HANDI YAWAN: Sering Mengambil Keputusan yang Salah Membuat Jalan Hidupnya Lambat Mencapai Tujuan


Handi Yawan lahir di Bandung tanggal 25 Desember 1966. Ayahnya seorang PNS dan ibunya ibu rumah tangga biasa.  Di usia 40 tahun ia baru memulai karirnya di komik.

Akhir Mei tahun 2016 menjadi momen yang mengharukan bagi  Handi Yawan, karena pada hari itu pamannya meninggal dunia. Tetapi sekaligus menemukan kembali teman masa kecilnya yang paling ingin ia temui.

Ketika mengantar jenazah di pemakaman umum Maleer, Bandung, ia mengenali sejalur jalan yang hampir 35 tahun yang lalu pernah menjadi tempat bermainnya

Rel kereta api yang telah terkubur oleh bangunan-bangunan rumah menuntunnya menemui rumah sahabat sewaktu kecil.

Sekali pun telah banyak berubah, rumah dan lingkungan itu ditemukannya dan akhirnya mempertemukan kembali dua sahabat yang dulu sama-sama gila komik.

Pertemuan itu membuka kenangan indah antara Handi Yawan dan Agus Supriadi.

Mereka masih sama-sama mengingat ketika pulang sekolah di SD Centeh, Bandung dan setelah mengganti seragam sekolah, Agus Supriadi  menjemput Handi Yawan di rumah lalu mengayuh sepeda mini membonceng Handi Yawan pergi ke Cikapundung untuk membeli komik.

Agus adalah kakak kelas Handi Yawan, tetapi kesamaan hobi mempertemukan mereka sekali pun jarak rumah mereka berjauhan.

Handi Yawan tinggal di Karees, sementara Agus Supriyadi di Cibangkong. Dan kereta api yang mengangkut BBM yang melintasi kedua tempat seringkali menjadi kendaraan bagi Handi Yawan untuk pergi dan pulang ke rumah Agus.

Mereka saling bertukar pinjam komik-komik lalu membaca bersama-sama selalu dilakukan oleh kedua kawan akrab itu.


Di tahun 1970, jangankan internet, handphone, komputer PC, bahkan TV pun baru TVRI satu-satunya dan tidak ada saluran TV lain.

Itu pun dayanya masih menggunakan accu karena listrik belum masuk, padahal Karees berada di Tengah Kota Bandung. Koran, majalah, komik, novel adalah hiburan yang booming.

Ayah Handi Yawan memberikan langganan Majalah Bobo dan Hai untuknya,  untuk saudara-saudara perempuannya Majalah Gadis dan Femina.

Sementara Ayahnya sendiri berlangganan Kompas dan Intisari. Tetapi semua koran dan majalah itu turut dibaca oleh Handi Yawan pula.

Majalah Hai yang terbit selasa selalu di dahului oleh Handi Yawan yang langsung mengambil sendiri ke loper koran di Pasar Kosambi, seberang kantor pos, karena tidak mau dibaca duluan oleh saudara-saudaranya.

Bahkan Koran Kompas sebelum dibaca oleh Ayahnya telah dibolongi oleh Handi Yawan yang selalu mengunting komik strip Garth untuk dikliping.

Komik-komik silat Djaka Sembung, Si Buta dari Goa Hantu, Panji Tengkorak, Mandala, Pendekar Bambu Kuning, atau komik superhero seperti Godam, Gundala bisa ditemui di setiap rumah atau persewaan keliling yang menggunakan sepeda ontel.

Atau bisa menyewa di kios-kios “taman bacaan” yang banyak ditemui sepanjang pinggir rel kereta api.

Komik-komik impor seperti Superman, Batman, Spiderman, Hulk, X-men, Tintin, Lucky Luke, Flash Gordon, Tarzan,Tanguy and Laverne, Asterix, dan sejenisnya beredar luas di kalangan masyarakat berdampingan dengan komik-komik asing baik terjemahan ataupun dalam bahasa asalnya.

Kesamaan hobi membaca komik selalu mempertemukan Handi Yawan dengan teman yang lain sehingga bisa bertukar pinjam bacaan komik-komik.

Sehingga komik atau majalah yang tidak ia miliki seperti Eppo, cersil Kho ping hoo, novel-novel atau komik-komik saduran dan sejenisnya bisa ia baca di orang lain, begitu sebaliknya.

