CERPEN: RATU LUMINOX


Semua orang pasti pernah bermimpi. Kau pernah, aku juga pernah. Masalahnya kadang mimpi yang datang bisa jadi sangat aneh, acak, dan tidak jelas artinya apa.


Lebih masalah lagi ketika kau sudah menyadari kalau kau sedang bermimpi dan malah tidak dapat bangun.
Pilihan kedua, karena mimpinya begitu menyenangkan, kau memilih untuk tidak peduli bahwa ini hanya mimpi dan tetap berusaha di dalamnya.

Seperti candu, kau malah ingin tetap berada di alam mimpimu.

Seperti sekarang. Aku yakin sekali kalau aku tengah bermimpi.

Bagaimana tidak? Zaman di mana  aku hidup tidak ada bangunan dari yang terbuat dari tembok kristal.
Tapi sekarang aku berada di gedung tua dengan tembok mengelupas di sana sini.

Kesannya suram, kusam, juga kotor. Mirip foto-foto di buku sejarah yang pernah kubaca.

Kalau di alam nyata pasti aku sudah jijik, tidak mau masuk. Tapi karena aku sadar ini mimpi, aku memutuskan untuk menjalaninya saja.

Bangunan itu terdiri dari beberapa lantai. Mungkin empat atau lima, aku tidak tahu. Aku juga tidak ingat bagaimana bisa berada di sini.

Tapi bukankah itu wajar? Kita sering tidak mengingat bagaimana sebuah mimpi berawal. Mendadak sudah di situ saja, seolah tanpa alasan.

Ya, aku tidak tahu mengapa aku harus berada di sini. Tapi aku tahu aku harus ke atas.

Jadi aku mulai melangkahkan kaki, menapaki anak tangga satu per satu. Kadang melihat sekeliling area gedung itu yang kosong.

Gedung ini seperti bekas pusat perbelanjaan yang bangkrut dengan cat tembok warna kuning pucat. Lantainya kotor, sangat kentara sudah sangat lama tidak dibersihkan.

Jendelanya tanpa kaca sehingga angin dan cahaya bisa masuk, sayang ukurannya tidak terlalu besar. Untung saja gedung ini tidak bau.

Tapi mungkin memang tidak bau karena sebenarnya tubuhku masih ada di dalam kamar. Tergeletak di antara bantal dan guling.

Biar aku naik beberapa lantai sekaligus, aku tidak merasa kelelahan. Aku sampai hingga lantai teratas, sebelum atap, dan menemukan sepetak kamar.

Seorang pria berambut gelap tengah berbaring di atas alas yang diletakkan di lantai.

Ia segera menoleh ketika aku sampai di pintu kemudian tersenyum.

Senyuman itu membuatku merasa mengenalnya, padahal namanya saja aku tidak tahu.

Aku mendekat, berharap bisa melihat wajahnya dengan lebih baik. Kantung matanya terlihat menghitam dan bibirnya terlihat lebam, seperti baru kena pukul.

Mungkin dia habis berkelahi. Biarpun wajahnya babak belur, aku masih mengganggapnya tampan. Ya, dia berhasil membuat jantungku berdetak lebih kencang. Entah kapan terakhir kali aku mengalami ini.

“Aku sudah mencoba mengontakmu selama dua tahun terakhir,” katanya membuka pembicaraan.

Aku menaikkan alis kiri, tidak memahami apa yang sebenarya ia bicarakan.

“Kau tahu, cukup sulit untuk membangun komunikasi sementara kebanyakan orang terbangun saat mengetahui dirinya sedang bermimpi.”

Ya. Aku tahu kalau aku sedang di alam mimpi. “Aku memutuskan akan melanjutkan mimpiku atau terbangun.”

“Jelas kau memilih untuk melanjutkan mimpimu, maka dari itu kau ada di sini,” balasnya sembari mengangguk kecil.

Aku mencoba untuk tersenyum. Tapi sepertinya kelihatan aneh karena ekspresiku masih menunjukkan kebimbangan.

“Eh, bolehkan aku memelukmu?” tanyanya malu-malu.

