Roro Jonggrang di An1magine Volume 1 Nomor 5 Juli 2016



HUTAN LARANGAN
M.S. Gumelar

Sementara Pikatan membawa kuda milik Bandung dan kudanya Roro Jonggrang. Angling tetap berjaga-jaga di dekat Roro Jonggrang.

Wanara melihat seekor kijang yang tidak jauh di dekatnya, segera dia mengambil panah dan membidik kijang tersebut.

Hebat, sekali panah kijang tersebut kena, segera kijang tersebut berlari terseok-seok, mendadak setelah sekian lama kijang tersebut jatuh dan seperti tertidur.

“Ha ha ha, kau tidak akan lari jauh, ujung panahku sudah ada ramuan bius yang membuatmu tertidur!” ujar Wanara bangga, lalu mengambil kijang tersebut dan membopongnya.

“Hei hebat kau, wuah kita makan kijang guling ni!” teriak Pikatan.

“Ha ha ha iya!” ujar Wanara.
Bunyi keretek-keretek kijang yang sedang dibakar di atas bara api kayu-kayu yang disusun mirip api unggun.

Dan mereka asik melahap daging kijang,”Wuah enak banget, kau pintar sekali memasak putri!” puji Pikatan.

“Ha ha ha iya,” tambah Bondowoso yang segera menggigit daging kijang yang ada di tangannya lalu sesekali memoleskan sambal yang ada di atas daun talas sebagai alasnya.

“Terima kasih,” jawab Roro Jonggrang merasa senang dan melirik ke Bondowoso.

Bondowoso jadi terjengah dan merasa tidak percaya, dan segera tersenyum membalasnya. Bandung memerhatikan hal tersebut.

“Iya, dan lemper ketan bakar ini rasanya lebih enak, lebih baik dibakar dulu ternyata daripada dimakan langsung, hebat ni ide Bondowoso!” puji Bandung.

“Ha ha ha kan daripada jadi basi gusti, sebab lemper yang kita bawa sebagai bekal sudah dua hari lebih di perjalanan,” jelas Bondowoso.

“Ha ternyata walaupun kau bau, tetapi tidak suka yang bau-bau juga ya, ha ha ha!” teriak Ciung bercanda.

“Ha ha ha,” mereka tertawa bersama.

Bondowoso mencuci tangannya di tepi sungai yang agak jauh dari tempat makan-makan tersebut, mendadak dia merasa ada yang janggal,”Hei Kuda Angling di mana?” tanya Bondowoso.

“Tadi di dekat kudanya Putri Jonggrang!” Jawab Angling.

“Mungkin sedang merumput agak jauh dari sini saja,” ujar Bandung.

“Mungkin!” ujar Wanara pula.

“Apakah tadi kau ikat Angling?” tanya Roro Jonggrang.

“Sudah gusti putri,” jawab Angling.

“Kudamu tadi paling dekat dengan sungai bukan?” tanya Pikatan sembari memerhatikan tepi sungai, kemudian melihat ke sungai dan menaksir kedalamannya.

“Sungai ini kedalamannya sekitar dua puluh meteran,” ujar Pikatan.

“Sepertinya…,” belum sempat selesai Pikatan berkata.

GRAAAAAAAAAWR!

“Whuuuuuaaaaaa!” Pikatan dengan cekatan mundur saat sesuatu muncul dari air dan hampir mengenai kepalanya.
BYUUUUUR!

Apa pun itu masuk lagi ke dalam air sungai.

Bandung dan kawan-kawannya segera bersiaga sembari keheranan dengan apa yang telah terjadi.

“Apa tadi ituuuuu!” tanya Pikatan.

“Ssssstt,” Bandung memberikan aba-aba untuk jangan membuat suara.

Mendadak sejenis lidah tetapi panjang menyeruak keluar dari sungai dan membelit kaki Angling dan lidah tadi seperti ada duri-duri kecil ditancapkan ke kaki yang dibelit tadi.

Membuat Angling mendadak tidak bisa bergerak dan lidahnya kelu tidak mampu bersuara. Kemudian dengan cepat lidah berduri tadi menarik dengan cepat Angling ke dalam sungai.

