Roro Jonggrang
VHAROK
M.S. Gumelar
Sampai Bhorghat kemudian berhenti di suatu ruangan dan melihat ke arah Bandung.
“Sepertinya cukup di sini, kita berpisah, tetapi tunggu sebentar ya,” ucap Bhorghat kepada Bandung.
“Ehm… baiklah,” jawab Bandung. Lalu Bhorghat masuk ke dalam ruangan istana.
Bandung menunggu di depan pintu tersebut, sesekali beberapa orang lalu lalang dan melewatinya.
Bandung agar tidak merasa canggung dan asing, membalas tersenyum ke arah mereka bila ada yang tersenyum padanya.
“Ah ini dia,” saat Bhorghat muncul, dan menyerahkan bungkusan yang entah apa isinya.
“Ini adalah peralatan yang dirampas oleh Dvhargha, milik Bondowoso, aku menyimpannya, berikan padanya saat kau kembali ke markas sementara nanti,” ucap Bhorghat.
“Hm… baiklah,” jawab Bandung saat Bhorghat segera bergegas balik lagi ke dalam pintu tempat dia ke luar tadi, dan tidak kembali lagi.
Bandung bergegas pergi dari area tersebut. Kali ini dia merasa canggung dan takut ketahuan, namun dari informasi selayang pandang yang dilakukannya, Bandung merasa cukup.
Dia pun segera bergegas ke pintu luar gerbang istana dengan mudahnya.
Setelah keluar dari area istana, Bandung segera berjalan ke arah kedai. Mengambil tempat duduk paling dekat dengan pintu kedai, agar leluasa untuk segera ke luar bila dibutuhkan.
Bandung sadar bahwa masih di area istana, jadi dia harus selalu waspada pada hal-hal yang di luar dugaan dan tidak ingin memancing keributan agar tidak menggagalkan rencana timnya.
“Wedhang jae hangat satu dan nasi kuning lauk paha ayam bakar” pinta Bandung kepada ibu penjual makanan di kedai tersebut.
“Baik den,” jawab ibu tersebut yang masih melayani pelanggan sebelumnya. Setelah itu segera menyiapkan pesanan Bandung.
“Niki den,” ucap ibu tersebut sembari menyodorkan hidangan yang dipesan kepada Bandung.
“Ritnis, ambilkan segera wedhang jae-nya!” setelah meletakkan makanan tersebut ibu tersebut segera memanggil seseorang untuk segera membawa minuman pesanan Bandung.
“Nggih bu, sebentar lagi,” ujar suara Ritnis dari balik ruangan satunya yang sepertinya area dapur.
Tak lama kemudian Ritnis muncul, seorang gadis berkulit cokelat gelap, tetapi rambutnya tipis ikal dan anehnya hampir botak karena sepertinya terlalu banyak rontok, mukanya seperti bekas ditonjok menceng dan mulutnya monyong, giginya rusak seperti malas dibersihkan.
Dengan perlahan-lahan Ritnis membawa wedhang jae ke Bandung dan meletakkannya di samping kanan makanan yang diletakkan sebelumnya.
Lalu dengan segera Ritnis balik lagi ke dapur seperti tidak percaya diri.
“Dia seperti itu karena dia menghina Vharok saat bertemu pertama kali, dan kebetulan Vharok makan di kedai ini, dia bilang gigi Vharok seperti anjing, lalu Vharok marah dan menonjok wajahnya, dan mencabut rambut-rambut kepalanya, tak ada yang berani menghentikan Vharok, padahal orang tuanya sudah berteriak-teriak meminta maaf,“ bisik orang tua yang duduk di sampingnya.
“Namun Vharok berhenti setelah ada wanita yang sangat tinggi menghentikan aksinya, wanita tersebut meminta maaf, lalu memberikan sejumlah banyak tahil, sehingga orang tuanya Ritnis membeli lahan lebih luas lagi dan lebih kaya, namun wajah tidak dapat digantikan oleh tahil bukan?” bisik pria tua tersebut menambahkan. Sementara itu, Bandung tetap tenang saja sembari melahap makanannya.
“Dan anehnya, perbuatan Ritnis tidak pernah berubah, masih saja suka mengolok-olok dan suka memfitnah orang lain, setelah kupikir-pikir, memang Ritnis layak mendapatkan hal tersebut, ada orang yang sudah mukanya jelek eh perbuatannya juga jelek, atau mungkin karena keturunan ibunya, Itnis yang juga suka memfitnah, sayang sekali,” bisik pria tersebut.
Bandung tidak mendengarkan ocehan orang tersebut lagi, asyik dalam pikirannya sendiri dengan rencana-rencana yang mendadak muncul di benaknya. Orang tua di sampingnya masih saja berbicara yang Bandung sendiri tidak tahu lagi apa yang dibicarakannya.
