Roro Jonggrang di An1magine Volume 2 Nomor 1 Januari 2017


VHAROK
M.S. Gumelar 


“Pelayan tadi kan bukan prajurit, dan pasti dia akan membuatkan pesananmu, karena kerjanya memang di sini,” ujar Aryakreyan

“Hallhah dhiamh khauh!” bentak Gephengk dengan mata melotot.

“Iya jangan mengajari kami bagaimana mengatur orang dengan baik, kau yang harus belajar mengatur orang lebih baik lagi, liat karirmu jelek dan anak buahmu sedikit,” ujar Shitohsudes.

HA HA HA HA HA

Teman-teman Shitohsudes menertawakan Aryakreyan.

“Jaran Sewu, ayo kita ke tempat lain saja,” ujar Aryakreyan sembari menoleh ke Jaran Sewu.

“Baik gusti,” ujar Jaran Sewu dan bergegas mengikuti Jaran Sewu yang berjalan keluar dari area tersebut.

“Yhah lharhilah therhush Haryhahkhrhyhan hah hah hah, hdhasharh hphenghechuth!” ujar Gephengk.

 “Kenapa tidak gusti hantam saja mereka?” tanya Jaran Sewu setelah di tempat lain.

“Aku mengutamakan persatuan antar semua prajurit, tetapi mereka melihat kita tidak satu, tetapi kelompoknya dia dan kelompok lainnya, aku tidak, kita satu, sebab saat menghalau musuh, toh kami akan melawan musuh yang sama,” jelas Aryakreyan.

“Tetapi mereka sepertinya tidak peduli, ini masalah karier saja bagi mereka bukan masalah musuh bersama dan kesatuan tim, bagi mereka siapa yang berhasil naik pangkatnya, dia yang menang, walaupun cara mereka sepertinya dengan tidak baik setelah melihat sikap mereka tadi,” ujar Jaran Sewu.

 “Ha ha ha benar sekali, aku gembira kau bergabung di pasukanku, tetap pertahankan sikap baikmu ini,” puji Aryakreyan.

“Terima kasih gusti, selama di sini, hamba belum melihat gusti prabu sama sekali, ke manakah beliau?” tanya Jaran Sewu.

Lalu mereka berpapasan dengan tiga orang yang tinggi besar yang berpakaian adat bangsawan kerajaan. Wajah mereka pucat, blangkonnya dengan modifikasi agak aneh dan berbeda menutupi telinganya.

Setelah agak jauh, ”Mereka diisukan bisu, tidak dapat berbicara, tetapi mendapatkan pelayanan yang serba nomor satu dan keluar masuk istana semaunya sendiri, tidak ada yang berani menegur mereka dan apa yang mereka lakukan,” ucap Aryakreyan.

“Apakah mereka… Para Bangsawan Baka?” tanya Jaran Sewu.

“Entahlah, sepertinya, dan mereka sangat dekat dengan Vharok,” tambah Aryakreyan.

“Vharok…” gumam Jaran Sewu.

“Patih amungkubumi istana ini,” jelas Aryakreyan.

“Oooh… bagaimana dengan raja tadi?” tanya Jaran Sewu ingat kembali tentang topik pembicaraan sebelumnya.

“Nah itu dia, saya pribadi sudah tidak melihat prabu hampir satu setengah tahun berjalan, tetapi dari beberapa pelayan istana untuk prabu, aku mendengar kabar sepertinya mereka melihat beliau beberapa hari yang lalu di ruangannya, semoga kau beruntung dapat bertemu prabu suatu saat,” ujar Aryakreyan.

 “Baiklah gusti,” ujar Jaran Sewu menimpali.

Mendadak berkelebat seseorang membawa bungkusan besar sekitar 3,5 meteran dengan gerakan sangat ringan berlari dengan sangat cepat melintasi atap-atap istana.

Dengan segera Aryakreyan melompat ke atas mengejar sosok yang sangat cepat tersebut, demikian juga Jaran Sewu mengikuti Aryakreyan mengejar sosok tersebut.

Sosok tersebut sepertinya tahu diikuti, dengan serta merta gerakannya menjadi lebih cepat lagi dan hampir mustahil kecepatannya diikuti oleh mata biasa, karena sepertinya menghilang dengan kecepatan seperti itu.

Aryakreyan dan Jaran Sewu terengah-engah dan tidak dapat mengikuti kecepatan sosok tersebut.

“Orang yang hebat dan berilmu tinggi, sial, semoga tidak ada yang tercuri,” ujar Aryakreyan berbicara sendiri.

