Srikandi Bahasa itu: Niknik M. Kuntarto


“Di atas pengetahuan selalu ada seni yang akan menjadikannya lebih bermakna” adalah ungkapan yang diyakininya. 

Ketika menulis apa pun, senilah yang akan memberinya roh sehingga menjadi tulisan yang hidup dan bermakna.Saatirah adalah tokoh yang ia ciptakan melalui seni berimajinasi. Sebaris nama yang diambil dari Bahasa Arab yang berarti wanita solehah, wanita yang selalu menjunjung tinggi kehormatan suami. Bahkan, menutup aib sang suami dari siapa pun. Saatirah adalah gambaran kesempurnaan seorang wanita dalam berumah tangga. Gambaran wanita Indonesia yang tetap saja selalu hadir walau zaman berubah.

Memang unik. Namun, karena keunikannyalah itu pula, Tokoh Saatirah menjadi objek penelitian yang tersebar di beberapa tesis karya mahasiswa di beberapa universitas.Novel Saatirah (2010) unik dan menarik karena merupakan cerminan Wanita Indonesia; sebagai kaca benggala kehidupan bagi Wanita Indonesia pada umumnya.Jam berganti hari. Hari berubah menjadi minggu. Minggu menggeser bulan. Dan bulan pun menggantikan tahun.

Berdasarkan pengalaman batin sang penulis, Tokoh Saatirah yang ia ciptakan pun menjelma menjadi wanita lebih dewasa dan  sadar diri bahwa ilmu kesempurnaan dalam berumah tangga yang selalu ia bangga-banggakan ternyata tak sesuai dengan zaman. Oleh karena itu, pada novel kedua yang berjudul Saatirah Menggugat (2014),  ia ciptakan Tokoh Saatirah dengan karakter yang berbeda. Ia hadir sebagai wanita yang mulai berusaha untuk bahagia, meskipun pada akhirnya  menyerah pada nasib.

Saatirah mengalami kegetiran untuk yang kesekian kalinya. Ia terima dengan suatu keyakinan bahwa getir itu anugerah terindah yang akan terbayarkan oleh keindahan hidup setelahnya. Siapakah sang pencipta tokoh wanita yang luar biasa itu? Ya, dia adalah Niknik M. Kuntarto, novelis yang selalu memiliki keyakinan bahwa di atas pengetahuan ada seni yang akan membuatnya menjadi lebih bermakna. Wanita yang sedang menyelesaikan trilogi novelnya yang berjudul “Tetirah Saatirah di Mahagiri” ini kerap mempelajari seni mengajar dan seni menulis.




Salah satu langkah yang ia lakukan adalah menerapkan ilmu dan pengetahuan apa pun yang akan diajarkannya kepada mahasiswa terlebih dulu diterapkan kepada dirinya sebelum mengajarkan kepada mahasiswanya. Baginya, bagaimana mungkin mahasiswa percaya pada dosennya jika apa yang diajarkan tidak pernah diterapkan kepada dirinya sendiri.

Bagaimana mungkin akan mengajarkan cara menulis yang baik kepada mahasiswa jika sang dosen tidak pernah menunjukkan hasil karya dalam dunia tulis-menulis. Bagaimana mungkin dapat mengajarkan cara berbicara yang baik jika dosen sendiri tidak pernah menjadi pembicara yang baik. Dengan kata lain, menurut penerima penghargaan sebagai Pembicara Kharismatik pada ajang Forum Ultima dengan tema “The Art of Writing” ini seorang dosen haruslah menjadi role model bagi mahasiswanya.

Kebiasaan ini telah mengantarkan Niknik menjadi dosen yang menggugah dan menggairahkan mahasiswanya dalam belajar. Tak heran, karena kebiasaan tersebut, wanita yang sedang menyelesaikan Program Doktor di Pascasarjana Universitas Negeri Jakarta ini membiasakan memberikan karya tulis dalam bentuk apa pun kepada dirinya sendiri sebagai hadiah ulang tahun.

Cara ini ia lakukan agar selalu termotivasi dan memotivasi lingkungannya untuk selalu menulis, menulis, dan menulis. Pada akhirnya, cita-cita Niknik agar karya tulisnya berjumlah sama dengan umurnya kini terwujud.