Kini meskipun rel kereta api itu masih ada, tetapi di atasnya telah dibangun rumah-rumah dan Handi Yawan dibawa pindah oleh orang tuanya yang ditempatkan di rumah dinas ke Maleber di Cibeureum sehingga akhirnya kehilangan jejak dan terputus komunikasi dengan Agus Supriyadi.

Sekolah di SMP, Handi Yawan masih menemui Komik-komik Indonesia, tetapi semenjak SMA sudah jarang mendapatkan Komik-komik Indonesia dengan judul baru.

Tetapi minat baca terhadap komik masih diperoleh dari komik-komik terbitan Cypress ataupun Misurind yang ia beli di Gramedia.

Sejak sekolah di SMAN 4 Bandung jurusan IPS, kelas 2 Handi Yawan sudah mengikuti bimbangan menggambar Spectra untuk masuk Seni Rupa ITB di jalan Jurang, demikian pula ketika kelas 3, karena ia bercita-cita menjadi seorang komikus, sesuai cita-citanya semenjak kecil.

Namun sayang ketika lulus SMA tahun 1986 dan ikut ujian seni rupa di ITB, Ia tidak diterima. Lalu ia kuliah saja di Unpas Fak. Ekonomi.

Setahun kemudian ia ikut ujian Seni rupa ITB untuk kedua kalinya, tetapi untuk kedua kalinya pula tidak lulus.

Karena merasa salah pilihan jurusan kuliah, Ia akhirnya setengah hati menjalani masa kuliah di ekonomi dan akhirnya D.O di semester III.

Di momen itulah ia telah salah mengambil keputusan. Salah memutuskan jalan hidupnya diikuti dengan kesalahan lain.


Handi Yawan memutuskan melupakan dunia komik dan melupakan cita-citanya menjadi seorang komikus.

Luntang lantung tidak jelas dan mulai malas kuliah, membuat kakak perempuan paling besar prihatin dan menyuruhnya mencari kerja saja.

Kemudian di tahun 1988 hanya dengan berbekal sepucuk surat sakti dari kakak iparnya ia telah duduk dibelakang meja akunting sebuah BUMN di Purwakarta.

Di Purwakarta tahun-tahun itu belum ada Perguruan Tinggi, tetapi ia sempat menjalani pendidikan diploma komputer akuntasi yang merupakan pekerjaan primadona di tahun-tahun itu untuk kerja di pabrik.

Handi Yawan terpikat tawaran gaji yang lebih besar, lali masuk dunia kerja Pabrik tekstil di Purwakarta dan keluar dari BUMN tadi.

Di tahun 1993 Handi Yawan terpikat lagi oleh tawaran pabrik lain yang berlokasi di Rancaekek, Kab. Bandung sehingga ia punya harapan bisa melanjutkan kuliah ekonomi yang sempat ditinggalkannya.

Namun kerja di Pabrik tidak membuatnya leluasa membagi waktu untuk kuliah, sehingga ia lanjutkan sekolah ekonominya di Universitas Terbuka (UT).

Tetapi kuliah di UT pun hanya sampai 2 semester karena menjalaninya dengan setengah hati pula.

Tahun 1996 ia menikahi gadis idamannya bernama Neneng  Solihat yang ia temui sebagai karyawan pabrik yang sama.

Setahun kemudian dikarunia anak perempuan dan baru di tahun 2001 dikaruniai anak laki-laki.

Sekali pun tulisan-tulisannya semenjak kecil ia kirimkan ke redaksi Bobo,Hai, bahkan Kompas, selalu berakhir dengan balasan surat “cerita anda belum layak dimuat di koran/majalah kami”.

Namun sebenarnya selama Handi Yawan dewasa, tidak benar-benar melupakan dunia komik.

Ia masih sering melamun dan lamunannya itu ia tuangkan ke dalam tulisan-tulisan dan coret-coretan yang ia simpan dan sekarang menjadi bahan untuk membuat cerita novel dan komiknya.

Di tahun 2008 kerinduan kuat untuk menengok dunia Komik Indonesia mendorong Handi Yawan membuka situs-situs komik di internet.

Namun ia menemui kenyataan yang mencengangkannya. Dunia komik di indonesia yang dulu ia gandrungi semasa kanak-kanak sekarang sudah jauh berbeda.

