Roro Jonggrang di An1magine Volume 1 Nomor 10 Desember 2016


VHAROK
M.S. Gumelar 


“Baiklah, kenapa dia bisa sesakti itu, bahkan sepertinya melebihi kalian, MELEBIHI AKU!” tanya Vharok dengan geram dan emosi marahnya terlihat jelas.


Matanya melotot, dan gigi taringnya lebih panjang dari kebanyakan manusia biasa.

“Aku keturunan raksesi, dan kalian adalah para raksesi, kenapa bisa kalah?” kali ini suara Vharok lebih lunak walaupun masih berkesan berteriak.

“Walaupun kami raksasa, tetapi Bondowoso sepertinya terevolusi lebih tinggi lagi gusti dan juga dia mempunyai peralatan yang hebat,” jawab Dvargha menerangkan.

“Apa itu evolusi, kesaktian tingkat tinggikah, apakah aku bisa mempelajari kesaktian itu?” tanya Vharok penasaran.
“Eh uh oh untuk di zaman ini sepertinya gusti belum bisa,” jelas Dvargha tampak kebingungan.

“Kenapa belum bisa? Semua ilmu kesaktian dapat dipelajari bukan?” ujar Vharok dengan geram, giginya gemeletuk.

“Baiklah, segera tinggalkan tempat ini, dan atur bahwa dalam waktu seminggu akan ada duel memperebutkan kerajaan antara aku dan Gupala, di alun-alun kerajaan,” Kata Vharok.

“Biar mereka melihat aku berhasil membunuh raja bodoh mereka, dan aku yang menang pasti akan menjadi raja ha ha ha,” ujar Vharok.

“Tapi gusti bukankah gusti sebelumnya tidak tertarik menjadi raja?” ujar Dvargha.

“AKU BERUBAH PIKIRAN!” ujar Vharok dengan mata dingin melihat ke arah Dvargha.

“Baiklah gusti, bawa Gupala dan Jonggrang ke penjara di area timur!” ujar Dvargha sekaligus memerintah anak buahnya untuk membawa Gupala dan Jonggrang.

“Tunggu, aku ingin bersikap adil dalam pertarungan nanti, bawa dia ke bilik raja dan putri, beri mereka perawatan dan makan yang layak sebagai raja dan putri raja, sampai tubuhnya sehat, aku dan Gupala akan bertemu di area pertarungan alun-alun kerajaan, tapi tetap jaga mereka” ujar Vharok mendadak timbul pikiran kesatrianya.

“Baik Gusti Vharok,” ujar Dvargha seperti tidak percaya apa yang telah didengarnya. Lalu para raksasa itu membawa Gupala dan Jonggrang ke tempat yang dimaksud.

*

Loro Jonggrang


“Hup,” Bondowoso berhenti di dahan pohon. Dia melihat Plasma Shield-nya kehabisan energi terbaca di monitor matanya, lalu dia berkata ”Plasma Shield off, plasma fly mode off.”

Lalu segera dia melompat turun dan matanya celingukan mencari sesuatu. Dia tersenyum dan segera ke arah tersebut. Bondowoso berlari dengan cepat ke suatu arah.

*

“Nah sudah selesai satu baju tempur dengan bahan kayu ulin ini,” ujar Wanara.

“Ha ha ha bagus, aku juga setelah melihatmu, jadi belajar membuatnya, bahkan ada tambahan lainnya sehingga lebih kuat dan keren,” ujar Pikatan sembari menunjukkan hasil karyanya.

“Wuah, kenapa aku tidak berpikir sepertimu, ha ha ha hasilmu jauh lebih bagus dari punyaku, baiklah, dua sisanya kau yang membuatnya ya,” ucap Wanara ke Pikatan.

“Sungguh? Baiklah, aku sepertinya suka mengerjakannya,” ujar Pikatan lalu segera mengerjakannya.
Wanara tersenyum.

“Sudah hampir dua hari, kita sepertinya membuang waktu,” kata Bandung dan melihat ke Garudeva kemudian ke Jonggrang.

“Sebentar lagi dia akan sampai,” ujar Garudeva.

“Dia? Bondowoso?” Jonggrang seperti berharap.