Semuanya tertegun tanpa dapat bereaksi melihat kejadian yang serba cepat tadi. Lalu secara serentak mereka menjauhi sungai dengan cepat.

“Itu yang membuat kuda kita tidak bersuara saat ditelannya, lidah berduri itu sepertinya mengandung racun yang membuat tubuh kita mendadak tidak bisa digerakkan dan membuat kita tidak dapat bersuara juga!” teriak Wanara.

“Lalu mengapa kudanya Angling dan sekarang Angling?” tanya Pikatan.
“Sepertinya, mungkin dia familiar dengan bau sebelumnya!” ujar Ciung menerka namun tetap siaga.

“Baiklah, sepertinya ada dua pilihan, membunuh makhluk tersebut ataukah kita lupakan dan segera berangkat ke Kerajaan Baka!” ujar Roro Jonggrang.

“Hm aku memilih yang pertama!” teriak Bandung, lalu dia mencabut tombak yang diambil dari tunggangan kudanya.
Bandung bergerak dengan waspada mendekati sungai. Mendadak tiga makhluk seperti buaya dan dengan lidah panjang seperti bunglon dan berduri merangkak keluar dari tepi sungai, ukurannya hampir sebesar kuda.

Gerakannya gesit mendekati Ciung, Wanara dan Bandung yang dekat dengan sungai.

SLUUURPH!

Ketiga makhluk itu mendadak melontarkan lidahnya secara bersamaan ke arah Bandung, Ciung, dan Wanara.

Bandung segera melompat dan menikamkan tombaknya ke salah satu makhluk itu dan berhasil mengenainya. Makhluk itu segera menarik dirinya ke dalam air dengan cepat dan menyelam.

Sementara itu, Ciung berhasil menebas lidah panjang berduri tersebut, tetapi potongan lidah itu mengenai dan menancap ke kaki Pikatan dengan tidak sengaja.

Pikatan segera terjatuh dan tidak bisa bergerak dan tidak dapat berteriak terkena racun itu.

Segera Roro Jonggrang menarik Pikatan menjauh dari area tersebut dan menarik lidah berduri-duri kecil yang menancap di Kaki Pikatan tersebut dengan menggunakan balutan selendangnya, sehingga jari jemarinya aman tidak terkena lidah berduri tersebut, setelah tercabut, segera dibuangnya dengan jijik.

”Hiii!” teriaknya.

Sementara itu, Wanara berkutat tarik menarik dengan makhluk satunya, karena gadanya terkena lilitan lidah berduri makhluk tersebut, Bondowoso yang dekat dengan Wanara mencabut kerisnya dan menyabetkannya ke lidah makhluk itu.

CLEEESH!

Lidah makhluk yang membelit gada Wanara terlepas, hal ini membuat Wanara terjengkang ke belakang, dan makhluk itu segera masuk langsung ke dalam air sungai setelah lidahnya terputus, ceceran darah berwarna hijau berserakan.

“SIAAAAL!” teriak Wanara.

“Makhluk apa itu? Seperti bunglon tapi dalam air!” ujar Ciung.

Bandung memberikan aba-aba untuk siaga. Benar saja empat makhluk jenis yang sama namun lebih besar muncul, keempatnya hampir sebesar dua kali ukuran gajah liar muncul, kali ini sepertinya bukan makhluk yang sebelumnya.

Makhluk tersebut dengan cepat bergerak serentak dan mendekati Bandung, Bondowoso, Ciung dan Wanara.

Lalu lidahnya yang seperti bunglon dengan duri-duri yang membuat paralysis  di mana bila terkena lidah dan durinya menancap ke tubuh, maka tubuh tidak dapat digerakkan, dan sensor-sensor perasa dan peraba tubuh seperti tidak berfungsi, lidah-lidah itu seperti siap ditembakkan ala bunglon ke arah mangsa.

Bandung segera mencabut kerisnya bersiaga. Bondowoso juga telah siap dengan kerisnya.