“Tapi dia sepertinya mencuri sesuatu gusti, sebab dia seperti membawa bungkusan yang besar, tetapi hebatnya dengan beban seperti itu, dia malah dapat lebih cepat lagi dan kita kehilangan jejak,” tambah Jaran Sewu.

“Yah dan membuat kita seperti orang bodoh bukan? Begitu banyak musuh kita, kalau kita tidak bersatu, maka kita pasti kalah, baiklah ayo kita balik ke istana lagi, kehebohan apa yang terjadi di sana?” ujar Aryakreyan.

“Baik gusti,” ujar Jaran Sewu dan mengikuti gerak langkah Aryakreyan balik ke istana lagi.

*

SETH!

Bungkusan 3,5 meteran diletakkan oleh Bondowoso dengan hati-hati di atas meja.

“Wuah Bondowoso gila, dia berhasil,” ucap Wanara
“Nah Wanara, sekarang tugasmu untuk mencari cara bagaimana membuat sirep herbal penidur untuk mereka,” ujar Bandung sembari membuka penutup wajah raksasa tersebut.

Terlihat si raksasa matanya melotot melihat Bandung, Bondowoso dan Wanara.

*

Di tepi air terjun yang indah, di dalamnya ternyata ada gua yang cukup lebar dan sebentuk manusia berbentuk burung besar langsung menerobos air terjun tersebut, setelah masuk di dalam gua, segera tubuhnya dikibaskan agar air yang menempel di tubuhnya segera kering.

Lalu dia berjalan lebih ke dalam sembari membawa satu ekor rusa besar di tangannya.

“Ah sepertinya kita hari ini makan rusa guling, sudah bosan beberapa hari sebelumnya cuma ikan saja yang kita makan he he he,” suara Pikatan menggema di dalam gua yang sedang mengotak-atik api bakaran yang ada di dalam gua tersebut.

“Skrieeeeech, benar, aku sudah mulai tidak tahan dengan rengekanmu kepengen daging rusa, tetapi aku juga suka rusa bakar yang pernah aku sambar yang dimasak oleh Roro Jonggrang,” ujar Garudeva.

“Ahaaa… ternyata ada juga maling yang mengaku ya ha ha ha, suatu rekor sepertinya ha ha ha,” ujar Pikatan.

“Wuah aku tersanjung nih, baiklah aku akan memasak bumbu yang sama dengan sebelumnya agar buruanmu hari ini tidak sia-sia dan cepat habis,” ujar Roro Jonggrang berkata hampir berbarengan dengan Pikatan.

“Skrieeeeech, yeaaaaaaaaa!” ujar Garudeva tampak gembira dan melompat-lompat kecil seperti kegirangan ala burung elang.

HA HA HA HA HA

Roro Jonggrang dan Pikatan tertawa bersama melihat kelakuan Garudeva.

Di ruangan kamar istananya yang megah. Prabu Kerajaan Baka Gupala Gotawa sedang duduk di depan jendela kamarnya. Tubuhnya lebih segar, pakaiannya lebih rapi dan bersih. Namun wajahnya muram.

Mendadak ruangannya terbuka, dan seorang gadis berkulit coklat dengan wajah eksotik dan cantik muncul, diiringi oleh dua pengawal.

“Ayahanda prabu,” ujar Loro Jonggrang menyapa.

“Ah Putriku, Loro Jonggrang, silakan masuk sayang,” ujar Gupala.

Dua pengawal Loro Jonggrang segera menutup pintu dan menunggu di luar kamar raja, di luar ruangan tersebut sudah ada dua pengawal sebelumnya juga, sehingga total empat pengawal sekarang di depan pintu keluar kamar raja.

“Sepertinya tidak adil,” ujar Loro Jonggrang setelah menghadap Gupala.

“Apanya yang tidak adil Loro?” ujar Gupala.
“Si sakit jiwa Vharok, sudah ayah beri kesempatan, jabatan, dan kekayaan, malah menjadi musuh utama kerajaan ini,” jelas Loro Jonggrang.

“Itulah sayang, hidup ini aneh, ada orang yang awalnya kita percaya, lalu ternyata orang tersebut malah menikam kita, oleh karena itulah kau sendiri  harus berhati-hati, orang akan ketahuan buruknya atau baiknya saat kita memberikan kekuasaan kepadanya,” ujar Gupala.

 “Kalau begitu, bagaimana caranya agar kita tidak akan diperlakukan seperti itu?” tanya Loro Jonggrang.

“Tidak bisa sayang, karena begitulah teka-tekinya, namun dapat diminimalisir bila membuat sistem yang bagus, namun tetap saja akan tetap ada walaupun cenderung lebih sedikit” jelas Gupala.

