MINDPORTER: Mindporting to Plante di An1magine Volume 1 Nomor 9 November 2016


MINDPORTER:
Mindporting to Plante
M.S. Gumelar


Setelahnya ia akan kembali ke Sintesa Samiroonc untuk merayakan bersama Glaric dan jika temannya itu tidak bercanda, Mozza akan datang dari Schavelle untuk merayakan Daro-Kanori bersama.

Seperti tahun-tahun sebelumnya, ia akan membawakan Wakno atau minyak nabati yang dibuatnya sendiri, resep turun-menurun dari keluarganya.

Ia akan membuat minyak itu sekitar seminggu sebelum Daro-Kanori tiba.

Minyak buatannya dipercaya harus di simpan selama itu supaya mampu menghasilkan aroma yang khas dan menambah rasa lezat pada makanan yang dicampur dengannya.

Rhalemug memutuskan untuk mencari dua botol sebagai wadah Wakno yang akan dibuatnya.

Ia juga ingin Glaric dan Mozza mencicipi rasa Wakno-nya. Ia menuju bagian dapur dari flatnya.

Hatinya sesaat berdesir memikirkan Ahora pernah menggunakan dapur itu untuk menyiapkan makan malam buatnya.

Makan malam berdua dengan seorang wanita, malam itu merupakan pengalaman pertamanya.

Hubungannya dengan Ahora berjalan seperti biasa meskipun mereka sempat tinggal bersama selama hampir sebulan.

Mungkin memang itu yang seharusnya terjadi, Rhalemug tidak pernah berani melakukan pendekatan. Jadi tidak heran jika hubungannya tidak mengalami kemajuan.

Selain itu, sebenarnya Rhalemug berat untuk mengakuinya, namun sepertinya Ahora memang tidak pernah menganggapnya menarik.

Ia hanya seorang kenalan biasa, teman Alo yang tidak ada hubungannya sama sekali dengan gadis itu.
Botol yang selalu ia gunakan untuk membuat Wakno ada di lemari yang berada di atas kompor ion.

Letaknya agak ke pojok. Rhalemug memang menggudangkan seluruh peralatan dapurnya di lemari itu.
Dengan agak berjingkat, ia mengambil dua botol bening yang masing-masing mampu menampung 75 ml Wakno.

Bahan-bahan Wakno sudah ia siapkan kemarin. Semuanya segar karena dipetik langsung dari ladang.

Rhalemug sebenarnya bukan tipikal petani yang gemar mengambil hasil pertanian untuk keperluan pribadinya.
Namun khusus untuk menyambut Daro-Kanori, ia selalu mengambil beberapa bagian tumbuhan yang diperlukannya, secukupnya.

Wakno sebenarnya terbuat dari batang dan dedaunan. Pertama-tama yang perlu dilakukan adalah merebus air.

Setelah mendidih, masukkan parutan batang dan irisan tipis daun ke dalamnya. Berhubung daun tidak boleh direbus terlalu lama, ketika membuatnya Rhalemug akan menaruhnya dalam alat saringan, sehingga ketika daun itu sudah mulai layu, ia segera mengangkatnya.

Langkah terakhir, ia mencampurkan sedikit getah dari pohon Talanau dan menunggu hingga air rebusannya tinggal sepersepuluh dari volume air awal.

Dalam keadaan masih agak panas, ia memasukkan Wakno ke dalam botol. Hampir saja ia lupa. Hari ini ia telah berjanji untuk menjenguk tanaman Irrina.

Ia segera menyimpan Wakno di lemari atas dan bersiap-siap menuju flat yang tidak jauh dari tempatnya tinggal. Rhalemug sangat disiplin soal waktu. Ia tidak ingin melanggar janji.

Rumah Irrina memiliki beberapa pot bunga mawar di depannya sehingga sangat mudah untuk menemukannya.

Dalam dua kali ketuk, gadis itu sudah muncul dan segera mempersilakan masuk.

Ibu Irrina ada di sana juga. Tiga cangkir dan satu teko sudah siap di atas meja. Harum aroma mawar menguar di udara padahal tanaman di sini bukan hanya dari mawar.

“Silahkan diminum tehnya,” Ibu Irrina tersenyum sembari menuangkah teh.

 “Jarang-jarang Irrina mengajak temannya dari ladang ke rumah”.

