CERPEN: JANGAN TAKUT!


Aku tidak pernah percaya kalau hantu itu ada. Aku tidak pernah melihatnya. Kelebatan pun tidak. Jadi aku tidak takut harus tinggal sendirian di rumah, seperti hari ini.


Orang tuaku sedang bepergian ke luar daerah, sementara kakakku selalu menggunakan kesempatan semacam ini untuk “menginap di tempat temannya”. Aku tidak tahu apa kakakku benar-benar menginap, atau malah pergi ke kelab.

Yang jelas aku pernah memergokinya pulang dalam keadaan mabuk, sekali. Tapi sungguh aku tidak peduli ke mana ia pergi, aku sibuk memikirkan apa yang harus kulakukan nanti malam.

Sendirian di rumah yang luas, aku tidak ada masalah dengan hal itu. Hantu? Arwah orang  mati? Ngapain orang mati harus bergentayangan di dunia orang hidup?

Teori mengenai orang yang sudah mati namun masih berdampingan dengan makhluk hidup menurutku salah satu konsep paling konyol. Hantu itu tidak ada. Mungkin juga tuhan juga tidak ada.

Jadi aku memutuskan untuk mengambil beberapa camilan dari dapur dan juga membuat sebotol besar susu yang kumasukkan dalam termos supaya suhunya tetap hangat.

Selesai dengan persiapanku, aku memastikan seluruh jendela dan pintu telah ditutup dan dikunci. Baru setelahnya aku naik ke lantai atas.

Serius, aku lebih takut orang jahat. Menurutku maling lebih kejam daripada hantu. Karena hantu tidak ada.
Aku baru saja hendak menyalakan komputer ketika listrik padam.

“Luar biasa!” dengusku, kesal. Aku melirik ponselku. Baterainya tinggal setengah. Lebih baik tidak menggunakannya untuk akses internet karena baterainya akan lebih cepat habis. Sementara aku butuh pencahayaan misalnya untuk ke kamar mandi.

Ada lilin di lantai bawah, hanya saja aku terlalu malas untuk mencari dan menyalakannya. Aku lebih suka berharap mati listriknya tidak terlalu lama, jadi aku bisa bermain game atau mengakses sosial media untuk menghilangkan rasa kesepian.

Aku tengah memilih-milih lagu untuk didengarkan, melakukan kegiatan yang akan membuatku terhibur biar sedikit, dan hendak memasang earphone ke telinga ketika aku merasakan sesuatu bergerak di balik punggungku.

Aku ingin berbalik, tapi rasanya tubuhku terkunci, sulit untuk bergerak. Aku ingin melihat sosok itu melalui pantulan kaca, tapi sayangnya tidak ada kaca.

Ini tidak benar, pikirku. Aku memusatkan pikiran dan berusaha menguasai tubuhku. Ini tubuhku, aku yang punya kendali.

Dengan satu sentakan aku berbalik dan menyentuh tangan sosok yang tadinya ada di balik punggungku itu.
Mata kami beradu. Kami sama-sama terkesiap, kaget.

Dia mungkin terkejut karena aku bisa berbalik, melawan entah apa yang telah ia lakukan padaku. Sementara aku kaget karena wujudnya yang sangat-sangat di luar imajinasiku.

Tubuhnya dipenuhi pola-pola seperti sisik. Tidak ada rambut. Kemudian matanya... mata reptil.

Aku segera melepaskan tanganku dari tangan makhluk itu. Hal yang pertama kupikirkan adalah dia bukan hantu karena aku bisa menyentuhnya. Tapi mengapa ia bisa memengaruhi tubuhku? Makhluk apakah ini, Alien?

Pertanyaan kedua yang muncul di kepalaku adalah, dia baik atau jahat?

Lalu, apakah aku perlu melemparnya menggunakan botol termos yang sebelumnya sudah kuisi susu hangat?

“Siapa kau? Apa yang kau lakukan di kamarku?” tanyaku. Aku sendiri tidak dapat memastikan apakah aku sedang marah, atau malah takut.

