MINDPORTER 2: Archilum oleh M.S. Gumelar di An1magine Volume 3 Nomor 5 Mei 2018
MINDPORTER 2:
Archilum
M.S. Gumelar
Kurasa selama ini Aswin hanya terbuai oleh ketakutannya. Menurutku Vedika bukanlah gadis yang sulit untuk diajak berteman. Mestinya Aswin lebih percaya diri dalam memulai suatu hubungan.
Tapi mengingat bagaimana sikapnya kemarin, aku tahu kalau bersikap seperti biasa di hadapan pujaan hatinya bukanlah suatu perkara yang mudah. Kuharap ke depannya mereka bisa lebih nyaman ketika bertemu.
Chapter 11
"Wahai gadis yang mekar di antara embun surgawi. Rona wajahmu pagi itu bagaikan semburat senja di pagi hari. Merah merekah bagaikan kelopak mawar yang ranum."
"Aswin...."
"Ya?"
“Jadi kurasa kau sudah mengalami kemajuan soal hubunganmu dengan Vedika. Kupikir selama ini kau ada usaha untuk mendekatinya. Tapi kau hanya memandangi gadis itu dari jauh meski sering berpapasan di perpustakaan.”
Aswin memikirkan kata-kataku dengan dahi berkerut.
“Kau tahu, aku selalu kehilangan kata-kata ketika hendak mengajaknya bicara. Seolah jalan pikiranku buntu, kreativitasku hilang.”
“Lucu rasanya melihat Aswin yang cerewet mendadak mati kutu di hadapan gadis pujaannya.”
“Kuharap kau terhibur,” cibir Aswin, tidak senang.
“Kuharap kau bisa lebih dekat dengan Vedika hingga puisi cintamu tidak mengharap melulu, tapi lebih berdinamika.”
“Wah, aku tidak sanggup membayangkannya,” kekeh Aswin. “Tapi sebenarnya aku sedang banyak pikiran.”
“Apa contohnya?” tuntutku.
"Dari mana Rawi bisa tahu duluan kalau Archilum akan dilaksanakan? Padahal juru kuil saja belum mengumumkan apa pun saat itu?"
“Ya benar, kita sudah pernah membicarakannya, untuk sementara kita simpan dulu” saranku.
“Apa yang sedang kalian bicarakan?”
Aku dan Aswin sama-sama menoleh dan mendapati Nebula muncul dari balik rak di samping tempat kami duduk.
“Candhra sedang bertanya-tanya kapan kau akan datang,” goda Aswin sembari melirik ke arahku.
Enak saja menjadikanku sebagai alasan. Bukannya dia sendiri yang tadi mencari-cari Vedika. Gadis itu tidak kelihatam tadi. Begitu pula juga dengan Nebula.
“Kau sendirian saja?” Aku yakin pertanyaan itu sangat ingin dilontarkan Aswin hanya saja cowok itu terlalu gengsi untuk menyatakannya.
Nebula mengangguk.
“Vedika bilang sedang ada urusan jadi hari ini tidak akan kemari.”
“Kelihatannya ada yang kecewa karenanya,” kataku sembari nyengir ke arah Aswin.
Aswin menata ekspresinya supaya tidak kelihatan kecewa. Tapi aku tahu perasaannya pasti sedang galau sekarang. Kami kemari memang untuk Archilum dan bertemu Vedika adalah bonus.
Tidak setiap hari orang bisa mendapatkan bonus yang diinginkannya. Namun ketika keinginan itu tidak terpenuhi maka ada perasaan kecewa yang menguar ke udara.
“Kalian mencari tahu soal Archilum lagi?” terka Nebula.
“Tebakan yang jitu,” ujar Aswin.
“Bagaimana denganmu? Apa kita ada dalam perahu yang sama, nona?”
Nebula mengangguk. Ia kemudian memperlihatkan buku yang dibawanya.
Sebenarnya tidak tepat menyebutnya buku. Hanya gulungan perkamen.
Perbedaan buku dengan perkamen adalah jika buku bisa di bolak-balik halamannya, maka perkamen itu digulung. Agak merepotkan untuk membaca perkamen jika gulungannya cukup besar.
Aswin pernah mencoba membaca perkamen tertebal di perpustakaan ini dan tidak lama gulungan itu jatuh dari meja kemudian menggelinding di atas lantai tanah. Beruntung saat itu ia sudah cukup dekat dengan si kembar jadi ia tidak kena omel terlalu panjang.
“Apa itu?” tanyaku, tertarik.
“Sepertinya lanjutan dari buku kemarin. Perkamen tambahan kurasa karena penulisnya sama,” kata Nebula lambat-lambat.
“Benarkah?” sahut Aswin sembari menerima perkamen yang dimaksud. “Apa isinya?”
“Tidak banyak. Hanya suatu upacara di dalam Archilum itu sendiri. Namanya Sesi Arc. Itu adalah saat di mana para peserta mencoba melompat dari tempat yang paling tinggi tepat pada saat semburan air besar datang.”
“Memangnya apa bagusnya?” tanyaku meremehkan.
“Sebagai suatu kehormatan, sesuatu yang dibanggakan karena bisa mengikuti Archilum dari tempat yang paling tinggi dibanding peserta lain,” jelas Nebula sembari mengangkat bahu.
“Apakah semakin tinggi akan semakin besar kemungkinannya untuk di terima dunia atas?” desakku.
“Penjelasannya tidak mendetail, tidak ada bagian yang membahas pertanyaanmu jadi aku tidak bisa menjawabnya,” sahut Nebula jujur. “Tapi mungkin kalian bisa langsung menanyakannya pada pamanku. Waktunya sudah ditentukan. Minggu depan hari ke dua datanglah ke tempatku.”
“Di mana itu?” sahut Aswin tanpa mendongakkan kepalanya dari perkamen.
“Desa Kereta, dekat tempat pemanenan jamur.”
“Bukankah itu desamu, Candhra? Jadi kalian selama ini sudah saling mengenal?” tuntut Aswin setelah mendengar pernyataan Nebula.
“Iya itu desaku, tapi kurasa aku tidak tahu kau tinggal di situ,” ujarku sembari mengernyitkan dahi. Mungkinkah itu alasan mengapa aku merasa pernah melihat gadis ini sebelumnya? Karena kami tinggal di desa yang sama? Tapi aku benar-benar tidak ingat kalau dia tinggal di Kereta.
Masyarakat di tempatku tidaklah banyak, kami cenderung mengenal satu sama lain hingga tiga desa jauhnya. Jika Nebula sama-sama tinggal di Kereta, mestinya aku sudah mengenalnya.
“Keluargaku baru saja pindah beberapa waktu yang lalu. Sebelumnya kami tinggal jauh di sebelah selatan,” tuturnya menceritakan latar belakang.
“Kau pasti datang ke Kereta setelah Candhra bekerja di desa perairan, Lamboru,” sahut Aswin menyimpulkan.
“Pantas, aku merasa tidak mengenalmu sebelumnya,” timpalku.
Apakah ada kemungkinan ia mengenal keluargaku? Mungkin saja kan? Meski nampaknya Nebula tidak bekerja sebagai petani jamur tapi mereka tinggal dalam satu area yang sama.
Nebula mengangguk. Ia seperti hendak mengatakan sesuatu, tapi sepertinya tidak jadi ia utarakan.
Sebaiknya aku tidak bertanya macam-macam. Kami baru mengenal dan aku tidak ingin dinilai terlalu ingin ikut campur. Walau sebenarnya aku sangat ingin bertanya apakah ia merasa pernah melihatku sebelumnya seperti aku merasakan hal itu.
“Kurasa buku ini cukup menarik. Arc memang bukan keharusan namun nampaknya banyak orang yang memang ingin untuk mencapai dunia atas dari tempat yang paling tinggi,” gumam Aswin menyadarkanku ke dunia nyata.
Benar, kami di sini karena ingin menggali Archilum lebih dalam, bukannya membahas masalah pribadi. Bukan mengenal atau tidak mengenal sebelumnya. Itu tidak penting karena yang terpenting sekarang kami sudah saling mengenal.
“Benarkah banyak yang ingin mengikuti sesi Arc?” tanyaku mencoba menyusun konsentrasi kembali.
“Setidaknya itu yang diungkapkan oleh buku ini. Orang-orang tidak hanya ingin mengikuti Archilum dan terlempar begitu saja. Mereka ingin menambahkan unsur kompetisi di sana. Sehingga orang-orang tidak hanya memusatkan pikiran apakah dewa akan menerima atau menolak mereka.”
“Pasti berdebar-debar rasanya untuk menunggu saat itu. Diterima atau ditolak tentunya baru akan ketahuan hasilnya di akhir. Sebelum Archilum terjadi, semuanya hanyalah misteri,” tambahku.
“Para peserta Archilum pastinya akan merasa sangat tertekan. Ini bukan hanya terpilih atau tidak dipilih dewa. Tapi juga berkenaan dengan masalah hidup dengan mati. Pilihannya hanya berhasil atau mati.”
“Kematian,” bisikku pelan.
“Bulu kudukku sampai meremang membayangkannya,” sahut Aswin sembari menunjuk bulu-bulu tangannya yang mendadak jadi berdiri karena ngeri.
“Setidaknya dengan mencari tahu hal-hal seperti ini para peserta akan dapat mempersiapkan diri dengan lebih baik. Lebih banyak yang diketahui, lebih besar kemungkinan untuk lolos dan berhasil ke dunia atas,” angguk Nebula.
“Jadi kalian, maksudku kau dan Vedika mencari tahu semua ini agar bisa menghindari kematian yang mungkin disebabkan oleh Archilum?” tanya Aswin.
“Tidak. Aku hanya penasaran dan mencari tahu. Aku tidak pernah berpikir untuk mengikuti Archilum. Keluargaku tidak akan setuju dan aku tidak mau berseteru,” ungkap Nebula, cepat. “Aku tidak tahu apakah Vedika akan mengikuti Archilum, kurasa dia belum memutuskannya.”
“Pilihan pergi atau tidak pergi memang bukan sesuatu yang main-main,” kataku, pelan.