Rhalemug mencium aroma teh yang harum itu. “Senang bisa bertemu dengan Anda. Tehnya harum, apakah ada campuran bunga mawar di dalamnya?”

“Tidak heran jika kau terpilih menjadi senior di Aracheas, Nak! Pengetahuanmu memang tajam!” seru ibu Irrina memuji.

Agak merasa pujian tadi berlebihan, Rhalemug memilih untuk menyibukan dirinya untuk menyeruput teh yang sebenarnya masih panas itu.

Ia tidak suka jabatannya di Aracheas dibawa-bawa keluar ladang. Lagipula jabatan selalu berkaitan dengan tanggung jawab, orang kadang hanya melihat posisi tanpa memperdulikan apa yang dilakukannya. Menyedihkan.

Irrina berdehem. “Ibuku sangat mahir dalam me-memproses bunga-bungaan, Rhalemug. Be-beliau dapat mencampurkan bunga ke makanan dan minuman”.

“Bakat yang Anda miliki sangat bernilai,” puji Rhalemug tulus.

Orang yang dipuji tertawa sembari meletakkan telapak tangan di depan bibir. Jelas sekali sangat bahagia dengan ucapan Rhalemug.

“Aku banyak melakukan eksperimen nak! Dulu aku sempat di bagian Florikultur Aracheas dalam waktu yang singkat. Namun keahlian memasakku tercium oleh divisi kuliner sehingga mereka memintaku buat bergabung”.

“Di sana aku belajar banyak pengolahan bunga sebagai makanan. Percaya atau tidak, aku juga dapat mengubah mawar menjadi arak yang mampu menghangatkan tubuh”.

Benar-benar pribadi yang berbeda, batin Rhalemug. Jika Irrina adalah gadis yang tidak memiliki percaya diri yang baik, ibunya pasti adalah kebalikannya. Menyukai kepopuleran dan perhatian. Mungkin gadis ini menyerap sifat-sifat dari ayahnya saja.

“Pasti hidangan yang Anda buat dari bunga sangatlah lezat,” kata Rhalemug lagi. Menghabiskan tehnya hingga menyisakan ampas.

Ia harus segera menguasai diri dan mengarahkan pembicaraan ini sesuai dengan tujuan kedatangannya.

“Mengenai teh, sebenarnya kita dapat menggunakan air teh sisa kemarin sore sebagai pupuk tanaman hias. Siram air teh bersama ampasnya ke tanaman setiap pagi,” katanya buru-buru menambahkan.

Ibu Irrina melihat gelas Rhalemug yang kosong. “Akan saya buatkan lagi, termasuk cake mawar jika kau mau menunggu”.

“A-aku tidak tahu teh memiliki khasiat sehebat itu!” seru Irrina takjub.

Rhalemug memandangi pot-pot milik Irrina. Jumlahnya puluhan seperti yang dikatakan gadis itu. Berbagai bunga mencuat dari tanah-tanah berhumus. Ada yang terlihat segar, ada pula yang tidak.

“Mengenai bunga, sebenarnya ada beberapa jenis yang ‘ramah’ untuk pemula. Ramah di sini maksudnya mudah untuk tumbuh dan cepat berbunga”.

“Namun melihat koleksimu yang sangat beragam aku akan memulai dari yang standar terlebih dulu”. Rhalemug mendekati tanaman yang paling dekat dengannya.

“Berbagai macam tanaman membutuhkan perlakuan yang berbeda. Seperti ada tanaman yang suka tumbuh di tanah berhumus, ada juga yang lebih suka hidup di media yang gembur dan berpasir”.

“Ada yang menyukai cahaya, ada yang lebih menyukai lingkungan yang redup. Di sini aku melihat kau menggunakan media yang sama untuk seluruh tanamanmu”. Rhalemug menambahkan.

Irrina meremas-remas ujung pakaiannya. Ketika tidak menggunakan pakaian kerja, sepertinya ia suka untuk menggunakan rok sepanjang mata kaki di rumahnya.

“Bunga Geragere ini misalnya. Berbau segar, bunganya juga awet. Dapat tahan hingga sebulan. Bunga ini tidak terlalu suka dengan sinar. Jika di ladang bisa di letakkan di bawah pohon atau menggunakan jaring-jaring dengan kerapatan 60-70%.