“Hai teman-teman!” dari jauh Bondowoso menyapa mereka.

“Darimana kau tahu?” Bandung heran menatap ke Garudeva dan kemudian bergerak mendekati Bondowoso yang sepertinya ngos-ngosan.

“Ah tadi ada kelapa muda dan baru saja dibuka, segera minum dulu,” Pikatan meletakkan pekerjaannya lalu mengambil kelapa muda yang telah dikupas dan dipapas ujungnya dengan golok sehingga mudah untuk diminum dan diberikan kepada Bondowoso.

Bondowoso segera mengambil kelapa muda tersebut dan meminumnya sampai habis. Kemudian dia melihat ayam bakar, tanpa disuruh segera saja diambil dimakannya. Semuanya menunggu Bondowoso selesai makan.

Setelah selesai Bondowoso berkata,”Ada baiknya kalian jangan sembunyi di sini, mereka dapat melacak bauku.”

“Bukankah itu sudah jelas?” Garudeva menambahkan.

“Sudah saatnya Wanara mencari herbal yang dapat membuat bau tubuh Bondowoso minimal tidak bau sekali,” saran Bandung.

“Ah benar gusti, saya dapat melakukannya,” ujar Wanara.

“Hooooh kenapa ga dari dulu aja?” Pikatan mencibir.

“Ha ha ha, aku pikir ide menutup hidung kita dengan penutup mulut dan hidung dari Gusti Bandung sudah cukup, kalau yang ini perkaranya sudah lain, baiklah, besok pagi aku akan mencari bahan-bahan herbal untuk menjadi bahan luluran Bondowoso, dijamin bau amisnya hilang!” ujar Wanara optimis.

“Luluran ha ha ha seperti wanita saja,” Pikatan tersenyum.

“Yang penting tidak bau,” ujar Bondowoso.

“Bagus, jika begitu, untuk sementara sebaiknya sebagian dari kita pindah tempat saja, agar Jonggrang, Dewa, dan Pikatan pindah ke lokasi baru, sementara  itu, aku di sini bersama Bondowoso dan Wanara,” Perintah Bandung.

“Baiklah, aku berangkat terlebih dulu,” Lalu Garudeva terbang perlahan dengan mengepakkan sayapnya lalu menukik mencengkeram pundak Jonggrang dan Pikatan yang telah dilapisi baju kayu ulin yang tebal, sehingga tubuhnya tidak terluka saat dicengkeram oleh Garudeva.

“Hei-hei, Dewa kau belum memberitahu di mana kau akan pindah?!” Wanara berteriak.

“Bondowoso akan tahu, jangan panggil aku dewa” jawab Garudeva lalu segera terbang ke lokasi baru entah di mana membawa Jonggrang dan Pikatan.

“Baiklah, ada baiknya aku segera menyelesaikan baju kayu ulin ini,” ujar Wanara.

“Hm kau perlu istirahat, aku sebenarnya ingin tahu ceritamu, bagaimana kau bisa terlepas dari orang-orang tinggi besar dan mampu bergerak cepat tersebut?” tanya Bandung.

“Walaupun tubuhmu bau dan dapat dilacak, tetapi aku pikir mereka akan membutuhkan waktu minimal sampai esok hari sampai mereka mampu menemukanmu” ujar Bandung kepada Bondowoso.

“Baiklah gusti,” ujar Bondowoso tanpa menjawab pertanyaan Bandung lalu segera masuk ke dalam gua, merebahkan dirinya dan langsung tertidur pulas.

Bondowoso terbangun dengan bau enaknya bakaran makanan yang mampu mengalahkan bau tubuhnya.

Segera dia berdiri, badannya terasa lebih segar. Dia melangkah keluar gua, melihat Bandung sedang membakar kelinci.

“Selamat pagi gusti,” ujar Bandung lalu duduk di depan bakaran.

“Pagi… aku tertarik untuk memberi bumbu kelinci ini sendiri, sudah lama sekali aku tidak memasak sendiri, ternyata racikan bumbu dengan sentuhan ala buatanku masih tidak hilang ha ha ha,” Bandung menceritakan dirinya, yang selama ini belum pernah dilakukan sebelumnya.