“Sistem yang bagus? Hamba tidak mengerti ayahanda,” ujar Loro Jonggrang.

“Ha ha ha tidak apa-apa, sebab kau putriku, sepertinya kau memang tidak tertarik tata negara,” ujar Gupala.

“Ooh,” ucap Loro Jonggrang.

“Bagaimana dengan pertandingan yang akan terjadi empat hari lagi?” tanya Loro Jonggrang.

“Entahlah sayang, aku tidak lagi muda seperti dulu, sepertinya sudah dapat dipastikan bahwa dia yang akan menjadi raja berikutnya, sudah jelas kata-kata tersebut, siapa yang dapat membunuh raja akan menjadi raja, tetapi ada yang tidak adil sebenarnya, raja yang tua pasti akan kalah,” jelas Gupala.

“Apakah kita dapat memilih wakil untukmu?” usul Loro Jonggrang.

“Wakil, tentu saja bukan raja, dan yang dibunuh bukanlah raja, sepertinya sudah jelas sekali kata-kata tersebut,” Gupala menerangkan.

“Kemarin anak muda yang menolongku, sepertinya luar biasa dan dapat mengalahkan Vharok, tetapi entah sekarang dia ada di mana?” lalu Gupala menghela napas panjang.

“Iya, ayahanda sudah memberitahuku, namanya Bondowoso, utusan Raja Pengging untuk menolong kita, hamba harap dia juga segera kembali membawa lebih banyak orang yang sama hebatnya untuk menyelamatkan kita,” harap Loro Jonggrang sembari ikut memandang keluar jendela.

Di luar jendela, empat orang prajurit berdiri di samping jendela kamar raja yang terbuka.

“Dan di luar istana ribuan prajurit berdiri di posnya masing-masing, entah prajurit siapa? Prajuritku ataukah prajurit Vharok?” gumam Gupala.

“Ha ha ha akhirnya berhasil,” ujar Wanara.

“Lihat dia tertidur?” jelas Wanara.

“Sungguh? Dari mana kau tahu kalau dia tertidur karena racikan herbal sirepmu ataukah memang karena dia terlalu capek lalu ketiduran?” Bandung merasa skeptis.
“Benar juga, baiklah kita tunggu dia bangun terlebih dulu, sekitar sepuluh jam, lalu kita gunakan lagi racikan herbal yang sama,” jelas Wanara yang juga akhirnya ikut sangsi.

“Hamba ada kabar baru, Raja Gupala akan bertanding dengan seseorang untuk memperebutkan kekuasaan kerajaan,” kata Bondowoso.
“Bisakah dengan cara itu? Kan yang membangun kerajaan tersebut adalah Gupala?” tanya Bandung.

“Sepertinya bisa, bukankah ada kata-kata yang beredar di kalangan ksatria yang mengatakan bila ingin jadi raja bunuhlah raja,” kata Wanara.

“Hmmm aku belum pernah mendengar kata-kata itu sebelumnya,” kata Bandung dan tercenung.

“Paling tidak gusti sekarang tahu,” kata Wanara sembari tersenyum.

“Baiklah, ada baiknya kita segera balik dulu ke tempat persembunyian Garudeva, Jonggrang, dan Pikatan,” saran Bandung.

“Dengan membawa raksasa ini? Bukankah berbahaya?” Wanara keberatan.

“Kenapa? Bukankah ada Bondowoso? Dia akan membereskannya segera bila raksasa itu macam-macam,” ujar Bandung.

“Bagaimana Bondowoso?” tanya Bandung meminta pendapatnya.

“Gusti tidak perlu meminta persetujuan hamba, hamba mengikuti perintah gusti,” ujar Bondowoso meyakinkan Bandung.

“Baiklah, ayo kita berangkat, segera,” perintah Bandung.

“Bondowoso dataaaaang, skrieeeeech!” Garudeva berteriak memberitahukan ke teman-teman lainnya.

Segera saja Roro Jonggrang dan Pikatan keluar dari gua yang ada di balik air terjun. Mereka gembira melihat Bandung, Bondowoso dan Wanara yang turun dari kudanya dan ada dua kuda yang membawa bungkusan besar.

Pikatan mendekati Bondowoso, dan dia heran tidak membau bau amis yang biasanya dia dapat saat mendekati Bondowoso,”Hei kau sekarang tidak bau amis lagi, waaaah hebat, aku tidak perlu menutup hidungku lagi.”

Roro Jonggrang dan Garudeva juga mendekati Bondowoso. Hidung mereka mengendus-endus dan mencari-cari bau yang biasa mereka dapatkan bila berdekatan dengan Bondowoso.

