Roro Jonggrang di An1magine Volume 1 Nomor 8 Oktober 2016
RAJA BAKA
M.S. Gumelar
“Ehem” suara Roro Jonggrang yang mendekatinya.
Bondowoso melihat Jonggrang dan tersenyum kepadanya.
Jonggrang membalas senyuman itu. Bondowoso segera balik lagi meneruskan pekerjaannya meletakkan kayu-kayu kering tersebut.
“Ehm makan malam sudah siap, ayo berkumpul dengan teman-teman lainnya, aku siapkan masakan istimewa buatmu eh buat kalian” Roro Jonggrang berkata mengajak Bondowoso dengan malu-malu.
“Bukankah setiap masakanmu spesial, baiklah aku segera menyusul ya setelah ini selesai” jawab Bondowoso.
“Aku tunggu” Jonggrang menambahkan lalu bergerak melenggang dengan anggun menjauh untuk mendekati teman-teman lainnya yang sudah mulai mengelilingi hidangan yang telah disiapkannya.
“Wuah benar sekali spesial nih!” ujar Bondowoso saat melihat penyu bakar.
“Ha ha ha iya, tadi Pikatan mandi di sungai sana dan melihat penyu ini, lalu ditangkapnya,” jelas Jonggrang.
“Dengan sambel petai, ha ha ha nanti napas bau, apalagi Bondowoso, ga makan petai pun uda bau he he he!” seloroh Pikatan.
“Ha ha ha iya, tapi kalau ga bau, malah nanti kalian rindu dan mengendus-endus bauku lagi!” Bondowoso menggoda.
“Ah bagaimana bisa rindu dengan baumu? Selama berdekatan dengan kamu, kami selalu menggunakan masker, ni lihat,” kata Wanara sambil makan dengan mengangkat maskernya sedikit agar makanannya dapat masuk ke mulutnya.
HA HA HA HA HA
Semuanya tertawa. Dan mereka sangat menikmati makan malamnya dengan gembira seperti biasanya canda dan tawa menghiasi saat mereka memakan makanan.
“Baiklah, malam sudah semakin larut, apakah sekarang waktunya untuk menyebar herbal sirep bakar gusti?” tanya Wanara ke Bandung.
“Coba perhatikan kerajaan itu Wanara, dari lapisan area satu sampai area lapisan pertahanan ketujuh, sepertinya jaraknya lumayan jauh ya, minimal bila menggunakan kuda lumayan juga sekitar… bisa-bisa baru tengah malam akan tiba di lapisan ke tujuh,” taksir Bandung sembari menunjuk ke kerajaan Baka yang ada di bawahnya.
Cahaya obor dan lampu damar berpendar, tampak indah di rumah-rumah dan istana jika dilihat dari atas bukit.
“Sepertinya iya, oleh karena itulah kuda-kuda itu harus kita pacu dengan kencang gusti agar tidak perlu sampai tengah malam kita di sana, belum ke arah baliknya,” tambah Wanara.
“Apakah kau yakin herbal sirepmu bisa membuat mereka tertidur sampai pagi?” tandas Bandung melihat ke mata Wanara mencari kejujuran.
“Yakin gusti!” jawab Wanara dengan tegas dan matanya penuh semangat.
“Teman-teman silakan menelan herbal ini sebagai penawarnya dan kuda-kuda kita juga perlu diminumkan agar tidak terpengaruh asap sirepnya,” kata Wanara.
Ia lalu memberikan herbal penawar kepada Bandung, Bondowoso, Jonggrang dan Pikatan.
Mereka segera meminum herbal penawar masing-masing. Lalu memberikannya juga ke kuda-kuda mereka.
“Baiklah, ayo kita bakar herbalnya!” perintah Bandung dengan semangat pula.
Bandung, Bondowoso, Jonggrang, Pikatan, dan Wanara segera menyulut api ke bakaran herbal yang telah disiapkan.
