Roro Jonggrang di An1magine Volume 2 Nomor 5 Mei 2017
AKHIR ZAMAN
M.S. Gumelar
“Kau!” Roro bersiaga penuh dengan gerakan seperti mau bertarung saat melihat Vharok.
Bondowoso mendekati Roro Jonggrang dan menenangkan agar tidak melakukan hal tersebut.
“Apa yang membuatmu berubah?” Bondowoso penasaran dan ingin tahu motivasi Vharok.
“Tidakkah sudah jelas, ibuku menjadi tawanannya?” jawab Vharok.
“Hmm… apa yang menjamin bahwa kau tidak akan menyerang kami setelah kau mendapatkan ibumu?” tanya Bondowoso masih sangsi.
“Tidak ada, bukankah sudah jelas Bandung yang membunuh Gupala, aku sudah merasa kehilangan motivasi untuk balas dendam sejak saat itu, dan aku tidak ada dendam dengan kalian,” jelas Vharok.
“Baiklah, cukup adil dan beralasan” ujar Bondowoso.
Mendadak seseorang lari tergopoh-gopoh memasuki ruang istana. Seorang prajurit dengan bergegas dan terengah-engah menghadap Roro Jonggrang.
“Paduka Putri, nama hamba Yuyu Kangkang hamba membawa pesan dari seseorang dan mengancam membunuh hamba bila tidak disampaikan kepada Putri, silakan dibaca tertulis di lempengan batu ini,” ujar Yuyu Kangkang dan menyerahkan lempengan batu tersebut.
“Segera keluar dari istana dalam waktu paling akhir sore ini ditandai dengan terbenamnya matahari, sebab sekarang kerajaan adalah milikku, bila kau tidak melakukannya, maka aku akan membunuh Loro Jonggrang,” Roro Jonggrang membacanya dengan sangat sedih.
Lalu Garudeva mengambil batu tersebut, ”Batu kotak tipis yang dipotong rapi, tidak ada teknologi di masa ini yang mampu memotong batu serapi ini skrieeech… hal ini hanya dapat dilakukan oleh teknologi canggih. Tulisan di batu ini juga bukan dipahat hanya dapat dilakukan oleh teknologi canggih pula dalam waktu singkat… skrieeech… sepertinya oleh”
“Bandung,” ujar Bondowoso.
“Sepertinya kita tidak perlu mencarinya jauh-jauh, dia akan datang dengan sendirinya,” ujar Vharok.
“Benar, tetapi ada baiknya kita menuruti apa yang Bandung minta,” ujar Wanara.
“Mengapa? Bukankah kita mampu melawannya?” ujar Pikatan.
“Masalah melawan akan sangat mudah, tetapi keselamatan Loro Jonggrang dan Ibunya Vharok sangat penting, kita sudah tahu betapa nekatnya Bandung karena ingin jadi raja,” jelas Bhorghat.
“Bhorghat benar, kita harus mencari jalan lainnya,” ujar Vharok.
“Baiklah, sepertinya tidak ada jalan lain, kita beri apa yang dia mau, sembari kita akan membuat rencana lainnya,” Bondowoso menimpali.
Sore hari itu Bandung melangkah dengan pasti ke arah istana. Dengan tegap dan gagah, semua prajurit yang melihatnya memberi hormat kepada raja baru mereka.
Bandung melangkah memasuki istana dengan perasaan gembira dan bangga, cita-citanya selama ini untuk menjadi raja tersampaikan sudah. Tidak perlu meniti karier di bawah bayang-bayang Raja Pengging, kini dirinya sudah setara dan memiliki segalanya.
Dengan langkah gagah dan pasti Bandung menuju ruangan di mana pusat tampuk pemerintahan Kerajaan Baka berada, singgasana raja, Alam Baka kini jadi miliknya.
Saat sudah mencapai depan singgasana raja seseorang mempersilakan dia untuk duduk, ”Terima kasih Wanara,” ucap Bandung.
“Apakah mereka sudah tidak ada di sini lagi?” tanya Bandung.