“Bunga ini sangat baik di untuk di letakkan dalam rumah karena dapat berlaku sebagai penyaring udara dan menurunkan kadar polusi”.

“Tiga pot Geragere untuk satu flat tanpa tanaman lain sebenarnya sudah cukup,” kata Rhalemug sembari menyentuh daun tanaman itu yang berbentuk bulat-bulat.

Ia membayangkan tengah menemukan Geragere di hadapannya. Bunga unik yang berwarna coklat keemasan. Memesona.

“Ja-jadi menurumu aku harus membuang-buang bungaku?” tanya Irrina frustasi.

“Kau bisa mengurangi jumlahnya dan menaruh di luar flat,” saran Rhalemug.

Beberapa tetangganya juga melakukan hal serupa. Asal tidak memakan setengah dari jalan menaruh pot pot tanaman di koridor bukanlah sebuah tindak kriminal.

“A-aku... Aku hanya khawatir bunga-bunga ini akan di rusak anak-anak yang menyukai keindahannya!” jelas Irrina dengan suara parau.

Rhalemug terdiam, memilih kata-kata yang tepat dibenaknya. “Kurasa kesehatan penduduk Plante lebih penting Irrina. Lagipula kau bisa memberikan tanda supaya mereka tidak merusak tanaman. Anak-anak di sini baik kok”.

Irrina memalingkan muka namun tak berkomentar.

Pada akhirnya itu keputusan pemilik, batin Rhalemug. Ia melanjutkan penjelasannya. “Aukt merupakan contoh tanaman yang kurang subur jika ditanam pada media yang terlalu gembur dan berpasir.

“Tanaman yang cukup tahan banting karena dapat hidup dengan cahaya yang melimpah atau tanpa cahaya sekali pun. Ia dapat bertahan pada suhu yang panas, sedang, juga dingin. Bunganya harum, baunya seperti vanila.

“Meskipun tergolong mudah, sebenarnya Aukt sangat bergantung pada kelembaban air. pH  yang tepat untuknya berkisar antara 5.52-6.7”.

“Sementara itu penyiraman bergantung pada jenis media yang digunakan. Misal media yang digunakan adalah arang, media ini tidak mengikat air, maka penyiraman yang dibutuhkan akan lebih sering”.

“Apa kau tahu ca-cara agar tanaman lebih sering berbunga?” tanya Irrina sembari membelai Aukt kesayangannya.

“Kuncinya ada pada pemupukan dan pemangkasan. Pemangkasan dapat dilakukan setelah bunga layu. Pangkas hingga pangkal tangkai bunga supaya tunas baru dmuncul dan perlakuan ini dapat menginiasi kuntum bunga baru akan bermunculan”.

“Selain itu pemangkasan membuat penyerapan nutrisi menjadi lebih efektif. Nutrisi tidak akan terbuang percuma”.

“Konsentrasi pertumbuhan akan beralih ke tunas lain yang produktif”. Rhalemug mengambil gunting tanaman yang sudah disediakan Irrina di dekat pot-pot dan mencontohkan pemotongan yang benar.

Ia melanjutkan penjelasannya. “Untuk pemupukan kita harus melihat suhu. Meski hampir sama, suhu ladang dengan flat cenderung berbeda. Ladang merupakan kawasan yang lebih dingin, sementara flat memiliki suhu yang lebih tinggi.

“Perlakukan  tanaman di daerah panas berbeda dengan perlakukan di kawasan yang lebih dingin. Di Aracheas pemupukan digelar dua kali seminggu. Kalau di flat, pemupukan dilakukan lebih sering dengan dosis yang dikurangi supaya penyerapannya lebih optimal”.

Samar-sama aroma mawar menguar ke udara. Entah sajian unik apa yang tengah di persiapkan si pemilik rumah. Meski sudah sempat makan, perut Rhalemug menjadi bergejolak membayangkan hidangan yang enak.

Semoga ibu Irrina tidak terlalu ekstrim dalam pencampuran tumbuhan menjadi makanan. Pencampuran yang salah dapat mengakibatkan keracunan bahkan kematian. Dan yang paling berbahaya, racun bisa saja terasa enak.

“Ba-bagaimana dengan bunga Aukurt?” sahut Irrina sembari menunjuk tanaman di pot yang agak tersembunyi oleh tumbuhan lainnya.