Asap mengepul dan tertarik segera oleh angin bukit ke arah kerajaan Baka yang ada di bawahnya karena Kerajaan Baka dekat laut, sehingga angin perbukitan mengalir kuat ke arah laut saat malam hari.
“Berapa lama bereaksi?” tanya Bandung.
“Tunggu beberapa saat lagi gusti” jawab Wanara.
Lalu wanara memberi tanda, setelah itu, mereka segera naik kuda mereka dan bergegas ke arah Kerajaan Baka yang ada di bawahnya.
Saat mereka memasuki lapisan pertahanan pos pertama. Semua orang yang ada di sana tertidur pulas, suara dengkur saling bersahutan.
Bandung tersenyum lega, ”Ayo segera ke lapisan berikutnya, heaaaa!” perintah Bandung dengan segera menjejakkan kakinya agar kuda yang ditungganginya bergerak lebih cepat lagi.
“Lapisan kedua, tertidur semua seperti lapisan sebelumnya,” ujar Wanara bangga.
“Lapisan ketiga, sama saja, ayo segera ke lapisan empat!” Pikatan bersemangat.
TIK TIK TIK
Hujan turun perlahan saat mereka memasuki lapisan ke empat. Dan semakin deras saja.
“SIAAAAAL!” teriak Wanara.
“Kenapa?” tanya Bandung.
“Semoga ini tadi tidak hujan lokal yang terjadi di sisi ini dan sisa lapisan pertahanan, bila iya, maka asap sirepku ada kemungkinan terkena hujan dan mereka tidak akan tertidur, seandainya ada yang tertidur kecil kemungkinannya!” jelas Wanara sedikit berteriak melawan suara rintik hujan yang semakin kencang.
“Wuah, kita batalkan saja, operasinya, besok kita ulangi lagi, terlalu berisiko!” perintah Bandung.
“Baik gusti,” mereka pun segera membalikkan arah untuk keluar dari area tersebut.
BRUUUKH
Mendadak Pikatan terpelanting dari kudanya oleh sekelebatan bayangan yang bergerak sangat cepat.
BRUUUUAK KRAAAAAAAKH!
Wanara juga mendadak terlempar dari kudanya menabrak tembok dari kayu salah satu pos pengamanan yang ada di sana.
Bandung, Bondowoso, dan Jonggrang berhenti dan memerhatikan apa yang terjadi. Beberapa bayangan bergerak sangat cepat dan berhenti di depan mereka.
Ada dua puluh orang, tetapi dengan tubuh yang relatif kurus dan tinggi rata-rata sekitar 3,5 meter.
“ARRRG SIAAAAL,” teriak Wanara yang segera berdiri dan tertegun setelah melihat segerombolan orang yang tinggi-tinggi tersebut.
“Siapa mereka?” tanya Pikatan yang juga berjalan tertatih-tatih mendekatinya.
“Entahlah, tetapi sepertinya masalah,” jawab Wanara, lalu Wanara bergerak ke arah kudanya dan mengambil gada miliknya.
“Kulihat gerakan mereka cepat, mengapa kau malah mengambil gada? Seharusnya, senjata yang lebih ringan agar kecepatan kita lebih ringan,” bisik Pikatan yang mengikutinya.
“Kau benar,” kata Wanara, dia lalu meletakkan gadanya di tanah dan mengambil keris di pinggangnya.
“Baiklah, ayo kita dekati teman-teman kita yang lain, bersatu kita teguh,” ujar Pikatan sembari mencabut keris dari warangkanya juga.
“Siapa kalian?” tanya Bandung.
Dua puluh orang tinggi-tinggi itu diam saja. Mata mereka bersinar merah, seperti mampu melihat di kegelapan malam.
Lalu salah satu dari orang-orang tinggi itu maju, terlihat di cahaya obor yang temaram di sela-sela kucuran hujan yang menimpa wajahnya.
Wajah dengan tatapan mata yang bersinar merah, dingin, tanpa ekspresi seperti haus darah.