“Aku juga belum memutuskannya,” aku Aswin, santai. “Tapi orang di sebelahku ini sangat bersemangat.”
“Jadi kau sudah memutuskan untuk ikut,” ucap Nebula sembari memandangiku lekat-lekat.
“Aku akan mempertaruhkan keberuntunganku untuk itu,” cengirku.
“Kalau begitu kau sudah melakukan hal yang tepat dengan mengumpulkan sebanyak mungkin informasi yang mungkin kau butuhkan untuk melewati Archilum dengan selamat,” ucap Nebula.
“Kurasa keberuntunganmu cukup bagus, Candhra. Setidaknya kita sudah menemukan buku yang bisa membawamu lebih dekat dengan keberhasilan,” ujar Aswin sembari menunjuk-nunjuk perkamen yang dibawakan Nebula.
"Ngomong-ngomong siapa penulis dari buku ini? Siapa tahu kita bisa menemukan satu petunjuk," kataku memberikan usulan.
"Kau mungkin akan terkejut tapi penulisnya adalah Rawi," jawab Aswin sembari membolak-balik perkamen yang ada di tangannya.
Detik berikutnya kami saling berpandangan. Berbagai kemungkinan berkelebat di kepala kami.
Chapter 12
Semenanjung itu menjulang di atas kami. Seolah dia tengah mengawasi seluruh manusia di bawahnya. Mengamati apakah manusia berbuat baik atau jahat selama hidupnya.
"Apakah ada orang yang pernah mencoba ke atas sana?" tanyaku sembari mendongak ke atas.
"Tentu saja ada, tapi mereka gagal, banyak juga yang mati."
"Mati?" tanyaku ngeri.
"Mati," ulang Jagaddhatri sembari mengangguk.
"Kebanyakan mereka jatuh karena saat hendak mencapai atas, gravitasi bumi tidak kuat menahan mereka untuk tetap di tanah.”
*
Sesuai janji pada Nebula, kami ke desa Kereta untuk bertemu dengan pamannya yang tengah berkunjung.
Rumah Nebula ada di pinggiran desa cukup mudah di temukan. Dari banyaknya orang-orang yang berprofesi sebagai petani jamur, keluarganya adalah satu-satunya penjual ayam di Kereta.
Kesan pertama saat mencapai rumahnya adalah bau kotoran ayam yang menyengat. Kemudian suara-suara ayam yang tidak pernah putus. Satu ayam dilanjutkan oleh ayam yang lain. Sahut-menyahut seolah sedang bernyanyi.
Kami bertiga duduk dipelataran rumah Vedika yang udaranya sedikit lebih bersih. Kandang-kandang ayam ada di samping rumah, tidak menempel dengan bangunan tempat tinggal.
Anggota keluarga Nebula tidak nampak di rumah, mereka semua kelihatannya sedang mengurus ayam-ayam mereka.
Telur dan daging ayam merupakan dua barang dagangan utama dari keluarga Nebula. Meski begitu, mereka juga menyediakan pakan ayam meski bukan mata pencaharian utama.
Menurut Nebula, salah satu alasan kepindahan keluarga mereka adalah sudah banyaknya penduduk desa asalnya yang beternak ayam. Keluarganya memutuskan untuk pindah ke daerah yang jarang ada peternakan ayamnya.
Pilihan jatuh ke desa Kereta yang dikenal sebagai desa penghasil jamur. Warga di sini banyak yang menukarkan jamur untuk mendapatkan ayam.
Kebanyakan untuk disantap, sebagian kecil untuk dipelihara dan di kembangbiakkan.
Ketika tiba, Jagaddhatri sudah menunggu di depan rumah dengan secangkir kopi hitam pekat dengan asap mengepul di tangannya.
Giginya sudah tidak lengkap, rambutnya juga sudah banyak beruban, namun sorot mata orang itu masih tajam. Ia terlihat antusias ketika melihat aku dan Aswin datang sesuai janji kami.
"Apakah jika mengikuti Archilum pasti akan diterima para dewa?" tanya Aswin penasaran.
"Tentu saja tidak. Banyak juga yang mati karena Archilum."
"Jadi keberanian saja tidak cukup?" gumamku lebih pada diri sendiri.
"Tidak. Banyak keberanian yang sia-sia seperti ketika orang-orang berusaha mencapai nirwana tanpa melalui Archilum. Mati tanpa mendapat pujian, mati dicela dan dianggap bodoh."
"Apakah ini berkaitan dengan dipilih dewa dan tidak dipilih dewa?" tanya Aswin lagi.
Jagaddhatri tersenyum sinis. "Memangnya ada yang bisa memastikan terpilih dan tidak dipilih? Atau sebenarnya keberhasilan didapat karena keberanian dan keberuntungan?"
"Paling tidak keberanian akan membuat seseorang maju dan berusaha."
"Memang tapi seseorang juga harus memiliki ketakutan bukan? Ketakutan bukanlah sesuatu yang harus dihindari dan dianggap remeh. Kadang ketakutan membuatmu selamat," kata Jagaddhatri sembari memicingkan mata.
Aku dan Aswin berpandangan. Orang ini bilang kami membutuhkan ketakutan dan keberanian, keduanya, bukan hanya salah satu.
"Karena ketakutan, kalian akan mencari tahu lebih banyak dan mempersiapkan diri."
Aswin mengangguk. "Kau benar, maka dari itu kami sampai datang padamu karena kau adalah salah satu orang yang pernah melihat fenomena ini."
"Kebanyakan melihat dari jauh, aku berani dari dekat. Kebanyakan menilai harus pergi ke atas, tapi kurasa tugasku bukan itu. Aku merasa terpanggil untuk tidak pergi namun selalu memiliki keinginan untuk membagikan pengetahuanku."
"Apakah kau tahu akan melihat dua Archilum selama hidupmu?" ujarku sembari mengernyitkan dahi. Orang ini pasti memiliki kehebatan khusus. Ia mungkin telah dipilih dewa atau semacam itu.
"Jangan berpikiran yang terlalu hebat. Aku hanya manusia biasa-biasa saja yang memilih buat mengikuti apa yang kuinginkan. Mengenai apakah aku tahu diberi kesempatan untuk melihat dua kali Archilum selama hidupku, maka jawabannya adalah tidak."
"Tidak ada petunjuk dari dewa?" desak Aswin.
"Memangnya kenapa dewa harus memberi petunjuk padaku? Aku bahkan tidak memiliki tanda-tanda yang biasa dikoar-koarkan orang-orang. Kalian boleh menganggapku berbohong, tapi aku tahu beberapa orang mengikuti Archilum dengan mengucapkan tanda-tanda palsu."
"Mereka mengarang tanda-tanda itu?" ucap Aswin kaget.
Jagaddhatri menyeringai, seringaian itu milik seekor serigala.
"Memangnya kenapa kalau mereka mengarang? Mereka ingin pergi dan orang-orang terus menanyakan apa tanda yang mereka dapatkan? Bukankah dengan sekali bohong mereka tidak akan diganggu dengan pertanyaan-pertanyaan bodoh lagi?
“Jadi apa kuncinya supaya bisa mencapai dunia atas?” desakku.
“Memangnya ada yang pasti di dunia ini?” ejek Jagaddhatri.
“Memang cenderung tidak pasti, tapi aku sangat ingin memperbesar peluang untuk berhasil.”
“Lihat dirimu, sangat bersemangat. Aku berharap aku bisa memiliki semangat Archilum seperti itu,” ujar Jagaddhatri, tertawa. “Aku setuju kau harus memperbesar peluang untuk berhasil, maka dari itu kalian bertemu denganku bukan?”
“Umm... sebenarnya hanya dia yang pergi, aku sepertinya tidak ikut,” sela Aswin lambat-lambat.
“Begitukah?” sahut Jagaddhatri sembari menoleh ke arah Aswin. “Kurasa kau akan mengikuti temanmu pergi. Mungkin sekarang kau merasa hanya penasaran. Tapi bukankah penasaran adalah permulaan yang bagus?”
Aswin menggigit-gigit bibirnya dengan gusar.
“Kalian sangat beruntung bisa bertemu dengan orang sepertiku yang dengan sukarela dan terbuka bersedia untuk menceritakan segala yang kuketahui tentang Archilum tanpa meminta pamrih, tanpa menyisipkan kebohongan,” kata Jagaddhatri, tajam.
“Tolong bantu kami,” ujarku.
“Kau bertanya bagaimana memperbesar kemungkinan berhasil. Sebenarnya dari pihak kuil sendiri juga akan membantu kalian untuk mengobarkan api dari dalam jiwa.”
“Tapi secara teknis Arc juga akan membantu kalian untuk berhasil. Kalian sudah mendengar tentang Arc kurasa.”
Aswin mengangguk. “Itu adalah sesi sebelum puncak Archilum terjadi. Suatu kompetisi di mana para peserta mencoba mengalahkan peserta lainnya untuk mencapai tempat tertinggi sebelum terbawa oleh semburan.”
“Sebenarnya Arc penting meski tidak wajib. Sebenarnya wajib bagi orang-orang yang memahami maksudnya. Dengan semakin tinggi, penglihatan kalian akan semakin baik, maka dari itu kalian bisa melompat ke tengah-tengah semburan yang artinya dapat mencapai dunia atas dengan selamat.”
Jagaddhatri berhenti sebentar untuk meminum kopinya.
“Menurut kalian apa yang membuat orang-orang yang mengikuti Archilum mati?”
“Karena mereka melompat tidak pas di semburannya,” jawab Aswin.
“Karena mereka terangkat di bagian pinggir semburan kemudian tidak berhasil masuk ke lubang atas kuil. Mereka terantuk langit-langit dan jatuh dari tempat yang sangat tinggi.”
“Singkat kata, mati. Lebih sial lagi, mereka hidup dengan cacat permanen karena kebanyakan tulang belakangnya remuk.”
Aku dan Aswin berpandangan dengan ngeri. Dia bilang banyak peserta yang tulang belakangnya hancur karena terjatuh dari atas. Mungkin bukan hanya tulang belakang, tapi kepala mereka juga pecah ketika menghempas ke tanah.