Wanara meletakkan gadanya, lalu segera menarik kerisnya yang ada di pinggang, Ciung telah siap dengan pedangnya.

SLUUUUURPH!
SLUUUUURPH!
SLUUUUURPH!
SLUUUUURPH!

Secara bergantian dan runut, makhluk-makhluk air tersebut menembakkan lidah berdurinya.

Tembakan pertama mengarah ke Ciung, kali ini dia berhasil menghindarinya, namun lidah kedua makhluk lainnya segera menyusulnya dan berhasil membelit lehernya.

Ciung langsung tak bisa bergerak dan mendadak dia merasa ngantuk lalu tertidur, ternyata duri tersebut mengandung sejenis racun bius yang kuat juga.

Melihat gelagat tersebut Wanara yang di dekat Ciung langsung menebas lidah tersebut, dan berhasil.

Namun lidah dari makhluk lainnya mengenai punggung Wanara dan menancap telak, durinya menempel dan lidah tersebut sepertinya lengket sekali dan menarik dengan cepat tubuh Wanara ke arah mulut makhluk tersebut.

Sebelum tubuh Wanara masuk ke mulut makhluk tersebut, dengan timing yang pas Bandung berhasil memotong dengan sekali lompatan lalu berguling-guling mengimbangi agar tubuhnya seimbang dan berhenti.

Baru saja berhenti dan siaga mendadak wajahnya seperti terkena bola berduri ternyata lidahnya makhluk tersebut berhasil mengenai wajahnya dan mendadak dia menjadi kaku dan tubuhnya tidak dapat bergerak, mulutnya kaku tidak dapat mengeluarkan kalimat apapun dan pingsan.

Setelah itu dia pingsan, pasrah saat tubuhnya ditarik dengan cepat oleh makhluk tersebut dan siap untuk dilahap.

BYAAAAAAAR!

Mendadak sejenis sinar menerpa makhluk yang sebentar lagi akan melahap Bandung itu hancur menjadi abu.

Roro Jonggrang terbelalak dan takjub, dan melihat siapa yang melakukannya.
Dia tersenyum gembira setelah tahu siapa yang melakukannya.

Kemudian tiga sinar lainnya mengenai tiga makhluk lainnya dan hancur menjadi abu dengan seketika.

“Bawa teman-teman kita menjauh dari tempat ini Jonggrang!” teriak Bondowoso sembari memegang sesuatu yang berbentuk seperti ulekan sambal yang berwarna keperakan dan mengarahkannya ke tepian sungai.

Dengan tenaga sebisanya Roro Jonggrang menarik Ciung ke tempat area Pikatan.

Sementara itu Bondowoso dengan tubuhnya yang kuat mampu mengangkat Wanara dan Bandung sekaligus dan meletakannya di dekat Pikatan juga.

“Aku harap mereka tidak bakalan muncul lagi!” ujar Bondowoso masih melihat secara waspada ke arah tepi sungai.

Tidak sadar bila Roro Jonggrang sedang memerhatikannya dengan mata berbinar-binar karena takjub.

“Untung saat kau ke Kerajaan Pengging tidak melewati area hutan ini!” ujar Bondowoso.

“Tentu saja, kami berjalan melingkar, walaupun lebih jauh tetapi lebih aman,” jawab Roro Jonggrang.

“Kau punya tenaga dalam yang luar biasa, dengan ulekanmu kau mampu memproyeksikan tenaga dalammu!” puji Roro Jonggrang.

“Ulekan?... eh ah i… iya,” jawab Bondowoso gelagapan, dan segera menyembunyikan ”ulekannya”.

Bondowoso segera meletakkan Bandung dan mengikatnya pada kuda miliknya agar kuda tersebut membawanya.

Setelah itu segera ia mengangkat Ciung dan melakukan hal yang sama, Wanara pun juga diperlakukan hal yang sama. Roro masih saja melihat apa yang dilakukan Bondowoso dengan takjub.

“Kau hebat, luar biasa!” gumam Roro Jonggrang kepada Bondowoso.

“Eh ah putri, ada baiknya segera naik ke kuda, tempat ini berbahaya!” saran Bondowoso.

