CERMIN: KAPAL
Hari ini belum terlalu larut, tapi karena hujan seharian membuat orang-orang malas keluar jadi jalanan sudah terlanjur sepi.
Aku menghindari genangan air supaya sepatuku tidak terendam dan menjadi basah.
Hujan masih menetes-netes pelan dari pinggir atap. Beberapa butirnya menetes di atas kepala, sebagian dipakaian. Tapi setidaknya aku masih cukup kering.
Seashore adalah restoran tepi laut favoritku. Tidak terlalu ramai dan terkesan hangat.
Andrew yang melihatku dari meja kasir segera melambaikan tangan, menyambutku kedatanganku.
Aku membalas lambaian tangannya dan tersenyum sumringah. Tapi aku kemari bukan karena ketampanannya, bukan itu alasannya, tapi karena ikan bakar disini enak.
“Kenapa baru muncul lagi?” tuntutnya.
“Sibuk,” sahutku sembari mengedipkan mata.
Andrew tertawa, sementara aku batuk-batuk akibat asap dari ikan bakar yang mendadak muncul dari dapur.
Dapurnya memang masih tradisional. Ada kayu bakar dan arang. Jangan berharap akan menemukan alat penyedot asap.
“Duduklah, aku akan membawakanmu minuman,” ujar Andrew sembari membawaku ke salah satu meja kosong yang berada disebelah jendela. Tidak bisa disebut jendela juga sebenarnya karena memang bangunan disitu berkonsep terbuka.
Aku menyeret salah satu kursi yang menghadap ke laut. Di atas meja terdapat setangkai bunga krisan putih dan juga lilin yang memendarkan cahaya redup.
Seashore lebih tenang dari pada biasanya. Aku yakin Andrew sedang tidak senang karena pengunjungnya petang ini hanya sedikit. Kurasa sedikit banyak kehadiranku membuat tingkat kebahagiaannya meningkat.
Selain meja yang kutempati, hanya ada satu meja lain yang diisi oleh rombongan bule. Enam orang dengan pesanan makanan yang melimpah ruah. Aku bisa melihat kaleng-keleng bir kosong di meja mereka. Dua wanita, empat pria.
Berbeda denganku, mereka memilih meja di luar bangunan. Berani taruhan, angin di sana pasti lebih kencang.
Andrew kembali sembari memberikan segelas air kelapa padaku. Aku memang tidak suka kelapa utuh, ia tahu itu. Aku memberitahu apa yang kusuka dan tidak kusuka jadi ia memahamiku.
“Sendirian saja?” Ia melontarkan pertanyaan yang sebenarnya tidak perlu kujawab.
Sudah jelas aku sendirian. Aku belum punya teman yang punya kemampuan untuk menjadi kasat mata.
“Kau ingin aku membawa siapa?” tanyaku, penuh selidik.
Ia tertawa.
Andrew menarik kursi diseberangku dan melipat kedua tangannya di atas meja.
“Jadi apa sebenarnya yang menyita waktumu selama ini?”
“Maaf, tapi pikiranku sedang tidak di bumi dalam beberapa minggu terakhir.”
“Kau akan pergi ke bulan? Atau ke Mars? Mungkinkah ke galaxy lain?” Andrew kelihatan kaget.
Aku menggeleng pelan.
“Kau tahu aku sangat ingin pergi ke galaxy lain karena kurasa jodohku tidak ada di Bumi, atau di galaxy area ini. Tapi kalau ke Mars saja butuh puluhan tahun, bagaimana aku bisa menemukan jodohku sebelum meninggal? Umur kita ini pendek tahu!”
“Tahu gak sepanjang umur dewa dewi di serial kera sakti Son Goku. Pohonnya pun diceritakan baru berbuah setelah ribuan tahun!”
Aku menyunggingkan senyuman, selalu terhibur tiap kali Andrew bisa mengimbangi antusiasmeku tiap kali berbicara hal yang dinilai kebanyakan orang sebatas cerita fantasi saja.
Mungkin itu yang membuatku suka ke Seashore. Bukan hanya karena ikan bakarnya yang enak. Bukan karena letaknya dipinggir laut yang tenang. Mungkin alasannya karena ada Andrew.
“Ngomong-ngomong kau tidak menanyaiku ingin memesan apa?” tuntutku.
“Udang besar kan?” tebaknya, santai. “Aku sudah meminta bagian dapur membuatkannya untukmu.”
“Bagaimana mungkin kau seenaknya memesankan pelangganmu? Tanpa bertanya lebih dulu pula!” seruku, protes.
“Memangnya kau mau memesan apa?” balas Andrew tak mau kalah.
“Tentu saja aku akan memesan udang besar,” ujarku, lunak.
“Kalau kau mau memesan yang lain, aku bisa mengurusnya.”
“Tentu saja, memangnya apa yang tak bisa dilakukan pak owner Seashore?” timpalku sembari terbahak.
Salah seorang bule memanggil Andrew, nampaknya ingin menambah pesanan. Andrew segera beranjak dari tempat duduknya dan menghampiri pelanggannya.