“Dengan berada di tempat tinggi, peserta bisa melompat ke tengah dan selamat. Tapi bisa juga sudah berada di ketinggian dan tetap gagal. Tebak alasannya!”
Kali ini giliranku yang menjawab. “Karena semburannya sudah terlanjur habis karena mereka terlalu banyak menggunakan waktu untuk memanjat.”
“Benar. Mereka terlalu ingin mencapai tempat yang paling tinggi hingga lupa semburan tidak akan berlangsung selamanya. Ada juga yang terlalu ragu-ragu. Melompat sekarang atau menunggu dulu hingga kekuatan semburan melemah dan tidak mampu membawa orang-orang ke atas.”
“Jadi jangan terlalu cepat atau terlalu lama melompat,” simpulku.
“Benar. Saat aku melihat di kuil, mula-mula semburannya kecil. Jangan langsung melompat. Saat kau mendengar gemuruh dan tanah di bawahmu bergetar cukup keras, itulah saat yang tepat untuk melompat. Jika kalian melakukannya dengan benar, tanpa bantuan dewa sekalipun kalian akan berhasil.”
“Intinya menunggu semburan yang kuat,” ulang Aswin sembari menganggu-angguk. Mencoba mencerna seluruh informasi yang didapatkannya.
“Kuharap kalian bisa melaluinya dengan sukses,” sahut Jagaddhatri seraya meraih tanganku juga tangan Aswin.
“Terima kasih atas bantuan Anda, paman,” sahut Aswin.
“Apakah ada orang yang berhasil ke atas dan kembali ke bawah?” tanyaku tiba-tiba. Aku teringat pada buku di perpustakaan.
“Setahuku tidak ada. Maksudku orang-orang di sini hanya mengetahui cara ke atas dan tidak pernah ada bahasan soal mereka yang kembali dari dunia atas.”
“Begitu rupanya....” ujarku pelan. Lalu siapakah Rawi yang ada dibuku tersebut? Apakah ada hubungannya dengan Rawi yang kukenal atau kemiripan tersebut hanyalah kebetulan belaka?
Jika itu bukan di tulis oleh orang yang kembali dari dunia atas, lantas bagaimana buku itu bisa ditulis secara mendetail. Terlebih menceritakan berbagai hal yang lebih mirip imajinasi dari pada kenyataan.
Komputer dan internet, apakah sebenarnya itu?
Aku meninggalkan Jagaddhatri hanya untuk mendapatkan lubang menganga yang baru. Orang itu mengatakan tidak mengetahui jika ada orang yang kembali ke dunia bawah setelah berhasil ke dunia atas.
Seandainya ada yang kembali, pastinya ia sudah membagikan caranya. Mendobrak kepercayaan bahwa pergi untuk Archilum sama seperti pergi untuk selamanya. Tiket satu perjalanan tanpa dapat kembali pulang.
Namun jika tidak ada yang pernah berhasil ke dunia bawah, lantas bagaimana buku tersebut di tuliskan? Dari mana pengetahuan tersebut berasal?
Sensingku menyatakan buku tersebut bukanlah hasil karangan imajinatif, tapi berdasarkan pengetahuan, berdasarkan pengalaman. Lalu bagaimana membuktikan bahwa isinya benar? Siapakah Rawi penulis buku itu? Apakah aku bisa menguak misteri ini?
“Hei Candhra kau melamun ya? Kenapa tidak menjawab pertanyaanku?”
Aku menoleh ke arah Aswin. Astaga ini benar-benar berbahaya. Ternyata aku sedari tadi berjalan tanpa benar-benar memandangi sekitar. Berjalan sembari melamun. Untung aku tidak tersandung.
Kami sudah kembali ke daerah pesisir dan aku sedang beristirahat dengan duduk di bawah sebatang Jara.
“Maaf Aswin. Tolong ulangi pertanyaanmu.”
"Menurutmu apakah sudah terlambat untuk berubah pikiran?"
Aku mendongak dan memandangi siluet Aswin. Bagaimana mungkin dengan santainya ia berdiri searah sinar matahari hingga aku tidak bisa mengamati mimik wajahnya.
"Kurasa tidak pernah ada kata terlambat. Sejauh mana pun kita melangkah, kita selalu bisa kembali dan mengambil jalan lain. Ngomong-ngomong apa yang sedang kau bicarakan denganku?"
"Jadi kau menilai tidak masalah untuk mengubah pikiran dan tindakan?"
Anak ini.... Bukannya menjawabku ia malah memberiku pertanyaan lain.
"Benar. Jalani apa yang menurutmu baik," kataku, ringan.
Dia mengangguk dan aku menyadari tangannya terkepal.
"Aswin, soal apakah itu?"
Aswin memandangi langit sebentar sebelum memandangku.
"Candhra, aku memikirkan kemungkinan untuk ikut ke langit bersamamu."
Ia berhenti sebentar kemudian melanjutkan. "Menurutmu Vedika juga akan mengikuti Archilum?"
"Aku tidak tahu. Lagi pula kenapa kau tidak menanyakan hal itu langsung padanya?" Aku memberikan Brachuura yang telah matang pada Aswin. Selama melamun tadi Aswin sudah membakar Brachuura untuk kami berdua,“Makanlah."
"Karena aku terlalu gugup!" seru Aswin cepat.
"Kupikir Vedika adalah gadis yang baik. Dia terlihat ramah dan mudah berteman."
"Jangan pikir kau bisa merebutnya, Candhra!"
Aku mencibir. "Coba lihat kelakuanmu itu."
Kepala Aswin tertunduk, kemudian ia mulai memakan Brachuuranya.
"Hei ini enak, dagingnya benar-benar gurih!"
Ia menyodorkan Brachuura itu supaya aku juga bisa mencicipi bagaimana rasanya. Kuraih hewan yang sudah matang itu dan memakannya.
"Kau benar sobat. Nampaknya kita benar-benar memilih Brachuura yang terbaik."
"Pengalaman membuat kita nampak seperti ahli," ujarnya sembari memberi cengiran.
“Apakah kau ingin ke dunia atas karena ada kemungkinan Vedika juga akan pergi?” tanyaku, hati-hati.
Aswin menggeleng. “Tidak. Kurasa Jagaddhatri benar. Rasa penasaran itu menjadi modal awal yang kuat untuk mengikuti Archilum. Atau kemungkinan kedua....”
“Apa itu?”
“Mungkin kau ini menular Candhra! Aku tertular rasa ingin berpetualangmu. Lagi pula kita pergi bersama, jadi apa yang perlu kutakutkan?”
Aku tersenyum lebar, tidak mampu menyembunyikan rasa senangku. Aswin akan pergi bersamaku? Rasanya seperti mimpi. Tapi ini jauh lebih baik dari mimpi karena ini kenyataan.
"Mari bersama-sama mencapai dunia atas sobat. Berjanjilah padaku, biar dunia kita berubah, tidak lagi sama, tapi pertemanan kita akan tetap," sahut Aswin riang.
"Tentu saja teman. Di atas sana kita akan tetap memancing dan membakar ikan bersama."
"Kita akan berlomba untuk mendapatkan ikan terbesar dan tertawa," lanjut Aswin.
"Kau benar."
"Dan karena kita meninggalkan keluarga di sini, kita akan menjadi keluarga di atas sana karena berasal dari tempat yang sama," tambah Aswin dengan mata menerawang.
"Aku bertanya-tanya apakah kita dapat menyentuh awan-awan dengan tangan ketika sudah berada di atas. Apakah awan akan terasa lembut di tangan kita?"
Aku tersenyum.
"Pasti banyak hal baru yang akan kita lakukan di sana."
"Akan banyak misteri yang terkuak. Akan banyak kerinduan yang muncul. Mungkin selama beberapa saat aku akan menangis setiap malam karena memikirkan keluarga yang jauh. Kami sama-sama hidup tapi di tempat yang terpisah dan sangat jauh."
Ya. Kami pasti akan merindukan orang-orang yang ditinggalkan. Siang hari menjelajahi hal-hal baru seperti ayam lepas, sementara malamnya kami akan berpura-pura tidur dan menangis dalam diam.
Chapter 13
"Aku merasa tidak enak badan," keluh Aswin.
"Kau sakit sementara tidak lama lagi Archilum akan berlangsung?" tanyaku tidak percaya.
"Aku agak ceroboh kemarin melintasi hutan dan terkena banyak spora di sana. Seluruh badan-badanku gatal dan semalam aku demam."
"Lalu mengapa hari ini kau pergi bekerja? Apa kau ingin sakit untuk waktu yang lama?" ujarku marah.
"Kau harusnya istirahat di rumah.”
"Dan aku pasti akan menjadi sinting karena hanya berbaring sepanjang hari di kamar."
"Siapa tahu kau akan pingsan di sini," tukasku cepat.
"Ayo kuantar kau pulang."
Aswin menjauhkan tanganku dan menggeleng.
"Aku tidak ingin pulang, jangan paksa aku pulang," pintanya.
"Ada apa?" tanyaku khawatir.
"Perlakukan aku seperti orang sehat saja," katanya.
"Tapi kau tidak sehat!" seruku, hilang kesabaran.
"Intinya kau jangan menyuruhku pulang karena aku tidak mau."
Aku menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri. "Kalau kau memang tidak mau pulang, kau jangan bekerja juga. Duduklah di bawah pohon dan aku akan mengambilkan air. Wajahmu sangat pucat," ujarku sembari menggeleng-gelengkan kepala.
Aswin duduk di bawah bayang-bayang pohon Ebura yang sejuk. Ia menempelkan kepalanya ke batang pohon, terlihat sangat lemah.
Aku mengambilkan air hangat untuknya dari dapur karyawan, membawanya menggunakan tempurung kelapa dan menyodorkan air itu pada Aswin.
"Kau benar-benar tidak ingin pulang? tanyaku cemas.
"Biarkan aku di sini," ujar Aswin lirih.
Sebenarnya aku ingin menanyakan banyak hal padanya, tapi melihat kondisi Aswin, aku jadi tidak tega. Sebaiknya aku tidak bertanya apa pun lagi sekarang.
Jika ia memang tidak ingin pulang maka aku akan menjaganya di sini. Aswin pasti memiliki alasan untuk itu.