“Aukurt?” Rhalemug memiringkan kepalanya ke samping. Ia tidak pernah dengar. Di Aracheas sekali pun tidak ada.

Bersamaan dengan Irrina ia memindahkan pot-pot lain yang menutupi tanaman yang dimaksud.
Dengan seksama Rhalemug memandangi tanaman tersebut. Tanaman ini sekilas benar-benar mirip Aukt. Namun bagian bawah daunnya berbeda.

Warnanya biru gelap dengan tulang-tulang daun yang berwarna merah darah. Seolah tanaman itu tidak berasal dari Plante.

“Aku tidak pernah menemukan tanaman ini di Aracheas,” sahut Rhalemug jujur.

“Tentu saja tidak!” potong ibu Irrina yang muncul dengan kue-kue di tangannya. Ia melirik anaknya dengan pandangan agak tidak suka.

“Itu adalah tanaman turun-temurun keluarga kami.  Tanaman yang berasal dari leluhur dan tanaman ini sudah ada sebelum Plante”.

Irrina meremas-remas dasternya hingga agak terangkat. Sementara Rhalemug binggung harus berkomentar apa.

“Kemarilah!” pinta Ibu Irrina kepada dua orang di hadapannya. Ia meletakkan nampan dengan kue-kue berbentuk mawar dan berwarna merah muda di hadapannya.

“Mungkin ini saatnya aku meneruskan rumor ini pada generasi berikutnya. Tidak perlu dipercaya jika kalian menolak untuk percaya”.

Rhalemug dan Irrina berpandangan. Tidak mengerti apa yang sebenarnya apa yang akan mereka bahas.
Ibu Irrina duduk dengan menyilangkan kaki, ia memegang cangkir teh mawar meminumnya sedikit kemudian meletakannya di atas meja keramik.

Meja itu berbentuk bundar, sama seperti yang ada di flat milik Rhalemug.

“Legenda Generoro. Beberapa leluhur bersedia bersumpah bahwa ini sebenarnya adalah benar. Dulu Generoro hidup di dunia yang luas. Tanahnya memang tidak subuh seperti Aracheas. Suhunya naik turun, dan hujan sering jatuh di sana. Namun bukan berarti mereka hidup di neraka dan penuh sengsara.

“Kehidupan yang keras membuat Generoro menjadi bangsa yang tangguh. Mereka mampu mengarungi lautan yang luas dan menyelam hingga dasarnya yang dalam. Menjelajah udara, meluncur bak burung dan berlari di daratan yang memiliki pemandangan yang indah”.

“Kami selalu diajarkan bahwa leluhur memang tinggal di Plante yang lain”. sela Rhalemug. Ia mendadak teringat sesuatu. Miniatur Plante di perpustakaan.

Ibu Irrina memijit pelan pelipisnya dengan kedua tangan atasnya. “Tidak nak, hanya saja mereka juga tidak menyebutkan tempat asal Generoro. Mereka hanya menyebutkan hal-hal yang berbeda. Mereka menyebut Plante sebagai ‘dunia rekayasa yang bergerak maju’.

“Legenda menyatakan orang-orang terpilih saja yang dapat memasuki Plante. Orang-orang dengan keahlian tinggi dan golongan jenius. Kita perlu menggarisbawahi kata dunia rekayasa,” tegasnya. “Intinya bukan Plante. Tapi dunia yang sesungguhnya”.

“Dunia yang sesungguhnya?” tuntut Rhalemug, mengatasi rasa herannya. Lidahnya agak kelu waktu mengucapkannya. “Apakah Plante merupakan semacam program untuk membentuk bangsa Generoro menjadi jenius?”

Rhalemug agak tidak yakin dengan logikanya. Memangnya ada program semacam itu?

“Kudengar, tujuannya untuk mengetahui hal-hal baru yang sebelumnya tidak diketahui. Kakek Irrina, ayahku, selalu menceritakan hal itu padaku sewaktu masih kecil. Beberapa temannya juga sering datang ke rumah.

“Mereka membahas kemajuan yang dicapai Plante dari waktu ke waktu. Seperti kestabilan sistem di Plante, kecukupan pangan, juga menyebutkan angka-angka. Mereka seringkali melakukan pengukuran jarak Plante dengan planet-planet yang ditemui”. Ibu Irrina mengubah silangan kakinya.

