menyelesaikan alat pendeteksimu hari ini juga, prof?"

"Hari ini juga? Tidak mungkin Rangga. Aku butuh lima hari!" tepis Prof. Habibie.

"Tapi alat-alatnya akan datang pukul sepuluhan nanti. Kau juga sudah memberitahu murid-muridmu buat membangun alat itu! Jadi kenapa perlu lima hari?" desak Rangga tidak setuju kalau ia harus menunggu lima hari.

"Cleo akan berbuat onar besok, dan kau mengatakan butuh lima hari!"

"Kau pikir membuat alat yang kompleks bisa seharian? Tidak bisa! Bahkan jika hari ini aku tidak tidur, aku tetap tidak bisa menyelesaikannya!" seru Prof. Habibie frustasi.

"Aku perlu besok Prof, wanita itu sudah mengultimatum presiden. Tidak ada waktu," desah Rangga, stress. Ia binggung dengan apa yang harus ia lakukan.

"Mustahil aku menyelesaikan alatnya hari ini juga," gumam Prof. Habibie sembari memandangi bubur seafood buatan Rangga yang sudah mulai dingin.

Mereka diam dalam kebuntuan.

"Alat apa?" sahut istri Prof. Habibie yang baru saja muncul dari pintu depan. Ia membawa plastik belanjaan di tangannya.

"Alat pendeteksi laju listrik dalam tubuh. Kami ingin meneliti, bagaimana cara Pak Made bisa menyetrum orang," ungkap Prof. Habibie pada istrinya. "Kau bawa apa?"

"Belanja beberapa kebutuhan kita seperti deterjen, pewangi pakaian, juga pembersih lantai. Persediaan sudah hampir habis," katanya menimpali.

"Alat pendeteksi laju listrik dalam tubuh? Bukankah kau dulu pernah cerita ada versi kecil yang sudah pernah kau buat di kampus, saat masih aktif mengajar?"

"Pendeteksi laju listrik... ah kau benar. Terima kasih sudah mengingatkanku," kata Prof. Habibie, riang.
"Sama-sama" sahut istrinya sembari membuka pintu kamar dan menghilang di sana.

"Jadi kapan kita berangkat ke Universitas Labuan Bajo yang terkenal dengan ilmu pengetahuannya?" tanya Rangga sumringah.

Masalah mendadak datang, namun solusinya secara tidak terduga telah diciptakan beberapa tahun yang lalu.
Bukankah ini kebetulan yang aneh?

"Setelah kita sarapan bubur dinginmu dan mandi," cengir Prof. Habibie, senang.

Buburnya masih enak biar tidak lagi hangat. Mereka makan dengan lahap.

Rangga dan Prof. Habibie karena senang dengan jalan keluar yang mereka temukan. Sementara Pak Made memang sepertinya kelaparan.

"Makan apa kalian?"

Oh! Oh! Rangga hanya membuat bubur seafood untuk tiga orang. Sekarang istri Prof. Habibie bertanya.

"Bubur seafood," sahut Prof. Habibie santai.

"Aku tidak mengerti kenapa kalian bisa makan makanan seperti itu, seingatku tidak ada udang atau cumi laut yang kusimpan di kulkas" sahutnya sembari mengernyitkan dahi. "Aku keluar dulu."

Rangga dan Prof. Habibie berpandangan. “Lalu apa yang kau masukkan di bubur itu Rangga?” tanya Prof. Habibie

“Entahlah Prof, aku pikir itu itu udang yang dihancurkan dan dibentuk kotak” jawab Rangga ragu.

“Aaaaah itu makanan si Grey, kucing kami yang telah menghilang dicuri orang dua tahun lalu” mendadak Prof. Habibie berusaha memuntahkan makanannya.

“Enak” kata Pak Made kalem, kemudian Rangga dan Prof. Habibie melihat ke Pak Made.


*

Kemudian mereka membereskan meja makan bersama dan mencuci perkakas makanan masing-masing, setelah itu bersiap-siap buat menuju kantor Prof. Habibie. Sebenarnya ia masih bekerja di sana, tapi untuk jumlah SKS yang sangat sedikit.

