CERPEN: BUAH TERLARANG

http://wallarthd.com/wp-content/uploads/2014/09/Awesome-Red-Cherry-Fruits-Wallpaper-Download.jpg

BUAH TERLARANG
Archana Universa


“Jangan memakannya! Kau bisa mati!”

Aku menoleh dan melihat ibuku marah. Aku jarang melihatnya marah. Jadi aku tahu buah ini benar-benar dilarang olehnya.

“Apakah buah itu beracun?” tanyaku sembari memberikan buah itu pada ibuku.

“Lebih mengerikan dari pada buah atau hewan beracun mana pun!” tegas ibuku sembari membuang buah yang baru kupetik itu ke atas tanah basah.

Aku ingin bertanya memangnya apa yang akan terjadi jika buah itu masuk ke tubuh.

Tapi ekspresi ibu membuatku urung menanyakannya. Aku bahkan tidak ingat kapan ibu semarah itu sebelumnya.

Tanganku di tarik ibu, ia ingin aku buru-buru kembali ke dalam rumah. Aku masih memandangi buah berwarna merah itu sembari berjalan menjauh.

“Main di sekitar rumah saja, jangan keluar pagar,” pesannya ketika kami sudah kembali.

Aku mengangguk meski pikiranku masih tertinggal bersama buah itu. Buah yang dilarang ibu, buah beracun.

Selama bertahun-tahun setelahnya aku tidak pernah melihat buah itu lagi.

Tidak lama setelah memergokiku memegang buah terlarang itu, ibu mengamankan pohonnya.

Membakarnya hingga jadi arang. Tidak bersisa.

Aku bahkan sudah melupakan ada buah aneh yang menurut ibu lebih berbahaya dari pada buah atau hewan beracun.

Aku sudah tidak memikirkannya karena tidak pernah menemui buah atau pohon yang tidak kuketahui namanya. Yang aku tahu hanyalah buah itu terlarang. Itu saja. Titik.

Sekitar sepuluh tahun berikutnya. Waktu itu sore hari, aku dan tiga orang temanku baru saja mendirikan tenda.

Aku bergegas mencari kayu bakar untuk membuat api unggun dan memasak. Sementara yang lain menyiapkan makanan dan memastikan sekitar tenda sudah ditaburi garam.

“Buah apa ini? Baunya sangat manis!” kata Yoha yang ikut mencari kayu bersamaku.

Buah merah itu memang terlihat menggiurkan dan sama sekali tidak berbahaya. Samar-samar ingatan semasa kecilku berkelebat. Soal peringatan ibuku.

“Ibuku bilang itu adalah buah yang ibu lebih berbahaya dari pada buah atau hewan yang paling beracun,” gumamku, tidak yakin pada ucapanku sendiri.

Bukan karena aku tidak mengingat petuah ibu dengan baik. Hanya saja sebenarnya aku tidak pernah setuju dengan ibu.

Aku tidak yakin dengan ucapannya mengenai buah ini.

“Benarkah? Apa kita akan mati jika memakannya?” tanya Yoha, ngeri.

“Mungkin saja,” sahutku, sengaja berpura-pura bersikap acuh. “Mana mungkin aku memakannya jika ibuku melarangnya?”

“Ibumu pasti lebih tahu. Dia pasti benar. Sebaiknya kita tidak memakannya. Kita telan saja tumbuhan yang sudah kita kenal, yang sudah pasti aman,” ujar Yoha.

Aku mengangguk. Buah-buah merah itu dibuang Yoha ke atas tanah, persis yang dilakukan ibuku di masa lalu.

Tapi aku tidak. Aku tidak akan melakukan hal yang sama lagi. Aku penasaran.

Jadi kubiarkan Yoha berjalan duluan, kemudian dengan secepat kilat aku memetik beberapa buah merah itu dan memasukannya ke dalam kantung jaket.

“Kayu bakarnya sudah datang!” sorak Jik yang tengah memotong-motong akar yang akan menjadi makan malam kami.

Jik memang hebat dalam mengolah makanan. Biasanya kami membiarkan dia meng-handle semuanya. Tapi kurasa kali ini aku akan membantunya.