“Sudah Gusti Prabu Bandung, mereka juga tidak mencurigai hamba berpihak pada gusti, keputusan gusti mendinginkan hamba sangat tepat, mereka benar-benar merasa hamba di pihak mereka,” ucap Wanara.
“Bagus, Patih Wanara,” puji Bandung kepada Wanara yang kini diangkatnya menjadi patih.
“Baik Gusti Prabu, bagaimana dengan Bondowoso?” tanya Patih Wanara.
“Jangan khawatir Patih, senjatanya sudah ada di tanganku, aku pasti dapat mengalahkannya, bahkan seperti yang kau lihat, aku mampu bergerak lebih cepat dan lebih kuat dari para raksasa itu,” jawab Bandung.
“Bondowoso mampu mengembalikan hamba seperti semula, sebenarnya hamba tidak yakin, tetapi ternyata paduka benar Bondowoso mampu melakukannya, dia sepertinya punya ajian yang langka, Paduka juga harus berhati-hati,” ucap Wanara.
“Kau benar Patih, aku akan mencari cara untuk mengalahkannya, sementara itu siapkan racun asap yang sangat kuat untuk para raksasa, agar mereka tidak menjadi pengganggu lagi, biar mereka akan mati seperti tikus yang diasapi lobang persembunyiannya,” perintah Bandung.
“Baik Gusti Prabu, hamba laksanakan,” lalu Wanara keluar dari ruangan tersebut setelah memberi gerakan Om Swastiastu.
“Prajuriiiiit,” setelah Wanara keluar dari ruangan tersebut Bandung berteriak kepada prajurit di dekatnya.
Dua orang yang ada di dekat istana tersebut segera menemui Bandung. Mereka memberi hormat kepada Bandung.
“Hamba gusti,” keduanya duduk bersimpuh dan memberikan hormat Om Swastiastu secara serentak kepada Bandung.
Bandung mengambil senjata milik Bondowoso. Lalu ditembakkan ke prajurit yang berada di sebelah kanan.
Prajurit tersebut langsung hancur menjadi partikel kecil dan yang tersisa hanya debu-debu yang bertebaran di lantai ruang utama istana dan menyebar tertiup angin. Prajurit satunya gemetaran dan sangat ketakutan sehingga kencing di tempat.
“Kumpulkan semua prajurit yang ada, aku akan membagi-bagi jabatan buat kalian, segera!” bentak Bandung kepada prajurit tersebut.
“B… b… baik Gu… Gustiiiii….Pra…Prabu!” jawab Prajurit tersebut, lalu memberikan hormat Om Swastiastu, bersimpuh mundur dan keluar dari ruangan tersebut dengan masih terkencing-kencing.
“Ha ha ha!” Bandung sepertinya gembira melihat hal tersebut.
“Ke mana Wanara?” tanya Pikatan.
“Bukankah bersamamu?” Bhorghat bertanya balik.
“Entahlah memang sebelumnya iya, tetapi katanya dia mau buang air kecil dulu, tetapi sejak saat itu, aku belum melihatnya lagi dalam perjalanan ke sini,” jawab Pikatan.
“Ya sudahlah, mungkin dia ingin menyendiri,” jelas Roro, ”Sama seperti aku.”
“Mungkin juga,” jawab Pikatan.
“Tempat persembunyian ini boleh juga,” Bondowoso berkata dan melihat kepada Vharok.
“Ya ini satu-satunya yang tersisa, sebab Bandung merusak tempat kami yang di istana, menutup aksesnya dengan batu-batu besar, bahkan kami sendiri bila tanpa exo armor tersebut, tidak bakalan kuat mengangkatnya,” Bhorghat menimpali Bondowoso, dia merasa terpanggil untuk menjawabnya walaupun Vharok tadinya seperti akan menjawabnya.
“Ya begitulah,” ujar Vharok mengiyakan.
“Apa yang kau lakukan Vharok setelah semua ini berakhir skrieeech?” tanya Garudeva.
“Entahlah, aku belum punya rencana, yang paling penting keselamatan ibuku dulu, entah di mana Bandung menyekapnya?” Vharok berkata lirih.
“Cukup bagiku kehilangan satu orang tua saja, dan kali ini aku tidak mau kehilangan lagi yang disebabkan oleh orang lain, cukup sekali saja!” jelas Vharok berapi-api.