Setelah makanannya habis, lalu Bandung segera meminum wedhang jae-nya, mengambil beberapa salak dan diletakan di dalam bungkusan yang diberikan oleh Bhorghat tadi dan segera membayar ke pada ibu Itnis pemilik kedai yang besar tersebut.
Ada sisa kembalian tahil, lalu Bandung melemparkan sisa uang tahil tersebut kepada orang tua yang suka bercerita ke orang yang tidak dikenal tadi.
“Hei… terima kasih ya,” ujar orang tua tadi.
Bandung membalas dengan senyuman, lalu bergerak keluar kedai dengan perasaan yang sepertinya gembira sekali.
Bandung bergegas balik ke markas sementara. Tapi mendadak dia berhenti setelah agak jauh dari keramaian, dia mendekati pohon yang rindang dan besar.
Lalu duduk di area tersebut, mengambil salak yang dimasukkannya ke dalam bungkusan tadi.
Bandung mengambil salak, membuka kulitnya dan memakannya, setelah beberapa gigitan dan kunyahan.
Bandung tercenung melihat alat aneh yang ada di dalam bungkusan tersebut. Bandung meletakan salaknya, lalu segera mengambil alat aneh yang katanya milik Bondowoso tersebut.
Bandung melihat dengan detail dan teliti bentuk alat yang seperti ulekan tersebut.
Alat aneh itu berwarna keperakan, bening seperti berlian di area ujungnya. Lalu ada beberapa tulisan yang Bandung tidak mengerti.
Ada tanda biru sedang menyala area tulisan “Freeze,”. Lalu Bandung menggesernya putaran yang di dekat area lampu ke tulisan “Stun,” warna biru tadi menyala pindah ke tulisan tersebut, Bandung tidak mengerti, tetapi dia tertarik dan keingintahuannya semakin besar.
Digesernya lagi ke tulisan lain “Heat,”, lalu di geser lagi ke tulisan “Kill,” lalu di geser lagi ke tulisan “Disintegrate,” lalu di geser lagi ke tulisan “Stone,” lalu diputarnya lagi balik ke freeze, diputarnya lagi ke stun.
Dia tidak tahu apa arti semua itu, lalu dia melihat adanya sesuatu tonjolan sedikit di area punggung dekat ulekan yang ujungnya lebih pendek.
Dia melihat-lihat dan mengepaskan ke jempolnya yang sepertinya tonjolan bulat tersebut pas dengan jempolnya.
Dipencetnya tombol tersebut, dan menghadapkannya ke area atas secara tidak sengaja dan mendadak jatuh seekor burung, kaku seperti tidak bergerak tapi dalam posisi terbang.
Dia melihat burung yang kaku tersebut. Diambilnya burung tersebut, didekatkan ke telinganya, “Tidak mati?” gumamnya.
Lalu dia melihat alat itu lagi, kali ini diarahkan ujung yang lebih panjang ke arah kucing yang kebetulan lewat di situ, lalu segera ditekan tombolnya.
Seberkas cahaya biru keluar dari alat tersebut dan mengenai kucing itu. Kucing tersebut mendadak berhenti saat berjalan.
Bandung mendekatinya tidak percaya, lalu di sentuh-entuhnya kucing tersebut, ”Tidak bergerak,” lalu dipegangnya bagian leher kucing tersebut, ”Tidak mati.”
Dengan cepat Bandung mengubah setting dari Stun ke atasnya lagi, kali ini ke tulisan Heat. Dan diarahkan ke pohon besar yang menjadi naungannya.
ZAAAP!
Sinar merah keluar dari alat tersebut, dan mengenai pohon tersebut. Pohon tersebut langsung terbakar dengan cepat.
WOOOOO!
Bandung terkesima, lalu tertawa.
HA HA HA HA HA!
Kini dia set ke tulisan Kill. Dan kali ini diarahkan ke batu besar tempat dia duduk tadi.
ZAAAAP!
Batu besar tadi berlobang dengan sempurna, seperti terkena bor yang sangat tajam dan cepat saat terkena sinar merah tadi.
HA HA HA HA HA HA!
Bandung seperti menemukan mainan baru, dengan semangat dia menggeser setting-nya ke Disintegrate dan diarahkan ke burung yang sedang lewat.
ZAAAAP!
Burung tersebut mendadak hancur seperti molekul-molekul tubuhnya tercerai berai menjadi partikel kecil dan yang tersisa cuma asap dan abu yang terbang terbawa angin.
WUHUUUUUUUUUUU!
Teriak Bandung kegirangan. Lalu mengubah setting-nya alat tersebut ke Stone dan ditembakan ke kupu-kupu yang lewat.
Mendadak kupu-kupu tersebut jatuh dan pecah, seperti telah menjadi batu yang tipis dan berantakan terjatuh.
Lalu Bandung mengambil serpihan kupu-kupu tersebut dan mendadak berteriak,
“YAAAAAAAAA AKU RAJA DUNIA HA HA HA HA HA HA!.”