Lalu mendadak menyeringai dan terlihat jelas gigi mereka yang semuanya terdiri dari taring-taring yang sangat panjang seperti taring harimau liar.
“Kalian yang siapa?” suara parau dan serak keluar dari mulut orang tersebut.
“Kami hanya lewat saja,” jawab Bandung.
“Hanya lewat?” suara parau dengan suara tertekan.
HA HA HA HA HA HA
Mereka tertawa bersama dengan suara parau.
Suara itu menggema di kejauhan sehingga menimbulkan suara yang membuat merinding bulu kuduk.
Lalu orang yang paling depan tadi mendadak sudah berada di depan kuda Bandung dan menendang kuda tersebut.
Kuda tersebut terpental ke belakang, hampir mengenai kepala Bondowoso.
Sedangkan Bandung sudah bersalto dan kakinya serta tangannya menjejak tanah, lalu dengan perlahan berdiri.
“Siapa kalian?” tanya Bandung.
Mendadak orang tersebut dengan gerakan yang sangat cepat sudah mengangkat leher Bandung dan diangkat ke atas.
Bandung merasa tercekik dan sulit bernapas, tangannya secara otomatis menahan laju tangan lawannya agar cekikan tersebut tidak terlalu kuat.
“Aku Ragdha,” ujar orang tersebut berkata dan menarik Bandung lebih dekat ke wajahnya.
Dengan jelas Bandung melihat wajah Ragdha, pucat seperti tidak ada darahnya, bergigi tajam hampir semua giginya mirip seperti harimau.
Dia bertelinga lancip, berkulit hampir transparan sehingga terlihat jelas pembuluh darahnya, itu pun jika memiliki darah.
“Berani kalian memasuki istana kami dengan membuat mereka tertidur, beruntung kami tidak terpengaruh karena kami punya susunan tubuh yang berbeda, siapa kalian?” ujar Ragdha.
“A…akuuu… uu..b.. Bandung,” ujar Bandung tersedak-sedak karena masih tercekik.
“Dan aku Bondowoso!” sembari menendang perut Ragdha.
Ragdha tidak menyadari dan tidak siap akan tendangan itu, dengan telak tendangan itu mengenainya.
KRAAAAAAKH!
Ragdha terpental ke tembok kayu. Tergeletak tak bergerak.
Orang-orang bergigi tajam tersebut melihat dan bergegas bergerak ke arah Ragdha, dan memeriksa lehernya.
Lalu dia kaget dan melihat ke teman-temannya yang lain sambil menggelengkan-gelengkan kepala sebagai tanda bahwa Ragdha telah tewas.
Orang-orang bergigi tajam itu terkesiap dan segera saling berpandangan dan segera melihat ke Bondowoso dan mereka menggeram serentak.
GRRRRRRRAAAAAAAR!
“Rapuh,” ujar Bondowoso.
“Terima kasih,” ujar Bandung ke Bondowoso.
Pikatan, Wanara, dan Jonggrang mendekat ke Bandung dan Bondowoso, mereka sudah bersiap-siap.
“Kalau kalian berhasil memukulnya, jangan tanggung-tanggung, yang kuat sekalian, mereka rapuh!” teriak Bondowoso.
Bandung dan kawan-kawan segera membentuk lingkaran pertahanan. Sebab orang-orang tinggi bergigi tajam tersebut itu mulai melingkari mereka.
Mendadak Pikatan berteriak, perutnya terkena pukulan tetapi orangnya bergerak sangat cepat, sehingga hampir tidak terlihat, hanya sekelebat bayangan saja.
Kemudian Jonggrang mendadak tertarik ke depan dan mendadak pindah ke tangan mereka. Wanara berhasil menepis serangan salah satu orang tersebut dengan benar-benar memusatkan konsentrasi.
Bandung juga berhasil menepis serangan salah satu orang tersebut. Sedangkan Bondowoso saat diserang segera melompat ke atas dan berhasil memukul kepala salah satu orang tersebut saat menyerangnya.