“Bantu dooong!” pinta Roro Jonggrang manja.

Sesaat setelah Roro Jonggrang naik ke kudanya, mendadak bunyi gemuruh muncul dari sungai.

BBBBBBBBBLUUURP

BYUUUAAAAAAAAAAR!

Makhluk seperti sebelumnya namun sebesar 10 kali gajah liar dijadikan satu muncul dari sungai dan dengan cepat menembakkan lidahnya dan mengenai Ciung dan kudanya, melilitnya, dan segera saja menelan Ciung beserta kudanya dalam sekali telan.

Bondowoso kaget, dan segera mencabut ulekannya dan ditembakkan dengan cepat ke arah makhluk itu.

PUUUUUUFFF!

PYAAAAAAAAAR!

Makhluk itu seketika lenyap dan tidak berbekas lagi.

Roro Jonggrang bengong dengan kejadian tadi. Bondowoso terengah-engah, dan segera bergegas membawa rombongannya menjauh dari tempat tersebut.

Setelah termenung beberapa saat sembari tetap melihat tempat sebelumnya dari jauh.
Terlihat tubuh Roro Jonggrang gemetaran. Bondowoso segera mendekatinya dan memberinya air minum. Tak berapa lama Jonggrang tampak lebih tenang.

“Gusti putri, kumohon jangan ceritakan kejadian tadi ke teman-teman yang tersisa ya, ini rahasia kita,” ujar Bondowoso kepada Roro Jonggrang.

“Baiklah Bondowoso, kau bisa memegang kata-kataku,” ujar Jonggrang.

“Namun dengan satu syarat!” kata Jonggrang melanjutkan dengan pandangan berbinar.

“Apa itu?” tanya Bondowoso.

“Kau selamatkan ayahku dan kau lindungi aku!” jawab Jonggrang dengan semangat.

“Itu bukan satu syarat tapi dua!” jawab Bondowoso.

“Itu satu karena ada kata dan!” jawab Jonggrang membela diri.

“Baiklah, aku janji!” jawab Bondowoso.
Jonggrang tersenyum, lalu Jonggrang mendekatkan kudanya ke arah kuda Bondowoso dan menepuk pundak Bondowoso yang sedang berada di atas kudanya.

Bondowoso tertawa gembira.

“Kenapa kau tidak jijik melihat wajahku yang buruk?” tanya Bondowoso.

“Karena aku percaya, bahwa orang baik tidak harus berwajah cakep,” jawab Roro Jonggrang dengan mantap.

“Ha ha ha benar, tetapi ada juga yang berwajah buruk tetapi sikapnya juga buruk!” jelas Bondowoso.

“Iya, tetapi jangan dihakimi dulu sebelum kita melihat perbuatannya, aku lihat kau orang baik, karena sering berbuat baik, itu yang kudengar dari Pikatan,” jelas Jonggrang.

“Ah, itu area yang lumayan lapang, mari kita rawat teman-teman kita di sana!” ajak Bondowoso sembari menjelaskan.

Segera saja Bondowoso mengangkat satu demi satu teman-temannya yang tersisa: Wanara, Bandung, dan Pikatan di area teduh dan berumput.

Lalu segera dia membuat tenda-tenda dibantu oleh Jonggrang. Setelah itu, mereka memasukkan Wanara, Bandung, dan Pikatan ke dalam tenda.

“Mereka belum bangun juga, hebat sekali racun bius makhluk tersebut,” ujar Bondowoso.

*

“Di mana aku?” Bandung terbangun dan melihat dirinya sudah berada dalam tenda yang nyaman.

Kemudian dia keluar dari tenda. Tampak api unggun dan melihat Wanara sedang duduk bersama Bondowoso dan Jonggrang.

Kemudian dia melihat ke arah lain, dia melihat Pikatan juga baru saja keluar dari tendanya dengan membawa potongan belibis yang telah dikeringkan.

Pikatan berjalan ke arah api unggun yang ada di tengah area Wanara, Jonggrang, dan Bondowoso berada.
Setelah Pikatan duduk di batu yang telah disusun rapi melingkari api unggun.