“Di mana Sen?” ujar Yoha sembari menumpuk kayu bakar yang telah aku dan dia kumpulkan.

“Mengambil air.” Jik kemudian menoleh ke arahku. “Frizz, kau yang terbaik dalam membuat api.”

Yoha duduk di batang pohon yang sudah dipindahkan Sen dekat kemah supaya kami bisa duduk-duduk di situ. Ia membuka botol air dan meneguk isinya.

Jik menggigit sedikit akar yang akan dimasaknya. Merasakan tingkat kelembutannya supaya ia tahu berapa lama kira-kira akar itu harus dimasak.

Anak itu lebih sering makan akar daripada daun atau buah.

http://www.myharriman.com/wp-content/uploads/2013/07/camping_at_night.jpg

Tidak butuh lama bagiku untuk menyalakan api. Seolah-olah aku ini manusia zaman prasejarah yang tidak mengenal kompor gas.

Sebenarnya langit belum terlalu gelap, hanya saja kami sudah kelaparan. Jadi lebih baik tidak menunda untuk membuat api.

“Kurasa kayunya tidak akan cukup sampai nanti malam,” kataku sembari melirik Jik yang masih memotong-motong akar.

“Tidak masalah. Kita potong saja dahan pohon itu,” sahut Yoha yang menunjuk pohon kecil di dekat kami.

Aku mengernyitkan dahi. Berpikir kegiatan kami ini potensial merusak alam. Bukannya mengambil ranting-ranting di atas tanah, Yoha malah akan menyakiti pohon yang masih segar bugar.

Tapi aku terlalu malas untuk berdebat. Kami sudah kehabisan banyak energi untuk mencapai tempat ini. Lebih baik tidak membuat percikan perselisihan di sisa hari ini.

Lagipula pikiranku tertuju pada buah merah di jaketku. Aku harus melakukan sesuatu dengan buah itu. Malam ini.

Aku sangsi, tidak pernah percaya kata-kata ibuku. Aku akan membuktikan bahwa peringatan ibu mengenai buah ini salah. Entah dari mana kepercayaan itu muncul, tapi aku benar-benar yakin kalau buah ini tidak beracun.

Sen datang dengan kedua jeriken yang terisi air. Dia memang kuat di antara kami berempat. Mungkin ia bisa memelintir kepala seseorang hingga mati dengan kedua tangannya itu.

“Kalian harus mandi di sungai! Airnya benar-benar menyengarkan!” kata Sen dengan suara menggelegar. Butir-butir air menetes dari ujung rambutnya yang jabrik.

“Besok saja ah,” tolak Yoha. Aku tahu dia tidak suka dekat-dekat dengan air.

Adiknya mati saat masih berumur tiga tahun. Tenggelam. Lagipula langit mulai gelap dan sepertinya tidak ada lagi di antara kami yang mau jauh-jauh dari kemah.
Jik sudah menata panci dan mengisi air ke dalamnya sementara akar yang sudah ia siapkan tengah dibakar.

“Apa makan malam kita?” tanyaku sembari duduk di sebelah Jik.

“Akar bakar dan minuman rempah hangat,” jawab Jik dengan senyuman lebar.

“Sempurna,” sahutku.

Yoha mengeluarkan harmonikanya dan mulai memainkan lagu. Dia tidak terlalu mahir, hanya bisa memainkan dua lagu yang sudah kami hafal karena Yoha sudah terlalu sering memainkannya.

Sementara itu Sen melemparkan batu asal-asalan ke arah hutan yang disusul dengan erangan kecil.

“Apa kau baru saja mengenai burung?” tanyaku pada Sen.

“Mungkinkah?” balas Sen.

Jik membentuk huruf O dengan mulutnya sementara Yoha menghentikan permainan harmonikanya.

“Coba kita lihat!” sorak Jik, senang. Sen mengangguk, Yoha mengikuti keduanya karena juga penasaran.

Maka tibalah kesempatanku. Aku merogoh saku jaket dan mengeluarkan buah merah itu, mencampurkannya ke dalam rebusan sebelum aku sempat memikirkan bagaimana jika buah tersebut membuat warna rebusannya menjadi merah.

Tidak. Aku tidak dapat mengambilnya lagi. Aku sudah menceburkan semuanya. Enam tangkai.