KRAAAAAAKH!
Dan orang tinggi kurus tersebut tersungkur tidak bergerak lagi.
“AAAAAAA!” suara Jonggrang terdengar penuh kesakitan.
Leher Jonggrang dicengkeram oleh tangan salah satu orang tersebut. Sembari perhatian mereka tertuju pada Bondowoso.
“Kau, siapa KAU!” teriak orang tersebut ke arah Bondowoso.
“Aku Bondowoso,” jawab Bondowoso dengan lirih.
“KAU TAHU MAKSUDKU, SIAPA KAU!” tanya orang tersebut lagi.
“Aku Azrael Baruna,” jawab Bondowoso.
“Hmm… darimana kau?” orang tersebut mulai melunak.
“Aku dari Megacity Surabaya,” jawab Bondowoso.
“Megacity Surabaya?” orang tersebut menoleh ke teman-temannya yang lain, dan teman-temannya saling mengangkat bahu, tanda tak tahu.
“Baiklah, aku tidak tahu di mana itu, tapi evolusi dan tubuhmu berbeda dengan orang-orang ini, walaupun baumu benar-benar tidak enak, tetapi kau boleh pergi,” ujar orang tersebut.
“Hmm… siapa namamu?” tanya Bondowoso.
“Aku Dvargha,” jawabnya.
“Tawaran yang bagus, tetapi mereka temanku, kau juga harus melepaskan mereka,” ujar Bondowoso.
“Mereka hanya satwa yang belum benar-benar cerdas, kenapa kau peduli?” tanya Dvargha.
“Aku peduli, mereka adalah nenek moyangku,” jawab Bondowoso.
“Aaaaaah orang dari akhir zaman,” orang tersebut mulai mengerti.
“Akhir zaman? Masa depan?” Bondowoso menekankan.
“Yaa… kau menyebutnya masa depan, ha ha ha kau terjebak di sini ha? Ha ha ha ha ha!” lanjut Dvargha lalu mereka tertawa bersama.
“Baiklah Azrael, kau punya pilihan dengan tidak ikut campur masalah ini, agar akhir zaman tidak berubah, atau kau berakhir di sini ha ha ha ha ha,” ujar Dvargha.
“Hm kau pikir kalian bisa menguasai kami?” Bondowoso geram.
“Oh tidak, kami tidak perlu menguasai kalian, sebab tanpa dikuasai oleh kami, kalian akan menjajah species kalian sendiri, memang begitulah satwa yang belum terevolusi pikirannya,”
“Sehingga layak untuk dimangsa, sebab masih berupa satwa, hanya saja sudah sedikit cerdas, tetapi dewan federasi galaksi tidak akan menuntut kami sebab kalian di zaman ini masih tidak layak bergabung dalam federasi galaksi karena masih primitif dan belum terevolusi pikirannya,”
“Jadi tidak melanggar hukum bila kami memangsa kalian ha ha ha,” Dvargha menjelaskan dengan tertawa di akhir kalimatnya.
“Bukankah kalian sudah terevolusi lebih tinggi, tetapi kenapa masih memangsa makhluk lainnya? Tidakkah kalian sudah mampu membuat darah dan daging sintetis?” tanya Bondowoso penasaran.
“Darah dan daging sintetis? Ha ha ha ha kau tahu ya, tetapi, ya begitulah, tidak alami, lebih sehat dan menyenangkan memakan yang sungguhan. Kan selama tidak melanggar aturan federasi galaksi he he he,” ujar Dvargha.
“Sama seperti kau makan kijang, rusa, bahkan anjing yang nyata-nyata juga sudah mulai akan cerdas seperti kalian, kalian tetap memakannya, apakah kalian merasa bersalah bila itu merupakan hak kalian? Ha ha ha tidak bukan?” jawab Dvargha.
“Tetapi apa yang kami makan tidak berkata balik kepada kami!” jelas Bondowoso.