*
“Aku kangen dengan ayahku,” ucap Roro Jonggrang kepada Bondowoso.
“Besok kita pasti bertemu ayahmu,” jawab Bondowoso.
“Besok sudah terlambat, aku harus bertemu dia,” ujar Jonggrang, kali ini matanya mulai memerah dan menangis.
“Jonggrang sejak di perjalanan kemarin terus minta ketemu ayahnya skrieeech” jelas Garudeva.
“Tetapi sangat berbahaya untuk saat ini,” kata Wanara.
“Bondowoso bisa mengantarku,” di sela isakan tangisnya Roro Jonggrang masih beragumen.
“Hm… benar juga skrieeech,” tambah Garudeva.
Wanara, Pikatan, dan Garudeva melihat Bondowoso secara bersamaan.
Bondowoso merasa tidak enak dilihat seperti itu, lalu dia melihat ke arah Roro Jonggrang.
“Baiklah, ayo,” kata Bondowoso ke Roro Jonggrang.
“Tapi kalian jangan bergerak sembarangan akan menimbulkan kecurigaan, tunggu sampai Bandung kembali,” Bondowoso mengingatkan kepada teman-teman lainnya.
“Jangan khawatir, kami akan berhati-hati,” ujar Garudeva.
“Sebaiknya kau mandi lagi dan balur tubuhmu agar bau tubuhmu benar-benar tidak tercium oleh mereka,” saran Wanara.
“Baiklah,” ujar Bondowoso, lalu segera mengambil lulurnya dan beranjak ke kamar mandi.
Melihat hal tersebut Roro Jonggrang gembira sekali dan segera mengepak barang-barang seperlunya dan bersiap-siap.
Tak berapa lama Bondowoso dan Roro Jonggrang sudah menaiki kuda dan bergerak dengan cepat menembus sore menjelang malam.
“Sore yang indah, aku suka dengan warna oranye, merah muda dan keunguan yang semburat di langit dan matahari kemerahan hampir terbenam,” ujar Roro Jonggrang memulai percakapan agar tidak kaku.
“Iya hamba juga, eh… bolehkah hamba bertanya gusti,” ucap Bondowoso.
“Silakan aja,” Jawab Roro Jonggrang sembari melirik ke Bondowoso dengan lirikan mesra.
“Eh oh ya, kenapa ayahmu memanggil saudaramu dengan sebutan Jonggrang juga?” tanya Bondowoso.
“Oh… aku pikir kau akan menanyakan hal yang kutunggu,” wajah Roro Jonggrang memerah.
“Eh ya ehm… sebenarnya kami anak kembar, dia kakakku, diberi nama Loro Jonggrang karena ibuku melahirkan dia lebih susah, kemudian aku menyusul,” jelas Roro Jonggrang.
“Walaupun wajah Kami tidak begitu mirip, aku lebih mirip ibuku dan dia lebih mirip ayahku, sifatnya juga, dia lebih berwibawa dan tegas seperti ayahku” kata Roro Jonggrang.
“Dan sifat gusti lebih mirip ibunda gusti,” tambah Bondowoso.
“Ya begitulah, sifat ibuku yang paling aku sukai adalah ibuku pantang menyerah walaupun sepertinya keadaan dan semua jalan seolah buntu, tapi melarikan diri dari Istana Baka sampai ke istana Pengging adalah suatu perjalanan yang luar biasa,” kata Roro Jonggrang.
“Kami kehilangan lima raksasa yang baik dan yang telah membantu kami dalam pelarian ke Pengging, mereka tewas satu demi satu dalam prosesnya, dan akhirnya kita bertemu” jelas Roro Jonggrang.
“Satu hal yang pasti kudapatkan dari ibuku, bila kau berani mencintai seseorang maka kau harus siap berkorban, dan itu yang dilakukan oleh ibuku,” lalu Roro Jonggrang menghentikan kudanya dan melihat ke arah matahari terbenam lalu melihat ke Bondowoso dengan senyuman yang manis.
“Ibumu benar gusti,” jawab Bondowoso yang juga menghentikan kudanya dan melihat ke Roro Jonggrang.
Roro Jonggrang turun dari kudanya dan duduk di hamparan rumput yang banyak bunga kecil warna merah muda bermekaran.
“Jangan panggil aku gusti, Roro saja sudah cukup kangmas ,” ucap Roro Jonggrang merendah.
“Eh oh eh…ya eh baiklah Roro,” ujar Bondowoso lidahnya kelu, entah mengapa mendadak jantungnya berdegup sangat kencang, apalagi dipanggil kangmas.
“Duduklah di sampingku,” pinta Roro Jonggrang.
“Eh oh baiklah, tapi aku bau,” ucap Bondowoso grogi.
