TIGA DASA WARSA, TIGA SISI RUPA: GUSTRA


Lima puluh karya fotografi yang berasal dari kreatifitas dan Imajinasi Gustra ditampilkan di Bentara Budaya Bali selama sepekan mulai 15-22 Mei 2016.


“TIGA DASA WARSA, TIGA SISI RUPA GUSTRA” merupakan pameran tunggal Gustra yang kedua. 

Sementara untuk pameran bersama, Gustra sudah melakukannya dalam negeri seperti di Sumatera, Jogja, Semarang, dan Batam.

Di luar negeri seperti di  Austria, Australia, Hongkong dan Malaysia, juga di Museum Welkulturen Der, Frankfurt tahun 2009.

Karya retrospektif Ida Bagus Putra Adnyana atau Gustra ternyata tidak berangkat dari kegemarannya memotret, melainkan hobi menggambar.

Saat SMP Gustra diberi kamera plastik dari kakek. Dari situ ia mulai motret secara otodidak dan hasilnya belum terlalu bagus. Setelah kamera tersebut rusak, ia tidak memotret lagi.

Gustra sudah sering melukis dan mengikuti pameran gambar ketika acara ulang tahun sekolah atau pada saat tujuh belas agustusan sejak SMP.

Ia juga berlangganan majalah musik, di situ terdapat halaman yang memuat karya-karya unik.


Tertarik, Gustra mengirim potongan pemain musik yang kepalanya diganti dengan kepala monyet atau anjing namun tidak dimuat. Meskipun begitu, imajinasinya sudah mulai muncul.

Di bangku kuliah, ia menjadi kartunis untuk majalah kampus, juga mula memotret.

Beliau juga suka mengirim karya ke media massa dan sering di muat. Foto-fotonya juga sering menang ketika dilombakan.

Saat Gustra kecil, ayahnya yang seorang pemandu wisata sering mengajak tamu ke rumah.

Kadang ia difoto oleh tamu ayahnya dengan kamera polaroid. Gustra kecil mengagumi bagaimana sebentuk gambar objek dapat langsung dipindah ke selembar kertas.

Mengambil gambar orang naik sepeda, orang di pantai, juga nelayan.


Mulanya Gustra banyak memotret orang, objek yang paling gampang ditemui. Anak kecil, ibu tua dengan keriputnya.

Setelah terlalu sering memotret di sekitar rumah, Gustra mulai memotret di desa.

Gustra mengaku dirinya adalah pribadi yang menyukai tantangan. Ia juga hobi membaca. Setiap pulang sekolah ia sering melihat-lihat majalah, mengisi memorinya dengan gambar-gambar berkualitas sehingga saat bekerja ia dibimbing oleh memorinya.

Berkecimpung dalam dunia fotografi selama lebih dari tiga puluh tahun. Gustra mengaku senang meng-update diri sehingga ia tidak kesulitan mengikuti perkembangan teknologi. Mulai dari kamera analog hingga digital.

Gustra bahkan tertarik dengan teknologi hologram, ia berharap suatu saat dapat menggunakan hologram sebagai media untuk karyanya.

Karya-karya Gustra digolongkan atas “Documentary Culture Photography", "Composite Photography", dan "Fusion Photography".

Gustra tidak hanya mengabadikan ritual dan upacara tradisi di Bali, karya-karyanya justru sarat kritik dan ironi. Ia bahkan mengabungkan beberapa foto untuk mewujudkan gagasannya yang sangat imajinatif.

Penggabungan ini diawali karena kegemaran Gustra akan sesuatu yang kontradiktif, tapi memiliki sisi harmoni.

Contohnya Gue R Nika yang menggabungkan gambar kerbau, tarian legenda dari Banyuwangi ditambah dengan foto gadis di studio.

Gustra mengaku untuk membuat karya-karyanya tidaklah sekali jagi. Ia bisa mencoba sampai empat lima kali untuk menyempurnakan komposisi, pencahayaan, dimensi dan tema.

Pesan yang coba disampaikan dalam karyanya terkadang tidak dapat ditangkap dalam sekali lihat. Seperti mengenai Dewi Sri, dewi kesuburan yang dikaitkan dengan kondisi Alam Bali.

Sawah-sawah menjadi vila, seolah Dewi Sri kini terusir. Padahal Subak merupakan bagian penting bagi Masyarakat Bali.

Kini tanah-tanah dibeton, air meluap ke jalan raya.

Melalui “Documentary Culture Photography”, Gustra ingin menunjukkan masih banyak di Bali masyarakat yang antusias melaksanakan ritual-ritual sejak dulu hingga sekarang, antar desa memiliki perbedaan tradisi, kadang tidak saling tahu karena tidak ada transfer pengetahuan.

Melalui karyanya, Gustra mencoba menjembati perbedaan tradisi. Kemudian terkait dengan memori kultural.

Kebudayaan yang sudah hilang setidaknya telah didokumentasikan. Juga ada desa yang ritualnya telah hilang, setelah melihat karya Gustra, mereka kembali menghidupkan ritual mereka kembali.

“TIGA DASA WARSA, TIGA SISI RUPA GUSTRA” sesungguhnya dihadirkan Gustra karena ia sudah mencapai titik perjalanan dimana ia merasa kehabisan tantangan.

Ia mencoba menimbulkan gairah baru memancing diskusi, dan menantang generasi muda bahwa dia yang sudah berumur 58 tahun saja masih berkarya, mengapa anak muda tidak? (ARC)





Liputan ini ada di An1magine majalah eMagazine Art and Science Volume 1 Nomor 4 Juni 2016
yang dapat di-download gratis di Play Store, share yaa











Comments

Popular Posts

PARTNERS

Contact Form

Name

Email *

Message *