“Planet?” tanya Rhalemug tidak mengerti.

“Be-benda yang sering muncul di monitor ki-kita. Ku-kurasa di flatmu juga ada,” kata Irrina menjelaskan.
Ia mengambil remote dan menyalakan monitor. Monitor tersebut menampakkan benda bulat besar yang selalu menarik perhatian Rhalemug. “I-itu disebut Planet”.

Untuk pertama kalinya, Rhalemug mengetahui nama dari benda yang selalu dilihatnya itu.
Planet. Sepertinya nama itu tidak asing.


*
Positif - Negatif
Plus dan minus. Keduanya dibutuhkan
Tanpa sesuatu yang buruk, bagaimana kau
menilai yang lain adalah baik?

“Kau datang saat aku hendak tengah memasak ikan, sobat!” sapa Glaric. “Kupikir aku harus menyiapkannya agak mendekati waktu kedatangan kau dan Mozza, supaya tetap hangat. Namun siapa sangka kau datang lebih cepat”.

Rhalemug berusaha menyembunyikan kesedihannya. Perayaan Daro-Kanori bersama Alo dan Ahora mulanya berjalan lancar.

Namun setelah selesai dan ia berpamitan pada Alo, sahabatnya itu langsung merasa tersinggung.

Biasanya Rhalemug akan menginap di tempat Alo, menanti hingga Daro-Kanori benar-benar berakhir.
Namun karena undangan Glaric ia tidak mungkin melakukannya tahun ini.

Hal itu benar-benar membuat Alo tidak senang. Seandainya tidak ada Ahora di antara mereka, mungkin Alo dan Rhalemug sudah perang besar. Untung gadis itu di sana mencairkan suasana.

Rhalemug memandangi flat Glaric yang nampak lebih rapi.

“Kau tidak membuangi barang-barangmu kan?”

“Ada di kamar, sobat!” serunya riang.

“Mozza akan mengomel sepanjang Daro-Kanori jika kakinya tersangkut kabel”.

“Namun itu mengingatkanku untuk merapikannya. Mungkin aku harus lebih mendisiplinkan diri untuk mengikat kabel-kabel supaya tidak menjadi lilitan maut”.

Seekor ikan berukuran besar di wajan mengalihkan perhatian Rhalemug. Besarnya ikan sewajan penuh dan terlihat agak gosong-gosong di beberapa tempat, sementara di tempat lain dagingnya terlihat belum matang.

Rhalemug tidak dapat membayangkan seandainya ia harus memakan satwa seperti berukuran raksasa itu.

“Glaric, kurasa kita bisa membagi satu ikan itu untuk bertiga dan merasa sangat kenyang?” ujar Rhalemug ragu-ragu.

“Oh!” Glaric segera mengambil ikan itu dan membuangnya ke tempat sampah organik.

Rhalemug menghembuskan napas lega. Ia tidak harus memakan makanan aneh itu.

“Itu aku hanya coba-coba dan gagal. Aku sudah menyiapkan ikan yang akan kita santap bersama”. Glaric menunjuk wadah di sampingnya yang penuh dengan ikan berukuran seperti yang biasa ia lihat.

Mendadak Rhalemug ingat sesuatu. Ia mengeluarkan satu botol Wakno dari sakunya dan memberikannya pada Glaric. “Kau boleh menyebutnya resep rahasia keluargaku”.

“Membuat semua makanan terasa enak?” tanya Glaric dengan mata membulat.

“Sesuai takaran. Beri dua hingga tiga sendok saja. Rasanya sudah kuat jika membuat rebusan. Jika membakarnya kau bisa mengoleskan dengan kuas,” saran Rhalemug. “Sisanya nanti kau simpan saja”.

“Kau menyelamatkanku! Aku sangat payah dalam urusan bumbu. Terima kasih banyak sobat!” sahut Glaric.
Rhalemug membantu Glaric dengan alat masaknya. Menyiapkan tatakan ikan supaya api tidak langsung mengenainya.

Sementara Glaric yang sudah membersihkan ikan menaruhnya ke atas tatakan. Rhalemug sesekali membalik ikan mereka dan memberikan olesan wakno.

“Ha ha ha kita benar-benar seperti keluarga harmonis!” tawa Glaric ketika ikan mereka sudah jadi dan dipindahkan ke wadah saji.