“Aromanya enak sekali gusti,” ujar Bondowoso memuji.

“Ha ha ha pasti, kau akan menyukainya,” kata Bandung.

Blukh!

Wanara datang dengan membawa empat buah kelapa muda, dan meletakkannya di dekat perapian, lalu mengambil goloknya.

Set set set

Kelapa dikupas dengan sangat terampil dan memotong salah satu bagian ujungnya dan meletakkannya di depan Bondowoso dan kemudian satu lagi di depan Bandung.

“Aku sudah mencari herbal untuk lulur penghilang bau tubuh dan tinggal aku racik setelah kita sarapan,” ujar Wanara.

“Bagus, yo kita makan,” Bandung membagi kelinci buruannya yang ada tiga ekor tadi dan diserahkan satu-satu kepada Bondowoso, Wanara dan sisa satu untuk dirinya.

“Muaaaantap, enak sekali gusti, tidak hamba kira gusti pandai memasak!” puji Wanara.

“Iya gusti, luar biasa enak sekali,” ujar Bondowoso dan makan dengan lahapnya.

“Baiklah, berita apa yang kau dapat?” Bandung melihat ke Bondowoso.

“Hamba berhasil bertemu dengan Raja Baka, namun sayangnya hamba belum bisa menyelamatkannya gusti, para raksasa itu terlalu banyak, sehingga hamba kewalahan dan meloloskan diri dengan cara mengelabui mereka gusti,” ujar Bondowoso.

“Hmm mereka raksasa ya? Pantas tinggi besar dan bertaring, tetapi kenapa gerakan mereka cepat sekali ya? Seharusnya besar dan tinggi itu bergeraknya lambat?” ujar Bandung penasaran.

“Bagaimana dengan keselamatan raja Baka?” Bandung berkenyit dahinya.

“Hamba tidak yakin, tapi sepertinya aman gusti,” ujar Bondowoso.

“Hmm baiklah jika begitu, Wanara segera buatkan luluran untuk minimal bekal tujuh hari agar kita dapat segera ke kerajaan lagi dalam waktu dekat,” perintah Bandung.

“Baik gusti, dan untuk bekal luluran sebanyak itu, ada baiknya Bondowoso juga membantu,” Wanara menjelaskan.

Aku juga akan membantu,” ujar Bandung.

Lalu mereka segera sibuk membuat lulur bagi Bondowoso. Karena bahan-bahannya kurang banyak, maka Wanara pun segera mencari tambahan herbal, sedangkan Bandung dan Bondowoso sibuk meracik lulur seperti yang diajarkan Wanara dan menggerusnya menjadi lulur.

Aroma wangi lulur demikian pekatnya di area gua tersebut, menandakan bahwa lulur tersebut mampu mengalahkan bau amis yang keluar dari tubuh Bondowoso.

Tak lama kemudian Wanara balik lagi dengan membawa lebih banyak bahan racikan untuk lulur penghilang bau amis.

Bandung, Bondowoso dan Wanara dengan giat membuat lulur tersebut sampai siang hari. Lalu dengan segera Bondowoso mandi di sungai dan meluluri tubuhnya dengan lulur tersebut, seperti keajaiban, hidung Bondowoso sendiri tidak lagi merasakan bau amis dari tubuhnya.

”Yeaaaaaaaaaaaa!” Bondowoso berteriak kegirangan.

Bandung dan Wanara melihat Bondowoso yang baru mentas dari sungai setelah mandi dan luluran menjadi tertawa gembira melihat kegembiraan Bondowoso yang terlihat jelas.

“Baiklah, rencana kita selanjutnya, kita akan mencari info lagi ke area istana, mengetahui lebih jelas berapa tepatnya jumlah para raksesi itu,” kata Bandung setelah Bondowoso mendekat.

“Baik gusti,” jawab Bondowoso dan Wanara berbarengan.

“Siapkan perlengkapan, dan segera berangkat!” perintah Bandung.

Bondowoso dan Wanara segera mempersiapkan apa yang dibutuhkan.

Bunyi gong istana berkali-kali ditabuhkan, rakyat segera mengerumuni area alun-alun istana kerajaan Baka.