Bondowoso menyusulnya dan duduk termenung, semua melihat ke arahnya.

“Baiklah, kejadian tadi benar-benar menegangkan, siapa yang berhasil menyelamatkan aku, kami?” tanya Bandung.

“Bondowoso, dia berkata bahwa dengan baunya, mereka menjauh dan tidak tahan!” jawab Wanara.

“Sayangnya Ciung dan Angling…,” Roro menambahkan sembari bersedih.

“Hm… semoga mereka diterima oleh Yang Maha Kuasa,” ujar Bandung.

“Terima kasih Bekel Bondowoso, kau luar biasa, tidak kukira, ternyata kau melebihi harapanku, pertama kali aku ragu kau akan sehebat ini, ternyata kau luar biasa!” puji Bandung kepada Bondowoso.

“Itu sudah bagian dari tugas gusti…,” jawab Bondowoso merendah.

Roro Jonggrang tersenyum kepada Bondowoso mendengar pujian Bandung.

Bandung memerhatikan sikap Jonggrang tersebut dan segera melihat Bondowoso yang sepertinya cuek saja dengan senyuman itu, karena Bondowoso tidak sedang melihat ke arah Jonggrang, tapi sedang melihat ke bulan purnama.

“Ini adalah hari ketiga, semoga kita tidak ada halangan sampai ke wilayah Kerajaan Baka besok,” jelas Bandung.

“Iya, dan persediaan bekal kita juga sudah mulai menipis,” jelas Pikatan sembari melihat bekal berupa burung belibisnya yang kering lalu membakarnya di atas api unggun.

“Tidak usah khawatir, aku bisa berburu,” jelas Wanara dengan memegang punggungnya di mana ingin menunjukkan ada anak panah dan busurnya di sana.

“Oh iya benar,” tambah Roro Jonggrang sembari melirik ke Bondowoso yang sedang melahap lemper yang baru saja dibakarnya di atas api unggun, ternyata lempernya masih panas dan Bondowoso menariknya lagi dari mulutnya dan berkata “Anyas!” kelakarnya, dan semua yang ada di sana tertawa.
“Dewandaru!” teriak Wanara, telunjuknya menunjuk ke arah utara di mana sebentuk bulatan bersinar terang seperti mengarah ke area mereka bertenda.

“SIAAAAL!” teriak Bandung sembari matanya mencari-cari adakah air, karena tidak menemukannya dia bergegas menendang api unggunnya sampai berantakan dan segera menginjak-injaknya.

Teman-temannya segera membantu menginjak-injak nyala kayu dengan sandal kayunya.

Dewandaru sudah mengambang di atas mereka. Roro Jonggrang melihat dengan takjub sesuatu yang berbentuk bulatan dengan pinggirannya bergerak berlawanan dengan cepat dan berbunyi dengungan halus seperti kata oooooooooooooom.

OOOOOOOOOOOOOHM

Mendadak di depan mereka entah muncul dari mana, seperti muncul sinar-sinar kecil kerlap-kerlip bagai kunang-kunang berwarna kebiruan muncul di depan mereka.

Mendadak ada tiga makhluk muncul di depan mereka secara ajaib dari tampak samar-samar dan kerlap-kerlip kunangnya segera menghilang setelah mereka tampak dengan jelas.

Tubuh Bandung, Wanara, Pikatan, dan Roro Jonggrang tidak dapat digerakkan. Lalu ketiga mahluk itu mengambang dan menyentuh dahi mereka dan mendadak ketiganya tertidur sembari berdiri.

“Kau!” kata salah satu makhluk yang berkepala botak, muka mirip reptile iguana namun lebih terevolusi, dapat berbicara dalam bahasa lokal menunjuk ke arah Bondowoso dengan ukuran tubuh yang hampir 1,5 meter seukuran manusia.

“Aku Azrael Baruna,” kata Bondowoso.
“Azrael?” lalu salah satu makhluk tersebut melayang mendekat dan menempelkan tangannnya ke dahi Bondowoso.