Baru saja Rhalemug akan membuka mulut ingin memberikan komentar atas perkataan Glaric yang agak aneh ketika bell flat Glaric di ketuk.

Mozza datang dengan baju peach yang menawan. Bukan gaun, tepatnya hanya atasan. Sangat feminim dibanding penampilan yang selama ini Rhalemug lihat darinya. Biasanya Mozza nampak formal.

“Bagaimana perayaan Daro-Kanori dengan sepupumu Mozz?”

“Mengejutkan!”

“Ada apa? Apakah ikan yang sudah dimasak mendadak hidup kembali?” goda Rhalemug.

“Maksudku, perayaannya berjalan lancar. Tapi ada yang mengejutkan! Ternyata sepupuku juga bekerja di Aracheas”.

“Aku tidak pernah tahu. Kupikir ia berada di divisi kuliner seperti ibunya,” cerocos Mozza sembari menaruh bungkusan yang dibawanya di atas meja, bersisian dengan ikan yang baru Rhalemug masak bersama Glaric.

Rhalemug dan Glaric berpandangan kemudian bertanya secara bersamaan. “Siapa?”

“Irrina, apa kalian tau?” tanya Mozza. Ia mendekati washtafel kemudian mencuci tangan dan mulai menyajikan ikan yang dibawanya ke dalam mangkuk.

Ternyata Mozza memasaknya dengan memberi kuah. Sementara Rhalemug dengan Waknonya dengan metode di bakar.

“Tahu,” kata Rhalemug.

“Tidak,” kata Glaric.

“Dia ada di tingkat lima. Farmakultur,” jelas Rhalemug sembari memandangi ikan milik Mozza yang sepertinya lebih lezat dari pada ikan Waknonya.

“Beda ya. Senior Aracheas memang memiliki jaringan yang lebih luas. Kau harus menunjukkan padaku yang mana Irrina ketika kita di ladang,” pinta Glaric sembari mengeluarkan tiga piring dari lemarinya.

Mereka berkumpul di meja yang sudah dipersiapkan Glaric. Rhalemug membayangkan betapa berantakan kamar Glaric sekarang, penuh dengan alat-alatnya.

Semoga ia tidak kewalahan dan bisa membuat peralatannya menjadi lebih rapi.

Mozza membagikan ketiga ikan yang dibawanya dalam tiga piring, juga membagi ikan yang Rhalemug dan Glaric buat sehingga mereka masing-masing memiliki dua ikan di piringnya.

Sementara itu Glaric menuangkan air jeruk pada masing-masing gelas mereka. Rhalemug mematikan monitor yang menampilkan planet-planet. Kemudian mereka duduk bersama.

“Senang rasanya memiliki banyak tamu di rumah!” seru Glaric riang.

Ia membenahi kacamatanya yang agak miring.

“Hanya dua orang saja Glaric. Tapi aku senang karena bisa merayakan Daro-Kanori bersama sahabat. Seolah ini merupakan suatu anugerah,” timpal Mozza yang sudah mulai mengangkat garpunya.

“Anugerah ternyata bisa kita ciptakan sendiri ya? Aku baru menyadarinya,” sahut Rhalemug senang.

“Kebahagiaan berasal dari diri sendiri dan orang-orang disekitar kita”.

“Jadi perbolehkan aku buat menceritakan hal baik yang terjadi padaku tahun ini, untuk mengawali perayaan kita”. Glaric berdehem. “Hal baik tahun ini adalah aku berteman dengan Rhalemug”.

Rhalemug hampir memrotes ketika Mozza memperingatkannya untuk tidak menginterupsi.

Glaric berkata dengan mata terpejam. “Bertahun-tahun bekerja di Aracheas yang damai, mendadak bertemu dengan orang yang berpikiran terbuka, mendorongku untuk kembali berkutat dengan penemuan-penemuan baru”.

“Ia seolah-olah memperingatkanku : menjalankan apa yang kita sukai tidak harus terbatas pada pekerjaan. Aku boleh saja kehilangan karier yang sudah kubangun untuk waktu yang cukup lama, kubangun dengan sepenuh hati”.

“Namun tidak berarti aku berhenti berkarya. Rhalemug menjadi obor penyemangat melalui pertanyaan-pertanyaannya akan dunia”. Jelas Glaric.