“Kan sudah tidak bau lagi, dan ibuku bilang, bila kau suka pada sesuatu… seseorang, maka terimalah dia apa adanya, jangan melihat ke tampilan luar, tapi lihatlah kepribadiannya yang elok,” tambah Roro Jonggrang sembari menarik tangan Bondowoso agar mau duduk di sampingnya sembari melihat matahari terbenam.
*
Akhir Zaman
Bondowoso akhirnya menurut saja dan duduk di samping Roro Jonggrang.
Mereka terdiam beberapa saat melihat matahari terbenam secara perlahan.
Mendadak Tangan Roro Jonggrang bergerak dan mengarahkan Tangan Kanan Bondowoso dan diletakkan di pundak satunya sehingga lengan Bondowoso melingkari pundak Roro Jonggrang dan tangan Bondowoso menjangkau pundak sebelah kanan Roro Jonggrang.
Jantung Bondowoso semakin berdegup kencang, semakin kencang lagi saat kepala Roro Jonggrang menempel di pundaknya dan bersandar dengan nyaman.
“Roro…,” gumam Bondowoso, tampak sinar mata Bondowoso sangat dipenuhi oleh emosi gembira lalu memeluk lebih erat pundak Roro Jonggrang, seakan ingin selalu dan siap melindunginya dari apa pun.
“Call Access Granted,” kata Bondowoso.
Bondowoso berbicara sendiri.
“Azrael, ini ayah, proses perbaikan telah selesai, ayah sudah menemukan rangkaian DNA-mu yang asli dari rambutmu, kami akan transfer kamu sekitar tiga jam lagi,”
“Baik Yah,” jawab Bondowoso, lalu Bondowoso melirik Roro Jonggrang yang kebingungan.
“Kau mendadak gila lagi?” tanya Roro Jonggrang.
“Eh…Roro kau ingin tahu?” tanya Bondowoso.
“Apa maksudmu?” tanya Roro.
Mendadak mata Bondowoso bersinar dan terproyeksi hologram 3-D muncul di depan Bondowoso. Seorang pria dengan pakaian aneh serba metalik keperakan berkata.
“Dan sekarang kami sedang mendeteksi lokasimu, ke mana pun kau pergi detektor ini akan membuat aku tahu posisimu, setelah itu kau akan bisa pulang dengan segera,” kata orang tersebut yang mengaku ayahnya Bondowoso.
Jonggrang semakin memeluk Bondowoso dengan ketat dan seperti ketakutan,”Ha…. Han… hantuuuu…” Roro Jonggrang gemetaran.
“Tenang Roro, dia ayahku,” jelas Bondowoso.
“Hai kau bersama siapa? Ah wajahnya eksotis, manis dan cantik bercampur menjadi suatu keindahan, masih saja kau bisa mendapatkan gadis cantik dengan wajahmu yang buruk itu ha ha ha…” kata ayahnya Bondowoso.
“Baiklah Ayah out dulu, nanti akan Ayah kontak saat sudah siap untuk teleport ke masa ini, lintas ruang dan waktu,” ujar pria yang mengaku ayah Bondosowo tersebut.
CLAPH!
Semuanya hening kembali.
“Tenang Roro, itu bukan hantu… itu eh namanya ajian Panglimunan dan Rogo Sukmo, bisa menghilang dan berpindah tempat dengan cepat,” jelas Bondowoso ke Roro Jonggrang dengan memberi penjelasan sesuai dengan pola pikir di zaman tersebut.
“Oh… hebat sekali ayahandamu, pantas kau hebaaat sekali, ternyata ilmu dari ayahnya, muaaaaaaah!” Roro Jonggrang sudah tidak takut lagi dan bahkan mengecup Pipi Bondowoso dengan tidak direncanakan sebelumnya dan juga segera memeluk Bondowoso dengan eratnya.
“Ha ha ha baiklah, ayo kita berangkat lagi,” ajak Bondowoso.
“Ya ayo, kita ke ayahandakuuuu,” ucap Roro Jonggrang gembira sembari tidak melepaskan pelukannya sembari berjalan.
Di kamar, Raja Baka termenung berdiri melihat keluar area melalui jendela kamar. Suasana malam yang indah dan tenang, kelap-kelip bintang bertebaran di langit, dan di sampingnya Loro Jonggrang.
“Besok siang…” gumam Gupala.
Loro Jonggrang mendekati ayahnya dan memeluk ayahnya penuh dengan kesedihan, air matanya menetes.
“Jangan menangis sayang, ayah tidak akan apa-apa,” Gupala menghibur putrinya.
Kata-kata tersebut sepertinya tidak berarti, Loro Jonggrang malah mempererat pelukannya dan semakin terisak. Gupala menyentuh rambut anaknya dan mengelusnya secara perlahan.
“Hidup ini sebenarnya tidak ada misteri, dan sudah terlihat sejak awal, cuma terkadang ada hal lain yang membuat kita tetap bertahan untuk menutupi kenyataan dan seolah menjadi misteri. Sejak awal aku sudah tahu ada yang salah saat menerima Vharok, tetapi sisi lain kumelihat Vharok sepertinya mempunyai semangat yang besar dan juga ambisi yang kuat,” gumam Gupala.