Kemudian seorang berpakaian bagus ala kerajaan bergerak maju diiringi oleh empat prajurit kerajaan, orang tersebut berdiri di depan tangga pendopo alun-alun istana dan kemudian setelah rakyat menjadi tenang segera dia membuka lembaran lontar yang ada di tangannya dan dibacakan.

“Pengumuman, pada hari ketujuh setelah hari ini, diumumkan bahwa untuk Suksesi Raja Baru Kerajaan Baka, maka Prabu Gupala Gotawa akan menguji kehebatan calon pengganti Raja Baka agar yang menggantikan Raja Baka nanti adalah raja yang hebat, kuat, sehingga mampu melindungi segenap rakyatnya,” pembaca lontar berhenti sejenak menghela napas lalu melanjutkan lagi.

“Adapun siapa-siapa saja yang akan diuji, akan diumukan pada hari ketujuh saat itu juga, demikian pengumuman ini agar disebarkan ke Seluruh Pelosok Wilayah Kerajaan Baka, terima kasih,” setelah itu pembaca pengumuman tersebut segera bergegas masuk ke istana disela riuh rendahnya komentar rakyat yang ada di alun-alun setelah pengumuman itu dibacakan.

“Siapa ya calon-calonnya?” tanya Burako.

“Entah, tapi raja ini benar-benar berbeda, sebab biasanya para raja cenderung menjadikan keturunannya yang akan menggantikan, tapi ini orang lain, aneh?” ujar Pangrango.

“Mungkin karena dia tahu anaknya seorang wanita, jadi memutuskan demikian?” ujar Burako mencoba menebak.

“Mungkin juga, tetapi Burako, seingetku, boleh ah seorang wanita menjadi raja, pasti ada alasan lainnya yang kita tidak tahu,” ucap Pangrango.

“Iya juga ya Pangrango, semoga saja alasannya adalah untuk kita juga, para rakyat,” ujar Burako.
“Ah kebanyakan para penggede istana memang selalu atas nama rakyat, aslinya hidup kita begini-begini saja, tanpa ada kerajaan juga hidup kita tetap seperti ini, malah kita yang selalu menjadi korban peperangan, kita tidak perlu raja, kegiatan masyarakat tetap berjalan” ujar Pangrango sok menggurui.

“Ah setuju banget Pangrango memang hebat, sepertinya suka mendengar Wejangan Eyang Rupit,” ucap seseorang yang mendadak menyela dan muncul dari belakang mereka.

“Eh… Jaran Sewu, bisa aja,” ujar Pangrango melihat ke arah Jaran Sewu yang bergerak mendahului mereka.

“Ha ha ha iya juga sih, yuk balik lagi ke sawah, bekerja lagi untuk keluarga,” ajak Burako.

Sementara itu Jaran Sewu bergegas menuju ke suatu area padepokan dan segera memasukinya.

Di area lapang yang ada di dalam padepokan itu dia melihat empat orang anak laki-laki bermain Patil Lele  dengan riangnya.

Jaran Sewu melintasi mereka dan segera masuk ke ruangan utama padepokan.

“Hamba hatur sembah eyang,” ujar Jaran Sewu melakukan sembah hormat dengan duduk dan melekatkan kedua telapak tangannya menghadap ke atas tepat di area depan dada setelah bertemu dengan orang yang berpakaian sederhana berwarna krem cenderung putih yang lusuh.

Wajahnya dipenuhi jenggot dan kumis panjang yang sudah memutih dan rambutnya juga memutih, namun diikat dengan kain warna krem cenderung putih juga.

“Kau sepertinya terburu-buru sekali Jaran Sewu,” ujar eyang tersebut sembari terlihat giginya yang ompong sebagian.

“Iya Eyang Rupit,” jawab Jaran Sewu.

“Tampaknya Raja Baka akan segera melakukan pergantian pemerintahan dan bahkan rajanya juga akan diganti, bukan dirinya lagi,” ujar Jaran Sewu.

“Hm sesuatu yang luar biasa, seperti seorang raja yang telah menemukan pencerahan tentang makna hidup,” ujar Eyang Rupit.

“Menemukan makna hidup?” tanya Jaran Sewu.