“Mengapa kalian hanya memiliki satu exo armor saja?” tanya Bondowoso.
“Itu hanya pajangan, kami sudah tidak menggunakannya selama beribu-ribu tahun, sebab hanya dipergunakan hanya untuk perlindungan diri di saat perang, tetapi kami sudah tidak berperang lagi, misi kami sebagian besar hanya untuk penelitian,” jelas Bhorghat.
“Masuk akal, tetapi bukankah teman-teman peneliti lainnya masih ada di bawah istana?” tanya Bondowoso.
“Iya memang, tetapi kami kehilangan kontak dengan mereka, tetapi kami yakin mereka berusaha untuk mencari kami, sebab mereka masih punya alat transportasi untuk masuk kembali ke dalam bumi dan meminta bantuan koloni kami yang di sana,” jelas Bhorghat.
“Bagus bila itu yang terjadi,” ujar Vharok.
“Akan seperti itu, biar kau juga mengenal lebih jauh keluargamu sendiri,” jawab Bhorghat sembari memegang pundak Vharok.
Vharok tersenyum. Baru kali ini Roro melihat Vharok tersenyum dengan tulus.
“Bagaimana rencana kita menyelamatkan kakakku Loro Jonggrang dan ibunya Vharok?” tanya Roro Jonggrang.
“Kita menunggu, sebab aku yakin Bandung sekarang masih mabuk kemenangan dan hal ini membuatnya mudah terekspos dan cepat atau lambat kita akan menemukan kelemahannya, dan saat itulah kesempatan akan muncul” jelas Bhorghat.
“Aku tidak menyangka, yang dulunya lawan sekarang menjadi kawan dan yang dulunya kawan bisa menjadi lawan,” ujar Roro Jonggrang.
“Begitulah hidup, kita tidak bakalan tahu apa yang akan terjadi dengan diri kita atau orang lain, itulah indahnya hidup ini,” jelas Garudeva.
“Bukankah hidup sudah ada yang mengaturnya dengan apa yang akan terjadi?” Roro bertanya sekaligus sangsi dan ingin mendapatkan respon dari teman-temannya.
“Hidup kita dapat kita rencanakan, tetapi hal-hal yang random akan selalu terjadi,” jelas Bhorghat.
“Tetapi hidup tanpa rencana pun, kita akan tetap hidup, mengalir seperti air mengikuti aliran air, mengalir mengikuti air pun ada banyak rintangan, apalagi melawannya, pasti akan lebih susah.
Tetapi itu yang dilakukan oleh orang-orang hebat, hidup melawan arus air, sehingga tidak banyak yang mampu melakukannya skrieeech,” Garudeva menambahkan.
“Eh… belum terjawab pertanyaanku: bukankah hidup kita sudah ada yang mengaturnya?” tanya Roro penasaran.
“Ya ada, diri kita sendirilah yang mengaturnya skrieeech,” jelas Garudeva.
“Sungguh, bukan dewa?” Roro penasaran.
“Bukan, Bandung seperti sekarang ini bukan karena sudah ditakdirkan oleh dewa demikian, tetapi dirinya sendiri yang membuat dirinya seperti itu, dan Vharok menjadi sekarang ini juga bukan karena dewa sudah menakdirkan demikian, itu terjadi karena pilihan Bandung dan Vharok sendiri skrieeech” jelas Garudeva.
“Bagaimana aku bisa lahir?” tanya Roro Jonggrang semakin penasaran.
“Hm… sama seperti Vharok dan kita semua lahir, karena orang tua kita ingin bersenang-senang dan berketurunan bagi yang mampu melakukannya, ada yang tubuhnya tidak mampu membuat keturunan,” jelas Bhorghat.
“Bukan berarti tidak boleh membuat keturunan, karena tubuh mereka ada yang tidak berfungsi sebagaimana lainnya, tetapi dengan teknologi kami, yang tidak punya keturunan bila tubuhnya tidak mampu, maka kami dapat membuatnya, jadi tidak ada masalah dengan itu,” jelas Bhorghat.