Kali ini ia tidak mau salah lagi mengambil keputusan dalam hidupnya. Ia merasa tidak memiliki kebahagiaan lain yang di dapat selain dari komik.

Selama ia meninggalkan komik ia merasa ada sesuatu yang kurang di hatinya. Ia yakinkan pada dirinya bahwa kembali ke dunia komik adalah keputusan yang terbaik untuk mengisi kekosongan dalam hidupnya.

Keputusan ia kembali ke dunia komik direstui oleh istrinya yang memahami kegemarannya, sekali pun ia dan istrinya tidak tahu apakah di komik akan membuat mereka lebih bahagia secara finansial?

Akhirnya Handi Yawan benar-benar menyelam ke dunia komik dan mencari akar masalahnya kenapa Industri Komik Indonesia lenyap?

Sebaliknya, fakta ini tidak membuat Handi Yawan surut. Malah pengalaman berkumpul dan mendengarkan cerita dari senior-senior idolanya sewaktu masa kecil justru mendorongnya semakin ingin membangkitkan Komik Indonesia namun di sisi lain cara penerbitan dan distribusi di masa golden era sudah tidak mungkin bisa diulangi.

Para penerbit dan para agen-agen komik dulu itu sudah beralih profesi ke usaha yang lebih memberi keuntungan daripada usaha di komik.

Kualitas Komik-komik Indonesia tidak mampu bertahan, tetapi bukan karena kehadiran komik-komik asing yang memang dari dulu sudah ada.

Komik Indonesia menghilang karena manajemen dan kualitas cerita tidak mampu mengikuti tuntutan dan perkembangan zaman.

Akhirnya sekarang, komik-komik yang ada adalah impor dan pebisnis-pebisnis komik lokal pun mengikuti tren manga, yang baru ia kenal istilah itu semenjak tahun 2000 an saja.

Kemampuan menggambar yang bisa ia banggakan sewaktu SD, SMP bahkan SMA dan selalu menjadi bahan tontonan teman-teman sekelas tidak cukup “menjual” untuk masuk ke industri komik itu.

Dan ia sendiri tidak memiliki keinginan sedikit pun untuk manjadi bagian dari tren impor itu. Sekali pun ada beberapa pihak yang mau menerima proposalnya asal mau mengubah dan menyesuaikan dengan tren itu.

Dan sampai sejauh itu, nasihat dan kritik dari orang lain bahwa sekarang dunia digital ia tolak mentah-mentah!

Bagi Handi Yawan komik digital adalah komik setengah jadi atau komik-komikkan. Komik cetaklah komik sesungguhnya.


Pertemuan kembali dengan Agus Supriyadi lah yang membuat Handi Yawan seolah-olah siuman dari pingsan.

Ternyata Agus Supriyadi punya usaha dibidang media digital. Agus, teman sesama gila komik semasa kecilnya adalah konsultan penerbitan media-media berbasis digital.

Pertanyaan dari Agus Supriyadi selalu melintas dalam pikirannya, apa yang diinginkan oleh Handi Yawan dengan komiknya? Ingin dibaca oleh orang lain atau tidak? Kalau ingin dibaca ya mau tidak mau harus dalam bentuk digital.

Akhirnya semenjak pertemuan itu pula Handi Yawan mengubah total paradigma berpikirnya dan menerima kenyataan sekarang adalah dunia digital.

Namun Ia sendiri tidak tahu harus memulai dari mana untuk menyelami dunia digital?
Sekali pun di tempat kerjaannya bagian electronic data processing (EDP) tetapi tidak sepenuhnya ia terima perkembangan teknologi sebagai bagian dari hidupnya.

Bahkan ia sampai sekarang tidak pernah sekali pun tertarik bermain game di komputer apalagi main game online.

Baginya punya Handphone pun hanya cukup untuk halo-halo atau sms-an saja. Apalagi handphone nya jarang berdering dan kalau ia ketinggalan HP di rumah pun ia tidak merasa kehilangan. Sungguh aneh bukan?

Zaman sekarang bisa terkenal secara instan agar komik-komik kita segera dikenal luas.

Dulu ketenaran mengikuti karya. Tetapi sekarang dengan cara digital dan bergaul di sosmed ketenaran bisa dibangun untuk memperkenalkan hasil karya komik.

Namun fenomena itu juga bagi seorang seniman menjadi kesulitan lain dalam membagi waktunya sebab seorang seniman bukan selebriti.