“Iya, bahwa sebenarnya hidup itu sederhana saja, yaitu cuma makan, minum dan, kalau bisa meneruskan keturunan, kalau tidak juga tidak apa-apa,” ujar Eyang Rupit.

“Hidup sebenarnya kan sederhana sekali seperti itu, tidak butuh tahil, sebab makanan dan minuman cukup berlimpah, tidak bakalan kelaparan bila mengandalkan bertani dan ngangon ,”  ujar Eyang Rupit.

“Tapi hidup menjadi rumit setelah manusia ingin lebih dengan cara mendapatkan hiburan atau kesenangan, hiburanlah yang membuat hidup manusia menjadi kompleks,” ujar Eyang Rupit.

“Lalu dalam mempertahankan hiburan tersebut, manusia akhirnya membuat penggolongan pekerjaan dan akhirnya munculah yang namanya kerajaan agar mudah untuk mengaturnya,” tambah Eyang Rupit lalu mengambil lembaran lontar dan alat tulis lontar yang ada di dekatnya dan menuliskan sesuatu sembari tetap berbicara.

“Tetapi pada akhirnya, memang hiburan itulah yang membuat manusia semakin cerdas, sesuatu yang tidak terelakkan,” tambah Eyang Rupit.

“Hm… maaf eyang, hamba tidak mengerti,” ujar Jaran Sewu sembari menghaturkan hormat, kali ini sembah hormatnya diletakkan di atas kepalanya, tidak di dada lagi, sebagai ungkapan bahwa Jaran Sewu sangat hormat pada Eyang Rupit dan kata-kata bijaknya.

“Tetapi memang kadangkala kehidupan seseorang menjadi berbeda, mendadak seseorang tersebut menjadi pusat perhatian, dan kita secara langsung atau tidak langsung ikut terlibat dalam pusaran perhatian pada seseorang tersebut, entah orang tersebut bermaksud baik atau tidak baik, tidak ada bedanya,” kata Eyang Rupit.

”Sehingga orang tersebut mampu melakukan apa yang menjadi cita-citanya oleh bantuan kita semua, dan menjadi sejarah, diceritakan berulang-ulang dari cerita yang awalnya benar lalu dimanipulasi bahkan menjadi tidak benar sehingga sejarah seperti cerita imajinasi yang disahkan oleh pemerintah yang menang, tetapi orang-orang sudah tidak peduli lagi karena sudah ditelan zaman,” ujar Eyang Rupit.

“Jaran Sewu, aku minta kau bantu Raja Gupala Gotawa bila memang dibutuhkan, sebab untuk menjadi raja adalah dengan membunuh raja, ini adalah hukum yang sangat tua, tapi Raja Gupala selama ini kulihat sudah sangat baik pemerintahannya,” kata Eyang Rupit lalu menghela napas.

“Namun dalam beberapa tahun terakhir menjadi seperti bukan dirinya lagi, sebab aku dulu adalah salah satu patihnya, dan ini adalah kesempatanmu untuk menjadi seseorang dengan jabatan tertentu berikutnya dengan membela dan mempertahankan yang sudah baik,” mendadak Eyang Rupit berkata dengan penuh semangat.

“Baik eyang, bagaimana caranya?” jawab Jaran Sewu sekaligus bertanya.

“Kau bawa lontar ini dan berikan pada Aryakreyan, dia seorang bekel di istana kerajaan Baka,” jawab Eyang Rupit.

“Baiklah Eyang,” lalu Jaran Sewu mengambil lembaran lontar ditangan Eyang Rupit, berjalan mundur, lalu memberi hormat. Dan berbalik serta bergegas meninggalkan area tersebut.

*

Bunyi kuda berlari meninggalkan area tersebut ternyata Jaran Sewu sudah mulai melakukan misinya.


*

Istana Kerajaan Baka bagian penerimaan prajurit baru.

“Gusti Aryakreyan ada seseorang membawa lontar dari padepokan Lembu Seketir, dia bernama Jaran Sewu ingin bertemu dengan gusti,” ujar seorang prajurit kepada Aryakreyan.

“Persilakan dia masuk,” ujar Aryakreyan.

“Baik gusti,” lalu prajurit tersebut keluar sebentar dan kemudian membawa masuk Jaran Sewu ke depan Aryakreyan.