Aku mengerjapkan mata dua kali. Permintaannya tidak sulit untuk kupenuhi jadi aku beringsut mendekatinya.
Dia memelukku dengan canggung. Aku tahu pelukan ini membuatnya bahagia. Tapi aku tidak tahu alasannya.

“Apa yang terjadi padamu?” tanyaku dengan nada menuntut, seolah aku boleh berlaku seperti itu padanya, seolah kami dekat.

“Tidak perlu histeris begitu! Aku tahu kalau babak belur, tapi aku tetap tampan!” serunya, berusaha berkelakar. Ia melepaskan pelukannya

“Jadi bagaimana agar aku bisa membantumu? Kau memanggilku ke sini pasti bukan tanpa alasan.” Kuggigit bibir bawah, menunggu penjelasannya.

“Ini semua karena kau melupakanku,” katanya tanpa emosi.

Aku memiringkan kepala, tak mengerti.

“Mereka pikir aku mencelakaimu, membuatmu menghilang. Yah... Aku memang mengirimmu ke masa depan, tapi bukan berarti aku mencelakaimu. Bagaimanapun aku melakukannya karena permintaanmu. Pada intinya, adik dari ibumu jadi memburuku.”

“Memburu?” ulangku ngeri. “Tapi bahkan aku tidak ingat siapa diriku di dunia ini. Aku tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Aku bahkan bimbang harus memercayaimu atau tidak.”

Pria itu tertawa. “Bahkan seandaiya aku berbohong kau tidak akan benar-benar celaka karena ini hanya mimpi.”

Aku memandanginya dalam diam kemudian menghela napas panjang. “Sebaiknya kau tidak terus-terusan mengingatkanku kalau kita sekarang sedang berada dalam mimpi atau aku akan segera bangun.”

Dia memiringkan kepalanya ke sisi kiri kemudian menyunggingkan senyuman miring. Luar biasa tampan. Kurasa aku bisa mudah jatuh cinta pada orang ini, begitu pula dengan wanita-wanita lain.

Satu kata, dia begitu... Memesona.

Meski begitu aku tahu sebenarnya ia harus menahan rasa sakit ketika tersenyum karena lebam di wajahnya.
“Jadi...” kataku lambat-lambat, enggan memalingkan tatapan dari wajahnya. “Bagaimana kalau aku segera pergi saja? Kita sebaiknya tidak membuang-buang waktu”


“Ah, ucapanmu itu. Seolah waktu adalah sampah yang dapat dibuang,” ujarnya sembari terkekeh pelan. Ia kembali mengernyit kesakitan. “Lagipula kau juga tidak tahu apa yang harus kau lakukan.”

“Kau benar,” gumamku pelan. Aku memang tidak memiliki kenangan apa-apa soal dunia ini. Aku tidak tahu apa yang menimpanya, aku tidak tahu apa yang harus kulakukan untuk membantunya.

Kemudian aku melihatnya, dia berusaha bangkit. Agak pincang, kakinya terluka.

Dengan sigap aku mencoba membantunya berdiri. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana selama ini ia bertahan dengan tubuh penuh luka seperti ini.

“Terima kasih,” katanya pelan, tidak lupa memberikan senyuman untukku. Senyuman yang selalui disertai dengan rasa sakit.

“Kau berkelahi?” tanyaku meminta penjelasan.

“Selalu jika mereka berhasil memergokiku saat keluar. Tapi percayalah gedung ini aman. Mereka tidak bisa mengikutiku sampai ke sini. Kalau tidak benar-benar penting, aku memang tidak turun, apalagi keluar.”

“Entah mengapa aku merasa harus merasa bersalah,” gerutuku pelan.

“Oh! Kau memang harus merasa seperti itu,” godanya. “Kadang aku merasa hidupku jadi penuh tantangan sekaligus kesialan dan keberuntungan. Tapi bukankah kita semua begitu?”

Aku mengangguk dengan canggung.

Dia menghela napas sebentar. Seolah itu meredakan sedikit rasa sakit yang sedang dideritanya. “Kurasa aku harus minta maaf padamu”

“Minta maaf?” sahutku sembari mengeryitkan dahi.