“Ha ha ha ini hasil karya Wanara, dia berhasil membuat lulur mandi yang mampu membuat tubuhku tidak berbau lagi, masih cukup banyak ha ha ha,” jelas Bondowoso.

“Wuaaah hebat Wanara he he he membebaskan kita dari siksaan ini, terima kasih ya,” Pikatan tampak gembira.
HA HA HA HA HA

Semuanya tertawa.

“Dan aku bisa berlama-lama di dekatmu,” bisik Roro Jonggrang ke telinga Bondowoso sembari lewat ke belakangnya.

“Whoooooaaaah,” tawanan raksasa itu bangun.

“Heiiii teman-teman raksasa ini banguuuuun!” teriak Pikatan.

“Sudah saatnya, ternyata dia tidur lumayan lama juga lebih dari seharian,” ujar Wanara.
“Beri dia makan terlebih dulu,” ujar Bandung.

“Kau ingin memberi makan aku, ada baiknya kau lepaskan ikatan ini, badanku terasa sakit semua dengan tiduran terus selama beberapa hari ini,” ujar Raksasa tersebut.

“Hei dia bisa bicara, selama ini diam saja ha ha ha,” ujar Wanara.

“Kau kira kami bodoh dengan melepaskan ikatanmu,” ujar Bandung.

“Hei kau bisa percaya aku, aku tidak seperti kalian yang pembohong, tanya pada dia,” raksasa tersebut berargumen dan matanya melihat ke Bondowoso.

Bandung melihat ke Bondowoso, Bondowoso menganggukkan kepala.

“Baiklah,” lalu Bandung menoleh ke Pikatan dan memberikan gesture  anggukan. Pikatan mengerti isyarat tubuh tersebut dan segera membuka ikatan Bondowoso yang sangat ketat, dari kayu ulin.

 “Ah kayu ulin ikatan Bondowoso memang ketat, bantuin dong,” pinta Pikatan melihat ke Wanara dan Bondowoso. Segera saja keduanya membantu untuk membuka ikatan tersebut.

“Ah terima kasih,” ujar raksasa tersebut.

“Baiklah, sebagai awal, sebutkan namamu,” ujar Bandung.

“Hmm… kalian memang unik, tidak selamanya yang mempunyai kekuatan yang lebih hebat menjadi pemimpin, baiklah namaku Bhorghat, dan aku tahu namamu Bandung, pemimpin dari tim kecil ini,” ujar Bhorghat.

“Hm ceritakan berapa banyak raksasa sepertimu di Istana Baka?” tanya Bandung.

“Kau tidak bakal percaya, kami berjumlah ratusan juta,” jelas Bhorghat.

“Tidak mungkin, kulihat jumlah kalian tidak begitu banyak,” Bandung sangsi.

“Ah kalian hanya melihat dari luarnya saja, kami bahkan tidak hanya ada di Istana Baka, tetapi istana-istana lainnya juga, tetapi hanya Istana Baka yang telah terjadi kontak dengan kami setelah ribuan tahun kami mengisolasi diri dari permukaan,” jelas Bhorghat.

“Permukaan? Apa kalian hidup di dalam tanah? Seberapa dalam? Kenapa kalian para raksasa mulai muncul lagi?” Bandung semakin ingin tahu.

“Ya kami hidup di dalam tanah, sangat sangaaaaaaat dalam, teknologi kalian saat ini tidak bakalan mampu melakukannya, bahkan menurutku seribu tahun lagi juga belum tentu akan bisa,” jelas Bhorghat.

“Kami memulai kontak lagi karena ingin melihat lagi seberapa jauh kalian terevolusi, sebagian besar dari kami adalah para peneliti, namun kuakui ada beberapa yang akhirnya tergoda untuk melakukan hal yang sama seperti yang kami lakukan di masa lalu, yaitu memangsa kalian,” jelas Bhorghat.

“Lalu kenapa kau sendiri tidak memangsa kami di sini?” tanya Wanara.

“Hei kau punya Bondowoso, dia orang hebat, dan sebenarnya aku juga bukan pemakan kalian, aku makan daging dan minum darah sintetis, tetapi sejak beberapa hari yang lalu kalian memberiku kelinci hidup, ya sudah aku makan saja, daripada badanku sakit,” jelas Bhorghat.

“Aku tidak tahu apa yang kau maksud, tetapi dari mana kau mendapatkan darah dan daging sintetis sebagai makananmu?” tanya Bandung.

“Dari pasokan koloni pemerintah kami, mereka mengirimkannya kepada kami tiap tiga hari sekali,” jelas Bhorghat.