Kupandangi buah itu. Yang tidak seperti dugaanku, tidak meninggalkan jejak warna merah pada rebusan. Buah itu melebur dengan air. Mirip gula yang disiram air panas. Hilang begitu saja, tak berbekas.
Aku baru saja membalik beberapa akar bakar ketika ketiga temanku kembali.

“Lihat apa yang kami dapatkan, Frizz!” seru Jik, riang. Di tangannya ia memegang seekor burung mati. “Kurasa ini hari keberuntungan kita.”

Aku tersenyum samar kemudian pindah ke batang pohon yang digunakan Yoha untuk duduk-duduk. Kami bertiga, aku, Yoha, dan Sen, membicarakan tentang medan yang akan kami tempuh untuk mencapai puncak.

Jika cuacanya bagus, kami akan dapat sampai puncak sebelum matahari terbit. Kami akan melanjutkan pendakian saat subuh. Oleh karenanya, setelah makan, kami harus segera beristirahat.

“Ayo berkumpul!” seru Jik.

Makanan sudah siap. Jik membagikan akar bakarnya, masing-masing dapat tiga akar. Tidak lupa secangkir minuman rempah hangat yang sudah kukontaminasi dengan buah terlarang.

Aku tidak akan mati hari ini, begitu pula dengan teman-temanku, pikirku. Meski begitu aku tidak bisa menepis kegelisahanku. Kira-kira apa yang akan terjadi pada kami setelah meminum rebusan berisi buah terlarang?

Aku gelisah, tapi disisi lain aku penasaran.

Rasa laparku hilang entah kemana, tapi kupaksa akar itu masuk. Jik akan sedih jika ada orang yang tidak menghabiskan makanannya.

Sebelum aku sempat mengambil akar ketigaku, Sen menyodorkan cangkirnya pada Jik, minta diisi ulang. Di sisi lain Yoha sudah meminum setengah minumannya.

Mereka tidak mati, pikirku, tepat seperti tebakanku.

Lantas mengapa ibuku melarangku memakan buah ini sebelumnya?

Apakah dia sebenarnya tidak tahu buah apa yang tengah kupetik, dan takut anaknya makan sembarangan?

Aku mendesah lega dan meminum bagianku. Rasanya.... enak. Sungguh. Aku malah merasa bersemangat dan tidak takut apa pun.

“Apa kau menambahkan bahan untuk menambahkan energi pada minuman kita?” tanya Sen pada Jik.

Jik menggeleng. “Aku membuat rebusan rempah seperti biasanya kok.”

Kemudian ia meminum isi cangkirnya. Dahinya berkerut. Jik pasti tahu kalau ada bahan lain yang masuk dalam rebusannya.

“Apa kau menambahkan sesuatu, Frizz?” tanya Jik dengan nada tidak senang.
“Menambahkan apa?” kilahku.

“Ini bukan minumanku! Kau pasti menambahkan sesuatu saat kami mengambil burung yang terkena lemparan Sen!” raung Jik, marah.

“Apa kau hendak meracuni kami, Frizz? Kau ingin kita berempat mati bersama?” desis Yoha.

“Apa maksudmu, Yoha? Frizz meracuni kita?” tanya Sen dengan nada tidak senang.

Yoha memandangiku dengan tatapan tajam. “Saat mencari kayu bakar, kami menemukan buah merah yang wanginya sangat manis. Frizz mengatakan buah itu beracun.”

“Apa buktinya kalau aku meracuni kalian? Kita semua meminum ramuan yang sama dan tidak ada yang mati, kan?” kataku, ikutan marah.

Dugaan Yoha memang benar, tapi aku tidak senang dia menyudutkanku seperti ini.

Tidak ada yang mati kan? Kami justru merasa lebih kuat karena campuran dari buah terlarang. Lalu di mana masalahnya?

“Apa yang sebenarnya kau rencanakan, Frizz?” desak Jik sembari memicingkan mata. Tidak hanya Jik, Yoha dan Sen juga terlihat waspada padaku.

“Tidak ada,” ujarku dengan bergetar.

“Frizz, apa kau sedang berpikir untuk membunuh kami?” geram Sen.