“Orang-orang yang baik di sekitar kita, akan membantu kita menjadi baik juga,” kata Mozza. Ia melahap ikan yang di masak Rhalemug dan Glaric. Ia mengernyit.

“Ada apa Mozz?” tanya Glaric panik.

“Apakah rasanya tidak enak? Kau bisa menyingkirkannya jika tidak menyukainya,” tambah Rhalemug yang mendadak panik, takut masakannya tidak sesuai dengan lidah Mozza. Harus diakui tidak semua orang menyukai Wakno.

Alih-alih membuang ikan bakar di piringnya. Mozza kembali menggunakan garpunya untuk mengambil daging ikan itu dan mencoba merasakannya baik-baik.

“Aku.... Sepertinya aku baru pertama kali merasakan bumbu ini. Gurih, manis, namun tidak menyiksa lidah. Apakah menggunakan bahan-bahan dari ladang yang tidak dijual di kota?”

“Rhalemug memiliki resep rahasia. Namanya Wakno”. Glaric mengedipkan matanya pada Rhalemug.

“Apakah kau gemar memasak juga?” tanya Mozza dengan nada agak mendesak. Ia meletakkan garpunya, berusaha meminta penjelasan dari Rhalemug.

“Sebenarnya resep memasak ikan secara turun-temurun saja. Aku jarang memasak, lebih mengandalkan divisi kuliner tepatnya,” aku Rhalemug.

Glaris melanjutkan, “Jadi Rhalemug yang tidak biasa memasak ini selalu menyempatkan waktu untuk membuat Wakno pada saat Daro-Kanori. Tidak semua orang bisa mencicipi lezatnya Wakno. Kau beruntung Mozz!”

Mozza mengangguk, menyetujui kata-kata Glaric.

“Jadi sekarang giliran Tuan Wakno untuk menceritakan hal baik yang dia alami selama sepuluh bulan di tahun ini,” tegas Glaric. Kini ia dan Mozza menyantap makanan mereka.

Rhalemug tersenyum kecut. “Aku tidak pernah menceritakan apa pun selama Daro-Kanori. Tadi saat di tempat Alo kami juga tidak membahas hal tersebut, kami membicarakan Aracheas. Bagiku Daro-Kanori hanya perayaan berkumpul dan makan ikan”.

“Jangan membuat kami kecewa,” peringat Mozza sembari mengambil ikan bakar Wakno. Ia sudah menghabiskan satu dalam hitungan menit.

“Bukan begitu. Aku hanya merasa hari-hariku selalu sama, dari tahun ke tahun. Otakku di penuhi dengan tanaman,” kata Rhalemug membela diri.

Di samping itu ia masih merasa hal buruk baru saja menimpanya, cekcok dengan Alo saat Daro-Kanori tentunya tidak bisa dibanggakan.

“Jadi kau tidak menganggap kunjunganmu ke Schavelle adalah hal baik?” tanya Mozza.

“Atau ketika kau merasakan hujan?” giliran Glaric yang bertanya.

“Entahlah...”. Rhalemug memikirkan kata-kata yang pas dan sebisa mungkin tidak menyurutkan semangat teman-temannya.

“Maksudku Schavelle memang menyenangkan. Banyak hal baru yang aku temui dan pelajari. Namun pekerjaanku selalu ada di pikiran. Hal baik yang ada di kepalaku adalah ketika panen berhasil, namun tahun ini kami tengah menghadapi tantangan gulma”.

Ia ingin menghentikan ucapannya di situ namun kedua temannya memberikan tatapan memelas padanya. Seolah berkata ‘pasti ada hal baik yang kau alami!’

“Biarkan aku berpikir dulu,” pintanya sembari mengambil ikan masakan Mozza dan mencicipinya.

Glaric dan Mozza membiarkan Rhalemug berpikir. Mereka menyantap ikan masing-masing. Dentingan pisau dan garpu yang mengenai piring menjadi lagu utama.

“Kejadian yang membuatku sangat senang tahun ini adalah ketika aku memandangi monitor raksasa di perpustakaan. Rasanya aku seperti masuk ke sana dan meninggalkan Plante,” gumam Rhalemug di antara kunyahannya.

“Memang cukup memukau,” ujar Glaric setuju.

“Ternyata ada kan hal yang membuatmu senang? Hal baik dan kesenangan tidak terpisahkan. Bahkan sering kali datang dari sesuatu yang sepele,” komentar Mozza. “Sekarang giliranku yang bercerita hal baik”.