“Ah kau dewa, jadi dewa pasti menentukan dirinya sendiri, tetapi aku bukan dewa,” Roro Jonggrang berargumen.
“Aku bukan dewa,” jelas Bhorghat.
“Aku juga bukan dewa skrieeech,” jawab Garudeva.
“Lalu mengapa namamu ada kata deva?” tanya Roro.
“Skrieeeech itu hanya nama, bukan berarti ada kata deva lalu aku ini dewa skrieech,” jelas Garudeva.
“Aku juga bukan dewa,” kata Bondowoso.
“Aku juga bukan dewa,” kata Vharok.
“Aku dewa, aku menentukan diriku sendiri,” ujar Pikatan, semua diam dan mata mereka tertuju pada Pikatan.
HA HA HA HA HA
Semuanya tertawa dengan hal tersebut.
*
“Baiklah semua telah berkumpul,” ujar Patih Amungkubumi Wanara di alun-alun kerajaan Baka.
Bandung dan Wanara berdiri di depan kerumunan prajurit-prajurit yang berbaris rapi.
“Kini siapa yang merasa dirinya paling sakti boleh mencalonkan dirinya menjadi Rakryan Tumenggung, agar ada yang memimpin kalian dalam peperangan,” ujar Wanara.
“Hamba Stupa Stupo mencalonkan diri gusti” jawab Stupa Sutopo.
“Baik ada lagi yang mencalonkan dirinya?” tanya Wanara.
“Hamba Shitohsudes gusti, siap untuk mencalonkan diri,” jawab Shitohsudes.
“Baiklah, silakan maju, apa ada lagi yang berani mencalonkan dirinya?” tanya Wanara.
Setelah menunggu berapa lama, tidak ada lagi yang maju, ”Baiklah, karena calonnya dua, silakan untuk saling bertarung, yang menang akan menjadi Rakryan Tumenggung, yang kalah akan menjadi Rakryan Demung,” ujar Wanara.
Segera saja Stupa Stupo dan Shitohsudes berhadapan. Shitohsudes bergerak maju dan menyerang dengan segera menggunakan jurus-jurus silat yang ampuh dan mematikan.
Serangan tersebut datang secara bertubi-tubi. Hal tersebut membuat Stupa Stupo kewalahan, namun dari satu kesempatan, ada peluang dan dimanfaatkan oleh Stupa Stupo dengan cepat, sehingga dengan telak mampu menyarangkan tendangannya.
BLUEGH!
Tendangan itu membuat Shitosudes terjengkang dan belum sempat berdiri Stupa Stupo telah menyarangkan tendangan kedua.
BLEEEGH!
Shitosudes terjengkang lagi. Tendangan susulan yang ketiga mulai menyerang lagi. Tapi kali ini Shitosudes berhasil mengelak dan menyarangkan pukulan ke perut lawan.
BLOEEM BLUL
Tetapi pukulan tersebut mental karena ternyata perut Stupa Stupo yang gendut bukanlah karena banyak makan saja, tetapi telah dilatih untuk membuat membal pukulan lawan.
Hal ini membuat Shitosudes kaget, segera satu pukulan lagi disarangkan ke wajah Stupo, dan berhasil masuk.
PLAKH! BRAAAGH!
Tetapi kaki Stupo juga secara bersamaan mengenai pundak Shitosudes karena Shitosudes belum berdiri secara penuh hal ini merupakan sasaran empuk.
“Cukup!” teriak Patih Amungkubumi Wanara.
“Baiklah Stupa Stupo kau menjadi Rakryan Tumenggung, dan kau Shitosudesh kau sebagai Rakryan Demung, selamat untuk kalian berdua!” ucap Wanara.
“Terima kasih Paduka Prabu Gusti Bandung dan Patih Amungkubumi Wanara,” kata Stupa Stupo dan Shitohsudes dengan sangat bangga.
“Kini akan aku tawarkan kedudukan siapa yang berani mengajukan diri sebagai Rakryan Rangga?” ujar Wanara.
“Hambhaa Ghephengkh shiaph ghusthih!” ujar Gephengk.
“Bagus, ada lagi?” tanya Wanara. Setelah beberapa lama menunggu tidak ada yang mengajukan dirinya.
