I GEDE GITA PURNAMA: Perjalanan Menuju Pengabdian kepada Ibu Bahasa Bali


I Gede Gita Purnama adalah seorang lelaki yang lahir di Kota Denpasar, lahir tepat ketika bulan purnama bersinar penuh di langit kota itu.

Bulan purnama kala itu adalah bulan purnama sasih kapat, dalam Kesadaran Pangawi (sastrawan tradisional) Jawa Kuna, purnama di Bulan Oktober adalah kartika masa, sesi musim di mana segala cinta akan mulai bertumbuh, lalu bersemi dan menyebar ke segala penjuru.

Sehingga kartika masa ini kemudian identik dengan musim semi. Jika dilihat Kalender Masehi, maka purnama kala itu adalah 29 Oktober dengan angka tahun 1985.

Jadi tepat sehari setelah Bangsa Indonesia merayakan Hari Sumpah Pemuda yang ke-57.

Lahir tepat dengan bulan purnama membawa dampak pada penamaan lelaki ini, akhirnya sang kakek menitipkan nama “purnama” pada nama lelaki ini. Sang kakek berpesan, agar kelak nama purnama membawa pesan kesejukan, kedamaian dan penerangan dalam kegelapan.

Entah kegelapan di dalam hal apa yang dimaksud sang kakek, hinggga kini pun sepertinya belum terjawab. Secara lengkap kemudian nama lelaki ini adalah I Gede Gita Purnama Arsa Putra, nama Gita adalah inisiatif ibu, nama Purnama pemberian sang kakek, lalu Arsa Putra adalah nama belakang bapak.

Selain nama yang sudah sangat panjang tersebut, lelaki ini pun dititipi nama “Bayu” oleh seorang bidan yang membantu proses kelahirannya. Kedua orang tua menerima dengan baik, sebab merasa berhutang budi dengan ibu bidan.

Akhirnya, nama Bayu menjadi nama panggilan sejak lelaki ini lahir di dunia. Keluarga, teman kecil, kerabat, dan tetangga hingga kini memanggil Bayu, bukan Gita apalagi Purnama.

Besar dan dididik dalam lingkungan pendidik membuat I Gede tumbuh menjadi manusia yang sedikit terdidik. Profesi kedua orang tua adalah guru, sejak kecil terbiasa menikmati aktifitas dan rutinitas keguruan.

Namun sayangnya cita-cita menjadi guru tidak pernah terbesit dibenaknya, sebab tahu betul sulitnya jadi guru, “miskinnya” jadi guru. Akhirnya sejak kecil bercita-cita jadi arsitek, meski sadar betul kemampuan matematik jauh dari baik.

Sekolah formal pertama adalah TK Ikal Widiakumara Sidakarya, yang berjarak tak jauh dari rumahnya. Kemudian melanjutkan ke Sekolah Dasar No. 4 Sesetan, yang juga tak jauh dari rumahnya, sekaligus tempat ibunya mengajar.

Setamat sekolah dasar melanjutkan ke SMPN 6 Denpasar. Sebidang sekolah menengah pertama yang berada di wilayah desa Sesetan, sekolah ini adalah sekolah favorit teman-teman sewaktu di sekolah dasar.

Memasuki jenjang SMP, I Gede mulai menemukan dunia baru yaitu bersastra. Sejak mengenal sastra, cita-cita sejak kecil menjadi arsitek sepertinya mulai luntur dan pupus, sebab saban hari semakin serius bergelut pada dunia sastra.

Berawal dari bersastra ini pula, I Gede kembali mendapatkan nama baru dari teman-temannya. Ketika Guru Bahasa Indonesia memberi tugas mencipta puisi, I Gede mencipta dan membaca dua karya puisinya di depan kelas, pertama bertajuk “Tilem” yang kedua bertajuk “Lorosae”.

Puisi “Lorosae” bertema seputar Polemik Kemerdekaan Timor-Timor dari Indonesia, saat itu memang sedang hangat diperbincangkan. Puisi “Tilem” dibuat tanpa sengaja, dan kemudian judul puisi ini jadi nama panggilan yang diberikan pada I Gede sejak kelas 2 SMP, bahkan sangat familiar hingga kini.

Kecintaan terhadap dunia sastra sejatinya telah ada sejak SD, sebab saat SD sempat mengikuti beberapa lomba puisi, dan sempat juga mengecap juara.