“Hamba haturkan Jaran Sewu gusti,” ujar prajurit tersebut lalu mundur dan Jaran Sewu bergerak ke depan.

“Hamba Jaran Sewu menghadap gusti,” kata Jaran Sewu sembari menghaturkan sembah hormat.

“Kau katanya membawa surat lontar dari Padepokan Lembu Seketir?” ujar Aryakreyan.

“Benar gusti, ini hamba haturkan ke hadapan gusti,” ujar Jaran Sewu lalu mengangkat lembaran lontar di atas kepalanya dan sembari tangannya memegang lontar tersebut.

Prajurit yang di belakangnya Jaran Sewu tadi maju lagi dan mengambil lembaran lontar tersebut dan diberikan kepada Aryakreyan.

Aryakreyan segera membaca lontar tersebut dan dahinya berkenyit.

“Sudah berapa lama kau belajar ilmu silat?” tanya Aryakreyan.

Dua belas tahun gusti,” jawan Jaran Sewu.

“Baiklah, aku akan menerimamu menjadi prajurit bila kau berhasil mengalahkan lima orang prajurit pilihanku,” kata Aryakreyan.

“Hamba siap gusti,” ujar Jaran Sewu mantap.

*

Di Lapangan Keprajuritan Istana Kerajaan Baka. Aryakreyan telah menunjuk 5 orang prajurit pilihan untuk menguji kemampuan Jaran Sewu.

Jaran Sewu telah bersiap, lima orang prajurit tersebut tiga orang membawa pedang, satu orang membawa keris dan satu orang membawa tombak menyerang secara bersamaan.

Jaran Sewu melompat dan salto beberapa kali sampai mendapatkan sisi belakangnya yang menghadap dinding.

Hal ini sangat penting karena dia tahu bahwa dia tidak dapat melihat orang yang di belakangnya, sehingga taktik ini sangat penting untuk dilakukan, karena secara otomatis lawan akan menyerang hanya datang dari depan saja.

Prajurit yang membawa keris sampai lebih dulu dan menyerang dengan garang.

Dengan cepat Jaran Sewu malah menghadang serangan tersebut, Jaran Sewu bergerak ke arah luar serangan, menahan lengan prajurit berkeris, tangan yang menggengam keris ditekuk di antara pergelangan lawan, sehingga lawan kesakitan.

Lalu dengan cepat merampas keris tersebut, dengan gerakan sedikit melingkar sekaligus membanting lawannya dengan mengarahkan laju tenaga lawan, sehingga prajurit tersebut menabrak dinding sembari terpelanting.

Segera Jaran Sewu menyelipkan keris lawan di pinggangnya dengan penahan baju luarnya sehingga aman tidak mengenai dirinya.

Serangan kedua adalah prajurit berpedang yang berbadan besar. Pedang diangkat dari atas dan diarahkan ke tubuh Jaran Sewu.

Dengan cepat Jaran Sewu juga menghadang serangan tersebut, saat akan pedang lawan dihentakan dari atas, dengan cepat dan tepat Jaran Sewu menahan kedua tangan Prajurit berpedang besar lalu Jaran Sewu bergerak ke arah kanan lawan dengan gerakan memutar.

Jaran Sewu menahan siku tangan lawan dengan tangan kirinya dan tangan sebelah kanan sembari tetap memegang tangan kanan lawan yang memegang pedang besar dengan cara menekuknya.

Akibatnya, lawannya terjatuh terjengkang kesakitan karena tangannya terkena gagang pegangan pedangnya sendiri sehingga menyerah saja saat pedang tersebut direbut dari tangannya.

Setelah mendapatkan pedang besar tadi, segera saja Jaran Sewu melompat menjauhi kedua lawannya yang telah jatuh, tetapi tetap melihat mereka dengan jelas di depannya dan mencari area yang di belakangnya ada dinding lagi.

Hal ini membuat ketiga penyerang sisanya mengejar Jaran Sewu ke area barunya. Perhatian Jaran Sewu kini mulai fokus pada ketiga prajurit sisanya.

Seseorang yang membawa tombak menyerang, kali ini dengan cepat Jaran Sewu memangkas ujung tombak dan dikenakan pada kayunya, sehingga terputus.