“Apa yang kau sebut makananmu tidak berkata balik? Bukankah karena kau tidak mengerti bahasa mereka lalu kau bilang tidak berkata balik?” kata Dvargha.
“Jangan sok lugu dan merendahkan pola pikir tinggi evolusi yang telah kau capai, bukankah titik evolusi membuat kita tidak menjadi munafik!” jelas Dvargha.
“Kau benar, tapi sepertinya tetap ada yang salah bagiku, mereka teman-temanku, dan semua yang di zaman ini merupakan nenek moyangku, jadi aku akan berusaha untuk melindungi mereka!” tegas Bondowoso.
“Ha ha ha nah itu baru perbincangan bermutu, filosofi terkenal dari berbagai species yang telah tercerahkan, hidup untuk bertahan hidup, aku suka!” ujar Dvargha.
“Apa yang kau lakukan Bondowoso?” tanya Bandung tidak mengerti.
Bondowoso melihat Bandung, lalu ke Pikatan, lalu ke Wanara dan ke Jonggrang yang ditawan oleh Dvargha.
“Kalian tidak akan mengerti, tetapi aku akan berusaha membuat kita lolos dari sini,” jelas Bondowoso.
“Eh… baiklah, tapi caramu aneh, berdikusi? Tidak akan menyelesaikan masalah,” jelas Bandung.
“Kau benar Bandung, bersiap ya teman-teman, kita akan berusaha kabur, jangan terkejut dengan apa yang akan terjadi, tetapi saat aku beri aba-aba, lakukan saja,” ujar Bondowoso ke Bandung, Pikatan dan Wanara.
“Baik,” mereka menjawab dengan serentak.
“GARUDEVAAAAAAAAAAAAA” teriak Bondowoso menggema ke seluruh area dan terdengar sampai ke area kaki perbukitan karena malam hari dan suaranya menggelegar seperti ada tambahan speaker dari mulutnya.
Suasana hening beberapa saat, sepertinya Bondowoso menunggu reaksi tertentu.
Teman-teman Bondowoso tidak mengerti apa yang dimaksud olehnya. Dan orang-orang yang bergigi tajam juga diam, lalu mendadak tertawa bersama.
HA HA HA HA HA HA
“Kau berusaha memanggil dia? Sepertinya dia juga terikat aturan federasi galaksi yaitu tidak boleh membantu makhluk yang belum terevolusi sempurna secara langsung? Ha ha ha ha ha, kau salah langkah!” ujar Dvargha lalu memerintahkan dengan gerakan tertentu agar teman-temannya mulai menyerang.
Kemudian dengan cepat orang-orang bergigi tajam tadi segera bergerak sangat cepat menyerang Bandung, Bondowoso, Pikatan, dan Wanara.
Dengan segera Bandung dikeroyok dan terhantam bertubi-tubi di seluruh tubuhnya oleh empat orang bergigi tajam tersebut dan Bandung sepertinya kewalahan dan tidak dapat melakukan serangan balik sama sekali.
BAK BUK BEGH BLETAK BREGH PLAK
Suara pukulan telak seolah dari berbagai arah menghantam tubuh Bandung tanpa Bandung bisa membalas.
Demikian juga yang terjadi dengan Pikatan dikeroyok oleh dua makhluk tersebut dan bernasib sama, seolah menyerah saja dihantam bertubi-tubi.
Nasib Wanara juga tidak jauh berbeda di keroyok oleh tiga orang tinggi besar bergigi tajam dengan gerakan yang sangat cepat, mustahil manusia biasa mampu mengimbanginya.
Sementara itu, delapan orang bergigi tajam mengeroyok Bondowoso yang sangat mencengangkan, Bondowoso mampu mengimbangi mereka bahkan memukul telak tiga orang bergigi tajam lainnya tersungkur dan tewas.
Di saat pertarungan berlangsung, mendadak dari angkasa sesuatu menyambar dengan cepat tubuh Jonggrang yang sedang dipegang oleh Dvargha yang masih terkesima dengan kekuatan Bondowoso, sehingga tidak fokus pada sanderanya, hal ini membuat pegangannya mudah lepas.