Bagi  seorang seniman sejati waktu lebih berharga untuk membuat sebuah karya dari pada larut berjam-jam bergaul dalam sosial media.

Tetapi ternyata dari titik tolak merubah paradigma berpikirnya inilah, Tuhan telah mempersiapkannya pula solusi untuk masalahnya.

Melalui facebook, Handi Yawan dihubungi oleh Michael Sega Gumelar dan diajak membentuk i-komik.

M.S. Gumelar seorang pakar digital dan mengajak Handi Yawan membentuk i-komik, yakni usaha milik bersama Para Komikus Indonesia yang ingin menjual karyanya secara online dalam bentuk digital melalui manajemen an1mage.

Sekali pun ajakan ini ibarat pucuk dicinta ulam pun tiba, ajakan ini tidak serta merta ia ambil karena sebelumnya ia punya banyak pengalaman tidak menyenangkan oleh orang-orang dari komunitas komik sendiri.

Kebanyakan ajakan-ajakan itu ujung-ujungnya hanya memanfaatkan dirinya.

Tetapi kali ini dalam ajakan kerjasama ini sekalian disodorkan perjanjian tertulis.














Dan ibarat pula seseorang yang disodorkan cek kosong untuk ditulis sendiri dan terserah berapa angka nominal yang ingin ia tulis di atas cek itu membuat Handi Yawan bertambah yakin dengan niat baik ajakan M.S. Gumelar dalam hal membangkitkan Komik Indonesia.

Bedanya ini bukan cek kosong, tetapi Handi Yawan diajak langsung oleh M.S. Gumelar dan team-nya An1mage, membentuk i-komik itu mau menjadi seperti apa?

Usulan-usulan dari Handi Yawan yang dulu ia berikan kepada pihak-pihak yang pernah mengajak kerjasama dengannya tetapi tidak pernah dipakai oleh orang itu, sekarang bisa diterapkan di i-komik.

Handi Yawan pernah mengusulkan membentuk Koperasi Komikus Indonesia, pernah membentuk majalah komik, pernah mengajak membangun jalur distribusi komik indie.

Tetapi semua kandas karena ternyata di komunitas komik itu sendiri berbeda-beda kepentingan.

Menurut pengakuan Handi Yawan pula, upaya-upaya atau keinginan-keinginan insan komik adanya wadah yang menaungi para komikus di indonesia untuk bersatu tidak pernah mampu terwujud.

Karena ternyata komikus-komikus yang eksis di Komunitas Komik Indonesia lebih banyak mewakili lembaga usaha tempat mereka bekerja, bukan mewakili aspirasi insan komik di Indonesia secara menyeluruh.

Akhirnya melalui obrolan-obrolan di facebook antara Handi Yawan dengan M.S. Gumelar dan teamnya, terbentuklah i-komik seperti sekarang dan puncaknya pada tanggal 11 September 2016 menjadi tonggak bersejarah bagi i-komik.

Tanggal 11 september 2016 di  Balubur Town Square, Bandung, Handi Yawan bertemu langsung dengan M.S. Gumelar.

Hadir pula komikus-komikus senior antara lain Zaenal Arifin, Permadi Hendrik dan Asep Yadi Suherman yang sama-sama berikrar untuk membangkitkan Industri Komik Indonesia di bawah payung usaha bersama milik komikus-komikus lokal yang bernama i-komik©2016.

Sekarang dan setelah adanya i-komik, seniman-seniman komik sudah tidak perlu bingung lagi ke mana dan bagaimana menerbitkan karya-karyanya.

Hal ini pula memberikan kesempatan kepada para seniman-seniman komik tanah air bisa lebih banyak waktu memperbaiki kualitas cerita dan gambar, sementara pihak an1mage yang berperan membenahi manajemennya.

Harapan Handi Yawan, semoga para artis komik yang bergabung dengan i-komik bisa mewujudkan Kebangkitkan Komik Indonesia secara konkrit. Dan mampu diterima oleh pembaca secara nasional maupun internasional.

https://www.facebook.com/HandalMaker/


Artikel ini ada di An1magine majalah eMagazine Art and Science Volume 1 Nomor 8 Oktober 2016
yang dapat di-download gratis di Play Store, share yaa

Comments

Popular Posts

PARTNERS

Contact Form

Name

Email *

Message *