“Aku membutuhkan orang yang seperti itu untuk lebih membuat kerajaan ini semakin besar, tetapi sayangnya semuanya terlambat, aku telah termakan oleh keinginanku sendiri,” kata Gupala.
“Ternyata Vharok menguati kekuasaannya ke dalam istanaku, bukan ke luar istanaku agar kerajaanku semakin luas ha ha ha aku sungguh rakus, ini adalah jawaban dari kerakusanku” ujar Gupala.
Mendadak di luar terjadi suara gaduh lalu mendadak pula berhenti. Pintu Kamar Raja terbuka lalu muncul dua orang.
“Maaf paduka raja, sebaiknya paduka melarikan diri,” ucap Aryakreyan sembari memberikan sujud dan sembah Om Swastiastu.
“Aryakreyan, sudah lama kita tidak bertemu,” Gupala melihat ke Aryakreyan lalu melihat ke anak muda di sampingnya yang juga menyembah hormat kepadanya.
“Dia bernama Jaran Sewu gusti,” ujar Aryakreyan.
“Benar paduka gusti, hamba Jaran Sewu hatur sembah,” ujar jaran Sewu sembari melakukan gerakan Om Swastiastu.
“Aryakreyan dan Jaran Sewu, kalian adalah dua prajuritku yang masih setia, tetapi berapa banyak yang tidak?” tanya Gupala.
“Lebih banyak yang tidak,” mendadak suara Vharok muncul menggema lalu disusul kemunculan dia di kamar tersebut.
Aryakreyan dan Jaran sewu segera bergerak melindungi raja dan menghadang Vharok.
“Wuah ternyata laporan anak buahku benar, bahwa kau adalah penghianat!” teriak Vharok.
“LANCANG! KAULAH YANG PENGHIANAT!” teriak Aryakreyan.
“Hei… hei… bekel, kedudukanmu rendah, kariermu tidak bagus, temanmu hanya dia… bagaimana kau mampu melawan kami?” ejek Vharok sembari menunjuk pada Jaran Sewu.
“Siapa namamu...? Jaran… Jaran Goyang?” ejek Vharok.
“Jaran Sewu!” gumam Jaran Sewu.
“Kalian telah berhasil melumpuhkan prajurit-prajuritku, tetapi dengan cara tidak ksatria, membokong dari belakang, sekarang bagaimana kau bisa melawan satu orangku saja, Dvargha!” Vharok berkata dan memanggil Dvargha.
“Hamba gusti,” ucap Dvargha.
Aryakreyan dan Jaran Sewu terkesiap dan mengucek-ucek matanya. Mendadak saja telah muncul orang tinggi besar dan sering mereka lihat berkeliaran di istana, tetapi tidak menyangka bila mereka bisa berbicara dan dapat bergerak dengan sangat cepat.
“Ternyata mereka tidak bisu,” bisik Aryakreyan ke Jaran Sewu.
“Dan giginya seraaam,” bisik Jaran Sewu.
“Hm… bagaimana bila kau sendiri yang melawanku, dan jangan sembunyi di ketiak orang yang tinggi dan besar itu” tantang Aryakreyan ke Vharok.
“Ha ha ha tawaran menarik, kau belum pernah melihat kekuatanku bekel,” kata Vharok dan mendadak saja leher dan badan Aryakreyan terangkat ke dinding dengan gerakan yang sangat cepat.
Aryakreyan kesulitan bernapas karena cekikan Vharok yang kuat di lehernya.
Kakinya mencoba menendang tetapi tidak berhasil, karena ditepis oleh tangan Vharok satunya, dan Vharok mengangkat leher dan tubuh Aryakreyan lebih tinggi.
Sementara itu Jaran Sewu mendadak bengong, tidak menyangka bahwa Vharok dapat melewatinya dan langsung mencengkeram leher Aryakreyan dengan tanpa matanya mampu melihat gerakan Vharok.
“Kau tidak tahu dengan siapa kau berhadapan bekel!” ejek Vharok dan melemparkan Aryakreyan ke tembok satunya.
BRUAAAKH!
“Hekh! Heh… heh…heh…” Aryakreyan segera menghirup napas dengan cepat setelah terbentur dinding dengan suara keras, lalu segera berdiri.
“Aku hari ini masih mengampunimu bekel, keluar dan segera pulang, sebab besok kau harus memanggilku sebagai raja,” Vharok berkata sembari melihat ke Aryakreyan yang bangkit berdiri.
Mendadak Jaran Sewu menyerang Vharok dari belakang, dengan cepat Vharok menghindar dan segera menendang punggung Jaran Sewu.
BUUUGH!
Sehingga Jaran Sewu tubuhnya terbentur dinding batu dengan keras.