Selepas SMP melanjutkan ke jenjang pendidikan sekolah menengah atas di SMAN 5 Denpasar. Masa SMA dilalui tanpa ada hal menonjol dalam berbagai bidang prestasi, mengalir begitu saja selama tiga tahun hingga akhirnya lulus dengan selamat nyaris tanpa cacat.

Mengakhiri masa SMA kemudian meneruskan untuk melanjutkan kuliah di Jurusan Sastra Perancis adalah cita-cita yang kemudian tumbuh. Sebab masih saja I Gede terobsesi dengan pengembangan minat di dunia sastra. Sayang cita-cita harus kandas, dan akhirnya berlabuh di Pangkuan Sastra Daerah Bali Universitas Udayana.

Memasuki masa kuliah, I Gede mulai banyak bergelut dalam bidang organisasi yang ada dikampus. Debut organisasi pertama adalah bergabung dengan pada tahun 2005, menjadi salah satu kordinator bidang humas.

Kemudian di tahun 2005-2006 dipercaya menjadi Ketua Himpunan Mahasiswa Jurusan Sastra Daerah Fakultas Sastra. Selepas itu, 2006-2007 menjadi Sekretaris Badan Perwakilan Mahasiswa Fakultas Sastra Udayana. Semasa kuliah aktif menulis dan menggerakkan teman-teman kampus untuk giat mencintai Sastra Bali Modern.

Semasa kuliah ini pula I Gede kian mengasah bakat dan minatnya dalam bidang menulis dan jurnalistik. Sempat menjadi wartawan freelance di majalah dan koran lokal sembari mengisi waktu kuliah.

Setelah memperoleh gelar sarjana, melanjutkan pendidikan ke jenjang pascasarjana di Program Lingustik Konsentrasi Wacana Sastra pada tahun 2009. Setelah menyelesaikan pendidikan pascasarjana tahun 2012, mulai mengabdikan sedikit ilmunya pada Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar.


Pada tahun yang sama turut serta dalam membangun gerakan menolak penghapusan mata pelajaran bahasa daerah pada kurikulum 2013. Gerakan penolakan dari berbagai komponen pemerhati bahasa daerah di Bali ini akhirnya membentuk sebadan organisasi pergerakan yang bernama Aliansi Peduli Bahasa Bali .

I Gede dipercaya menjadi sekjen Aliansi Peduli Bahasa Bali , serta terus bersama-sama mengawal keberadaan Bahasa Bali  di dalam kurikulum pendidikan formal. Perjuangan membuahkan hasil meski dengan jalan yang tidak mudah, pelajaran Bahasa Bali  tetap menjadi bagian kurikulum berada di bawah payung seni budaya.

Pergerakan dan inovasi Aliansi Peduli Bahasa Bali  tidak berhenti, sejak akhir tahun 2015 mengusulkan dan mendorong lahirnya gerakan 1000 Penyuluh Bahasa Bali . Gerakan ini dimotivasi atas keyakinan bahwa Bahasa Bali  harus tetap hidup dan bergairah di tanahnya sendiri.

Berkat perjuangan dan pendekatan yang sangat baik dengan pemerintah eksekutif maupun legislatif, akhirnya gerakan 1000 Penyuluh Bahasa Bali  sukses diwujudkan.

Pada awalnya, gerakan ini merencanakan direkrutnya Sarjana Bahasa Bali  sejumlah 1488 sesuai jumlah desa adat di Bali, namun karena adanya program baru dan anggaran yang dibutuhkan sangat besar maka yang disetujui hanya 716 orang saja sesuai dengan jumlah desa dinas di Bali.

Gerakan ini cukup fenomenal, mengingat tenaga penyuluh ini dikontrak di bawah provinsi, dan di Indonesia inilah perekrutan tenaga kontrak terbanyak dalam waktu yang bersamaan.

Selain aktif menggerakkan organisasi sosial, kegemaran I Gede dalam bidang tulis menulis terus diasah. Pada tahun 2012, bersama dengan Sang Guru I Nyoman Darma Putra dan A.A Oka Wiranata, menggawangi lahirnya buku antologi puisi Dendang Denpasar Nyiur Sanur.

Sejilid buku yang berisi sekumpulan puisi karya penulis Bali sejak tahun 1950 hingga 2012. Setahun kemudian kembali dipercaya menjadi editor dalam buku antologi Dénpasar lan Don Pasar.

Pada tahun 2014 turut serta berpartisipasi dalam menulis Buku Biografi I Wayan Bratha, Seniman Kelas Dunia.