“Kau benar, harusnya aku tidak menghapus ingatanmu, juga ingatanku. Kupikir kita bisa memulai segalanya dengan pikiran damai ketika kita melupakan segalanya. Tapi ternyata mereka menemukanku tepat sebelum aku menyusulmu ke masa depan dan mengembalikan ingatanku.” Dia memiringkan kepala. “Aku
merindukanmu setiap saat. Tapi kau tidak mengingatku.”

“Kalau begitu, kembalikan ingatanku,” suaraku terdengar seperti permohonan.

Dia menggenggam kedua tanganku. Kemudian memintaku menutup mata dan rileks.

“Aku akan melakukan transfer data sekarang.”

Kemudian gambar-gambar itu berkelebat dalam kepalaku. Adik ibumu ingin menyingkirkanku agar bisa menjadi ratu. Di dunia ini, dunia tempat aku berasal, aku yang harusnya menjadi pemimpin, menggantikan ibu karena dunia kami menganut sistem matriarki.

Aku yang memang tidak menginginkan tahta, mendatangi Karr yang kucintai dan merencanakan kepergian kami bersama ke dunia lain. Karr memiliki kemampuan untuk itu karena ia seorang mutan, ia sekaligus mengusulkan agar aku menghapus ingatanku dan memulai awal yang baru bersama.

Dan selama ini aku tidak mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Aku memiliki kehidupan lain saat bangun. Dunia masa depan yang telah kupilih, tanpa mengkhawatirkan Karr sedikit pun karena aku tidak mampu mengingatnya.

“Jadi aku hanya perlu menampakkan diri?” ujarku ragu-ragu.

“Dan merebut tahtamu kembali. Dengan begitu kau bisa membebaskanku,” tuturnya dengan mimik serius.

“Ngomong-ngomong aku senang kau mengingatku kembali, Ratu Luminox.”

Aku mengangguk-angguk, merasa janggal karena sudah lama aku tidak mendengar kata itu.

“Apa kau perlu mengantarku? Kau mungkin hanya perlu memberikan petunjuk arahnya padaku,” usulku dengan mimik penuh kekhawatiran.

Dia tersenyum, nyaris mengejek. “Kau kan lemah soal arah. Lagipula kalau hanya mengantarmu keluar gedung, aku bisa melakukannya. Aku tidak mungkin bisa pergi terlalu jauh dari tempat persembunyianku hingga kondisi benar-benar aman, bukankah begitu?”

“Kau tidak perlu bersembunyi lagi, Karr,” aku mengingatkannya.

“Aku hanya berjaga-jaga, siapa tahu rencana kali ada halangan dan gagal. Mereka tidak boleh tahu aku berada di mana sampai kau berhasil mengambil posisimu kembali,” katanya sembari mengangkat bahu.
Aku mengangguk. Kata-katanya ada benarnya juga.

Kami dalam posisi lemah sekarang, berhati-hati memang tidak ada salahnya. Mungkin saja ada suruhan dari adik ibuku yang akan menghalangiku kembali ke gedung pemerintahan.

“Tapi apa kau kuat harus menuruni tangga kemudian naik kemari lagi?” tanyaku, tak yakin.
“Ada lift kok digedung ini,” jawabnya kalem.

Aku menaikkan alis, tidak melihat lift saat naik tadi.

Tapi lift yang dimaksudkan memang ada. Muncul begitu saja seolah semenjak tadi sudah berada di sana. Aku yakin sekali lift ini tidak ada saat aku naik tadi.

Liftnya sudah tua, model kuno yang penutupnya mirip jeruji-jeruji saja. Sama seperti tembok-tembok gedung, lift ini terlihat kotor dan usang.

Nampaknya aku sedikit terkejut ketika mengetahui benda tua yang lebih pantas disebut sebagai rongsokan ini dapat bekerja dengan baik.

Benda tua ini mampu menyangga kami berdua, seolah dia masih kokoh. Hanya saja gerakannya tidak halus ketika awal-awal bergerak.