CTAAAAAANG SREKH!

Lalu dengan segera Jaran Sewu melayangkan sabetan ke leher lawannya. Belum sampai terkena leher lawannya, sabetan dihentikan, sembari mendorong lawannya tersebut sehingga terjatuh  dengan memanfaatkan laju gerak tenaga lawannya.

GRUSUUUUUUKH!

Serangan itu membuat lawan jatuh tersungkur dengan keras. Bersamaan dengan itu, kedua prajurit berpedang serangannya segera sampai dengan cepat pula Jaran Sewu menghadang serangan parajurit berpedang kecil.

Menggunakan ujung pedang besarnya, Jaran Sewu menggunakan punggung pedang untuk mengenai telapak tangan atas pemegang pedang kecil tersebut.

CPLAAAAKH!

AAAAAARH!

Oleh karena terasa sakit, prajurit berpedang kecil tadi melepaskan pedangnya. Segera saja Jaran Sewu menendang pedang tersebut menjauh darinya sehingga keluar dan menancap di luar area alun-alun karena dengan kerasnya.

Kini tinggal prajurit berpedang besar di mana serangannya sudah hampir mengenai leher Jaran Sewu, lalu dengan bergerak mundur beberapa langkah.

Jaran Sewu berhasil menghindar, dengan bergerak memutar keluar area lawan Jaran Sewu mengambil tameng bundar dan melemparkan tameng tersebut ke prajurit berpedang, saat prajurit berpedang sedang fokusnya menjadi ke tameng bundar.

Dengan cepat Jaran Sewu mengarahkan sabetan kakinya ke lawan.

BETH!

BRUUUGH!

Akibatnya, lawan menjadi tidak imbang dan terjatuh, dengan cepat pedang Jaran Sewu bergerak ke leher prajurit berpedang sedang tersebut dan berhenti beberapa senti dekat lehernya.

PLOK PLOK PLOK

HA HA HA HA

“Tidak sia-sia Rupit mengirimmu ke sini  Jaran Sewu, kau diterima sebagai prajurit di sini, SELAMAT BERGABUNG HA HA HA,” Aryakreyan tertawa gembira.

“Terima kasih teman-teman, terima kasih gusti,” kata Jaran Sewu sembari mengucapkan terima kasih pada lawan-lawan tandingnya yang juga membalasnya dengan melakukan bungkukan sembari memberi hormat dia melekatkan kedua telapak tangannya di dada, lalu Jaran Sewu melakukan hormat Om Swastiastu juga ke Aryakreyan.

*
Dua hari sudah Jaran Sewu mengabdi sebagai prajurit istana Kerajaan Baka.

Sore hari, di meja makan keprajuritan Jaran Sewu menemani Aryakreyan untuk meminum kopi.

“Ah singkong bakar bawaan Suku Dayak Djongkang ini enak banget, ayo Sewu nikmati,” kata Aryakreyan sembari mengambil satu singkong bakar yang dihidangkan di meja.

“Ah benar sekali gusti,” ujar Jaran Sewu lalu meminum kopinya terlebih dulu dan mengambil juga singkong bakarnya.

“Bagaimana menurutmu bekerja sebagai prajurit istana?” tanya Aryakreyan.

“Karena belum begitu lama gusti, baru tiga harian, belum merasakan bagaimana seorang prajurit itu,” jawab Jaran Sewu.

“Aku sudah dua belas tahun menjadi prajurit, tiga tahun sebagai bekel, prajurit pada dasarnya hanya melaksanakan tugas yang diberikan atasannya dan tidak boleh bertanya ini dan itu,” Aryakreyan menjelaskan.

“Tetapi kadangkala bila pimpinan kita ternyata menggunakan kita untuk perbuatan jahat mereka, kadang kita tidak tahu, karena kita hanya melakukan tugas dan tidak boleh bertanya tadi,” ujar Aryakreyan.

“Darimana kita tahu akhirnya bila kita digunakan untuk berbuat jahat oleh pimpinan?” tanya Jaran Sewu.