SKRIEEEEEECH!
“Aaaaaaaaaaaaaa tolooooong!” teriakan Jonggrang memecah kesunyian dan kemudian sepertinya langsung pingsan karena shock, tetapi hal ini cukup menghentikan kesibukan pertarungan tersebut.
Bandung kepalanya berkunang-kunang dan seluruh badannya terasa sakit, masih sempat melihat sekilas Jonggrang disambar oleh burung besar, tetapi tidak lama, dia segera tersungkur pingsan.
Sedangkan Pikatan langsung muntah karena pusing dengan gerakan lawan yang demikian cepat, mendadak satu pukulan mengenai telak rahangnya bersamaan dengan keluarnya muntahan dari mulutnya, Pikatan terjengkang dan pingsan seketika.
Wanara masih beruntung, dia jatuh terduduk, walaupun seluruh tubuhnya terasa sakit dan mendadak pengeroyoknya berhenti memukulinya, dia tidak tahu mengapa.
Hal ini memberi dia kesempatan untuk bernapas, karena kelelahan terhantam di sana-sini disekujur tubuhnya tanpa bisa melawan.
“Aku tunggu di area tadi soreeeeee, skrieeeeeeech!” Garudeva menjelaskan sembari terbang menjauhi area tersebut dan menghilang ditelan gelapnya malam.
“WOOOOO WOOOOO, kau punya teman ya!” kata Dvargha.
“Kau tidak akan tahu, lepaskan kami, atau akan ada kejutan lain sehingga kalian yang di sini akan habis!” ancam Bondowoso.
“Ah ah… baiklah, kau beruntung kali ini, tapi tidak berikutnya,” lalu Dvargha memberi aba-aba ke teman-temannya dan mereka segera mengambil teman-teman mereka yang tewas dan segera berlari pergi dari situ dengan gerakan yang sangat cepat.
Bondowoso segera mengangkat tubuh teman-temannya dan meletakkan mereka di kuda-kuda yang ada di sana, ada satu kuda yang telah tewas tertendang oleh orang bergigi tajam tadi.
Bondowoso segera mengambil kuda di dekat area situ yang ditambatkan entah oleh siapa, mungkin milik penduduk kerajaan tersebut, tapi dia tidak peduli.
Segera saja Bondowoso bergerak balik ke arah bukit tempat tenda mereka dengan menggandeng tali kuda-kuda yang membawa teman-temannya.
“Ah… badanku terasa sakit semua,” ujar Pikatan setelah matanya terbuka.
“Aku juga,” ujar Bandung yang ada di sampingnya dengan tubuh yang biru-biru memar di sekujur tubuhnya.
“Ha ha ha kalian sudah bangun!” ujar Wanara, sembari mengoleskan herbal buatannya, dan setelah selesai menyuruh mereka minum jamu.
“Pahiiiiiiit,” ujar Pikatan.
“Ha ha ha tentu saja, agar tubuhmu segera pulih seperti aku,” jelas Wanara,”Nih makan asem manisnya untuk menghilangkan rasa pahitnya.”
Bandung dan Pikatan segera memasukkan asem manis ke dalam mulut masing-masing.
“Aduh asseeeeeeem!” rengek Pikatan.
“Bondowoso di mana?” tanya Bandung.
“Dia sedang di luar gusti, merenung dan berbicara sendiri, ga tahu berbicara dengan siapa, seperti orang gila?” jawab Wanara.
“Ha ha ha itu kebiasaannya dari dulu,” jawab Pikatan.
Bandung mencoba berdiri, ”Aduuh!” teriaknya, ternyata masih ada yang nyeri di beberapa bagian tubuhnya sehingga membuatnya tidak dapat berdiri dengan tegak, tetapi sepertinya dia tetap memaksakan, sehingga berjalan terseok-seok dan beberapa kali kesakitan untuk mendekati Bondowoso.