“Aku jarang menggunakannya,” ungkapnya, jujur. “Lebih banyak menghabiskan waktu di atas . Kran kamar mandi masih menyala, kemudian ada ranting pohon yang masuk ke gedung, membawakanku buah, aku juga makan daun bahkan serangga kalau kepepet.”

“Kemudian listriknya?” tanyaku penasaran.

“Sepertinya ingatanmu belum sepenuhnya kembali, memang membutuhkan sedikit waktu untuk kembali seperti semula. Ratuku, aku ini ilmuwan,” ejeknya.

“Elektromagnetik, listrik, aku menguasainya. Aku sudah membuat pembangkit listrik untuk lift ini, juga untuk menarik air ke atas.”

Aku bisa merasakan kalau wajahku bersemu merah, merasa melupakannya adalah tindakan yang tidak pantas.

“Jangan khawatir. Aku sudah bertahan dua tahun di sini, aku akan bertahan untuk dua ribu tahun lagi.”
Kami turun diiringi derak gesekan besi tua. Aku menahan napas, seolah dengan bernapas akan membuat persembunyian ini terbongkar.

“Lurus saja, nanti setelah jembatan kau akan menemukan pasar. Aku yakin orang-orang akan mengenalimu begitu kau menampakkan diri,” pesannya ketika lift berhenti berderak. Kami sudah sampai di lantai bawah.
“Kuharap aku berhasil.”

“Itu juga yang kuharapkan. Sampai berjumpa kembali, Ratu Luminox.”

Aku melangkah keluar dari lift. Saat menoleh ke belakang, lift dan Karr sudah tidak ada. Menghilang seperti sihir, tapi aku tahu sebenarnya ini teknologi saja. Aku tidak dapat melihat ada lift di sini, sama seperti aku tidak melihat lift saat naik tadi.

Di luar matahari bersinar terik. Mataku silau. Ruangan dalam gedung tadi benar-benar gelap jadi aku perlu menyesuaikan diri dengan keadaan di luar sini.


Aku menunggu hingga sekelompok anak sekolah melewati gedung ini baru aku menyelinap keluar di antara semak-semak.

Aku tidak boleh sampai membongkar persembunyian Karr hingga aku bisa membebaskannya secara legal.
Mencabut tuduhan yang diberikan adik dari ibuku bahwa Karr mencelakaiku, membuat seluruh warga Luminox memburunya.

Begitu aku keluar dari semak-semak, pengalih perhatian karya Karr yang lain berfungsi. Tidak ada gedung tua kumuh. Yang terlihat hanya pekarangan petani biasa yang tertata rapi.

Karr memang genius! Pantas orang-orang sulit melacaknya.

Aku tahu lokasi ini, muara sungai, ini berarti aku berada di dekat laut. Di tempat ini aku bisa melihat laut dan gunung bersamaan. Tidak jauh dari tempatku berada terdapat orang-orang berarak.

Dari atribut yang warga kenakan, aku menyadari bahwa hari ini perayaan Dewi Kebijaksanaan!

Dengan langkah mantap aku mendekati arak-arakan itu.

Seorang anak kecil melihatku dan berseru, “Ratu Luminox!”

Orang-orang menoleh ke arahku dan arak-arakan menjadi gaduh. Beberapa orang yang mengenaliku segera bersujud, yang lain masih antara percaya dan tidak percaya melihat ratu mereka yang hilang telah kembali.
“Damai di atas Luminox!” seruku sembari tersenyum.

Sang Ratu berhasil kembali ke tempat asalnya sekaligus menyelamatkan orang yang paling dicintainya.

Hari ini, wanita yang jadi pahlawan.


Cerpen ini ada di majalah AN1MAGINE Volume 2 Nomor 3 Maret 2017 eMagazine Art and Science yang dapat di-download gratis di Play Store, share yaa


“Menerbitkan buku, komik, novel, buku teks atau 
buku ajar, riset atau penelitian di jurnal? An1mage jawabnya”

AN1MAGINE BY AN1MAGE: Enlightening Open Mind Generations
AN1MAGE: Inspiring Creation Mind Enlightening 
website an1mage.net www.an1mage.org

Comments

Popular Posts

PARTNERS

Contact Form

Name

Email *

Message *