Ia sudah berada dalam situasi yang sulit karena rasa sakit yang dideritanya dan aku tidak ingin menambah bebannya.
"Aku baik-baik saja." Ia berkata-kata lagi.
Aku mendengus, tapi tidak berkomentar.
"Kembalilah bekerja. Kurasa aku akan tidur di sini."
Aku mengangguk.
"Baiklah aku akan membangunkanmu saat jam makan siang dan membawakan makanan dari dapur."
Maka aku kembali memilah-milah Brachuura, mana yang baru saja berganti kulit dan mana yang belum. Rasanya aneh jika menyadari aku tidak akan lama lagi melakukan pekerjaan ini.
Archilum akan segera datang dan aku tidak akan menjadi pekerja tambak lagi. Hidupku akan berubah, masalahnya aku tidak tahu seberapa besar perubahan itu akan terjadi. Hal itu agak membuatku tidak tenang beberapa malam belakangan ini.
Jika biasanya aku akan segera tidur sesaat setelah mencapai rumah, sekarang aku akan berbaring untuk beberapa lama sembari memandangi langit-langit kamar.
Mungkin aku sedang khawatir, maka dari itu sulit rasanya untuk tenang. Mungkin Aswin juga merasakan hal yang sama. Ia merasa tertekan karena tidak lama lagi akan pergi. Kemungkinan besar kami akan pergi selamanya. Seperti orang mati yang tidak akan dapat hidup kembali.
Masalahnya untuk saat-saat seperti ini aku juga tidak dapat banyak menolongnya mengingat aku juga berada dalam posisi yang kurang lebih sama dengannya.
Kadang aku ingin Aswin mundur saja. Mungkin itu akan lebih mudah buatnya. Ia akan melanjutkan hidupnya di sini sama seperti hari-hari sebelumnya.
Tapi bukan aku yang akan menentukan hidupnya. Sama seperti ia akan memutuskan untuk ikut Archilum, maka dia sendirilah yang harus mengundurkan diri. Ia akan berhenti dan tidak jadi melangkah maju jika dia memang tidak menginginkannya. Aku tidak akan memaksanya, juga tidak akan berkomentar soal itu.
Aswin berhak mendapatkan apa yang dinilainya sebagai yang terbaik. Aku yakin ia mampu memilih keputusan yang tepat buat hidupnya.
Pekerjaan ini mendadak terasa sangat membosankan dan waktu berjalan dengan lambat. Aku berkali-kali melemparkan pandangan ke bawah pohon tempat Aswin terpengkur. Dia benar-benar tidur.
Kuharap dengan beristirahat, ia bisa lebih cepat pulih. Jam makan siang tiba. Aku segera membereskan peralatanku dan menuju dapur untuk meminta jatah makan siangku dan Aswin.
Dapur memang akan terasa penuh dan sesak pada saat-saat seperti ini, sementara pada jam kerja, hanya pekerja dapur saja yang berada di dalam. Mereka akan mencuci sayuran juga memasak.
Kebanyakan menu yang disajikan bukanlah hasil laut. Sayuran jadi menu utama. Hasil laut biasanya jadi lauk jika kami sedang panen besar. Brachuura, juga ikan akan mengisi wadah-wadah makanan.
Hari ini mereka membuat sup jamur dengan singkong rebus. Melihat jamur-jamur itu aku jadi teringat pada ibuku. Hingga kini aku belum menceritakan soal keinginanku mengikuti Archilum. Apakah itu keterlaluan?
Yang jelas aku belum siap. Aku tidak akan tega jika ia menangis ketika mendengarku hendak pergi. Aku menyayangi ibu dan ingin dia bahagia, tapi aku juga ingin meraih keinginanku.
Dalam pikiranku, aku yakin ibu akan bisa memahami keputusanku ini. Masalahnya mungkin bukan pada ibu, tapi ada pada diriku sendiri yang ketakukan. Aku takut untuk memberitahunya dan melukai perasaan orang yang paling kusayangi.
Aswin membuat gerakan kecil sembari tidur. Seolah ia mengingatkanku supaya membangunkannya. Ya dia tidak boleh terlambat makan. Sup jamur ini juga tidak akan terlalu lezat jika disantap dalam kondisi dingin.
"Aswin?" Aku memanggilnya. "Sudah saatnya makan siang, bangunlah."
Aswin membuka matanya, tapi tidak terlalu lebar. Nampaknya ia masih mengantuk dan ingin tidur lebih lama.
"Makan dulu setelah itu kau bisa tidur lagi," kataku menambahkan.
"Wanginya harum. Apa yang mereka masak?"
"Sup jamur," jawabku.
"Benarkah?"
Aku menyodorkan makanannya dan mulai menyendok supku sendiri. Asapnya masih mengepul, pasti sangat panas. Apalagi siang ini matahari bersinar dengan sangat terik. Aku akan banyak berkeringat karena memakan ini.
Aswin mengambil sendoknya juga dan mulai meniup. Setelah beberapa saat, ia memasukkan makanan itu dalam mulutnya.
"Kau tahu aku sangat menyukai jamur. Tapi kali ini aku tidak bisa merasakannya dengan lidahku," keluhnya. "Mereka membuat menu yang enak disaat yang tidak tepat."
"Aku akan membawakan beberapa jamur saat kau sehat, sobat."
"Kau benar, temanku ini anak dari keluarga petani jamur. Aku tidak perlu kesulitan untuk mendapatkan jamur."
"Benar," sahutku sembari mengaduk-aduk supku, siapa tahu hal itu bisa membuat supnya jadi lebih cepat dingin.
"Kau pasti bertanya-tanya mengapa aku begini."
Aku menoleh ke arahnya. "Kau kena alergi karena masuk hutan."
"Itu benar. Tapi sebenarnya aku berdebat dengan ibuku soal Archilum."
Aku nyaris tersedak mendengar pengakuannya.
"Kau sudah memberitahu ibumu?"
Dia mengangguk. "Jangan berkata kalau kau belum memberitahunya."
Itu menjelaskan segalanya, aku yakin ibunya tidak setuju dan memohonnya untuk mengurungkan niat buat pergi. Tidak hanya ibunya. Ayah dan kakak, bahkan adik dari Aswin kemungkinan besar telah menentang kepergiannya.
Sekarang Aswin dimusuhi seisi rumahnya dan pastinya ia tidak ingin di rumah untuk sementara waktu. Pasti perasaannya sedang campur aduk sekarang.
"Memang belum. Aku belum memberitahu ibu, juga Chatura."
"Kau harus segera melakukannya," ujar Aswin, pelan. "Memang itu akan membawamu dalam posisi yang sulit. Tapi lebih baik untuk tidak memendamnya terlalu lama. Keluargamu berhak tahu. Waktunya makin dekat dari hari ke hari"
"Iya," desahku. Aku tidak tahu apa yang harus kukatakan lagi. “Jadi apa yang membuatmu sakit?”
"Aku memikirkannya selama beberapa hari ke belakang. Aku memikirkannya setiap saat bahkan ketika akan tidur. Usulan untuk bersama-sama ke Bumi atas seolah bercokol di kepalaku dan tidak mau pergi. Aku terus memikirkannya hingga tidak terasa aku masih terjaga hingga pagi."
"Kau kurang tidur?" responku cepat.
Ia memegang kepalanya, seolah merasakan apa yang sedang terjadi dalam tubuhnya. "Sedikit."
Aku mengerutkan kening. "Kau bisa sakit berat karena istirahatmu tidak tenang."
"Kuharap tidak. Aku kadang suka mencuri tidur saat jam kerja. Sebentar saja dan tubuhku akan terasa lebih segar."
Sepertinya tidur memang jalan keluar yang baik. Ketika tidur kau tidak berpikir. Mungkin kau akan bermimpi. Kadang yang kau dapat adalah mimpi buruk, tapi setelah kau bangun kau akan menyadari bahwa kenyataan yang tengah kau hadapi sebenarnya tidak seburuk mimpimu.
Lebih baik bermimpi buruk dari pada terperangkap dalam ketakutanmu yang nyata. Seperti posisiku sekarang. Aku merasa lebih nyaman dengan ketidaktahuan keluargaku soal rencanaku untuk mengikuti Archilum.
Aku takut mereka akan menolak mentah-mentah keinginanku dan berusaha untuk menghalang-halangiku pergi.
Perseteruan dan kekecewaan, aku tidak yakin akan bisa menghadapi hal itu dari keluargaku, terutama dari ibu
Tapi aku tahu benar bahwa menutup-nutupi hanyalah mengulur waktu. Aku sedang membohongi diriku sendiri, membisikkan suara-suara pada diriku bahwa segalanya akan lebih baik jika aku merahasiakannya hingga detik-detik terakhir.
Aku hanya bersembunyi tapi tidak menyelesaikan masalah yang ada. Terlalu pengecut untuk mengakui apa yang kuinginkan. Ketakutan untuk memberitahu orang-orang soal apa yang ingin kucapai.
"Jika kau memiliki suatu cita-cita dan orang-orang tidak mendukungmu, apakah kau akan tetap berusaha mencapainya?"
Aku terbangun dan merasakan seluruh syarafku tegang. Itu suara ayah. Aku sudah lama tidak memimpikannya, aku bahkan nyaris melupakan bagaimana ia memiliki suara.
Seolah mimpi barusan tidak nyata, aku tidak tahu apakah artinya itu. Aku juga tidak percaya juru mimpi jadi aku tidak akan bertanya pada siapa pun mengenai artinya.
Aku memutar kata-katanya sekali lagi dalam kepalaku.
"Jika kau memiliki suatu cita-cita dan orang-orang tidak mendukungmu, apakah kau akan tetap berusaha mencapainya?"
Suara ayah begitu nyata hingga aku nyaris tidak bisa membedakan mana yang nyata, mana yang mimpi. Mungkinkah suara itu muncul dari alam bawah sadarku?
Bersambung....
