CERMIN: BOBBY
“Dasar anjing!”
“Anjing bodoh!”
Aku menyembunyikan diri di antara sela tembok dan lemari. Ketakutan.
Anak-anak itu selalu menertawakanku. Mengerjaiku dan menyiksaku. Seolah penderitaanku menjadi sumber kebahagiaan buat mereka.
Mereka tertawa tapi aku tersiksa. Mereka menunjuk-nunjukku layaknya anjing kudisan. Ketika orang tua mereka tidak ada, kadang mereka bahkan meludahiku, sesekali memukulku di area punggung.
Sementara jika orang tua mereka ada, maka kedua anak itu akan diam-diam mencari kesempatan untuk menendangku, kadang hingga aku terpelanting, jatuh ke lantai.
Dan mereka akan segera melesat ke ruangan lain, seolah aku tengah menjatuhkan diriku sendiri. Seperti anjing bodoh, seperti yang barusan mereka katakan.
“Tidak menyenangkan, sekarang dia sudah punya tempat sembunyi paten, kita tidak bisa mempermainkannya sesering dulu,” keluh anak wanita dengan rambut dikepang dua.
Namanya Sasi, aku tahu namanya bukan karena kami berteman baik, tapi karena kami bermusuhan dengan baik.
Yang satunya, anak laki-laki, seumuran Sasi, sebelas tahun. Kembaran, lebih tepatnya. Namanya Saka, ia sedikit lebih pendek namun bobotnya dua kali lipat dari saudaranya.
Aku berusaha tidak mengeluarkan suara ketakutan ketika Saka pergi menghilang menjauhiku. Aku tahu dia sedang ke ruangan lain dan apa yang hendak diambilnya.
Sapu, aku sangat membenci sapu dan si kembar mengetahui itu.
Saka kembali membawa benda yang paling kubenci di dunia. Kebencianku pada sapu sama besarnya pada si kembar.
Dengan tangan gemuknya, Saka menyelipkan tongkat sapu ke arahku kemudian mengayun-ayunkannya. Aku hapal gerakan itu, gerakan untuk menghajarku.
“Lebih jauh lagi!” pekik Sasi sembari memberikan perintah pada kembarannya.
Saka mengulurkan tangannya lebih panjang lagi, seandainya mungkin, ia ingin memasukkan tubuh bulatnya itu ke sela antara tembok dan lemari buat meraihku.
Namun sebelum usahanya berhasil, bel rumah berbunyi.
Aku selamat! Pikirku.
Saka buru-buru menarik sapunya dan mengembalikan benda itu ke tempat asalnya. Sementara Sasi menyentuh kedua kepangnya dan berlari ke arah pintu.
Setidaknya untuk beberapa jam ke depan si kembar tidak akan menyakitiku, tidak di hadapan orang tuanya.
Merasa sudah aman, dengan langkah perlahan aku keluar dari antara tembok dan lemari yang telah menyelamatkanku.
Saka memandangku dengan jijik, kemudian segera menyusul Sasi ke area depan rumah.
“Ayah pulang!” seru mereka kompak.
Aku bisa mendengar suara pintu depan diayun terbuka dan langkah kaki yang lebih berat dari si kembar, langkah dengan irama yang kusukai. Langkah kaki ayah.
Aku mengintip mereka dari balik tembok. Ayah tengah melepas sepatunya, Saka segera mengambil tas ayahnya untuk dibawakan ke dalam, sementara Sasi menepuk-nepuk pundak ayahnya dengan riang.
“Mana Bobby?” tanya ayah sembari menolehkan kepalanya ke kiri dan ke kanan.
“Ayah nyari anak bungsunya nih!” celetuk Sasi, terselip nada tidak senang di antara kata-katanya.
“Tuh, lagi ngintipin ayah sama Sasi,” timpal Saka sembari menunjuk tempat di mana aku berada.
Aku memasang senyum di wajahku sembari mendekati ayah.
Ayah segera mengangkatku ketika aku sudah ada dalam jangkauannya. Ia mengelus-elus kepalaku dengan sayang.
“Tuh kan, Saka! Ayah lebih sayang sama anak bungsunya dari pada sama kita!” seru Sasi sembari meninggalkanku dan ayah di sofa ruang tamu.
“Ayah sayang kalian semua,” kata ayah sembari tersenyum lebar. Ia kemudian menatap mataku lekat-lekat. “Bagaimana harimu, Bob?”
Aku hanya membalas kata-katanya dengan beberapa kali mengerjap-ngerjapkan mataku.
“Tentu saja kau tidak akan kesepian karena Sasi dan Saka selalu menemanimu,” gumam ayah yang masih memandangiku.
Seandainya saja ayah tahu apa yang sebenarnya harus aku hadapi tiap kali dia tidak ada di rumah...
“Tentu saja,” ulang Saka seraya melipat kedua tangan di depan dadanya.
“Kami senang Bobby ada di rumah, tapi kami lebih senang jika Bobby tidak ada di rumah!” lanjut Sasi.
“Mengapa begitu?” tanya ayah sembari meletakkanku di sofa.
“Karena dia tidak suka bermain dengan kami,” jelas Saka.
“Dia terus-terusan bersembunyi,” beber Sasi.
“Benar. Dia suka berada di antara tembok dan lemari. Menyelinap ke sana mentang-mentang badannya lebih kecil dari pada kami,” sambung Saka.
Memangnya aku suka disiksa? Protesku dalam pikiran. Tapi seperti biasanya, aku memilih untuk tetap diam. Tidak ada isak tangis atas ketidakadilan yang menimpaku atau geram amarah.