Wow...! Dahsyat sekali!

Niknik yakin bahwa minatnya berada di dalam dunia tulis-menulis bukan saja karena sebagai dosen Creative Writing dan Academic Writing di Universitas Multimedia Nusantara, Tangerang, Banten. Yakin bahwa setinggi-tinginya ilmu yang ia miliki, seluas-luasnya pengalaman yang ia rasakan, tetapi ketika tidak pernah dituangkan ke dalam tulisan, ia akan hilang dari sejarah. Seperti apa yang dikatakan oleh Pramudya Ananta Tur, penulis berparas ayu ini yakin bahwa menulis itu suatu seni proses mengabadikan sesuatu.

Ketika ditanya tentang buku apa saja yang ia tulis, istri dari T. Widya Kuntarto ini menjelaskan bahwa selain novel kini ia sedang fokus menulis buku-buku Bahasa Indonesia bagi penutur asing atau BIPA bersama tim yang ia pimpin: BIPA Dashyat. Sesuai namanya, dahsyat sekali dalam waktu kurang dari dua tahun, ia dan lima penulis lainnya yang tergabung dalam BIPA Dahsyat, Mereka telah menulis 20 Buku BIPA dan 20 Media ajar BIPA yang kini telah tersebar penggunaanya di beberapa kota di Indonesia, seperti di Bali, Lombok, Jakarta, Bandung.

Juga merambah ke Semarang, Surabaya, Palembang, dan Batam, juga di mancanegara seperti Singapura, Korea, Jepang, dan Australia. Bahkan, pada Januari 2016,  Srikandi Bahasa ini pun pernah didaulat sebagai narasumber oleh salah satu radio dari Australia untuk memaparkan sepak terjang BIPA Dahsyat dan perjalanannya dalam memartabatkan Bahasa (Bangsa) Indonesia.

Mengapa fokus ke Buku-buku BIPA? Wanita yang pernah mendapatkan predikat sebagai “10 Tokoh Inspirasi Majalengka”. Niknik menjawab dengan mata berbinar bahwa semua ini berawal dari kegelisahan kurang tersedianya Buku-buku BIPA saat ia mengajarkan Bahasa Indonesia kepada penutur asing. Dari sanalah, pendiri Kampung Bahasa Bloom Bank  Indonesia (KB3I) ini merasa tertantang melakukan sesuatu untuk negara. Dibuatlah Tim BIPA Dahsyat yang memfokuskan pada penulisan buku-buku dan media ajar Bahasa Indonesia bagi penutur asing.

Di antara kesibukannya mengajar, menjadi narasumber di beberapa acara, menyelesaikan kuliah, mengelola KB3I, bahkan kegiatan terakhir sedang mendirikan Lembaga Indonesia Dahsyat (LID) bersama dengan salah satu pengusaha sukses dan budayawan di Bali. Bagaimana cara Penerima Insentif Buku Ajar 2011 Tahap II pada Desember 2011 atas buku Cermat dalam Berbahasa, Teliti dalam Berpikir dari DP2M, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia ini  mengatur waktu untuk keluarga?

Hmm... Ibu dari tiga anak ini hanya tersenyum dan mengatakan bahwa apa yang sedang ia lakukan kini adalah demi anak-anaknya. Selain menjadi role model bagi mahasiswanya, Niknik ingin agar ia pun menjadi role model bagi anak-anaknya. Ia menutup pembicaraan dengan ungkapan bahwa “Didiklah anakmu 20 tahun sebelum ia lahir”. Artinya, seorang Ibu harus mendidik dirinya sendiri agar menjadi teladan bagi anak-anaknya. Niknik... Niknik... Niknik ... rupanya dalam mendidik anak pun, seni mendidik kau terapkan!


Artikel ini ada di An1magine majalah eMagazine Art and Science Volume 1 Nomor 4 Juni 2016
yang dapat di-download gratis di Play Store, share yaa

Comments

Popular Posts

PARTNERS

Contact Form

Name

Email *

Message *