“Hm berarti tanpa memangsa kami pun, sebenarnya kalian sudah dapat hidup?” tanya Bandung.

“Iya, benar sekali,” jawab Bhorghat.

“Hm kabar yang menggembirakan, lalu kenapa kalian membantu Vharok?” tanya Bandung.

“Vharok adalah anak dari Vhendhaar, wanita pemimpin penelitian kami, sayang sekali ayahnya tewas terbunuh oleh Baddha Gotawa. Sebenarnya Baddha Gotawa dan Triadha, ayahnya Vharok adalah dua orang sahabat.

“Mereka sepakat untuk memulai membuat usaha berkembang pesat, lalu Baddha ingin membuatnya menjadi kerajaan. Triadha tidak setuju, dan meminta bagiannya untuk tetap menjadi pengusaha, akhirnya karena ketamakan Baddha maka dibunuhlah Triadha,” Bhorghat bercerita.

“Baddha tidak tahu bahwa sebenarnya Triadha sudah melakukan hubungan dengan Vhendhaar sejak lama,” lanjut Bhorghat.

Vhendaar jatuh cinta karena Triadha orangnya berpikiran terbuka dan tidak takut saat bertemu Vhendaar secara tidak sengaja saat Vhendaar mengadakan penelitian, karena sering bertemu dan merasa bahwa Vhendaar unik” jelas Bhorghat.

“Lalu pertemuan terus berlangsung dan akhirnya mereka jatuh cinta, kami tidak yakin akan berhasil terjadi pembuahan karena mereka berbeda species, kami dari virus dan kalian dari bakteri.
Tetapi ternyata kami salah, sehingga lahirlah Vharok,” tambah Bhorghat.

“Dan dengan tewasnya ayah Vharok, penelitian tidak berakhir, tetapi tetap dilanjutkan dengan meneliti Vharok. Dia sangat berharga karena perpaduan dari species kami dan species kalian,” Bhorghat mengakhiri ceritanya.

“Cerita yang menarik, walaupun aku tidak mengerti beberapa yang kamu maksud, tetapi sebagian besar aku mengerti, intinya karena itulah kalian membela Vharok” kata Bandung menegaskan.

“Ya begitulah,” Bhorghat mengiyakan.

“Bagian dari penelitian hm…,” Bondowoso bergumam.

“Dan kau secara tidak langsung mengatakan kalian tidak jahat?” tandas Wanara.

“Masalah jahat dan tidak, sebenarnya tidak sesederhana yang kalian pikir, apakah jahat bila melakukan penelitian terhadap kelinci karena ingin tahu susunan tubuhnya entah untuk perbaikan atau pengobatan untuk species kelinci itu sendiri ataupun kelinci tadi ternyata dapat dijadikan obat untuk makhluk lainnya, lalu karena itu kami dianggap jahat?” tanya Bhorghat balik tanya.

“Atau kalian mencoba membiusku dengan asap herbal yang kamu usahakan berhasil padaku, lalu aku menganggap kalian jahat?” tambah Bhorghat.

“Hmm… iya, bisa juga tidak ya? Apakah asap herbal itu berhasil padamu?” Wanara sendiri ragu tetapi mendadak bertanya.

“Berhasil, aku tertidur karena asap yang aku hirup,” ujar Bhorghat.

“Ha ha ha aku tahu aku berhasil HA HA HA!” gembira sekali Wanara mendengarnya.

“Aku harap semua kelinci percobaan dapat mengabarkan hasilnya seperti kau ha ha ha,” tambah Bondowoso.

“Ha ha…,” Bhorghat tertawa terpaksa.

“Baiklah sudah jelas herbal sirep itu berhasil, kini langkah kita adalah segera balik ke kota dan menyelamatkan Raja Baka,” ujar Bandung.

“Sebaiknya segera, sebab  dua hari lagi Raja Baka akan bertarung dengan Vharok untuk memperebutkan kerajaan di alun-alun istana kerajaan,” Wanara melanjutkan.

“Apa? Ayahanda pasti kalah, beliau sudah sepuh!” mendadak Roro Jonggrang berteriak.

“Ayo segera kita ke sana, sebab ini bakal pertarungan yang tidak adil!” lanjut Roro Jonggrang.

“Semuanya sudah siap?” Bandung bertanya pada timnya.

“Siaaaaap gustiiiiii,” jawab Pikatan dan Wanara.

“Hamba sudah siap sejak awal, gusti,” kata Bondowoso percaya diri.

“Skrieeeeech, siap! Apa aku boleh ikut?” tanya Garudeva walaupun sudah bilang siap.