Cerbung ini ada di majalah AN1MAGINE Volume 3 Nomor 5 Mei 2018 eMagazine Art and Science yang dapat di-download gratis di Play Store, share yaa
“Menerbitkan buku, komik, novel, buku teks atau
buku ajar, riset atau penelitian di jurnal? An1mage jawabnya”
AN1MAGINE BY AN1MAGE: Enlightening Open Mind Generations
AN1MAGE: Inspiring Creation Mind Enlightening
website an1mage.net www.an1mage.org
Archilum
M.S. Gumelar
Kurasa selama ini Aswin hanya terbuai oleh ketakutannya. Menurutku Vedika bukanlah gadis yang sulit untuk diajak berteman. Mestinya Aswin lebih percaya diri dalam memulai suatu hubungan.
Tapi mengingat bagaimana sikapnya kemarin, aku tahu kalau bersikap seperti biasa di hadapan pujaan hatinya bukanlah suatu perkara yang mudah. Kuharap ke depannya mereka bisa lebih nyaman ketika bertemu.
Chapter 11
"Wahai gadis yang mekar di antara embun surgawi. Rona wajahmu pagi itu bagaikan semburat senja di pagi hari. Merah merekah bagaikan kelopak mawar yang ranum."
"Aswin...."
"Ya?"
“Jadi kurasa kau sudah mengalami kemajuan soal hubunganmu dengan Vedika. Kupikir selama ini kau ada usaha untuk mendekatinya. Tapi kau hanya memandangi gadis itu dari jauh meski sering berpapasan di perpustakaan.”
Aswin memikirkan kata-kataku dengan dahi berkerut.
“Kau tahu, aku selalu kehilangan kata-kata ketika hendak mengajaknya bicara. Seolah jalan pikiranku buntu, kreativitasku hilang.”
“Lucu rasanya melihat Aswin yang cerewet mendadak mati kutu di hadapan gadis pujaannya.”
“Kuharap kau terhibur,” cibir Aswin, tidak senang.
“Kuharap kau bisa lebih dekat dengan Vedika hingga puisi cintamu tidak mengharap melulu, tapi lebih berdinamika.”
“Wah, aku tidak sanggup membayangkannya,” kekeh Aswin. “Tapi sebenarnya aku sedang banyak pikiran.”
“Apa contohnya?” tuntutku.
"Dari mana Rawi bisa tahu duluan kalau Archilum akan dilaksanakan? Padahal juru kuil saja belum mengumumkan apa pun saat itu?"
“Ya benar, kita sudah pernah membicarakannya, untuk sementara kita simpan dulu” saranku.
“Apa yang sedang kalian bicarakan?”
Aku dan Aswin sama-sama menoleh dan mendapati Nebula muncul dari balik rak di samping tempat kami duduk.
“Candhra sedang bertanya-tanya kapan kau akan datang,” goda Aswin sembari melirik ke arahku.
Enak saja menjadikanku sebagai alasan. Bukannya dia sendiri yang tadi mencari-cari Vedika. Gadis itu tidak kelihatam tadi. Begitu pula juga dengan Nebula.
“Kau sendirian saja?” Aku yakin pertanyaan itu sangat ingin dilontarkan Aswin hanya saja cowok itu terlalu gengsi untuk menyatakannya.
Nebula mengangguk.
“Vedika bilang sedang ada urusan jadi hari ini tidak akan kemari.”
“Kelihatannya ada yang kecewa karenanya,” kataku sembari nyengir ke arah Aswin.
Aswin menata ekspresinya supaya tidak kelihatan kecewa. Tapi aku tahu perasaannya pasti sedang galau sekarang. Kami kemari memang untuk Archilum dan bertemu Vedika adalah bonus.
Tidak setiap hari orang bisa mendapatkan bonus yang diinginkannya. Namun ketika keinginan itu tidak terpenuhi maka ada perasaan kecewa yang menguar ke udara.
“Kalian mencari tahu soal Archilum lagi?” terka Nebula.
“Tebakan yang jitu,” ujar Aswin.
“Bagaimana denganmu? Apa kita ada dalam perahu yang sama, nona?”
Nebula mengangguk. Ia kemudian memperlihatkan buku yang dibawanya.
Sebenarnya tidak tepat menyebutnya buku. Hanya gulungan perkamen.
Perbedaan buku dengan perkamen adalah jika buku bisa di bolak-balik halamannya, maka perkamen itu digulung. Agak merepotkan untuk membaca perkamen jika gulungannya cukup besar.
Aswin pernah mencoba membaca perkamen tertebal di perpustakaan ini dan tidak lama gulungan itu jatuh dari meja kemudian menggelinding di atas lantai tanah. Beruntung saat itu ia sudah cukup dekat dengan si kembar jadi ia tidak kena omel terlalu panjang.
“Apa itu?” tanyaku, tertarik.
“Sepertinya lanjutan dari buku kemarin. Perkamen tambahan kurasa karena penulisnya sama,” kata Nebula lambat-lambat.
“Benarkah?” sahut Aswin sembari menerima perkamen yang dimaksud. “Apa isinya?”
“Tidak banyak. Hanya suatu upacara di dalam Archilum itu sendiri. Namanya Sesi Arc. Itu adalah saat di mana para peserta mencoba melompat dari tempat yang paling tinggi tepat pada saat semburan air besar datang.”
“Memangnya apa bagusnya?” tanyaku meremehkan.
“Sebagai suatu kehormatan, sesuatu yang dibanggakan karena bisa mengikuti Archilum dari tempat yang paling tinggi dibanding peserta lain,” jelas Nebula sembari mengangkat bahu.
“Apakah semakin tinggi akan semakin besar kemungkinannya untuk di terima dunia atas?” desakku.
“Penjelasannya tidak mendetail, tidak ada bagian yang membahas pertanyaanmu jadi aku tidak bisa menjawabnya,” sahut Nebula jujur. “Tapi mungkin kalian bisa langsung menanyakannya pada pamanku. Waktunya sudah ditentukan. Minggu depan hari ke dua datanglah ke tempatku.”
“Di mana itu?” sahut Aswin tanpa mendongakkan kepalanya dari perkamen.
“Desa Kereta, dekat tempat pemanenan jamur.”
“Bukankah itu desamu, Candhra? Jadi kalian selama ini sudah saling mengenal?” tuntut Aswin setelah mendengar pernyataan Nebula.
“Iya itu desaku, tapi kurasa aku tidak tahu kau tinggal di situ,” ujarku sembari mengernyitkan dahi. Mungkinkah itu alasan mengapa aku merasa pernah melihat gadis ini sebelumnya? Karena kami tinggal di desa yang sama? Tapi aku benar-benar tidak ingat kalau dia tinggal di Kereta.
Masyarakat di tempatku tidaklah banyak, kami cenderung mengenal satu sama lain hingga tiga desa jauhnya. Jika Nebula sama-sama tinggal di Kereta, mestinya aku sudah mengenalnya.
“Keluargaku baru saja pindah beberapa waktu yang lalu. Sebelumnya kami tinggal jauh di sebelah selatan,” tuturnya menceritakan latar belakang.
“Kau pasti datang ke Kereta setelah Candhra bekerja di desa perairan, Lamboru,” sahut Aswin menyimpulkan.
“Pantas, aku merasa tidak mengenalmu sebelumnya,” timpalku.
Apakah ada kemungkinan ia mengenal keluargaku? Mungkin saja kan? Meski nampaknya Nebula tidak bekerja sebagai petani jamur tapi mereka tinggal dalam satu area yang sama.
Nebula mengangguk. Ia seperti hendak mengatakan sesuatu, tapi sepertinya tidak jadi ia utarakan.
Sebaiknya aku tidak bertanya macam-macam. Kami baru mengenal dan aku tidak ingin dinilai terlalu ingin ikut campur. Walau sebenarnya aku sangat ingin bertanya apakah ia merasa pernah melihatku sebelumnya seperti aku merasakan hal itu.
“Kurasa buku ini cukup menarik. Arc memang bukan keharusan namun nampaknya banyak orang yang memang ingin untuk mencapai dunia atas dari tempat yang paling tinggi,” gumam Aswin menyadarkanku ke dunia nyata.
Benar, kami di sini karena ingin menggali Archilum lebih dalam, bukannya membahas masalah pribadi. Bukan mengenal atau tidak mengenal sebelumnya. Itu tidak penting karena yang terpenting sekarang kami sudah saling mengenal.
“Benarkah banyak yang ingin mengikuti sesi Arc?” tanyaku mencoba menyusun konsentrasi kembali.
“Setidaknya itu yang diungkapkan oleh buku ini. Orang-orang tidak hanya ingin mengikuti Archilum dan terlempar begitu saja. Mereka ingin menambahkan unsur kompetisi di sana. Sehingga orang-orang tidak hanya memusatkan pikiran apakah dewa akan menerima atau menolak mereka.”
“Pasti berdebar-debar rasanya untuk menunggu saat itu. Diterima atau ditolak tentunya baru akan ketahuan hasilnya di akhir. Sebelum Archilum terjadi, semuanya hanyalah misteri,” tambahku.
“Para peserta Archilum pastinya akan merasa sangat tertekan. Ini bukan hanya terpilih atau tidak dipilih dewa. Tapi juga berkenaan dengan masalah hidup dengan mati. Pilihannya hanya berhasil atau mati.”
“Kematian,” bisikku pelan.
“Bulu kudukku sampai meremang membayangkannya,” sahut Aswin sembari menunjuk bulu-bulu tangannya yang mendadak jadi berdiri karena ngeri.
“Setidaknya dengan mencari tahu hal-hal seperti ini para peserta akan dapat mempersiapkan diri dengan lebih baik. Lebih banyak yang diketahui, lebih besar kemungkinan untuk lolos dan berhasil ke dunia atas,” angguk Nebula.
“Jadi kalian, maksudku kau dan Vedika mencari tahu semua ini agar bisa menghindari kematian yang mungkin disebabkan oleh Archilum?” tanya Aswin.
“Tidak. Aku hanya penasaran dan mencari tahu. Aku tidak pernah berpikir untuk mengikuti Archilum. Keluargaku tidak akan setuju dan aku tidak mau berseteru,” ungkap Nebula, cepat. “Aku tidak tahu apakah Vedika akan mengikuti Archilum, kurasa dia belum memutuskannya.”
“Pilihan pergi atau tidak pergi memang bukan sesuatu yang main-main,” kataku, pelan.