“Baik, dan saya mohon maaf!” ujar Bondowoso sopan dan patuh.

Lalu mendadak ketiga makhluk itu menghilang lagi, ter-teleport masuk ke Dewandaru, lalu Dewandaru tadi melayang dan melesat dengan cepat menghilang di kegelapan malam.

*

“Wuah mimpi yang aneh,” ujar Roro Jonggrang di dalam tendanya.

Lalu Roro bergerak keluar tenda, ”Selamat pagi teman-teman!” sapanya ke Wanara, Bandung dan Pikatan, matanya mencari-cari Bondowoso dan tidak ditemukannya.

“Ke mana Bondowoso?” tanya Roro ke Bandung dan kemudian duduk di sebelahnya sembari mengambil lemper bakar yang tergeletak di atas daun talas masih hangat lalu membukanya dan menelannya.

“Dia sedang mengambil air di danau sana” jelas Pikatan.

“Wuah ada danau ya, kemarin belum sempat mengitari area sini,” ujar Wanara.

“Kau bermimpi apa Jonggrang?” tanya Bandung.

“Aku bermimpi Dewandaru muncul dan 3 makhluk seperti buaya atau kadal ya? muncul, lalu aku tidak ingat apa-apa lagi,” jelas Jonggrang.

“Heeeeei aku bermimpi yang hampir sama denganmu!” teriak Pikatan.

“Aku juga,” tambah Wanara.

“Mimpi apaan?” tanya Bondowoso kepada mereka saat tiba di area tersebut.

“Mimpi yang sama secara bersamaan, aneh?” ujar Bandung.

“Ah ini masih area hutan larangan, hal-hal seperti itu mungkin saja terjadi!” ujar Bondowoso.

“Ah bisa juga,” tambah Pikatan

“Ha ha ha iya, hanya mimpi, sepertinya tidak usah dipikirkan!” imbuh Wanara, “ada baiknya sebelum berangkat kita berburu dulu.”

“Hmm hanya mimpi ya?” gumam Bandung.

“Hei jangan berburu lagi, aku khawatir hal buruk terjadi lagi, ini masih area hutan larangan,” jelas Bondowoso keberatan kepada Wanara.

“Ha ha ha kau benar, baiklah” ujar Wanara.

“Ya, semoga tengah hari kita sampai di pedesaan pertama Area Kerajaan Baka,” ujar Bandung.

“Dan kita dapat makan di kedai di area tersebut,” Jonggrang terlihat bersemangat.

“Ha ha ha baiklah ayo kita berangkat!” Bandung memberi komando.

“Siap gustiiiiiiii!” secara bersamaan mereka menjawabnya dan kuda mereka mulai bergerak ke arah kerajaan Baka berada.

Sesampainya di area paling awal Wilayah kekuasaan Kerajaan Baka. Tim Bandung melihat banyak rumah-rumah ditutup pintunya. Tidak ada satu pun yang dibuka.

“Kedai tidak ada yang buka, semua pintu rumah tertutup, banyak yang ditinggalkan oleh penghuninya sepertinya” kata Bandung.

“Baiklah gusti, saya akan bergerak terlebih dulu untuk menyelediki kerajaan Baka. HIAAAAA,” ujar Wanara, lalu memacu kudanya agar mendahului yang lainnya.

“Kita istirahat di sini dulu. Sepertinya percuma kita mencari kedai lagi, ada baiknya kita berburu” kata Bandung, sembari matanya mencari tempat untuk menambatkan kudanya.

Dan segera dia turun dari kudanya setelah mendapatkan area yang dimaksud, lalu mengikatnya di pohon rindang yang bertonggak.

Matanya melihat ke rekannya yang tersisa, cuma ada Bondowoso, Roro Jonggrang, dan Pikatan, lalu dia berkata,”Sepertinya kalian menunggu di sini untuk menjaga Putri Jonggrang.”

Bandung mengambil dan membawa panah dan busur untuk berburu di pundaknya.