BLEEEEEGH!
Dan jatuh tepat di samping Aryakreyan.
BRUKH!
Aryakreyan segera mengangkat Jaran Sewu, wajahnya terluka terbentur tembok dan napasnya tersengal-sengal.
“Si… siaal” gumam Aryakreyan.
Lalu dia dengan segera mengangkat Jaran Sewu dan menuntun Jaran Sewu yang berjalan tertatih-tatih ke luar dari ruangan tersebut.
Gupala dan Loro Jonggrang tidak bisa berbuat apa-apa melihat hal tersebut.
“Sepertinya tidak ada lagi yang hamba dapat lakukan di sini gusti, hamba amit mundur,” ujar Dvargha dan segera berjalan keluar dari ruangan tersebut.
Saat Dvargha berjalan melewati Aryakreyan dan Jaran Sewu yang berjalan tertatih-tatih dibantu oleh Aryakreyan.
“Kgihwo, Jhijsgin h ghasd najsd ijkda, hjfu” Dhargha bergumam, yang artinya “Masih primitive, saling cakar dan saling mengkhianati antar kalian sendiri, menyedihkan,” Dvargha lalu bergerak cepat dan sudah tidak ada di area tersebut.
“Aku tidak mengerti apa yang dikatakannya, tetapi tidak kusangka ternyata orang-orang tinggi besar itu hebat sekali ilmunya, aku merasa malu, aku harus banyak berlatih lagi,” ujar Aryakreyan.
“Sepertinya hamba juga gusti, harus banyak berlatih lagi, yang hamba kira sudah cukup, hamba mempermalukan diri sendiri sepertinya,” tambah Jaran Sewu.
*
“Baiklah Gupala, kali ini sepertinya tidak ada lagi yang akan membantumu, seingatku si bekel pecundang itu adalah satu-satunya yang masih setia padamu, dan bisa kau bayangkan, kau sendirian sekarang HA HA HA HA HA HA!” Vharok meninggalkan ruangan tersebut dengan menutup pintu keras sekali.
BRAAAAK
HA HA HA HA HA
Suara tawa Vharok masih menggema walaupun Vharok sudah berjalan menjauh dari ruangan tersebut.
Gupala dan Jonggrang tertegun. Lalu mendadak Loro Jonggrang menangis dengan terisak-isak.
Gupala mengusap-usap kepala putrinya dengan pandangan kosong.
“Ayah!” Roro Jonggrang memanggil ayahnya.
Gupala masih bengong, dipeluk oleh Loro Jonggrang. Loro Jonggrang berhenti menangis dan melihat ke arah Roro Jonggrang.
“Roro adikku, kau selamat… syukurlah,” segera saja Loro Jonggrang melepaskan pelukan ke ayahnya dan berganti memeluk adiknya.
Gupala segera tersadar dari bengongnya dan gembira saat melihat Roro Jonggrang berada di sana bersama Loro Jonggrang.
Segera saja kedua putrinya dipeluknya bersamaan.
“Bagaimana kau bisa masuk ke ruangan ini Roro?” tanya Gupala setelah puas melampiaskan rindunya kepada Roro.
“Bersama Bondowoso,” jawab Roro Jonggrang kepada Gupala, lalu Bondowoso masuk lewat jendela dan terlihat empat prajurit di sana terkapar tak sadarkan diri.
“Maafkan hamba gusti, masuk dari tempat yang tidak semestinya,” Bondowoso memberi salam hormat Om Swastiastu.
“Kau! Ha ha ha aku gembira sekali bertemu denganmu,” wajah Gupala mendadak terlihat memancarkan suatu harapan.
“Hamba mengantarkan Roro Jonggrang yang rindu pada paduka prabu,” ucap Bondowoso sembari menunjuk dengan jempolnya kepada Roro Jonggrang.
“Iya Roro kangen sekali sama ayah,” ucap Roro Jonggrang mengiyakan.
“Ibundamu bagaimana?” tanya Gupala kepada Roro.
“Beliau ada di Pengging, jangan khawatir, beliau selamat,” jawab Roro.
“Lalu kenapa kau berani sekali ke sini? Kan sangat berbahaya?” Loro matanya melotot melihat Roro yang bandel.
“Kan ada Bondowoso, dia sangat sakti, dan aku yakin dapat menolong kita keluar dari masalah ini,” jelas Roro.
“Tetapi bila sendirian, bagaimana mungkin? Kau sendiri melihat raksasa teman-teman Vharok banyak sekali, kulihat dia juga melarikan diri saat dikeroyok dan dikepung beberapa hari yang lalu,” ucap Loro sangsi.
“Benarkah kau melarikan diri?” Kini Roro bertanya kepada Bondowoso dengan mata melotot tidak percaya dengan apa yang didengarnya.