“Baiklah Gephenk, lawan Shitohsudes, kalau kau menang, kau menjadi Rakryan Demung, dan Shitohsudes menjadi Rakryan Rangga, ayo mulai!” perintah Wanara.
Shitohsudes dan Gephenk berhadapan. Segera saja Shitohsudes menyerang Gephenk.
Dengan mudah Gephenk menghindar karena tubuhnya jangkung, dan kurus, sehingga gerakannya lebih mudah melihat gerakan Shitohsudes yang pendek.
Walaupun Shitohsudes pendek, gerakannya gesit, sehingga dengan gerakan cepat secepat yang dia bisa untuk melumpuhkan Gephenk.
Tetapi Gephenk bukanlah orang yang gampang menyerah, sumbing membuatnya menjadi orang yang lebih tegar dan lebih sabar, sehingga walaupun terkesan pemarah, sebenarnya masih perhitungan dan lebih berhati-hati.
Dengan demikian, dalam satu kesempatan berhasil menyarangkan pukulannya ke arah kepala Shitohsudes.
Hal ini membuat Shitohsudes kalap dan semakin berambisi mengalahkan Gephenk. Gephenk mengenal betul Shitohsudes yang selalu berambisi untuk menjadi pemimpin.
Karena Gephenk tahu benar sifat Shitohsudes yang ambisius dan menggunakan segala cara untuk menang bahkan menghasut pun akan dilakukannya.
Sebenarnya tidak jauh berbeda dengan sifat dirinya sendiri yang ambisius dan menggunakan berbagai cara bahkan menghasut dan memfitnah, tetapi yang paling agresif memang temannya tersebut yaitu Shitohsudes.
Oleh karena itulah Gephenk selalu mengalah untuk mencari kesempatan menjatuhkan dan membuat malu Shitohsudes adalah bagian dari rencananya sekaligus menunjukkan bahwa ilmu Shitohsudes berada di bawahnya.
Sepertinya memang Shitoshsudes terlalu banyak omong tetapi ilmunya memang kalah jauh dengan Gephenk.
BREGH
BLUUUUGH
Dengan beberapa mengelak dan di saat yang tepat. Gephenk berhasil menyarangkan tendangan telak ke dada dan perut Shitohsudes secara beruntun dan berturut-turut sebelum Shitohsudes bahkan jatuh ke tanah.
Tendangan itu membuat Shitoshsudes jatuh terjengkang dan bertatih-tatih berdiri.
“Cukup!” ujar Wanara.
“Kau Gephenk menjadi Rakryan Demung dan kau Shitohsudes menjadi Rakryan Rangga!” ujar Wanara.
“Baik gusti Patih,” ucap Shitohsudes. Rasa malu Shitohsudes terlihat jelas, tidak dinyana ternyata dirinya kalah sama orang sumbing yang selama ini dilecehkannya.
“Nah kini kau Gephenk kau punya kesempatan menjadi Rakryan Tumenggung, apakah kau berani melawan Stupa Stupo?” tanya Wanara.
“Mhohon mhaafh ghusthi, thidak, hamhbha thau khemamphuanh hamhbha,” ujar Gephenk.
“Baiklah, kini jabatan terakhir Rakryan Kanuruhan, siapa yang berani mencalonkan dirinya?” ujar Wanara.
“Hamba gusti patih,” ujar seseorang.
“Hm… baik, siapa namamu?’ tanya Wanara.
“Yandrei gusti… “ jawab Yandrei.
“Hei bukankah kau yang dulu bertemu di area kerajaan Pengging?” tanya Wanara.
“Benar sekali gusti,” jawab Yandrei.
“Oh… baiklah, silakan melawan Shitohsudes,” perintah Wanara.
“Baik gusti,” ujar keduanya.
Shitohsudes sepertinya kali ini tidak mau dirinya dipermalukan lagi. Dia telah siap dan tidak menganggap enteng lawan. Kali ini tetap saja Shitohsudes yang menyerang lebih dulu ke Yandrei.
BLUGH
Pukulan telak mengenai wajah Yandrei. Namun, dengan segera Yandrei juga menyarangkan pukulan telak ke perut Shitohsudes.