Alat pendeteksi Prof. Habibie dibuat saat dia masih bekerja penuh waktu di Universitas Labuan Bajo. Berkat beliau, universitas tersebut dikenal sebagai salah satu universitas terbaik di bumi, terutama di bidang teknologi.

Banyak orang asing yang sengaja datang kemari untuk kuliah di Universitas Labuan Bajo. Intinya sudah benar-benar tersohor.

Mereka berangkat menggunakan mobil kinclong Prof. Habibie. Sedan warna putih itu terkesan sangat sporty.

"Wah prof, seleramu...." sahut Rangga berdecak kagum. Ia sendiri belum bisa beli mobil. Mungkin bisa jika lagi-lagi ia menggunakan uang dari Cleopatra. Hanya saja ia masih ingin mengembalikan uang wanita sinting itu, berapa pun sisanya. Jadi tidak penuh hehehe....

"Biar banyak yang melirik," sahut Prof. Habibie bangga.

"Jadi kau ingin punya cewek lain?" balas Rangga terkejut.

"Bukan begitu. Yang dilirik mobilnya, bukan aku. Sudah jangan ngobrol. Kau nyetir sana," ujar Prof. Habibie tanpa menyembunyikan tawanya.

"Selalu." Giliran Rangga yang mengatakannya.

Saat bersama Mala, dengan Prof. Habibie, juga ayahnya, selalu ia yang menyetir. Rasanya ia sudah lupa rasanya duduk manis di mobil yang berjalan.

Prof. Habibie duduk di sebelahnya sementara Pak Made mendekam dalam diam di bangku belakang. Pak Made mungkin merasakan adanya kesenjangan antara hidupnya sehari-hari di Bali dengan apa yang harus dilakukannya di sini.

Beruntung ini bukan hari libur. Akan menyulitkan jika bertepatan dengan kalender merah karena mereka cenderung menutup kampus.

Hanya perpustakaannya saja yang buka. Gedung lainnya akan ditutup dan penjaga tidak akan membukakan pintu buat pengunjung.

Dalam beberapa kasus, staff juga tidak diizinkan masuk gedung area kampus di masa-masa libur. Mungkin tujuannya untuk keamanan. Bagaimanapun Universitas ini menyimpan banyak penemuan dan benda hebat lainnya.

Universitas Labuan Bajo terletak di pinggir laut. Udaranya panas dan asin. Namun memiliki pemandangan laut yang memesona. Belum lagi tamannya yang ditata dengan apik.

Dibangun di atas tanah seluas tiga puluh hektar, universitas ini memiliki bangunan unik untuk masing-masing fakultas juga gedung fasilitasnya.

Seperti bangunan berbentuk seperti botol reaksi ini merupakan gedung pusat penelitian dari universitas. Jadi gedung ini memiliki bagian bawah yang luas sementara atasnya cenderung lebih kecil.

"Aku akan ke bagian laboratorium untuk mengecek alatku dan mengurus perizinan untuk mengunakan lab. Kalian tunggu di sini dulu," sahut Prof. Habibie.

Rangga dan Pak Made duduk di lobby kampus. Kebanyakan orang yang berlalu-lalang di sini menggunakan jas putih khas ilmuwan.

"Senang Pak bisa ke Labuan Bajo?"

Pak Made mengangguk. "Ini pertama kalinya saya ke Flores. Biasanya saya pergi ke Jawa. Menyeberang dari Gilimanuk. Sukanya saya ke Surabaya karena di sana ada saudara. Dulu waktu SMP saya sempat sekolah di Surabaya."

"Tapi akhirnya tetap memilih tinggal di Bali ya, pak?"

"Iya, soalnya kalau di Surabaya, jarang yang beragama Hindu. Saya jadi kelimpungan sendiri buat menyiapkan sesaji atau perayaan lain. Kalau di Bali kan bisa sama-sama. Ke pura juga gampang."

"Bali sangat kental budayanya. Tidak terkikis meski banyak orang asing yang masuk," timpal Rangga. Ia jadi terbayang ketika melihat Pak Made menusukkan keris ke tubuhnya. Orang di sampingnya ini hebat. Bisa menyetrum pula.

"Kalau Mas Rangga asli Flores?"