Petir di luar membuatku melihat sosoknya lebih baik, warna kulitnya hijau. Seratus persen bukan manusia.
Apakah dia mengerti pertanyaanku? Apakah ia memahami bahasaku? Terlebih penting lagi, apa yang sedang dilakukannya di kamarku? Apa yang hendak ia lakukan padaku?

“Jangan takut,” katanya, merdu.

Aku sampai melongo. Kabar baiknya dia bisa bicara bahasaku. Bahasa yang tidak semua manusia kuasai, tapi makhluk yang bukan manusia ini bisa bicara dalam bahasaku.

Tunggu, dia tidak membuka mulutnya saat bicara, lalu dari mana suara dan pemahaman ini berasal? Apa aku sedang berhalusinasi? Apakah ini sekadar ilusi? Jangan-jangan aku sedang bermimpi....

“Kau tidak sedang bermimpi,” ujarnya dalam kepalaku, seolah dapat membaca pikiranku. Atau memang dia bisa membaca pikiran? “Kita sedang berkomunikasi lewat gelombang pikiran.”

“Apa maumu?” ujarku menyerukan bagian terpenting dalam pertemuan ini. Makhluk ini tidak kebetulan lewat saja kan?

“Aku sedang bertugas, mencari beberapa sample....”


“Sample?” potongku, ngeri. “Apa kau akan menculikku? Alien abduction?”

Makhluk itu nyengir, memerhatikan segeret gigi yang menyeramkan. Aku tahu dia tidak sedang menakut-nakutiku, hanya nyengir biasa. Hanya saja aku yang tidak terbiasa dengan pemandangan spektakuler di hadapanku.

“Tidak. Tidak seperti itu, sungguh. Hanya mengukur kadar humanity di antara manusia Bumi.”

“Bagaimana kau mengukurnya?” tuntutku sembari melipat kedua tangan di depan dada, juga mengerucutkan bibir.

“Ada alatnya, belum di temukan manusia zaman ini, tapi di masa depan sudah ada,” jelasnya, lagi-lagi tanpa membuka mulut. Gigi-giginya yang runcing tidak kelihatan lagi.

“Jadi kau dari masa depan?” tanyaku sembari memicingkan mata.

“Benar.”

“Kemudian kau akan memeriksa kadar humanity-ku, begitu?”

Makhluk itu tersipu, “Aku sudah memeriksanya, kok! Sebelum kau meraih tanganku. Harusnya aku sudah pergi dari sini kalau pengambilan sample-nya berjalan lancar....”

“Benarkah? Kok aku enggak ngerasa apa-apa?” pikirku sembari menggaruk-garuk kepala yang tidak gatal. “Ngomong-ngomong hasilnya gimana? Bagus?”

“Eh, itu... biasa-biasa saja, sih,” kata makhluk itu memberitahu, masih tanpa membuka mulutnya.

Aku memicingkan mata, tepat saat petir datang dan menerangi ruanganku lagi. Entah aku harus senang atau sedih karena mengetahui tingkat humanity-ku biasa-biasa saja.

“Ngomong-ngomong aku senang kau berhasil mengangkat pengaruhku dalam pikiranmu. Kau manusia pertama yang berhasil meruntuhkan pengaruhku, bahkan berhasil menyentuhku,” ujarnya dengan mata berbinar-binar.

Tetap saja aku tidak terbiasa menatap mata yang asing itu, jadi aku menundukkan kepala sekadar untuk memutuskan kontak mata.

Tidak perlu takut, kuberitahu diriku sendiri. Kalau dia jahat, minimal dia sudah mengigitku, bukannya mengajakku ngobrol.

“Jujur saja, kau sedang menungguku lari kabur sembari menjerit, ya?” cibirku. Aku berusaha kelihatan cuek, tapi pasti dia tahu kalau aku sedang gusar. Tidak bisa seratus persen tenang.

Aku tahu makhluk aneh di hadapanku ini tahu bagaimana pikiranku. Dia bisa merasakannya, sensing, kurang lebih begitu.