“Aku juga belum memutuskannya,” aku Aswin, santai. “Tapi orang di sebelahku ini sangat bersemangat.”
“Jadi kau sudah memutuskan untuk ikut,” ucap Nebula sembari memandangiku lekat-lekat.
“Aku akan mempertaruhkan keberuntunganku untuk itu,” cengirku.
“Kalau begitu kau sudah melakukan hal yang tepat dengan mengumpulkan sebanyak mungkin informasi yang mungkin kau butuhkan untuk melewati Archilum dengan selamat,” ucap Nebula.
“Kurasa keberuntunganmu cukup bagus, Candhra. Setidaknya kita sudah menemukan buku yang bisa membawamu lebih dekat dengan keberhasilan,” ujar Aswin sembari menunjuk-nunjuk perkamen yang dibawakan Nebula.
"Ngomong-ngomong siapa penulis dari buku ini? Siapa tahu kita bisa menemukan satu petunjuk," kataku memberikan usulan.
"Kau mungkin akan terkejut tapi penulisnya adalah Rawi," jawab Aswin sembari membolak-balik perkamen yang ada di tangannya.
Detik berikutnya kami saling berpandangan. Berbagai kemungkinan berkelebat di kepala kami.
Chapter 12
Semenanjung itu menjulang di atas kami. Seolah dia tengah mengawasi seluruh manusia di bawahnya. Mengamati apakah manusia berbuat baik atau jahat selama hidupnya.
"Apakah ada orang yang pernah mencoba ke atas sana?" tanyaku sembari mendongak ke atas.
"Tentu saja ada, tapi mereka gagal, banyak juga yang mati."
"Mati?" tanyaku ngeri.
"Mati," ulang Jagaddhatri sembari mengangguk.
"Kebanyakan mereka jatuh karena saat hendak mencapai atas, gravitasi bumi tidak kuat menahan mereka untuk tetap di tanah.”
*
Sesuai janji pada Nebula, kami ke desa Kereta untuk bertemu dengan pamannya yang tengah berkunjung.
Rumah Nebula ada di pinggiran desa cukup mudah di temukan. Dari banyaknya orang-orang yang berprofesi sebagai petani jamur, keluarganya adalah satu-satunya penjual ayam di Kereta.
Kesan pertama saat mencapai rumahnya adalah bau kotoran ayam yang menyengat. Kemudian suara-suara ayam yang tidak pernah putus. Satu ayam dilanjutkan oleh ayam yang lain. Sahut-menyahut seolah sedang bernyanyi.
Kami bertiga duduk dipelataran rumah Vedika yang udaranya sedikit lebih bersih. Kandang-kandang ayam ada di samping rumah, tidak menempel dengan bangunan tempat tinggal.
Anggota keluarga Nebula tidak nampak di rumah, mereka semua kelihatannya sedang mengurus ayam-ayam mereka.
Telur dan daging ayam merupakan dua barang dagangan utama dari keluarga Nebula. Meski begitu, mereka juga menyediakan pakan ayam meski bukan mata pencaharian utama.
Menurut Nebula, salah satu alasan kepindahan keluarga mereka adalah sudah banyaknya penduduk desa asalnya yang beternak ayam. Keluarganya memutuskan untuk pindah ke daerah yang jarang ada peternakan ayamnya.
Pilihan jatuh ke desa Kereta yang dikenal sebagai desa penghasil jamur. Warga di sini banyak yang menukarkan jamur untuk mendapatkan ayam.
Kebanyakan untuk disantap, sebagian kecil untuk dipelihara dan di kembangbiakkan.
Ketika tiba, Jagaddhatri sudah menunggu di depan rumah dengan secangkir kopi hitam pekat dengan asap mengepul di tangannya.
Giginya sudah tidak lengkap, rambutnya juga sudah banyak beruban, namun sorot mata orang itu masih tajam. Ia terlihat antusias ketika melihat aku dan Aswin datang sesuai janji kami.
"Apakah jika mengikuti Archilum pasti akan diterima para dewa?" tanya Aswin penasaran.
"Tentu saja tidak. Banyak juga yang mati karena Archilum."
"Jadi keberanian saja tidak cukup?" gumamku lebih pada diri sendiri.
"Tidak. Banyak keberanian yang sia-sia seperti ketika orang-orang berusaha mencapai nirwana tanpa melalui Archilum. Mati tanpa mendapat pujian, mati dicela dan dianggap bodoh."
"Apakah ini berkaitan dengan dipilih dewa dan tidak dipilih dewa?" tanya Aswin lagi.
Jagaddhatri tersenyum sinis. "Memangnya ada yang bisa memastikan terpilih dan tidak dipilih? Atau sebenarnya keberhasilan didapat karena keberanian dan keberuntungan?"
"Paling tidak keberanian akan membuat seseorang maju dan berusaha."
"Memang tapi seseorang juga harus memiliki ketakutan bukan? Ketakutan bukanlah sesuatu yang harus dihindari dan dianggap remeh. Kadang ketakutan membuatmu selamat," kata Jagaddhatri sembari memicingkan mata.
Aku dan Aswin berpandangan. Orang ini bilang kami membutuhkan ketakutan dan keberanian, keduanya, bukan hanya salah satu.
"Karena ketakutan, kalian akan mencari tahu lebih banyak dan mempersiapkan diri."
Aswin mengangguk. "Kau benar, maka dari itu kami sampai datang padamu karena kau adalah salah satu orang yang pernah melihat fenomena ini."
"Kebanyakan melihat dari jauh, aku berani dari dekat. Kebanyakan menilai harus pergi ke atas, tapi kurasa tugasku bukan itu. Aku merasa terpanggil untuk tidak pergi namun selalu memiliki keinginan untuk membagikan pengetahuanku."
"Apakah kau tahu akan melihat dua Archilum selama hidupmu?" ujarku sembari mengernyitkan dahi. Orang ini pasti memiliki kehebatan khusus. Ia mungkin telah dipilih dewa atau semacam itu.
"Jangan berpikiran yang terlalu hebat. Aku hanya manusia biasa-biasa saja yang memilih buat mengikuti apa yang kuinginkan. Mengenai apakah aku tahu diberi kesempatan untuk melihat dua kali Archilum selama hidupku, maka jawabannya adalah tidak."
"Tidak ada petunjuk dari dewa?" desak Aswin.
"Memangnya kenapa dewa harus memberi petunjuk padaku? Aku bahkan tidak memiliki tanda-tanda yang biasa dikoar-koarkan orang-orang. Kalian boleh menganggapku berbohong, tapi aku tahu beberapa orang mengikuti Archilum dengan mengucapkan tanda-tanda palsu."
"Mereka mengarang tanda-tanda itu?" ucap Aswin kaget.
Jagaddhatri menyeringai, seringaian itu milik seekor serigala.
"Memangnya kenapa kalau mereka mengarang? Mereka ingin pergi dan orang-orang terus menanyakan apa tanda yang mereka dapatkan? Bukankah dengan sekali bohong mereka tidak akan diganggu dengan pertanyaan-pertanyaan bodoh lagi?
“Jadi apa kuncinya supaya bisa mencapai dunia atas?” desakku.
“Memangnya ada yang pasti di dunia ini?” ejek Jagaddhatri.
“Memang cenderung tidak pasti, tapi aku sangat ingin memperbesar peluang untuk berhasil.”
“Lihat dirimu, sangat bersemangat. Aku berharap aku bisa memiliki semangat Archilum seperti itu,” ujar Jagaddhatri, tertawa. “Aku setuju kau harus memperbesar peluang untuk berhasil, maka dari itu kalian bertemu denganku bukan?”
“Umm... sebenarnya hanya dia yang pergi, aku sepertinya tidak ikut,” sela Aswin lambat-lambat.
“Begitukah?” sahut Jagaddhatri sembari menoleh ke arah Aswin. “Kurasa kau akan mengikuti temanmu pergi. Mungkin sekarang kau merasa hanya penasaran. Tapi bukankah penasaran adalah permulaan yang bagus?”
Aswin menggigit-gigit bibirnya dengan gusar.
“Kalian sangat beruntung bisa bertemu dengan orang sepertiku yang dengan sukarela dan terbuka bersedia untuk menceritakan segala yang kuketahui tentang Archilum tanpa meminta pamrih, tanpa menyisipkan kebohongan,” kata Jagaddhatri, tajam.
“Tolong bantu kami,” ujarku.
“Kau bertanya bagaimana memperbesar kemungkinan berhasil. Sebenarnya dari pihak kuil sendiri juga akan membantu kalian untuk mengobarkan api dari dalam jiwa.”
“Tapi secara teknis Arc juga akan membantu kalian untuk berhasil. Kalian sudah mendengar tentang Arc kurasa.”
Aswin mengangguk. “Itu adalah sesi sebelum puncak Archilum terjadi. Suatu kompetisi di mana para peserta mencoba mengalahkan peserta lainnya untuk mencapai tempat tertinggi sebelum terbawa oleh semburan.”
“Sebenarnya Arc penting meski tidak wajib. Sebenarnya wajib bagi orang-orang yang memahami maksudnya. Dengan semakin tinggi, penglihatan kalian akan semakin baik, maka dari itu kalian bisa melompat ke tengah-tengah semburan yang artinya dapat mencapai dunia atas dengan selamat.”
Jagaddhatri berhenti sebentar untuk meminum kopinya.
“Menurut kalian apa yang membuat orang-orang yang mengikuti Archilum mati?”
“Karena mereka melompat tidak pas di semburannya,” jawab Aswin.
“Karena mereka terangkat di bagian pinggir semburan kemudian tidak berhasil masuk ke lubang atas kuil. Mereka terantuk langit-langit dan jatuh dari tempat yang sangat tinggi.”
“Singkat kata, mati. Lebih sial lagi, mereka hidup dengan cacat permanen karena kebanyakan tulang belakangnya remuk.”
Aku dan Aswin berpandangan dengan ngeri. Dia bilang banyak peserta yang tulang belakangnya hancur karena terjatuh dari atas. Mungkin bukan hanya tulang belakang, tapi kepala mereka juga pecah ketika menghempas ke tanah.