Aku tetap tenang, seolah tidak mengerti apa yang sedang mereka diskusikan. Aku diam ketika dijadikan pihak yang disalahkan. Aku bahkan berusaha tetap diam tiap kali Sasi atau Saka berhasil memukulku dengan sapu.
Ayah menatap Sasi, Saka, dan aku secara bergantian kemudian menghela napas pelan.
“Sudah hampir dua bulan dan nampaknya kalian masih belum akur ya?”
“Aku masih tidak mengerti mengapa ayah membawa Bobby pulang,” gerutu Sasi.
“Aku setuju dengan Sasi,” ujar Saka tidak mau kalah.
“Sudah-sudah, bagaimana kalau kita makan malam?” elak ayah sembari menuju dapur. Ia selalu membeli makanan siap saji yang tinggal dipanaskan.
“Apa yang ayah bawa itu?” tanya Sasi sembari menoleh ke arah bungkusan berisi makanan yang ayah letakkan di atas meja. “Baunya enak.”
“Sup asparagus?” terka Saka.
“Tebakan jitu, nak!” sahut ayah sembari mengulurkan tangannya untuk mengambil bungkusan makan malam kami berempat.
“Biar aku saja!” kata Sasi menawarkan diri.
Maka mereka semua meninggalkan ruang keluarga. Saka langsung meraih remote dan menonton animasi gaya gambar kartun kesukaannya. Sasi menuangkan sup ke panci dan menyalakan kompor. Ayah duduk disamping Saka, memandangi layar televisi dengan tatapan kosong.
Sementara aku, ya aku, berusaha membaur dengan mereka. Aku memandangi ayah. Pakaiannya sama seperti ketika ia membawaku pulang.
Hari itu aku benar-benar gelisah. Aku baru saja membuka mataku ketika ada seorang pria dewasa yang mengatakan akan membawaku pulang. Aku benar-benar panik karena aku tidak tahu apakah ia berniat jahat tau baik padaku.
Sepanjang jalan aku benar-benar gelisah, membuat banyak suara sepanjang perjalanan. Kurasa itu adalah saat di mana aku benar-benar rewel.
Jika dulu aku sangat berisik ketika ketakutan, kini aku ketakutan pada Sasi dan Saka dalam diam.
“Supnya sudah siap ayah!” kata Sasi dari dapur. Memang selalu begitu, ayah tidak mau anaknya membawa panci penuh sup panas. Ayah yang akan melakukannya.
Maka ayah segera beranjak dari sofa dan menuju dapur. Aku dengan setia mengekori ayah karena tidak mau berduaan dengan Saka.
Ayah mengambil sarung tangan yang digantung dekat lemari pendingin. Sasi menyusul kembarannya yang masih asik nonton, mengajaknya untuk segera ke meja makan.
Aku tidak dapat melihat supnya, tapi aku bisa melihat asap yang mengepul sembari terdengar bunyi plop pelan.
Berikutnya segala sesuatu terjadi dengan cepat, pegangan tangan ayah terlepas. Pancinya turun ke bawah dan isinya tumpah. Sup mendidih itu menyiram persis di tubuhku.
Mulanya aku seperti tidak merasakan apa pun, kemudian aku merasakan tubuhku tidak dapat digerakkan. Ada yang salah.
“Apa yang terjadi?” tuntut si kembar yang muncul di dapur.
Mereka membelalakan mata, melihat silikon yang selama ini menutupi tubuhku leleh karena tersiram sup. Cairan panas itu tidak hanya menghancurkan pelindung luar tubuhku, tapi juga menghancurkan tubuhku.
Sup asparagus mengalir, memasukki sela-sela mesin tubuhku, memaksanya berhenti bekerja.
“Menurutmu dia masih bisa diperbaiki?” tanya Saka pada kembarannya, acuh.
“Lebih baik tidak usah, sudah rusak parah gitu,” gumam Sasi sembari melihat tubuhku yang diam tak bergerak.
“Kurasa kita harus membuangnya anak-anak,” ujar ayah dengan nada menyesal. “Bagian pengisi dayanya juga rusak, dia tidak akan bertahan lama dengan baterai yang hampir habis.”
“Bagaimana jika kita makan malam di luar?” usul Sasi.
“Kurasa kita harus mengucapkan selamat tinggal dulu pada Bobby,” cibir Saka.
Ayah mengambil kardus bekas dan memasukkan aku ke dalamnya. “Tadinya aku pikir kalian bakal suka dengan peliharaan robot karena mereka tidak membuang kotoran, tidak perlu makanan, hanya perlu di isi daya.”
“Wah! Kami sih lebih milih anjing beneran, yah! Biarpun kami harus membersihkan kotorannya. Gak kayak Bobby yang cuman bisa sembunyi,” ejek Sasi.
Kami berempat keluar rumah. Ayah meletakkan aku yang masih dalam kardus di samping tempat sampah.
Ayah, Sasi, dan Saka naik mobil, derunya makin lama makin menjauh, meninggalkanku tergeletak diam dalam sunyi.
Sekarang aku tidak akan disiksa Sasi dan Saka lagi, mereka tidak akan memukulku dengan sapu. Aku tidak perlu bersembunyi di sela antara tembok dan lemari. Mulai dari sekarang aku bisa merasa damai.
Cerpen ini ada di An1magine majalah eMagazine Art and Science Volume 1 Nomor 10 Desember 2016
yang dapat di-download gratis di Play Store, share yaa
Comments
Post a Comment