Tahu bahwa ada yang datang, Bondowoso segera menghentikan aktivitasnya dan segera menunggu sampai Bandung dekat dengan areanya dia berdiri.
“Terima kasih Bondowoso, kau ternyata hebat sekali, aku bahkan tidak menyangka bahkan kau lebih hebat dari orang-orang kebanyakan yang berilmu sangat tinggi”
“Aku dengar namamu yang sesungguhnya Azrael Baruna,” Bandung membuka perbincangan tanpa melihat ke arah Bondowoso, tetapi mengarah ke pemandangan di mana Bondowoso tadi menghadap.
“Eh sama-sama gusti,” jawab Bondowoso sembari melihat Bandung lalu melihat ke depan lagi.
“Jangan panggil lagi aku gusti, kau lebih baik sebagai temanku, panggil aku Bandung,” ujar Bandung penuh penghormatan tanda segan terhadap Bondowoso.
“Ba…baiklah Bandung,” jawab Bondowoso.
“Nah katakan padaku orang akhir zaman, bagaimanakah hidup di akhir zaman itu?” tanya Bandung.
“Ah biasa saja, tetapi manusia menjadi jauh lebih kuat, lebih pintar dan lebih bijaksana serta pendamai di masa itu,” jelas Bondowoso.
“Lalu kenapa dengan begitu indahnya di sana, lalu kau mendatangi masa ini, bukankah lebih buruk?” tanya Bondowoso.
“Eh ah itu dia, saya terjebak di sini, pada saatnya saya akan balik ke sana, panjang ceritanya,” ujar Bondowoso gelapapan.
“Baiklah, aku tidak akan memaksamu bila kau memang tidak mau membicarakannya, tugas kita yang paling penting saat ini,” tegas Bandung.
“I… iya,” jawab Bondowoso kagok.
“Tetapi apakah semua orang di masa mu wajahnya seperti eh… yang kamu miliki?” Tanya Bandung.
“Tidak, saya hanya tidak beruntung sepertinya,” jawab Bondowoso.
“Hm… semoga teknologimu di sana dapat membantumu untuk minimal wajahmu seperti kami he he he lupakan, hanya bercanda,” ujar Bandung.
Bondowoso tersenyum kecut.
“Kau tahu ke mana burung besar itu membawa Jonggrang?” tanya Bandung.
“Tahu, tetapi kalian harus sehat dulu, nanti kita semua akan ke sana,” jawab Bondowoso.
“Baiklah, tampaknya aku harus meminum jamu pahit dari Wanara lebih banyak lagi ha ha ha,” Bandung tertawa.
“Ha ha ha ha ha,” Bondowoso pun ikut tertawa.
*
Kaki perbukitan yang indah, pepohonan hijau segar masih asri. Di salah satu gua besar di lereng perbukitan.
Jonggrang terbangun dan segera duduk bersandar di tepi sungai dalam gua, di bawah kakinya ada tiga ekor ikan mas menggelepar-gelepar dan dibiarkan saja olehnya.
“Skrieeeeeech!” suara burung yang sangat keras menandakan burungnya sangat besar.
Jonggrang segera mencari sudut gua saat makhluk besar seperti burung itu turun dari angkasa dan mulai memasuki gua tersebut.
“Ah Skrieeeeech, kau sudah siuman,” ujar Garudeva.
“Hush menjauh darikuuuu!” teriak Roro Jonggrang saat manusia burung besar itu mendekatinya.
“Skrieeeech!” manusia burung itu menjawab dengan suara keras.
“Aku Garudeva, teman Azrael Baruna, Skrieeeech!” jelas Garudeva.
“Kau…..kau bisa bicara,” Jonggrang terkejut.
“Skrieeeech! Iyaaaa,” jelas Garudeva.
“Ah aku pasti sudah gila, burung bisa bicara!” ujar Jonggrang, lalu lari ke sungai dalam goa.