“Dewa boleh ikut kalau dewa mau,” jawab Bandung.

“Skrieeeech, aku bukan dewaaaa,” ujar Garudeva.

“Aku ikut tapi bersama Dewa saja,” kata Roro Jonggrang memilih.

“Baiklah, dan kau Bhorghat, apa kau mau ikut?” tanya Bandung sembari melihat ke Bhorghat.

“Hm… Baiklah, tapi aku hanya akan pulang saja, setelah sampai di istana kita akan berpisah,” jelas Bhorghat.

“Hm baiklah, cukup adil kurasa,” lalu Bandung naik ke kudanya, diikuti oleh lainnya, terkecuali Garudeva dengan Roro Jonggrang, segera Garudeva mencengkeram pundak Roro Jonggrang yang telah menggunakan baju pelindung dari kayu ulin, dan Garudeva segera terbang ke atas mendahului.

“Dewa, apakah kita bisa ke Istana Kerajaan ayahku terlebih dulu, aku rindu dengan beliau,” Roro Jonggrang meminta ke Garudeva.

“Skrieeeech, aku bukan dewa, gerakanku tidak secepat raksasa itu, aku khawatir kau akan jatuh ke tangan mereka, bisa berbahaya dan mengacaukan rencana kita,” ujar Garudeva.

“Baiklah kalau begitu,” ujar Roro Jonggrang sembari matanya menimati pemandangan indah yang ada di bawahnya. Hutan, bukit, sawah, dan pegunungan dari tampak kejauhan.

*

“Kau menunggu di sini saja ya,” kata Aryakreyan ke Jaran Sewu di ruangan patih amungkubumi
“Hamba menghadap gusti,” kata Aryakreyan kepada Vharok.

“Bagus, kudengar kau melihat seseorang bergerak sangat cepat, tetapi kau tidak bisa mengejarnya, apakah kau tahu apa yang mereka ambil?” tanya Vharok.

“Mohon maaf gusti, saya tidak tahu, ilmu orang tersebut sangat jauh melebihi kemampuan hamba, sehingga kami tidak mampu untuk mengejarnya,” jelas Aryakreyan.

“Kami? Siapa saja yang mengejar?” tanya Vharok.

“Hamba dan prajurit baru gusti, di bawah saya, namanya Jaran Sewu,” jawab Aryakreyan.

“Hm baiklah bila kau tidak tahu, walaupun sebagai bekel, kau sepertinya gagal menjaga keamanan di istana ini,” Vharok sepertinya melunak.

“Baik gusti, mohon maaf, saya akan berlatih lagi,” jawab Aryakreyan merendah.

“Hm baiklah, kau boleh pergi,” perintah Vharok sembari menggerakan tangannya sebagai tanda Aryakreyan boleh meninggalkan area tersebut.

“Hamba amit mundur gusti,” lalu Aryakreyan melakukan Om Swastiastu dan segera bergerak mundur.

Sepeninggalnya Aryakreyan, ”Dvargha!” Vharok berteriak.

Dengan gerakan yang sangat cepat dan hampir seperti menghilang, Dvargha muncul menghadap Vharok.

“Sudah kau hitung berapa anak buahmu?” tanya Vharok kepada Dvargha.

“Sudah gusti, dan tidak ada yang hilang, tetapi tim peneliti yang diketua oleh Zhartan mengatakan ada anak buahnya yang tidak hadir beberapa hari ini dan tidak tahu ada di mana?” jelas Dvargha.

“Zharthan? Hm… baiklah Dvargha, terima kasih dengan informasinya,” Vharok mendadak berkenyit dahinya.

“Ibunda, mana Zhartan?” tanya Vharok kepada ibunya.

“Dia sedang meneliti DNA yang didapat darimu, tugasnya sangat penting,” jawab Vhendaar.

“Aku hanya ingin tahu, apakah anak buahnya sesama peneliti ada yang hilang?” jelas Vharok.

“Hmm… Ibu tidak tahu, sebaiknya kau tanyakan langsung kepadanya, dia ada di ruangan lab penelitian,” jelas Vhendaar.

“Zhartan?” Vharok berteriak di suatu ruangan yang canggih serba bulat dan terbuat seperti dari baja tulen tapi lebih keras dan kuat. Beberapa raksasa melihatnya sejenak dan kembali melanjutkan apa yang sedang mereka lakukan sebelumnya.

“Siapa yang mencari, aku ada di sini?” jawab suatu suara di salah satu area di ruangan canggih tersebut.

Vharok bergerak ke arah suara tersebut berada. Setelah yakin asal suara itu dari area yang di datangnya.