“Dengan berada di tempat tinggi, peserta bisa melompat ke tengah dan selamat. Tapi bisa juga sudah berada di ketinggian dan tetap gagal. Tebak alasannya!”
Kali ini giliranku yang menjawab. “Karena semburannya sudah terlanjur habis karena mereka terlalu banyak menggunakan waktu untuk memanjat.”
“Benar. Mereka terlalu ingin mencapai tempat yang paling tinggi hingga lupa semburan tidak akan berlangsung selamanya. Ada juga yang terlalu ragu-ragu. Melompat sekarang atau menunggu dulu hingga kekuatan semburan melemah dan tidak mampu membawa orang-orang ke atas.”
“Jadi jangan terlalu cepat atau terlalu lama melompat,” simpulku.
“Benar. Saat aku melihat di kuil, mula-mula semburannya kecil. Jangan langsung melompat. Saat kau mendengar gemuruh dan tanah di bawahmu bergetar cukup keras, itulah saat yang tepat untuk melompat. Jika kalian melakukannya dengan benar, tanpa bantuan dewa sekalipun kalian akan berhasil.”
“Intinya menunggu semburan yang kuat,” ulang Aswin sembari menganggu-angguk. Mencoba mencerna seluruh informasi yang didapatkannya.
“Kuharap kalian bisa melaluinya dengan sukses,” sahut Jagaddhatri seraya meraih tanganku juga tangan Aswin.
“Terima kasih atas bantuan Anda, paman,” sahut Aswin.
“Apakah ada orang yang berhasil ke atas dan kembali ke bawah?” tanyaku tiba-tiba. Aku teringat pada buku di perpustakaan.
“Setahuku tidak ada. Maksudku orang-orang di sini hanya mengetahui cara ke atas dan tidak pernah ada bahasan soal mereka yang kembali dari dunia atas.”
“Begitu rupanya....” ujarku pelan. Lalu siapakah Rawi yang ada dibuku tersebut? Apakah ada hubungannya dengan Rawi yang kukenal atau kemiripan tersebut hanyalah kebetulan belaka?
Jika itu bukan di tulis oleh orang yang kembali dari dunia atas, lantas bagaimana buku itu bisa ditulis secara mendetail. Terlebih menceritakan berbagai hal yang lebih mirip imajinasi dari pada kenyataan.
Komputer dan internet, apakah sebenarnya itu?
Aku meninggalkan Jagaddhatri hanya untuk mendapatkan lubang menganga yang baru. Orang itu mengatakan tidak mengetahui jika ada orang yang kembali ke dunia bawah setelah berhasil ke dunia atas.
Seandainya ada yang kembali, pastinya ia sudah membagikan caranya. Mendobrak kepercayaan bahwa pergi untuk Archilum sama seperti pergi untuk selamanya. Tiket satu perjalanan tanpa dapat kembali pulang.
Namun jika tidak ada yang pernah berhasil ke dunia bawah, lantas bagaimana buku tersebut di tuliskan? Dari mana pengetahuan tersebut berasal?
Sensingku menyatakan buku tersebut bukanlah hasil karangan imajinatif, tapi berdasarkan pengetahuan, berdasarkan pengalaman. Lalu bagaimana membuktikan bahwa isinya benar? Siapakah Rawi penulis buku itu? Apakah aku bisa menguak misteri ini?
“Hei Candhra kau melamun ya? Kenapa tidak menjawab pertanyaanku?”
Aku menoleh ke arah Aswin. Astaga ini benar-benar berbahaya. Ternyata aku sedari tadi berjalan tanpa benar-benar memandangi sekitar. Berjalan sembari melamun. Untung aku tidak tersandung.
Kami sudah kembali ke daerah pesisir dan aku sedang beristirahat dengan duduk di bawah sebatang Jara.
“Maaf Aswin. Tolong ulangi pertanyaanmu.”
"Menurutmu apakah sudah terlambat untuk berubah pikiran?"
Aku mendongak dan memandangi siluet Aswin. Bagaimana mungkin dengan santainya ia berdiri searah sinar matahari hingga aku tidak bisa mengamati mimik wajahnya.
"Kurasa tidak pernah ada kata terlambat. Sejauh mana pun kita melangkah, kita selalu bisa kembali dan mengambil jalan lain. Ngomong-ngomong apa yang sedang kau bicarakan denganku?"
"Jadi kau menilai tidak masalah untuk mengubah pikiran dan tindakan?"
Anak ini.... Bukannya menjawabku ia malah memberiku pertanyaan lain.
"Benar. Jalani apa yang menurutmu baik," kataku, ringan.
Dia mengangguk dan aku menyadari tangannya terkepal.
"Aswin, soal apakah itu?"
Aswin memandangi langit sebentar sebelum memandangku.
"Candhra, aku memikirkan kemungkinan untuk ikut ke langit bersamamu."
Ia berhenti sebentar kemudian melanjutkan. "Menurutmu Vedika juga akan mengikuti Archilum?"
"Aku tidak tahu. Lagi pula kenapa kau tidak menanyakan hal itu langsung padanya?" Aku memberikan Brachuura yang telah matang pada Aswin. Selama melamun tadi Aswin sudah membakar Brachuura untuk kami berdua,“Makanlah."
"Karena aku terlalu gugup!" seru Aswin cepat.
"Kupikir Vedika adalah gadis yang baik. Dia terlihat ramah dan mudah berteman."
"Jangan pikir kau bisa merebutnya, Candhra!"
Aku mencibir. "Coba lihat kelakuanmu itu."
Kepala Aswin tertunduk, kemudian ia mulai memakan Brachuuranya.
"Hei ini enak, dagingnya benar-benar gurih!"
Ia menyodorkan Brachuura itu supaya aku juga bisa mencicipi bagaimana rasanya. Kuraih hewan yang sudah matang itu dan memakannya.
"Kau benar sobat. Nampaknya kita benar-benar memilih Brachuura yang terbaik."
"Pengalaman membuat kita nampak seperti ahli," ujarnya sembari memberi cengiran.
“Apakah kau ingin ke dunia atas karena ada kemungkinan Vedika juga akan pergi?” tanyaku, hati-hati.
Aswin menggeleng. “Tidak. Kurasa Jagaddhatri benar. Rasa penasaran itu menjadi modal awal yang kuat untuk mengikuti Archilum. Atau kemungkinan kedua....”
“Apa itu?”
“Mungkin kau ini menular Candhra! Aku tertular rasa ingin berpetualangmu. Lagi pula kita pergi bersama, jadi apa yang perlu kutakutkan?”
Aku tersenyum lebar, tidak mampu menyembunyikan rasa senangku. Aswin akan pergi bersamaku? Rasanya seperti mimpi. Tapi ini jauh lebih baik dari mimpi karena ini kenyataan.
"Mari bersama-sama mencapai dunia atas sobat. Berjanjilah padaku, biar dunia kita berubah, tidak lagi sama, tapi pertemanan kita akan tetap," sahut Aswin riang.
"Tentu saja teman. Di atas sana kita akan tetap memancing dan membakar ikan bersama."
"Kita akan berlomba untuk mendapatkan ikan terbesar dan tertawa," lanjut Aswin.
"Kau benar."
"Dan karena kita meninggalkan keluarga di sini, kita akan menjadi keluarga di atas sana karena berasal dari tempat yang sama," tambah Aswin dengan mata menerawang.
"Aku bertanya-tanya apakah kita dapat menyentuh awan-awan dengan tangan ketika sudah berada di atas. Apakah awan akan terasa lembut di tangan kita?"
Aku tersenyum.
"Pasti banyak hal baru yang akan kita lakukan di sana."
"Akan banyak misteri yang terkuak. Akan banyak kerinduan yang muncul. Mungkin selama beberapa saat aku akan menangis setiap malam karena memikirkan keluarga yang jauh. Kami sama-sama hidup tapi di tempat yang terpisah dan sangat jauh."
Ya. Kami pasti akan merindukan orang-orang yang ditinggalkan. Siang hari menjelajahi hal-hal baru seperti ayam lepas, sementara malamnya kami akan berpura-pura tidur dan menangis dalam diam.
Chapter 13
"Aku merasa tidak enak badan," keluh Aswin.
"Kau sakit sementara tidak lama lagi Archilum akan berlangsung?" tanyaku tidak percaya.
"Aku agak ceroboh kemarin melintasi hutan dan terkena banyak spora di sana. Seluruh badan-badanku gatal dan semalam aku demam."
"Lalu mengapa hari ini kau pergi bekerja? Apa kau ingin sakit untuk waktu yang lama?" ujarku marah.
"Kau harusnya istirahat di rumah.”
"Dan aku pasti akan menjadi sinting karena hanya berbaring sepanjang hari di kamar."
"Siapa tahu kau akan pingsan di sini," tukasku cepat.
"Ayo kuantar kau pulang."
Aswin menjauhkan tanganku dan menggeleng.
"Aku tidak ingin pulang, jangan paksa aku pulang," pintanya.
"Ada apa?" tanyaku khawatir.
"Perlakukan aku seperti orang sehat saja," katanya.
"Tapi kau tidak sehat!" seruku, hilang kesabaran.
"Intinya kau jangan menyuruhku pulang karena aku tidak mau."
Aku menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri. "Kalau kau memang tidak mau pulang, kau jangan bekerja juga. Duduklah di bawah pohon dan aku akan mengambilkan air. Wajahmu sangat pucat," ujarku sembari menggeleng-gelengkan kepala.
Aswin duduk di bawah bayang-bayang pohon Ebura yang sejuk. Ia menempelkan kepalanya ke batang pohon, terlihat sangat lemah.
Aku mengambilkan air hangat untuknya dari dapur karyawan, membawanya menggunakan tempurung kelapa dan menyodorkan air itu pada Aswin.
"Kau benar-benar tidak ingin pulang? tanyaku cemas.
"Biarkan aku di sini," ujar Aswin lirih.
Sebenarnya aku ingin menanyakan banyak hal padanya, tapi melihat kondisi Aswin, aku jadi tidak tega. Sebaiknya aku tidak bertanya apa pun lagi sekarang.
Jika ia memang tidak ingin pulang maka aku akan menjaganya di sini. Aswin pasti memiliki alasan untuk itu.