BLEGH
Dengan cepat keduanya mundur, Shitohsudes dengan cepat melakukan serangan kedua dan berhasil menyarangkan tendangan ke perut lawan.
PREKH
BLUEGH
Yandrei terdorong mundur dan segera mengatur langkah. Kali ini serangan berikutnya muncul dengan cepat, tendangan memutar. Dengan sigap Yandrei menghindar dan melakukan serangan pukulan ke arah perut.
Shitohsudes tak bisa menghindari serangan tersebut karena tendangan berputar ini tidak dapat dengan segera diganti posisinya dengan cepat.
Kecerobohan yang berakibat fatal. Yandrei berhasil menyarangkan pukulan dengan keras ke arah perut Shitohsudes.
BREGH
Shitohsudes mengerang menahan kesakitan di perutnya, kesempatan ini dimanfaatkan oleh Yandrei untuk melakukan serangan. Akan tetapi, kali ini Shitohsudes beruntung, kakinya tergelincir sehingga pukulan Yandrei meleset, kesempatan ini dimanfaatkan oleh Shitohsudes melakukan tendangan ke arah perut lawan.
DUBH!
Yandrei memegangi perutnya yang terasa sangat mual. Dan dengan segera Shitohsudes memukul Yandrei dengan mudahnya.
BEGH!
BRUGH Yandrei terjatuh.
“Cukup!” ucap Wanara.
“Yandrei sebagai Rakryan Rangga dan Shitohsudes sebagai Rakryan Kanuruhan!” ucap Wanara.
“Te… tet… tetapi hamba menang gusti, kenapa pangkat hamba turun?” Shitohsudes berargumen.
“Keberuntungan tidak dihitung, dalam peperangan, keberuntungan sangat sedikit sekali berperan, yang berperan penting adalah keahlian dalam bertarung, dan kulihat kau payah!” ujar Wanara.
“B… baiklah gusti,” ujar Shitohsudes lesu dan malunya bertumpuk.
“Terima kasih gusti,” ujar Yandrei.
“Nah semua posisi untuk sementara ini telah terisi, bagi kalian yang ingin naik jabatan, kalian boleh menantang atasan kalian bila merasa kalian mampu, dan akan kita adakan pertandingan secara resmi di sini, paham!” ujar Wanara.
“Paham gustiiiiiiii!” jawab semua prajurit yang ada di sana.
“Nah sekarang kalian bubar ke pos masing-masing, dan kalian para pejabat baru juga silakan tempati pos kalian masing-masing, kalian tunjuk sendiri anak buah kalian yang kalian rasa mempunyai keahlian yang kalian butuhkan, kita rapat di ruangan utama istana kerajaan nanti malam,” ujar Wanara.
“Kurasa masalah tata negara untuk sementara ini beres semua Gusti Prabu,” ucap Wanara kepada Bandung.
“Bagus Patih aku yakin mereka cuma para penjilat dan kulihat kemampuannya tidak seberapa, bila sudah saatnya, kita akan habisi mereka ha ha ha!” ujar Bandung.
“Benar sekali gusti, para penjilat dan tukang fitnah ha ha ha!” Wanara menimpali dan ikut tertawa.
“Wanara, bagaimana menurutmu Roro Jonggrang?” tanya Bandung.
“Dia cantik gusti, tetapi kakaknya lebih cantik dan terlihat lebih seksi, sedangkan Roro bentuk badannya lebih kurus, walaupun hamba lihat sejak perjalanan dengan mereka mulai dari Pengging hamba lihat Paduka Bandung selalu melihat dan mencuri pandang ke Roro Jonggrang,” jelas Wanara.
“Ah kau memerhatikan juga ya?” Bandung tersenyum.
“Perhatian sekali paduka gusti, bukankah sampai sekarang hamba selalu perhatian dan peduli dengan paduka,” jelas Wanara.
“Aku tahu, jadi kau malah setuju bila aku dengan Loro Jonggrang?” kata Bandung menegaskan sekaligus bertanya.