“Setelah kita ngobrol? Aku tahu kau pemberani kok!” kekehnya, langsung dalam pikiranku.

“Sebenarnya aku sempat mempertimbangkan untuk melemparmu menggunakan botol berisi susu,” ujarku, mengakui sembari tersipu malu.

“Lempar saja, pasti botolnya bakal menembus tubuhku lalu menghantam tembok,” kekehnya, santai. Sekarang makhluk itu malah duduk di atas ranjangku.

Aku jadi merasa sedang kedatangan sahabat karib sekarang. Tingkah lakunya begitu santai, seolah kami dekat dan sebenarnya dia hanya sedang melakukan kunjungan biasa, bukannya mengukur kadar humanity-ku.

“Me-menembus?” tanyaku, gagap. Aku tidak bisa pura-pura tegar saat mendengar makhluk ini bisa melakukan sesuatu yang tidak dapat kulakukan. Sedikit takut, sedikit iri.

Tentu dia bisa melakukannya, dia dari masa depan, astaga! Seruku dalam pikiran.

“Yap! Menembus, Lily!”

Astaga, dia bahkan mengetahui namaku tanpa kami butuh berkenalan.  Astaga. Astaga.

Entah bagaimana ia mendapatkan dataku, juga bagaimana ia mengukur tingkat kemanusiaanku. Yang pasti ia tahu caranya, meski aku tidak tahu.

“Manusia sering kali salah mengira kami sebagai hantu,” lanjutnya tanpa diminta.

“Hantu itu tidak ada,” sergahku.  Kemudian aku mengatupkan bibir, menarik napas dalam-dalam.

“Banyak yang mengatakan hantu ada, tapi bagiku tidak ada. Aku tidak pernah melihatnya sepanjang hidupku.”

“Kau benar. Hantu memang tidak ada. Yang ada hanya makhluk dari dimensi atau timeline yang lain, seperti aku, misalnya. Kemudian juga memory yang terlalu terekam kuat didunia ini. Kadang alam menampilkannya,” jelas makhluk itu. Dahinya berkerut samar, sepertinya ia tahu aku tidak memahami apa maksud kata-katanya.

“Intinya setelah mati, ya hanya kematian itu saja kan?” desakku.

“Sampai kau aktif lagi,” senyumnya, penuh misteri. “Mungkin semesta membutuhkanmu.”

Aku membenahi posisi dudukku. Hujan mulai turun diluar sana. Kuberanikan diri untuk menatap sepasang mata yang asing itu lagi.

“Aku tidak merasa sehebat itu sampai-sampai semesta membutuhkanku. Kurasa aku ini biasa-biasa saja,” ujarku.

“Makhluk biasa-biasa saja kah kau? Sudah kubilang kau manusia pertama yang berhasil melawan pengaruh pikiranku. Mestinya kau tidak dapat bergerak tadi, tapi nyatanya kau berhasil menyentuhku,” ujarnya, kembali dengan mata berbinar-binar. Mata reptil.

“Apa itu sebuah pujian?” tanyaku sembari mengerucutkan bibir.

“Tentu saja!” serunya sembari bertepuk tangan, senang. “Yang kau butuhkan tinggal meningkatkan humanity-mu.”

“Bagaimana caranya?” ucapku sembari memiringkan kepala.

“Kepedulian pada sesama.”

Aku mengernyitkan dahi. Ternyata kepedulianku masih cetek ya?

Kutarik boneka beruangku lalu mendekapnya. “Lalu apa pentingnya mengetahui kadar humanity manusia?”

“Kesiapan untuk menerima perbedaan,” jawabnya.

Jawaban yang terdengar tidak seperti jawaban karena aku makin binggung dibuatnya.

Makhluk itu melanjutkan, “Ketika manusia lebih dapat menerima perbedaan, mereka akan lebih peduli pada sesama. Kata sesama di sini kau bisa mengartikannya sebagai alam. Dan alam tidak sebatas alam bumi saja. Kita sedang membahas soal semesta.”