Aku akan berburu untuk makan kita, semoga tidak lama, sembari menunggu, kalian bisa mencari kayu-kayu kering dan daun-daun kering agar kita segera membakar hasil buruan setelah aku mendapatkannya,” ujar Bandung menjelaskan tanpa diminta.

“Baik gusti!” ujar Bondowoso bersamaan dengan Jonggrang sembari melihat Bandung berlari dengan cepat ke arah hutan.

“Menurutmu, apa yang membuat penduduk desa ini banyak yang meninggalkan desanya?” tanya Jonggrang.

“Saya tidak tahu gusti putri,” jawab Bondowoso.

“Ah jangan panggil aku gusti putri. Panggil aku Roro,” pinta Jonggrang.

“Ba… baik Gusti Roro, eh Roro!” jawab Bondowoso kikuk.

Jonggrang tersenyum gembira, ”Kamu berasal dari mana?” tanya Jonggrang.

“Jauh dari sini,” jawab Bondowoso.

“Aku tahu, tapi menurut Pikatan kau sudah tidak punya ayah dan ibu,” lanjut Roro Jonggrang.

“Dia ngga hanya ngga punya ayah sama ibu, saudara juga ga punya, ga tahu anak siapa dia,” serobot Pikatan sembari mengumpulkan kayu-kayu kering di sekitar tempat tersebut.

“Oh lalu yang membesarkanmu siapa?” lanjut Jonggrang.

“Eh aaaaa… eeee… ,” Bondowoso gelagapan.

“Ha ha ha dia selalu begitu saat ditanya hal itu,” jelas Pikatan.

“Sungguh?” mata Jonggrang terbelalak,”Kalau gitu ga usah dijawab ya.”  Kata Jonggrang.

Dari jauh terdengar suara aneh…

DREP DREEP DREP DREEEP

DREEEP

DREEEEP

DREEEEEP

Bunyi kuda mendekati area tersebut.

Muncul sekelompok orang berkuda berjumlah enam orang mengarahkan kudanya ke arah area Bondowoso, Jonggrang dan Pikatan berada.

Orang yang paling tinggi sekitar 1,8 meteran, besar dan kekar turun dari kudanya.

Sedang yang lainnya dengan perawakan yang hampir sama, namun dengan tinggi lebih rendah sekitar 20-30 cm dari orang tersebut masih duduk di kuda-kuda mereka.

“Siapa kalian!” bentak si tinggi besar itu.

“Kami hanya pengelana, aku Bondowoso, yang di sana Pikatan dan ini….,”

Bondowoso melirik Jonggrang. Jonggrang menggelengkan kepala memberi tanda.

“Ini Iyem…,” lanjut Bondowoso.

Mata Jonggrang membelalak tanda tak setuju, tetapi karena sudah terlanjur,”Iya nama hamba Iyem… gusti,” tambah Jonggrang agar meyakinkan orang tersebut.

“Ha ha ha baiklah, menurut Aturan Kerajaan Pengging, setiap rakyat yang berkumpul diwajibkan untuk memberikan upeti bagi anggota kerajaan, berikan upeti kalian minimal tiga tahil perak,” ujar si tinggi besar tadi lalu menadahkan tangannya menunggu upetinya.

Bondowoso melihat Jonggrang, dan Jonggrang sekali lagi menggeleng kecil, ”Maaf gusti, setahu hamba, tidak ada aturan itu,” Jonggrang mengingatkan.

“APAAAAA?!” bentak si tinggi besar tersebut.

“Berani sekali kau membangkang! Apa kau bilang aku pembohong atas nama kerajaan?” gertaknya.

“BAU APA INI?” setelah dia mulai sadar ada yang tidak beres, lalu segera dia menutupi bau yang masuk ke dalam hidungnya dan melirik teman-temannya yang masih ada di atas kuda-kuda mereka.

Dia melihat teman-temannya yang masih ada di atas kuda sudah menutup hidung mereka.


Cerbung ini ada di An1magine majalah eMagazine Art and Science Volume 1 Nomor 5 Juli 2016
yang dapat di-download gratis di Play Store, share yaa


Comments

Popular Posts

PARTNERS

Contact Form

Name

Email *

Message *