Rangga mengangkat kedua alisnya. "Sebenarnya waktu kecil saya sempat di Denpasar, ikut nenek. Tapi nenek saya bukan orang Bali. Beliau orang Jawa. Kemudian waktu orang tua saya dapat kerjaan di Flores, saya ikut menetap di sana."

"Cucu kesayangan nenek," tawa Pak Made.

"Karena orang tua saya sebelumnya memiliki pekerjaan yang cenderung mengharuskan mereka sering berpindah-pindah kota. Repot juga kalau sering-sering pindah sekolah," sahut Rangga memberi tahu keadaannya semasa kecil.

"Jadi waktu ayah saya mendapat pekerjaan yang tidak mengharuskannya pindah-pindah lagi, saya mulai ikut dia," terangnya, menambahkan.

"Rangga bohong, dia lebih sering ke tempatku dari pada pulang ke rumah ayahnya," celetuk Prof. Habibie sembari tersenyum lebar. "Aku sudah berhasil meminjam ruangannya. Ayo berangkat!"

Mereka menyusuri lantai yang melandai ke atas. Jadi untuk naik tidak menggunakan tangga, hanya permukaan lantai yang menanjak.

Tidak perlu waktu lama untuk sampai ke ruangan tempat Prof. Habibie menyimpan seluruh penemuannya.
"Apakah bakal sakit?" tanya Pak Made mulai memikirkan berbagai kemungkinan yang mungkin diterimanya selama tes.

"Tidak, tentu tidak. Bapak hanya akan dipasangi alat dan kami akan mencoba memahami apa yang sebenarnya terjadi dalam tubuh Bapak," jelas Prof. Habibie.

"Tenang saja, Pak Made, tidak ada pisau di sini," celetuk Rangga mencoba berkelakar.

"Sebenarnya di sini ada pisau," kilah Prof. Habibie. "Tapi kita tidak menggunakannya untuk mendeteksi. Tidak ada bedah membedah, hanya penelitian aliran listrik dalam tubuh."

"Intinya Pak Made santai saja," tambah Rangga lagi.

"Ah, Rangga, kau seolah sudah tahu apa yang hendak kulakukan," cibir Prof. Habibie.

Rangga tertawa. "Sudah bisa mengira-ngira, professor. Alatnya yang ini kan?" katanya sembari menunjuk alat versi kecil dari pendeteksi laju listrik dalam tubuh.

"Benar, aku lupa kalau kau sebenarnya genius. Sayang dulu kuliahmu hukum," ujar Prof. Habibie menimpali. "Baiklah kita mulai saja. Pak Made tolong agak ke sini."

Pak Made menurut. Menit berikutnya Prof. Habibie sudah memasang detektor di beberapa bagian tubuh subjek penelitiannya.

Rangga berusaha untuk tidak tertawa melihat tubuh Pak Made yang penuh dengan detektor. Kasihan juga orang itu harus dijadikan bahan percobaan. Tapi mau bagaimana lagi. Ini cara untuk mengalahkan Cleopatra.

Wanita sinting itu sudah mengultimatum. Artinya Rangga akan berhadapan dengannya lagi dalam waktu dekat, tentunya dengan kekuatan menyerang yang akan dipelajarinya.

"Nah Pak Made, coba keluarkan setruman," pinta Prof. Habibie.

"Saya biasanya nyetrum orang Prof. Kalau disuru mengeluarkan tanpa ada yang disetrum, saya tidak bisa," akunya.

"Rangga, kau jadi orang yang disetrum," sahut Prof. Habibie, santai.

bersambung....


Cerbung ini ada di majalah AN1MAGINE Volume 2 Nomor 7 Juli 2017 eMagazine Art and Science yang dapat di-download gratis di Play Store, share yaa


“Menerbitkan buku, komik, novel, buku teks atau 
buku ajar, riset atau penelitian di jurnal? An1mage jawabnya”

AN1MAGINE: Enlightening Open Mind Generations
AN1MAGE: Inspiring Creation Mind Enlightening 
website an1mage.net www.an1mage.org

Comments

Popular Posts

PARTNERS

Contact Form

Name

Email *

Message *