“Benar paduka gusti, Loro dan Roro Jonggrang sama tingginya, sama cantiknya, sama eksotisnya, terlebih lagi Roro sudah jatuh cinta sama Bondowoso…”
“… sangat sulit untuk merebutnya, kesempatan itu justru ada di Loro Jonggrang, Loro Jonggrang sepertinya lebih tegas dan lebih seksi dibandingkan Roro Jonggrang,” jelas Patih Amungkubumi Wanara.
“Hm… ada benarnya juga kau, Loro memang jauh lebih padat dan lebih seksi,” gumam Bandung.
“Baiklah setelah rapat pertama kita dengan para penjilat itu, aku akan menemui Loro Jonggrang untuk membuatnya menjadi istriku,” ujar Bandung.
“Ide yang bagus gusti,” Wanara setuju.
Loro Jonggrang terpaku di ruangan kecil entah di mana. Dia tidak menduga ayahnya telah meninggal.
Padahal sebelumnya dia merasa sangat gembira karena ayahnya berhasil lolos dari maut di acara pertarungan memperebutkan takhta kerajaan dengan bantuan Bondowoso.
Dia tidak tahu siapa Bandung, namun dia mengenal Bondowoso walaupun sedikit. Kenapa akhir-akhir ini muncul orang-orang dengan kesaktian yang mengerikan dan belum pernah dia lihat sebelumnya.
Kenapa Bondowoso yang sakti itu pun tidak dapat menyelamatkan ayahnya? Loro Jonggrang tidak habis pikir dengan hal ini.
Apakah Bandung kesaktiannya melebihi Bondowoso? Sehingga Bondowoso tidak mampu menyelamatkan ayahnya?
Loro Jonggrang tidak tertarik untuk makan, sudah hampir dua hari ini dia tidak dapat makan.
Tubuhnya lebih kurus. Makanan yang diberikan di hari-hari sebelumnya masih ada.
Tidak berapa lama, seorang pengawal yang berbadan besar mempersilakan seorang abdi wanita masuk ke ruangan Roro Jonggrang dan membersihkan ruangan tesebut agar tidak kotor.
Lalu setelah abdi wanita tersebut masuk, segera ditutup lagi pintu ruangan tersebut oleh penjaga berbadan besar tadi. Abdi wanita itu mulai membersihkan makanan yang tidak disentuh selama beberapa hari ini.
“Siapa namamu?” tanya Loro Jonggrang dengan ramah memulai pembicaraan.
Abdi wanita tersebut diam saja dengan tetap melakukan pekerjaannya. Dan juga seperti takut melihat Loro Jonggrang.
Loro Jonggrang menjadi merasa lebih sedih dengan hal itu. Dia lalu mulai membantu abdi wanita itu membersihkan ruangan.
Mendadak abdi wanita tersebut menyentuh tangannya dan keluar kata-kata, ”Ehk Ugh Akhg,” sembari menggerakkan tangannya seolah-olah melarangnya untuk membantunya.
Kini Loro Jonggrang tahu bila abdi wanita tersebut bisu dan kemungkinan besar juga tuli. Lalu segera dia menuliskan sesuatu di piring periuk yang ada di ruangan tersebut dengan menggunakan kuah kental makanan.
“Namaku Loro Jonggrang, Siapa namamu?” Loro Jonggrang menuliskan.
Abdi wanita itu terdiam melihat ke tulisan tersebut dan mendadak tersenyum. Lalu dia mencelupkan telunjuknya dan menuliskan namanya di periuk lainnya, ”Encih.”
Lalu abdi wanita tersebut menunjukkan periuk bertuliskan namanya kepada Loro Jonggrang dan perlahan berani mengangkat kepalanya dan melihat Loro Jonggrang.
Loro Jonggrang tersenyum dan Encih membalas senyuman Loro Jonggrang.
Namun Encih segera menunduk lagi dan segera merapikan ruangan Loro Jonggrang, setelah selesai Encih membungkus semua perlengkapan makan yang kotor dengan kain besar, kemudian menggedor pintu ruangan.
Pengawal yang berbadan besar segera membuka pintu ruangan dan Encih segera keluar ruangan lalu penjaga tadi segera menutupnya lagi dengan cepat.