“Nah itulah uniknya, kita tidak bakalan tahu, yang jelas, saat tugas yang kita jalankan berhasil, maka biasanya pangkat kita juga akan naik dengan cepat, demikian juga kekayaan akan segera mengikutinya,” ujar Aryakreyan.

“Apakah pangkat gusti naik dengan cepat?” tanya Jaran Sewu.

“Tidak juga, jabatan dan kekayaan tidak berpihak dengan baik padaku, aku membutuhkan waktu dua belas tahun sampai menjadi bekel, sempat naik menjadi senopati, tetapi hanya enam bulan saja, lalu turun lagi menjadi bekel, padahal teman-temanku hanya butuh waktu tiga tahunan, sekarang mereka hampir semuanya menjadi atasanku,” kata Aryakreyan.

“Mereka yang jabatannya naik dengan cepat, hampir semuanya bawahan dari Vharok sebagai patih amungkubumi,” ujar Aryakreyan.

“Teman-teman seangkatanku hampir semuanya sudah pada berpindah pekerjaan, sudah tidak lagi menjadi prajurit, banyak yang menjadi pedagang, ada yang pindah ke kerajaan lain dan bekerja sebagai prajurit kerajaan tersebut, yang paling dekat ya ke Kerajaan Pengging,” ujar Aryakreyan menambahkan.

Mendadak beberapa orang masuk dengan gerakan yang sangat semaunya, petantang petenteng, ”Pelayan, bawakan kami minuman kopi hangat dan singkong dan jagung bakar.”

“PELAYAN, TULI APA?” teriak salah satu orang dalam kelompok tersebut, ukuran tubuhnya kurus, mulut monyong, dan rambutnya ikal.

“Baik den,” pelayan pria area makan keprajuritan datang dengan tergopoh-gopoh.

“Heeeeh,” setelah pelayan tersebut datang, prajurit tubuh kurus mulut monyong tersebut menggertak pelayan dengan gerakan seakan mau menempeleng, pelayan pria dengan ketakutan menutup wajahnya.

Jaran Sewu beranjak ingin membantu pelayan tersebut karena perlakukan buruk prajurit kurus tersebut, tetapi gerakannya ditahan oleh Aryakreyan.

“Ma… maaf gusti, tadi pesan apa?” ujar pelayan tadi.
BRUGH

Pelayan tadi ditendang oleh teman prajurit kurus, orang ini lebih tinggi, namun juga kurus dan bermulut sumbing.

“Khamu mhemangh bhodoh, khami peshan henamh kopi hangath, shingkhong dhanh jhaghung bhakarh, shegeraaaah!” teriaknya kepada pelayan tadi, suaranya tidak begitu jelas karena bibir sumbingnya.

“Ba… baik gusti,” pelayan tersebut segera masuk ke dapurnya dan mempersiapkan pesanan yang dimaksud.

“Ada orang yang buruk mukanya dan buruk juga perbuatannya,” kata Aryakreyan.

“Apa maksud ucapanmu Arya?” ujar si kurus monyong.

“Hiyhah ahphah mhakhsudhmuh?!” ujar si tinggi kurus mulut sumbing.

“Sikapmu yang buruk Shitohsudes, pesan saja dengan baik, pesanan juga akan datang, tidak perlu membentak atau berbuat kasar!” ujar Aryakreyan.

“Halah memang pelayannya saja yang lambat, kau tahu di keprajuritan orang lambat harus diberi hukuman, benarkan Gephengk” ujar Shitohsudes.

 “Hiyhah bhenhar,” ujar Gephengk yang bermulut sumbing dan tinggi membenarkan.

“Mencari kebenaran itu bukan dari meminta kata iya benar dari orang lain, tetapi sikap baik itu timbul dari kesadaran diri, bila kita dijewer oleh orang lain sakit, maka kita jangan menjewer mereka karena pasti sakit juga,” ujar Aryakreyan.

“Ha ha ha kau pikir prajurit akan bergerak kalau mereka tidak dijewer?” ujar Shitohsudes.

bersambung....


Cerbung ini ada di An1magine majalah eMagazine Art and Science Volume 1 Nomor 10 Desember 2016
yang dapat di-download gratis di Play Store, share yaa



Comments

Popular Posts

PARTNERS

Contact Form

Name

Email *

Message *