Sesampainya di sungai dalam gua tersebut, Roro Jonggrang segera meminum airnya untuk menenangkan pikirannya, lalu membasuh mukanya.
Roro Jonggrang melihat manusia burung itu yang refleksinya terpantul di air sungai tersebut, ”Ini pasti mimpi.”
Jonggrang memerhatikan manusia burung tersebut, bentuk wajahnya memang burung, tetapi bentuk tubuhnya hampir menyerupai manusia.
Cuma bedanya ada paruhnya, ada dua tangan seperti manusia, ditambah dua sayap untuk terbang, kaki dan telapak kakinya besar namun bentuknya tetap seperti kaki burung tekukan lututnya ke depan, berjalan tegak dan bulu ekornya tidak ada, digantikan pantat seperti manusia.
“Aku tidak bermimpi…K…Ka..u..Kau bilang kau temannya Azrael Baruna? Bondowoso?” tanya Jonggrang terbata-bata masih ketakutan dan penuh sangsi.
“Iya skrieeech,” jawab Garudeva.
“Skrieeeech siapa namamu?” tanya Garudeva melanjutkan.
“Aku..aku Roro Jonggrang!” jawab Roro Jonggrang mulai agak lebih tenang.
“Skrieeeech Roro Jonggrang? Bukankah kau anak Raja Gupala Gotawa dari Kerajaan Baka,” Garudeva mencoba menyakinkan dirinya.
“I… iya, darimana kau tahu?” jawab dan tanya Jonggrang.
“Ha ha ha Skrieeeeech! Aku bisa mendengar bermil-mil jauhnya perkataan orang, bahkan tikus mencicit pun aku bisa dengar”, jelas Garudeva.
“Oh luar biasa,” puji Jonggrang yang sudah semakin hilang rasa takutnya.
“Aku di mana? Dan Bondowoso di mana?” tanya Jonggrang.
“Ah skrieeeech! Kau sepertinya suka sama Bondowoso ya, jelek seperti itu kau suka? Wuah luar biasa… berarti dia, baik dan menyenangkan sepertinya”, goda Garudeva.
Jonggrang pipinya memerah dan pancaran malu terlihat jelas dari wajahnya.
“Ah… kau… skrieeeech! Kau ada di kaki bukit Baka,” jelas Garudeva.
“Oh terima kasih, apakah kau punya informasi di mana ayahku berada?” tanya Jonggrang.
“Sebenarnya aku dilarang ikut campur masalah manusia,” jelas Garudeva.
“Oh apakah gusti batara?” tanya Jonggrang.
“Oh apa, dewa? bukan… bukan… skrieeeeech!” jelas Garudeva.
“Tapi kau bisa terbang dan bentukmu berbeda dengan manusia, bisa berbicara pula, itu menandakan kau adalah batara,” Jonggrang berargumentasi menurut apa yang dia pahami.
“Ha ha ha bisa terbang dan berbicara ya… ya… seperti burung beo, benar juga Skrieeech, tetapi aku bukan batara, aku dari.... ah kau tidak akan mengerti, kalian belum paham, tetapi aku… ah intinya aku bukan batara,” jawab Garudeva.
Roro Jonggrang tersenyum melihat Garudeva gelagapan, ”Baiklah terserah apa katamu gusti”, Roro Jonggrang menghaturkan gerakan menyembah kepada Garudeva.
“Ah….. skrieeeech, hentikan itu, hentikan!” teriak Garudeva.
“Oh… Oh… maaf gusti bila tidak berkenan,” Jonggrang meminta maaf dan bersimpuh lebih dalam lagi sembari tetap menyembah.
“Aoh siaal, skrieeech ku harap kau segera datang Azrael!”, gumam Garudeva lalu bergerak ke arah mulut luar gua.
bersambung....
Cerbung ini ada di An1magine majalah eMagazine Art and Science Volume 1 Nomor 8 Oktober 2016
yang dapat di-download gratis di Play Store, share yaa
Comments
Post a Comment