Tetap saja aku masih tetap belum memahami maksudnya. Mendadak aku merasa sangaaat bodoh. Ternyata benar ada makhluk-bukan-manusia yang lebih cerdas dari manusia.

Ini nyata. Aku tidak sedang bermimpi karena tiap kali aku curiga sedang bermimpi, aku akan segera bangun. Ini bukan sci-fi, bukan khayalan.

“Lalu bagaimana caranya aku melemparkan sesuatu lalu benda tersebut menembus tubuhmu?” Aku melemparkan pertanyaan lain.

“Karena aku bisa berpindah frekuensi. Mungkin kau mengira aku menghilang. Sebenarnya aku di tempat yang sama, hanya frekuensinya saja yang berbeda,” jelasnya dengan sabar.

Kurasa kepedulian makhluk ini sudah jauh melampauiku juga melampaui seluruh manusia yang pernah kukenal. Buktinya, ia mau menjawab petanyaan-pertanyaan bodohku. Kuharap dia tidak menganggapku menderita keterbelakangan mental atau semacamnya.

Beralih ke pertanyaan selanjutnya.

“Apa kau akan ketempat lain sekarang, mengambil sample? Katamu, seharusnya kau sudah pergi jika pengaruh pikiranmu bekerja dengan baik. Kalau kau sudah pergi, kita gak bisa ngobrol panjang lebar kayak sekarang.”

Makhluk itu mengerjapkan mata. Aku masih saja belum bisa menerima tengah menatap makhluk dengan mata reptil ini. Benar-benar aneh.

“Oh! Kau sample terakhirku hari ini kok, santai saja. Lagipula aku yakin hal ini akan menjadi berita besar. Teman-temanku pasti ingin bertemu denganmu. Ingin membuktikan apa kau benar-benar bisa melepaskan diri dari pengaruh pikiran makhluk macam kami.”

“Teman-temanmu akan berpesta kemari?” sahutku, ngeri. Aku membayangkan makhluk reptil ini dan teman-temannya yang lain di kamarku, semacam pesta piyama.

Mungkin aku tidak dapat santai kalau hal itu benar-benar diwujudkan. Beberapa makhluk aneh di kamarku, memandangiku dengan mata mereka yang aneh....

“Well, kalau kau keberatan, juga tidak masalah,” tukasnya, cepat.

“Aku hanya belum siap,” kataku, mengaku. “Rasanya aku seperti lumba-lumba yang beratraksi di kebun binatang saja sampai banyak pihak yang ingin menontonku.”

“Aku tidak tahu seberapa jumlah yang kau sebut banyak itu, Lily.”

Entahlah, isi pikiranku terlalu kacau sekarang. Kacau karena hari ini menjadi pengalaman yang tak terbayangkan. Kacau karena aku kesulitan mencerna perkataan makhluk di hadapanku ini. Aku tidak benar-benar memahami apa yang sebenarnya diucapkannya.

Makhluk ini tidak kuketahui apa sebenarnya dia, yang jelas bukan manusia. Jadi dari pada penasaran, kutanyakan saja pertanyaan yang sendari tadi menggangguku itu.

“Jadi sebenarnya siapa dirimu, makhluk-bukan-manusia?”

“Aku? Aku adalah makhluk yang sering dianggap hantu oleh orang-orang mistik dan agamis, tapi sebenarnya aku bukan hantu. Sungguh!” ungkapnya sembari menghilang dari pandanganku.


Cerpen ini ada di majalah AN1MAGINE Volume 2 Nomor 3 Maret 2017 eMagazine Art and Science yang dapat di-download gratis di Play Store, share yaa


“Menerbitkan buku, komik, novel, buku teks atau 
buku ajar, riset atau penelitian di jurnal? An1mage jawabnya”

AN1MAGINE BY AN1MAGE: Enlightening Open Mind Generations
AN1MAGE: Inspiring Creation Mind Enlightening 
website an1mage.net www.an1mage.org

Comments

Popular Posts

PARTNERS

Contact Form

Name

Email *

Message *