Vharok melihat dua raksasa, satunya berukuran besar setinggi lima meteran dan satunya raksasa kerdil bahkan sepertinya lebih pendek lagi dari manusia normal.

Vharok melihat ke raksasa yang besar dan berkata, ”Apakah ada anak buahmu satu raksasa peneliti yang tidak hadir hari ini Zhartan?” tanya Vharok kepada raksasa besar tersebut.

Raksasa besar tersebut cuma nyengir dan menggerakkan bahunya, jawaban tidak langsung bahwa dia tidak tahu.

“Aku Zhartan, dan tidak hadir tepatnya apa? Sakit atau lainnya?” ujar Zhartan menjawab sembari melihat ke atas tepat ke arah wajah Vharok.

“Eh oh Kau Zhartan? Uh tidak sakit, tetapi memang tidak ada kabar di mana dia sekarang?” jelas Vharok sembari segera melihat ke bawah dan Vharok merasa malu karena salah orang.

“Ya ada, namanya Bhorghat, salah satu anak buahku yang terbaik di penelitian ini, tetapi sudah beberapa hari ini dia tidak muncul dan memang tidak ada kabar, pasangannya mencarinya dan aku juga tidak tahu dia di mana?” jelas Zarthan.

“Bhorgat ya, terima kasih dengan informasinya,” ucap Vharok.

“Kudengar kau akan menantang Gupala untuk bertanding, apakah benar?” tanya Zhartan.

“Hm… berita yang benar,” jawab Vharok.

“Dengar, aku tidak peduli dengan keadaan di luar sana dan apa yang kau lakukan, tetapi kau menantang orang tua yang lemah, sedangkan kau! Lihat dirimu, muda dan keturunan raksasa, apa kau tidak malu?” ucap Zhartan.

“Eh… ya… ya eh sepertinya kau benar, tetapi usianya baru enam puluh tahun, aku malah lebih tua seratus tahun,” jelas Vharok membela diri.

“Hei kau keturunan raksasa, usiamu jauh lebih panjang dalam kategori raksasa, kau ini dari sisi manusiamu, seharusnya sudah dewasa, ingat usiamu sudah seratus tahun,” ujar Zhartan.

“Ayahmu sudah menjalin hubungan dengan ibumu jauh sebelum berkenalan dengan ayahnya Gupala, jadi kurasa itu sudah lama sekali, kenapa kau tidak tinggalkan saja dendam bodohmu itu,” jelas Zhartan.

“Apa kau tidak memiliki kebijaksanaan Vhendaar dan Triadha yang ada dalam gen-mu ingat kami bukan species yang primitif,” tambah  Zhartan.

“Kami berevolusi lebih dulu dari manusia, paling tidak kau bisa lebih cepat dewasa dalam berpikir, sehingga lebih bijak dari manusia pada umumnya, dewasalah!” Zhartan sangat antusias menasihati Vharok.

“Eh oh baiklah, akan aku pikirkan, permisi,” ujar Vharok merasa malu dan segera bergegas meninggalkan tempat tersebut.

Lalu dia menoleh lagi ke Zhartan dan melihat ke raksasa yang setinggi lima meteran, raksasa itu menggeram ke arahnya. Segera Vharok keluar dari ruangan tersebut, ibunya Vharok muncul dari sisi lainnya.

“Terima kasih Zhartan,” ucap Vhendaar.

“Sama-sama Vhendaar, aku sudah cukup berusaha, kuharap dia segera berubah menjadi lebih baik,” ujar Zhartan.

“Semoga,” Vhendaar menghela napas panjang.

*

“Nah kita bermarkas di sini, markas yang sama seperti saat kami menculikmu,” ucap Bandung kepada teman-temannya dan juga melihat ke arah Bhorghat.

“Baiklah, mungkin ini saatnya aku akan ke tempat penelitianku lagi,” kata Bhorghat.

“Begini saja, agar tidak menimbulkan kecurigaan, aku juga ingin melihat situasi istana, bagaimana kalau kau antar aku ke dalam istana, setelah itu kau boleh pergi, apalagi aku belum percaya padamu seratus persen, siapa tahu kau memberitahukan rencana dan markas kami” Bandung berkata kepada Bhorghat sembari dengan penekanan tidak percaya.

“Ide yang bagus, aku ikut,” ujar Bondowoso.

“Oh tidak… tidak, kau di sini, ini perintah, aku khawatir baumu akan tercium walaupun sedikit dan walaupun kau sudah luluran, lebih amannya aku saja,” jawab Bandung.

“Ta… tapi…,” Bondowoso mencoba berargumen.