Aku mengaduk air kelapaku kemudian memasukkan sedotan ke dalam gelas. Menyesapnya perlahan.
Sebuah kapal nelayan melintas, deru mesinnya memecah keheningan. Seashore tidak pernah memutar lagu buat pengunjungnya. Kami dibiasakan mendengarkan debur ombak sembari makan.
Aku menjulurkan leher, seolah leherku panjang seperti milik jerapah. Memandangi kapal sederhana itu lewat. Bukan sesuatu yang spesial, tapi aku tetap saja ingin melihat kapal tersebut melintas.
Memandangi buih di air yang disebabkan oleh laju kapal. Mendadak muncul, tidak lama kemudian menghilang.
Nampaknya Andrew sudah mengambil pesanan para bule tadi. Ia menyelinap ke dapur yang masih mengeluarkan asap.
Tempat dudukku sekarang tidak terjangkau asap dapur, meskipun begitu, aku dapat mencium bau lezat dari sana.
Perutku mendadak keroncongan. Karena udang besarnya masih belum menunjukkan akan segera datang, kuputuskan untuk menyesap minumanku lagi.
Aku membuka kunci layar ponselku untuk mengecek jam. Jika data itu benar. Maka tidak lama lagi aku akan melihatnya.
Kejadian aneh itu datang dua hari yang lalu. Sedata pesan suara yang sumbernya tidak dapat kulacak. Pesan itu memberitahuku untuk pergi ke Seashore pukul sepuluh malam. Akan ada kejadian langka.
Maka dari itu di sinilah aku sekarang. Bergegas pulang begitu jam kantor sudah selesai. Pekerjaanku memang ada yang belum selesai, tapi aku tidak mau melewatkan kesempatan ini.
Aku sangat berharap berita yang kuterima dua hari yang lalu itu sungguhan.
“Apa kau sedang melamunkan jodohmu yang ada di galaxy lain itu?” ejek Andrew yang sudah selesai dengan pesanan para tamu bulenya.
Ia meletakkan dua ekor udang besar dihadapanku. Mendadak aku tidak merasa lapar lagi. Udang besarnya kelihatan enak seperti biasa, aromanya juga menggugah selera. Hanya saja aku sedang memikirkan pesan suara misterius itu.
“Drew, apa kau sering melihat kapal aneh melintasi laut?” tanyaku, tidak mampu menyingkirkan rasa penasaranku.
“Kapal aneh? Kategori aneh itu seperti apa?” Andrew malah membalasku dengan pertanyaan.
“Kapal yang sulit kau ungkapkan dengan kata-kata, unidentified.”
“Kita sedang membahas alien sekarang?” cibir Andrew sembari mengambil setengah ekor udang besar dari piringku. Ia membuka cangkangnya lalu menyodorkan makanan itu padaku.
Aku menerimanya dengan ragu-ragu. Pikiranku tidak tertuju pada makanan sekarang ini.
“Dengar, kupikir kau sedang banyak kerjaan ya? Memangnya ada masalah apa lagi?” tanya Andrew, nadanya sedikit mendesak.
“Tidak ada masalah apa-apa,” ucapku, pelan.
“Kau tidak terlihat tidak sedang memiliki masalah,” dengusnya tidak terima dengan jawabanku.
Aku memutar capit si udang besar supaya terpisah dengan tubuhnya. Kemudian memasukkan dagingnya ke dalam mulut.
“Ini enak,” pujiku.
“Harusnya kau mengatakan itu pada juru masakku. Dia yang membuatnya.”
“Juru masakmu harus mendapat Nobel karena berhasil membuat makanan selezat ini,” sambungku, agak lebay.
Andrew memutar bola matanya.
“Jadi apa ada kabar baru di kantormu? Kalian menembak jatuh pesawat alien?”
“Kami tidak pernah menembak jatuh pesawat alien,” jelasku pada Andrew entah untuk keberapa kali.
“Bagaimana mungkin menembak jatuh kalau teknologi mereka lebih canggih. Kecuali mereka sedang sial saja.”
“Yang pesawat ditembak terus serpihannya kristal itu?”
“Bukan kami yang melakukan, Tuan Andrew. Aku rasa ada alien lain yang menembak pesawat UFO tersebut.”
“Tapi kenapa?”
Aku mengangkat bahu. “Mungkin karena melewati batas teritori? Pasti ada aturan yang telah dilanggar, semacam itu. Aku cuman bisa kira-kira saja.”
“Ahhh... Prediksi,” kata Andrew sembari matanya menerawang.
Kapal lain lewat. Masih kapal yang normal. Bukan kapal yang kumaksud. Aku kembali membuka kunci layar ponsel. Sebentar lagi.
Mendadak aku merasa air di bawahku lebih bergelombang, tidak lagi tenang. Apakah data yang kudapat benar? Siapa yang mengirimkannya? Apa tujuan sosook misterius itu memberitahuku?
Sontak aku langsung berdiri. Tangan kananku masih memegangi capit udang besar.