“Eh oh eh… iya, maaf, saat itu hamba memang mundur, tetapi sekarang hamba sudah punya rencana dan tidak bakalan mundur lagi,” ucap Bondowoso berusaha meyakinkan.
“Dalam peperangan, mundur bukan berarti kalah, tetapi untuk maju lagi dan melakukan serangan balasan,” jelas Gupala.
“Eh ya… ya… benar demikian paduka,” Bondowoso gelagapan dan menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal.
“Baiklah kalo begitu, awas ya kalau lari karena pengecut, janji!” Roro Jonggrang dan meminta agar Bondowoso berjanji.
“Baiklah Roro hamba janji,” jawab Bondowoso dengan mantap.
“Kau memanggilnya Roro? Wuah luar biasa,” ujar Loro Jonggrang.
“Aku memintanya demikian,” jawab Roro.
“Hmm… baiklah, paling tidak dia tidak sebau dulu,” Loro tersenyum menggoda adiknya.
“Nah Roro, kau sudah bertemu ayahmu, kita harus segera balik ke markas untuk rencana besok,” ajak Bondowoso.
“Tunggu, kau bawa dia ke sini lalu kau ajak lagi?” tanya Loro Jonggrang.
“Benar gusti, ada baiknya begitu, agar tetap aman,” jawab Bondowoso.
“Tunggu-tunggu, apa tidak sebaiknya kau bawa kami semua ke sana, bukankah lebih aman?” Loro Jonggrang berargumen.
“Tidak usah Loro, ayah sebaiknya di sini, toh pertandingannya hanya untuk ayah dan Vharok saja tidak melibatkanmu, sehingga kau di sini juga tidak apa-apa, ayah tidak tahu apa rencana Roro, tetapi ayah yakin untuk keuntungan dan keselamatan kita semua,” Gupala menjelaskan.
“Hmm… baiklah, kalau begitu, sini, aku masih rindu,” Lalu Loro memeluk Roro dengan kencang, kemudian Roro mendekati ayahnya dan memeluknya.
“Jaga dia dengan baik,” pinta Loro kepada Bondowoso.
“Akan hamba lakukan gusti,” jawab Bondowoso lalu memberikan hormat kepada Gupala dan Loro Jonggrang, lalu dengan cepat menyambar pinggang Roro dan berkelebat ke luar ruangan tersebut dengan cepat.
Di luar keempat prajurit yang menjaga di jendela raja masih tergeletak tak sadarkan diri.
Bondowoso dengan gerakan sangat cepat berlari melintasi atap-atap istana. Kali ini kecepatannya dia lipat gandakan sehingga raksasa yang cepat pun tidak akan mampu mengikutinya.
Namun, mengapa walaupun sudah sangat cepat Bondowoso masih merasa ada seseorang yang mengawasinya?
Oleh karena itulah dia berhenti di tempat yang dianggapnya aman. Jonggrang diturunkan dari pegangannya.
“Ada apa kangmas?” tanya Roro Jonggrang.
“Sstttt…,” Bondowoso memberi tanda agar jangan berisik, lalu dia mendengarkan lebih teliti.
“Siapa kau? Tunjukan dirimu!” Bondowoso berteriak, sementara itu Roro Jonggrang tampak kebingungan dan mendekatkan dirinya ke Bondowoso.
“Smart Life Form Sign sensor on! Sensing range one hundred meters,” ujar Bondowoso dan di dalam retina matanya seperti berbaris data-data yang dapat dilihat oleh Bondowoso dan tertuliskan “No smart life form sign detected.”
“Hmm… aneh, tapi sepertinya tidak ada yang mengikuti kita, perjalanan kita lanjutkan dengan jalan ya, area di mana kita menambatkan kuda sudah dekat sekitar 500 meter lagi,” ucap Bondowoso.
“Dari mana kau tahu?” tanya Roro.
“Ha ha ha aku bisa area sensing … eh merasakannya,” jawab Bondowoso kalem.
“Ah… baiklah,” jawab Roro.
“Incoming trough space & time call,” di mata Bondowoso muncul.
“Call Access Granted,” kata Bondowoso. Dan mendadak matanya bersinar menjadi seperti proyektor.
“Hai, ini Ayah lagi, persiapan tinggal lima belas menit, kau akan ter-teleport lagi ke sini dan akan membenahi kekacauan di tubuhmu, OK,”. kata orang tersebut yang muncul secara hologram 3-D.
“Aaaaaah… ayahmu lagi!” teriak Roro, tapi kali ini dia sudah tidak ketakutan lagi.
“Eh OK Ayah, tetapi aku minta syarat,” jawab Bondowoso sembari meminta.
“Akh kok pake syarat segala? Apaan?” tanya hologram tersebut.
“Bawa juga Roro Jonggrang,” jawab Bondowoso.
“Roro Jonggrang? Ah gadis eksotis yang di sampingmu ya? Hmm baiklah, tapi kau tahu aturannya ya, ayah tidak dapat mengambilmu di waktu awal kau berada di zaman ini!” jawab Hologram tersebut.