“Tidak ada tapi, ini perintah,” potong Bandung dengan tegas.

“Baiklah gusti,” jawab Bondowoso, walaupun masih merasa sangsi atas keselamatan Bandung.

“Aku bisa jaga diri, percayalah,” tambah Bandung sembari menatap ke arah Bondowoso dan juga teman-teman lainnya, Bandung melihat ke arah Bhorghat.

“Ayo kita berangkat,” ajak Bandung ke Bhorghat.

“Baiklah,” lalu Bhorghat beranjak ke luar dari markas sementara tersebut, diikuti oleh Bandung.

 “Tunggu!” Bondowoso mendadak menahan kepergian Bandung dan Bhorghat.

“Kenapa?” tanya Bandung.

Bondowoso memberikan isyarat untuk diam, lalu perlahan mendekati suatu area di sekitar tempat tersebut.

Kemudian Bondowoso berbicara sendiri,”Scan smart life form range 500 meters from me now!”

 “Hmm… baiklah, mungkin tikus atau sejenisnya,” ucap Bondowoso kepada dirinya sendiri.

“Ada apa?” tanya Bandung lagi.

“Entahlah, kurasa aku salah dengar,” ujar Bondowoso.

“Oh baiklah,” jawab Bandung.

“Apakah kau tidak merasa diperhatikan oleh orang-orang nanti dengan tinggi tubuhmu yang tinggi itu?” tanya Bandung kepada Bhorghat saat di perjalanan ke istana Baka.

“Oh, tidak, mereka sepertinya sudah terbiasa, apalagi aku menggunakan blangkon yang lebih menutupi telingaku yang lancip, dan wajah kami tidak jauh berbeda dengan kalian, cuma kulit kami lebih pucat, dan kami jarang memperlihatkan gigi taring kami,” ujar Bhorghat.

“Hm jadi dengan penampilan seperti ini kau mudah keluar masuk istana?” tanya Bandung lagi.

“Iya, sepertinya mereka sudah tahu bahwa kami adalah orang-orang eksklusif di dalam istana, sehingga keluar masuk tidak akan ada halangan dan tidak akan ditanya macam-macam, karena itu perintah Vharok,” jawab Bhorghat.

“Ha ini bagus, jadi aku bisa masuk ke dalam istana bersamamu dengan lebih mudah,” Bandung gembira.

“Sepertinya,” jawab Bhorghat.

*

Istana Raja Baka, terlihat seperti muram walaupun siang hari, rakyatnya sepertinya tertekan dengan keadaan kerajaan yang tidak menentu.

Prajurit-prajurit Istana Baka juga seperti saling curiga hingga di antara mereka sendiri seperti terpecah belah, sudah sulit sekali untuk menaruh percaya satu sama lainnya.

Bhorghat melenggang masuk pintu istana dan Bandung mengikutinya dari belakang. Prajurit di pintu gerbang istana membolehkan Bhorghat masuk walaupun tanpa berbicara apa pun. Namun, tidak pada Bandung.

Prajurit sebelah kanan, “Berhenti! Siapa kau?” tanya prajurit tersebut sembari menahan gerak Bandung dengan menodongkan tombaknya ke arah dada Bandung saat memasuki istana. Prajurit yang sebelah kiri Bandung pun segera melakukan hal yang sama.

“Eh…eh…,” Bandung gelapan lalu menunjuk ke arah Bhorghat.

Prajurit tersebut melihat ke arah Bhorghat yang terlebih dulu masuk. Bhorghat juga menoleh ke arahnya, segera menganggukkan kepalanya.

“Baik, silakan masuk,” prajurit tersebut segera menjauhkan tombaknya dari dada Bandung dan segera melakukan posisi sebelumnya.

Prajurit yang kiri segera juga kembali pada posisi sebelumnya.

“Terima kasih,” ujar Bandung dengan gembira, dan segera berlari kecil menyusul Bhorghat yang sudah agak jauh.

Hal ini sepertinya dibutuhkan Bandung terlihat dekat dengan Bhorghat agar tidak banyak orang istana yang bertanya macam-macam kepadanya.

Dan ini terbukti, setelah melewati beberapa pintu istana lainnya, semuanya berjalan lancar. Mata Bandung dengan cepat menganalisis area-area yang dilewatinya dan memerhatikan jumlah-jumlah prajurit yang ada.

bersambung....


Komik ini ada di An1magine majalah eMagazine Art and Science Volume 2 Nomor 1 Januari 2017
yang dapat di-download gratis di Play Store, share yaa


Comments

Popular Posts

PARTNERS

Contact Form

Name

Email *

Message *