Ia sudah berada dalam situasi yang sulit karena rasa sakit yang dideritanya dan aku tidak ingin menambah bebannya.
"Aku baik-baik saja." Ia berkata-kata lagi.
Aku mendengus, tapi tidak berkomentar.
"Kembalilah bekerja. Kurasa aku akan tidur di sini."
Aku mengangguk.
"Baiklah aku akan membangunkanmu saat jam makan siang dan membawakan makanan dari dapur."
Maka aku kembali memilah-milah Brachuura, mana yang baru saja berganti kulit dan mana yang belum. Rasanya aneh jika menyadari aku tidak akan lama lagi melakukan pekerjaan ini.
Archilum akan segera datang dan aku tidak akan menjadi pekerja tambak lagi. Hidupku akan berubah, masalahnya aku tidak tahu seberapa besar perubahan itu akan terjadi. Hal itu agak membuatku tidak tenang beberapa malam belakangan ini.
Jika biasanya aku akan segera tidur sesaat setelah mencapai rumah, sekarang aku akan berbaring untuk beberapa lama sembari memandangi langit-langit kamar.
Mungkin aku sedang khawatir, maka dari itu sulit rasanya untuk tenang. Mungkin Aswin juga merasakan hal yang sama. Ia merasa tertekan karena tidak lama lagi akan pergi. Kemungkinan besar kami akan pergi selamanya. Seperti orang mati yang tidak akan dapat hidup kembali.
Masalahnya untuk saat-saat seperti ini aku juga tidak dapat banyak menolongnya mengingat aku juga berada dalam posisi yang kurang lebih sama dengannya.
Kadang aku ingin Aswin mundur saja. Mungkin itu akan lebih mudah buatnya. Ia akan melanjutkan hidupnya di sini sama seperti hari-hari sebelumnya.
Tapi bukan aku yang akan menentukan hidupnya. Sama seperti ia akan memutuskan untuk ikut Archilum, maka dia sendirilah yang harus mengundurkan diri. Ia akan berhenti dan tidak jadi melangkah maju jika dia memang tidak menginginkannya. Aku tidak akan memaksanya, juga tidak akan berkomentar soal itu.
Aswin berhak mendapatkan apa yang dinilainya sebagai yang terbaik. Aku yakin ia mampu memilih keputusan yang tepat buat hidupnya.
Pekerjaan ini mendadak terasa sangat membosankan dan waktu berjalan dengan lambat. Aku berkali-kali melemparkan pandangan ke bawah pohon tempat Aswin terpengkur. Dia benar-benar tidur.
Kuharap dengan beristirahat, ia bisa lebih cepat pulih. Jam makan siang tiba. Aku segera membereskan peralatanku dan menuju dapur untuk meminta jatah makan siangku dan Aswin.
Dapur memang akan terasa penuh dan sesak pada saat-saat seperti ini, sementara pada jam kerja, hanya pekerja dapur saja yang berada di dalam. Mereka akan mencuci sayuran juga memasak.
Kebanyakan menu yang disajikan bukanlah hasil laut. Sayuran jadi menu utama. Hasil laut biasanya jadi lauk jika kami sedang panen besar. Brachuura, juga ikan akan mengisi wadah-wadah makanan.
Hari ini mereka membuat sup jamur dengan singkong rebus. Melihat jamur-jamur itu aku jadi teringat pada ibuku. Hingga kini aku belum menceritakan soal keinginanku mengikuti Archilum. Apakah itu keterlaluan?
Yang jelas aku belum siap. Aku tidak akan tega jika ia menangis ketika mendengarku hendak pergi. Aku menyayangi ibu dan ingin dia bahagia, tapi aku juga ingin meraih keinginanku.
Dalam pikiranku, aku yakin ibu akan bisa memahami keputusanku ini. Masalahnya mungkin bukan pada ibu, tapi ada pada diriku sendiri yang ketakukan. Aku takut untuk memberitahunya dan melukai perasaan orang yang paling kusayangi.
Aswin membuat gerakan kecil sembari tidur. Seolah ia mengingatkanku supaya membangunkannya. Ya dia tidak boleh terlambat makan. Sup jamur ini juga tidak akan terlalu lezat jika disantap dalam kondisi dingin.
"Aswin?" Aku memanggilnya. "Sudah saatnya makan siang, bangunlah."
Aswin membuka matanya, tapi tidak terlalu lebar. Nampaknya ia masih mengantuk dan ingin tidur lebih lama.
"Makan dulu setelah itu kau bisa tidur lagi," kataku menambahkan.
"Wanginya harum. Apa yang mereka masak?"
"Sup jamur," jawabku.
"Benarkah?"
Aku menyodorkan makanannya dan mulai menyendok supku sendiri. Asapnya masih mengepul, pasti sangat panas. Apalagi siang ini matahari bersinar dengan sangat terik. Aku akan banyak berkeringat karena memakan ini.
Aswin mengambil sendoknya juga dan mulai meniup. Setelah beberapa saat, ia memasukkan makanan itu dalam mulutnya.
"Kau tahu aku sangat menyukai jamur. Tapi kali ini aku tidak bisa merasakannya dengan lidahku," keluhnya. "Mereka membuat menu yang enak disaat yang tidak tepat."
"Aku akan membawakan beberapa jamur saat kau sehat, sobat."
"Kau benar, temanku ini anak dari keluarga petani jamur. Aku tidak perlu kesulitan untuk mendapatkan jamur."
"Benar," sahutku sembari mengaduk-aduk supku, siapa tahu hal itu bisa membuat supnya jadi lebih cepat dingin.
"Kau pasti bertanya-tanya mengapa aku begini."
Aku menoleh ke arahnya. "Kau kena alergi karena masuk hutan."
"Itu benar. Tapi sebenarnya aku berdebat dengan ibuku soal Archilum."
Aku nyaris tersedak mendengar pengakuannya.
"Kau sudah memberitahu ibumu?"
Dia mengangguk. "Jangan berkata kalau kau belum memberitahunya."
Itu menjelaskan segalanya, aku yakin ibunya tidak setuju dan memohonnya untuk mengurungkan niat buat pergi. Tidak hanya ibunya. Ayah dan kakak, bahkan adik dari Aswin kemungkinan besar telah menentang kepergiannya.
Sekarang Aswin dimusuhi seisi rumahnya dan pastinya ia tidak ingin di rumah untuk sementara waktu. Pasti perasaannya sedang campur aduk sekarang.
"Memang belum. Aku belum memberitahu ibu, juga Chatura."
"Kau harus segera melakukannya," ujar Aswin, pelan. "Memang itu akan membawamu dalam posisi yang sulit. Tapi lebih baik untuk tidak memendamnya terlalu lama. Keluargamu berhak tahu. Waktunya makin dekat dari hari ke hari"
"Iya," desahku. Aku tidak tahu apa yang harus kukatakan lagi. “Jadi apa yang membuatmu sakit?”
"Aku memikirkannya selama beberapa hari ke belakang. Aku memikirkannya setiap saat bahkan ketika akan tidur. Usulan untuk bersama-sama ke Bumi atas seolah bercokol di kepalaku dan tidak mau pergi. Aku terus memikirkannya hingga tidak terasa aku masih terjaga hingga pagi."
"Kau kurang tidur?" responku cepat.
Ia memegang kepalanya, seolah merasakan apa yang sedang terjadi dalam tubuhnya. "Sedikit."
Aku mengerutkan kening. "Kau bisa sakit berat karena istirahatmu tidak tenang."
"Kuharap tidak. Aku kadang suka mencuri tidur saat jam kerja. Sebentar saja dan tubuhku akan terasa lebih segar."
Sepertinya tidur memang jalan keluar yang baik. Ketika tidur kau tidak berpikir. Mungkin kau akan bermimpi. Kadang yang kau dapat adalah mimpi buruk, tapi setelah kau bangun kau akan menyadari bahwa kenyataan yang tengah kau hadapi sebenarnya tidak seburuk mimpimu.
Lebih baik bermimpi buruk dari pada terperangkap dalam ketakutanmu yang nyata. Seperti posisiku sekarang. Aku merasa lebih nyaman dengan ketidaktahuan keluargaku soal rencanaku untuk mengikuti Archilum.
Aku takut mereka akan menolak mentah-mentah keinginanku dan berusaha untuk menghalang-halangiku pergi.
Perseteruan dan kekecewaan, aku tidak yakin akan bisa menghadapi hal itu dari keluargaku, terutama dari ibu
Tapi aku tahu benar bahwa menutup-nutupi hanyalah mengulur waktu. Aku sedang membohongi diriku sendiri, membisikkan suara-suara pada diriku bahwa segalanya akan lebih baik jika aku merahasiakannya hingga detik-detik terakhir.
Aku hanya bersembunyi tapi tidak menyelesaikan masalah yang ada. Terlalu pengecut untuk mengakui apa yang kuinginkan. Ketakutan untuk memberitahu orang-orang soal apa yang ingin kucapai.
"Jika kau memiliki suatu cita-cita dan orang-orang tidak mendukungmu, apakah kau akan tetap berusaha mencapainya?"
Aku terbangun dan merasakan seluruh syarafku tegang. Itu suara ayah. Aku sudah lama tidak memimpikannya, aku bahkan nyaris melupakan bagaimana ia memiliki suara.
Seolah mimpi barusan tidak nyata, aku tidak tahu apakah artinya itu. Aku juga tidak percaya juru mimpi jadi aku tidak akan bertanya pada siapa pun mengenai artinya.
Aku memutar kata-katanya sekali lagi dalam kepalaku.
"Jika kau memiliki suatu cita-cita dan orang-orang tidak mendukungmu, apakah kau akan tetap berusaha mencapainya?"
Suara ayah begitu nyata hingga aku nyaris tidak bisa membedakan mana yang nyata, mana yang mimpi. Mungkinkah suara itu muncul dari alam bawah sadarku?
Bersambung....
Cerbung ini ada di majalah AN1MAGINE Volume 3 Nomor 5 Mei 2018 eMagazine Art and Science yang dapat di-download gratis di Play Store, share yaa
Comments
Post a Comment