Buku biografi yang di tulis untuk mengenang kepergian I Wayan Bratha sebagai ‘Bapak Sendratari Bali’, seorang seniman karawitan yang telah menjadi Duta Kesenian Indonesia untuk keliling dunia.

I Wayan Bratha juga salah satu seniman karawitan yang dikagumi Presiden Soekarno.

Guna menyemarakkan kehidupan Sastra Bali Modern, pada tahun 2014 I Gede menerbitkan sejilid buku antologi cerpen dalam Bahasa Bali  yang berjudul Smara Reka.Pada tahun 2015, kembali dipercaya oleh paguyuban Penulis Muda Sastra Bali Modern untuk menjadi editor sebuah antologi puisi berjudul Angripta Rum.

Buku ini menjadi tonggak sejarah baru lahirnya Generasi Baru Sastra Bali Modern, setelah cukup lama Sastra Bali Modern tidak melahirkan penulis produktif.

Berkat lahirnya buku ini, semangat dan semarak Sastra Bali modern kian meningkat. Kini sedang dipersiapkan lagi sebuah antologi cerpen yang garap bersama dengan Penulis-penulis Muda Sastra Bali modern, dan diharapkan dapat rampung di akhir 2016 sebagai kado akhir tahun untuk 103 Tahun Usia Sastra Bali Modern.

Semangat I Gede untuk terus menggerakkan Generasi Muda Bali agar terus menggali potensi intelektualnya tidak pernah surut. Karena itu, I Gede memprakarsai lahirnya Paguyuban Penulis Muda Bali.

Paguyuban ini berisi Anak-anak Muda Bali yang memiliki pemikiran, kecintaan, dan dedikasi yang tidak perlu diragukan lagi pada Budaya Bali.

Anggota-anggota peguyuban ini aktif melakukan penelitian, pengembangan, serta mempromosikan segala Potensi Warisan Leluhur Bali. Kini paguyuban ini tengah mempersiapkan buku kumpulan tulisan hasil penelitian masing-masing anggotanya.

Diharapkan buku yang akan berisi 15 hasil penelitian ini mampu memberi kontribusi positif pada Perkembangan Keilmuan Budaya Bali.


I Gede pada tahun 2015 juga dipercaya sebagai Salah Satu Penulis Modul Guru Pembelajar. Program nasional ini terus membawa I Gede untuk semakin mendalami seluk beluk dunia pendidikan, hingga akhirnya turut dipercaya menjadi Tim Pengembang Guru Pembelajar.

Kemudian turut mengembangkan Program E-learning Guru Pembelajar tingkat nasional khususnya di Bidang Bahasa Bali. Tahun 2016 kemudian dipercaya untuk menulis Buku Siswa Bahasa Bali  yang akan dicetak oleh Provinsi Bali.

Momentum ini akan jadi sejarah tersendiri bagi Pendidikan Formal Bahasa Bali . Sebab ini pertama kali Bahasa Bali  diakui secara nasional dan turut serta dalam bagian perencaan kurikulum pendidikan nasional, jadi segala keperluan Pendidikan Bahasa Bali  akan turut diperhatikan oleh pemerintah pusat.

Sebagai akibat dari semua usaha I Gede dalam menggerakkan generasi muda untuk semakin mencintai Budaya Bali terutama karya sastra, Yayasan Kebudayaan Rancage yang dipimpin sastrawan Ajip Rosyidi memberinya penghargaan.

Penghargaan Sastra Rancage tahun 2016 dibidang pengembangan dan pelestarian sastra serta budaya ini merupakan ganjaran yang diberikan kepada I Gede karena kegilaannya dalam memicu semangat kaumnya.

Sebab itulah ia kini kian terpacu mendorong Generasi Muda Bali untuk terus menggali potensi intelektualitasnya, lalu melahirkan karya sebagai bukti nyata Generasi Muda Bali peduli.

I Gede sangat meyakini, bahwa darah muda ini jika diaarahkan dengan tepat, akan melahirkan karya-karya fenomenal, sebab darah muda terlalu berbahaya jika tidak diarahkan dengan baik. Rahayu…


Artikel ini ada di An1magine majalah eMagazine Art and Science Volume 1 Nomor 7 September 2016
yang dapat di-download gratis di Play Store, share yaa

Comments

Popular Posts

PARTNERS

Contact Form

Name

Email *

Message *