“Ya aku tahu,” jawab Bondowoso.
“Begin DNA and body Structure scanning pada Roro Jonggrang,” Hologram tersebut berbicara lalu mendadak sinar dari mata Bondowoso men-scan tubuh Roro Jonggrang.
“OK DNA & struktur tubuh selesai, tunggu sepuluh menit lagi ya, ada baiknya kau di situ saja, ayah out!” kata hologram tersebut, lalu mendadak hologram menghilang dan mata Bondowoso normal kembali.
“Wah ayahmu hebat, aku tidak tahu apa yang kalian bicarakan,” ucap Roro.
“Boleh aku bertanya kangmas?” Roro merajuk.
“Boleh, katakan saja,” jawab Bondowoso tegas.
“Kenapa ayahmu cakep dan kangmas jelek he he he,” goda Roro.
“Oh oh dasaaaar, Roro tidak suka sama aku ya karena jelek, ya uda kita sudahin saja sampai di sini ya!” lalu Bondowoso pura-pura membalik badan dan mulai berjalan menjauh.
Segera saja Roro menarik tangannya,”Ah kangmas, aku kan bercanda, aku tetap sayang sama kangmas, aku jatuh cinta karena sikap baik kangmas, bukan karena tampilan kok he he he ayo dong kangmas, jangan ngambek!” Roro bersikap manja dan segera memeluk Bondowoso dari belakang.
Bondowoso tersenyum. Lalu membalik menghadap Roro dan balas memeluknya.
“Berjanjilah kau tidak akan meninggalkanku kangmas,” pinta Roro Jonggrang.
Bondowoso menatap Mata Roro, mata yang indah diterangi cahaya bulan.
“Aku janji Roro,” jawab Bondowoso.
“Makasih kangmas,” Roro memeluk lebih erat dan menyandarkan kepalanya ke dada Bondowoso.
“Hmm… kita belum makan, apalagi aku tadi capek karena membawamu berlari sangat kencang,” kata Bondowoso.
“Di kuda masih ada beberapa lemper dan daging rusa yang sudah aku buat empal,” jawab Roro.
“Boleh juga, kita masih ada waktu lima menit lagi,” ujar Bondowoso lalu melingkarkan tangannya ke Pinggang Langsing Roro Jongrang dan membawanya berlari, dalam waktu singkat sudah berada di area kuda yang mereka tambatkan,
Setelah diturunkan Roro segera mengambil perbekalannya beberapa lemper dan empal daging rusa.
Dan segera memberikannya kepada Bondowoso. Bondowoso segera membuka daun pisang yang menutupi lemper tersebut dan segera memakannya, lalu juga menggigit daging rusa dengan lahapnya. Roro Jonggrang pun segera makan mengikuti Bondowoso.
“Incoming trough space & time call,” di mata Bondowoso muncul.
“Call Access Granted,” jawab Bondowoso lalu mata Bondowoso bersinar kebiruan dan mendadak muncul hologram 3-D di depannya.
“Ah ini ayah sayang, sudah siap?” tanya hologram tersebut.
“Ah siap Ayah, baru saja kami selesai makan,” jawab Bondowoso.
“Ah bagus sekali, OK kini diam di tempat tersebut, Roro segera mendekat ke Azrael,” kata hologram tersebut dan sembari melihat ke Roro Jonggrang.
Roro mengikuti perintah hologram tersebut.
“Ok sepertinya siap, sekarang!” kata hologram tersebut.
Mendadak area tersebut seperti diselimuti bulatan tipis kebiruan melingkari Bondowoso dan Roro.
Bulatan tipis itu semakin menguat dan bergelombang seperti air.
BLINK!
Keduanya menghilang dari area tersebut, hanya ringkik kuda yang tertambat di sana yang terdengar, ketakutan dengan kejadian yang baru saja terjadi.
Mendadak saja mereka sudah berada di dalam suatu ruangan yang serba terbuat dari kristal berlian, berkilauan.
Lalu pintu ruangan tersebut terbuka. Bondowoso menuntun Roro Jonggrang keluar dari area tersebut. Di luar area tersebut sudah menunggu seseorang.
“Ah selamat datang sayang!” ujar Ayah Bondowoso, lalu segera memeluk Bondowoso dan Bondowoso membalasnya, sedangkan Roro Jonggrang tampak kebingungan.
“Hm… di mana ini?” tanya Roro Jonggrang.
“Ah… Roro kau lebih cantik dari tampak di monitor lintas ruang dan waktu, aku Michael, papanya Azrael Baruna,” ucap Michael lalu segera mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan.
bersambung....
Cerbung ini ada di An1magine majalah eMagazine Art and Science Volume 2 Nomor 2 Februari 2017
yang dapat di-download gratis di Play Store, share yaa
Comments
Post a Comment