Baru saja pintu ruangan ditutup, lalu terbuka lagi. Kali ini masuk pembawa makanan, seorang wanita separuh baya.
Wanita itu meletakkan makanan dan setelah jaraknya berdekatan dengan Loro Jonggrang, wanita tersebut berbisik, ”Sebaiknya Gusti tetap makan, agar dendam Gusti dapat terbalaskan, tetap hidup adalah pilihan yang tepat.”
Wanita tersebut masih meletakkan beberapa makanan lainnya di meja dalam ruangan tersebut, dan dengan terburu-buru segera keluar dan pintu ditutup lagi oleh pengawal dari luar.
Loro Jonggrang tercenung, ”Benar,” ucapnya untuk dirinya sendiri.
Lalu ia segera menghampiri makanan yang telah disediakan, lalu melahap memakan makanan yang tersedia. Sepertinya kali ini dia sangat mantap akan keputusannya.
*
Seseorang berlari dengan sangat cepat saking cepatnya hingga mata orang biasa tidak dapat melihatnya.
Lalu sosok tersebut berhenti di suatu tempat, seperti rumah terpencil. Celingukan dan masuk dengan cepat ke rumah tersebut.
Di dalam ruangan tersebut sangat sunyi. Namun, terlihat lebih rapi dan bersih. Lalu dia menggerakkan dan menggeser patung dengan bentuk kerbau ke arah atas.
Lalu terbuka pintu lainnya, dia masuk ke ruangan tersebut. Ternyata ruangannya sangat besar menuju ke area bawah tanah.
Sesampainya di sana, dia disapa oleh dua orang pengawal yang sedang berjaga, ”Selamat siang Gusti Prabu Bandung.”
Bandung tidak menjawab, ia segera masuk lebih ke dalam dan melihat Encih sedang membersihkan ruangan lalu melihat wanita separuh baya yang sedang memasak.
Bandung melewatinya dan bergerak lebih dalam lagi ke sisi ruangan lainnya. Dia melihat satu penjaga berbadan besar.
“Bukakan pintunya Gofar,” perintah Bandung.
“Baik gusti prabu,” jawab Gofar lalu membuka pintunya.
Bandung masuk ke ruangan tersebut, ”Apa kabar Loro, sepertinya kau tampak lebih segar, kulihat kau sudah mau makan, bagus sekali.”
Loro Jonggrang terdiam melihat kedatangan Bandung.
“Ah kulihat kau masih marah padaku, baiklah tidak masalah,” ujar Bandung, lalu dengan gerakan sangat cepat menotok jalan darah Loro Jonggrang di titik tertentu sehingga Loro Jonggrang mendadak lemas dan tidak dapat bergerak.
Lalu Bandung membebat tubuh Loro Jonggrang dengan kain yang telah dibawanya. Menyisakan area mata untuk melihat dan hidungnya saja untuk bernapas, mulutnya sudah dibungkamnya pula agar tidak berteriak.
Kemudian dipanggulnya dan berjalan keluar ruangan tersebut, ”Jaga area sini baik-baik, masih ada satu raksasa wanita yang juga akan aku pindahkan segera,” ujar Bandung.
“Baik Gusti Prabu,” jawab Gofar.
Dengan sangat cepat Bandung berlari sehingga kain dan rambut Gofar terbawa arus angin yang disebabkan oleh gerakan Bandung berlari tersebut.
*
“Nah kau kini sudah balik ke ruangan istanamu,” ucap Bandung lalu melepaskan totokan jalan darah yang dilakukannya, sehingga Loro Jonggrang mulai bisa bergerak.
bersambung....
Cerbung ini ada di majalah AN1MAGINE Volume 2 Nomor 5 Mei 2017 eMagazine Art and Science yang dapat di-download gratis di Play Store, share yaa
“Menerbitkan buku, komik, novel, buku teks atau
buku ajar, riset atau penelitian di jurnal? An1mage jawabnya”
AN1MAGINE BY AN1MAGE: Enlightening Open Mind Generations
AN1MAGE: Inspiring Creation Mind Enlightening
website an1mage.net www.an1mage.org
Comments
Post a Comment