Detik berikutnya terjadi sangat cepat. Tangan Sen sudah berada di leherku. Siap membunuh.

Aku mencoba menjelaskan. “Aku hanya ingin tahu apa efek dari buah itu. Ibuku mengatakan buah itu berbahaya....”

“Kau bilang buah itu beracun!” seru Yoha.

“Kupikir buah itu beracun karena ibuku melarangku memakannya! Tapi bukankah sudah terbukti kalau buah itu tidak beracun? Buktinya kita baik-baik saja!”

Sen mempererat genggamannya. “Beri aku satu alasan yang bagus supaya tidak membunuhmu, Frizz!”

Alasan? Memangnya aku bisa memikirkan alasan apa ketika dia hendak mencekikku hingga mati? Mungkin akan lebih baik jika Sen memelintir kepalaku saja sampai putus. Kematian instan.

Aku harusnya menangis, ketakutan. Tapi aku malah tertawa. Aku berharap bisa tertawa saja sampai mati.

Sen melepaskan tangannya dari leherku. Aku batuk-batuk parah. Sebuah makanan dijejalkan Jik padaku. Ia memaksaku menelannya. Mungkinkah dia sedang meracuniku? Aku benar-benar akan mati?
“Telan! Aku tidak sedang berusaha membunuhmu,” perintah Jik.

Setelah itu aku melihatnya. Jik, Sen, dan Yoha memakan hal yang sama. Entah apa itu.

“Kurasa kau berhutang budi padaku, Frizz. Aku menyelamatkanmu. Menyelamatkan kita berempat. Yah... kurasa belum saatnya kita mati,” kata Jik, dingin.

Jik menghela napas panjang sebelum melanjutkan. “Aku tahu buah itu. Ayahku menyebutnya Cawan Murka. Tumbuhan itu banyak ditemukan saat orang tua kita masih muda. Apakah ibumu tidak pernah menceritakannya?”

Aku menggeleng pelan. Ketika aku memejamkan mata, samar-samar aku bisa mendengar peringatan ibu.

“Jangan memakannya! Kau bisa mati!”

“Ibuku berkata buah itu lebih mengerikan dari pada buah atau hewan beracun mana pun. Jika memakannya, aku bisa mati,” ujarku lambat-lambat.

Jik menjelaskan. “Buah itu tidak beracun, hanya saja berbahaya karena membuat emosi marah orang yang memakannya menjadi lebih labil. Mudah tersinggung, marah, agresif, tidak sungkan untuk menyakiti orang lain bahkan diri sendiri”

“Penawarnya adalah akar yang tadi kita makan. Kebetulan yang melegakan kita sangat dekat dengan penawarnya sehingga tidak perlu ada pertumpahan darah hari ini.”

“Aku bersalah kepada kalian,” isakku.

“Semua orang melakukan kesalahan,” ucap Yoha. Ia menepuk bahuku kemudian masuk ke dalam kemah. Ia sudah memaafkanku.

“Kuharap kau tidak mengulanginya, Frizz,” ujar Sen masih dalam geraman, tapi sudah tidak terlalu marah lagi.

“Apa yang telah kulakukan sungguh memalukan,” bisikku.

“Kau digiring oleh rasa keingintahuanmu. Eksprerimenmu terlalu gegabah. Lain kali cobalah bertanya dulu. Jika ucapan ibumu kurang jelas, kau bisa meminta penjelasan lebih lanjut darinya atau orang lain yang lebih tahu.” Jik menarik tanganku.

“Ayo kita beristirahat, besok kita masih harus mendaki hingga puncak.”

Malam itu kami tidur bersama, saling menjaga. Seolah tidak pernah berselisih.



Cerpen ini ada di majalah AN1MAGINE Volume 2 Nomor 8 Agustus 2017 eMagazine Art and Science yang dapat di-download gratis di Play Store, share yaa


“Menerbitkan buku, komik, novel, buku teks atau 
buku ajar, riset atau penelitian di jurnal? An1mage jawabnya”

AN1MAGINE: Enlightening Open Mind Generations
AN1MAGE: Inspiring Creation Mind Enlightening 
website an1mage.net www.an1mage.org

Comments

Popular Posts

PARTNERS

Contact Form

Name

Email *

Message *