Mozza berdehem sebentar sebelum berkata. “Hal baik yang paling kurasakan tahun ini adalah ketika aku berhasil membuat taman dalam botol! Butuh kesabaran dan ketelitian. Tapi aku berhasil menciptakan benda cantik itu. Kapan-kapan kalian mampir ketempatku dan aku akan menunjukannya!”

“Kau benar-benar hebat Mozz,” puji Glaric sembari bertepuk tangan kecil.

“Taman dalam botol,” Rhalemug teringat kaca yang disentuhnya pada saat terakhir kali ke perpustakaan.
“Teman-teman apa kalian pernah berpikir bahwa yang selama ini kita pandangi di kaca besar perpustakaan sebenarnya bukan monitor? Melainkan kaca?”

Glaric dan Mozza berpandangan namun tidak berkomentar.

Mendadak Rhalemug teringat sesuatu hal, mengenai sesuatu yang nampaknya ada hubungannya dengan semua ini. Yang mengarahkan dirinya untuk berpikir seperti itu. “Pernah mendengar legenda Plante?”

“Legenda? Cerita yang lebih terdengar seperti dongeng pengantar tidur! Kadang tidak masuk akal. Tapi jujur saja aku tidak mengetahui legenda apa yang kau maksud, sobat,” ucap Glaric tanpa menahan Rhalemug untuk membagikan cerita.

Glaric memerhatikannya, kemudian kembali fokus pada Rhalemug. Menunggu legenda apa yang ia maksudkan selain informasi seperti Plante adalah surga atau hal-hal yang mirip dengan itu.

“Aku mendengarnya dari ibu Irrina, belum lama ini. Semoga aku tidak salah tangkap dengan ucapannya. Beliau menceritakan suatu legenda di mana sebenarnya Generoro dulu tidak tinggal di Plante”.

“Dulu leluhur kita tinggal di dunia yang memiliki hujan dan berbagai kondisi ekstrim lainnya,” papar Rhalemug lambat-lambat. Seingatnya ibu Irrina memang mengatakan hal itu.

“Jika Generoro dulu tidak tinggal di sini... itu artinya mereka memang tinggal di dunia yang memiliki hujan dan sejak lima ratus tahun yang lalu kita sudah tidak memiliki hujan,” angguk Glaric.

Rhalemug menarik napas dalam-dalam. Ia sudah memikirkannya beberapa hari kebelakang ini.

Mengenai cerita ibu Irrina, mengenai pengetahuan yang ia dapat dari Mozza dan Glaric.

Mengenai teorinya yang ia coba katakan pada Alo dan menerima sikap tidak disukai karenanya.

“Beliau menyatakan Plante diisi oleh orang-orang terpilih juga menyebut Plante sebagai ‘dunia rekayasa yang bergerak maju’. Rhalemug mencari-cari remote milik Glaric yang ternyata ada di dekat meja komputer temannya. Ia menyalakan monitor.

“Benda bulat itu, bernama Planet”.

Saat itulah Mozza menjatuhkan garpunya. Bunyi bising logam yang beradu dengan lantai timbul memekakan telinga.

“Planet,” bisiknya pelan.

Glaric segera mendekati Mozza memegangi bahunya, khawatir gadis itu mendadak pingsan.

Wajahnya sangat pucat. Sementara Rhalemug memungut garpu yang di jatuhkan Mozza dan menaruhnya pada washtafel. Ia mengambilkan garpu bersih untuk gadis itu.

“Ada apa Mozz?” tanya Glaric lembut. Ia kini memeluk Mozza dari belakang.

Tubuh gadis itu bergetar pelan. Napasnya naik turun. Pandangannya gelisah. Ia seperti tengah memandangi sesuatu yang tidak ada di hadapannya.

Mungkin ia mengingat sesuatu. Kenangan yang buruk mungkin? Rhalemug tidak tahu. Ia baru saja mengenal Mozza dan tidak banyak mengetahui masa lalu gadis itu.

bersambung....


Cerbung ini ada di An1magine majalah eMagazine Art and Science Volume 1 Nomor 9 November 2016
yang dapat di-download gratis di Play Store, share yaa



Comments

Popular Posts

PARTNERS

Contact Form

Name

Email *

Message *