“Itu hanya gelombang besar. Jangan khawatir. Ini biasa terjadi kok, kadang-kadang maksudku. Tidak perlu panik, OK?” cerocos Andrew.
Aku mengalihkan pandanganku dari laut ke arah Andrew.
“Kadang terjadi katamu? Memangnya apa yang akan datang kalau mendadak ombaknya tidak tenang lagi?”
“Ada kapal besar datang. Kurasa itu semacam kapal pesiar karena mewah. Kapal itu lewat sini tiap tiga atau empat tahun sekali. Tidak ada yang spesial,” jawab Andrew coba meyakinkanku.
“Kapal pesiar? Kau yakin?” tanyaku sembari mengerutkan dahi.
Aku melongok ke langit. Malam masih mendung meski hujan telah berhenti. Langit hitam pekat, tidak ada bintang. Bulan sekalipun tidak kelihatan.
Andrew mengangguk mantap. “Aku sudah melihatnya sejak kecil. Kata kakekku yang membangun Seashore, ia juga melihat kapal pesiar itu sejak ia kecil juga. Mengagumkan bukan?”
“Ayo kita lihat!” ajakku.
“Tenang. Nanti kapalnya juga lewat sini kok. Kau kenapa sih, kenapa rush begitu?”
“Aku hanya ingin memastikan sesuatu,” ujarku dalam volume yang tidak lebih keras dari sekadar bisikan.
Andrew mengikutiku ke Area Seashore yang dekat laut. Kami melewati meja bule tadi yang nampaknya sudah mulai mabuk. Cukup unik melihat orang-orang itu menenggak bir sambil makan ikan bakar.
“Kau tahu, malam ini kau agak aneh!” protes Andrew yang berdiri disampingku.
Aku bergeming. Anginnya cukup kencang, membuat rambutku menampar-nampar wajah. Tapi aku tidak mempedulikannya. Aku terpaku pada kapal yang mendekat itu.
Mendadak benda itu ada begitu saja. Seolah muncul dari kehampaan.
Warnanya putih, sangat megah. Tapi tidak berbentuk seperti kapal pada umumnya. Ukurannya sangat besar. Bentuknya seperti bidang datar yang sangat besar, berpendar cahaya lembut, dengan tiga bangunan di atasnya.
Dua bangunan di sisi kanan-kiri lebih tinggi dari pada bangunan di tengah. Bangunan yang futuristik. Sangat indah. Seumur hidupku, aku belum pernah melihat hal sehebat ini.
Malam tidak lagi kelam, biarpun langit masih mendung. Mungkin karena cahaya lembut yang berasal dari kapal tersebut menerangi air di sekelilingnya. Kapal yang bercahaya. Padahal tidak ada lampu yang terlihat di sana. Mungkinkah kapal ini berenergikan ion?
Seunit kapal dari masa depan, yang kerap melakukan perjalanan lintas zaman?
Tidak ada manusia yang kelihatan di sana. Atau memang tidak ada manusia di sana. Mungkin saja makhluk di atas kapal itu berbeda dari manusia dan tidak ingin menampakkan diri, semacam menggunakan teknologi stealth mode.
Lajunya benar-benar cepat. Sebentar saja kapal itu sudah ada di hadapanku, kemudian melewati Seashore.
Astaga! Gara-gara terlalu terpukau dengan bentuk kapal yang tidak biasa itu, aku sampai hampir lupa untuk mendokumentasikannya!
Segera aku membidik kapal tersebut dengan ponselku dan mengambil gambarnya.
Klik! Terlambat! Hasilnya blur. Aku tidak bisa mendapat gambar yang jelas. Kesempatanku malam ini sudah hilang.
Bodoh! Bodoh! Kenapa aku tidak mempersiapkan ponselku sejak awal?
“Kau tahu, kurasa itu kapal yang sama seperti yang kakekku lihat saat ia masih kecil. Aku penasaran berapa tuanya kapal itu. Anehnya kapal itu tidak terlihat tua sedikit pun,” jelas Andrew tanpa diminta.
Aku menelan ludah. “Yang kau lihat saat kecil hingga detik ini apa sama persis?”
“Sama persis! Aku sudah melihatnya beberapa kali, jadi aku yakin kalau kapalnya sama.”
Aku memandangi Andrew. “Ini yang aku cari! Ini alasan aku datang ke Seashore malam ini! Ternyata berita itu benar!”
“Apa? Berita apa?” tanya Andrew tidak mengerti.
“Ada yang memberitahuku akan ada yang datang malam ini. Ternyata berita itu benar! Ternyata berita itu benar!” pekikku girang hingga mengulang-ulang ucapanku.
“Berita mengenai apa?” Andrew mengulang pertanyaannya, masih tidak mengerti.
“Kemunculan Kapal Alien! Kapal tadi bukan buatan manusia, Andrew!”
Cerpen ini ada di An1magine majalah eMagazine Art and Science Volume 2 Nomor 1 Januari 2017
yang dapat di-download gratis di Play Store, share yaa
Comments
Post a Comment