CERPEN: CATATAN DARI ZIRKO & MAGNES - Permulaan


CATATAN DARI ZIRKO & MAGNES:
Permulaan
Archana Universa


Surat itu datang sebulan yang lalu. Tepat saat aku berulang tahun. Meski begitu kurasa tidak ada kaitannya dengan hari kelahiran yang sudah tidak kurayakan selama beberapa tahun belakang ini.

Namaku tertera dengan jelas di amplopnya. Alamatnya juga alamatku. Hanya saja pengirimnya aku belum pernah dengar.

Sempat mengira isi sebagai hoax, aku mengunjungi website yang ada di kop suratnya. Menggali segala macam informasi dari sana. Juga mengecek tiket yang ternyata seluruhnya valid.

http://www.expressnews.uk.com/imagenes/w640/p4documento1.jpg

"Kurasa kita beruntung, Magnes tidak semua orang bisa menikmati liburan gratis." Zirko nyengir ketika aku memelototinya. "Kuralat, maksudku tidak semua orang diundang ke acara keren seperti itu. Apalagi seluruh transportasi dan akomodasinya di tanggung. Kita bahkan bukan pembicara."

"Karena kita bukan pembicara dan kita tidak pernah mendaftar, maka dari itu aku menganggap undangan ini aneh!" seruku sembari mengibaskan surat undangan dari organisasi bernama Arcresearch. "Aku bahkan baru tahu ada organisasi bernama Arcresearch!"

Zirko mengangkat bahunya. "Aku juga baru tahu. Tapi itu tidak penting. Mau aneh atau tidak, yang penting tiketnya sungguhan. Hotelnya juga sungguhan. Sepuluh ribu persen aku bakal berangkat!" tandasnya.

"Tentu, aku juga berangkat," dengusku.

"Pilihan bijak. Bodoh menyia-nyiakan jackpot semacam ini!" sorak Zirko sembari bertepuk tangan.
"Duet Zirkonium dan Magnesium siap berangkat ke Konferensi Arcresearch! Wuuush!"

"Hentikan, Zirko. Kau membuat orang-orang menoleh ke arah kita. Lagipula sudah lama sekali kita tidak menggunakan nama-nama itu," keluhku.

Kami sedang menunggu di lounge. Jika pesawatnya tidak delay, kami akan berangkat dalam sejam.
"Zirkonium dan Magnesium? Tapi itu kereeen!" tolak Zirko sembari mencomot kue kering dengan potongan buah di atasnya kemudian memasukannya ke mulut.

Aku menghela napas, tapi tidak melanjutkan debat dengan Zirko.

"Mestinya kita kemari lebih awal. Aku baru tahu di lounge prioritas banyak makanan gratisnya. Ini enak lho, Magnes!" Zirko menyodorkan piringnya yang penuh makanan ke dekatku.

Aku juga tidak tahu. Seumur-umur aku baru naik pesawat dua kali. Bolak-balik Jakarta-Bali. Paspor saja baru jadi dua hari yang lalu.

Dari tadi aku hanya mengekori Zirko. Soal check-in, urusan bagasi, hingga imigrasi. Soal pergi ke luar negeri, Zirko lebih banyak pengalaman. Enak juga punya partner yang bisa diandalkan.

Aku mengambil sekeping kue dengan taburan choco chips. Kuakui makanan di lounge ini memang enak-enak. Berhubung gratis, nikmatnya jadi double.

"Kuharap mereka juga menyediakan  banyak makanan di perjalanan nanti," kekeh Zirko sembari mengambil potongan buah segar dengan piring yang lain.

Perjalanannya lebih dari enam belas jam!

Aku sudah tidak ingat berapa kali Zirko meminta makanan pada pramugari. Entah karena cemilannya enak, atau karena pramugarinya cakep. Bisa juga karena keduanya. Atau alasan lain: lambung Zirko sebenarnya bocor, tidak ada dasarnya.

Aku sendiri hanya memasukkan mushroom soup, prawn salad, dan apple juice ke dalam perut yang sudah terisi banyak sebelum terbang. Kemudian bergelung menggunakan selimut bersih dan wangi. Mencoba tidur, meski tidak benar-benar pulas.

Aku terbangun saat pramugari berlalu lalang membagikan handuk untuk membasuh wajah. Kurasa kami akan tiba ditujuan tidak lama lagi.

Ketika aku menoleh, Zirko ternyata sedang tidur pulas di kursi yang sudah direbahkan nyaris horizontal, di sampingku.

Makanan kembali datang setelah aku kembali dari toilet. Ada potongan buah segar, keju iris, dan croissant.

Zirko sudah bangun dan mengunyah buahnya meski masih terlihat mengantuk. Tapi aku tahu semangatnya masih menyala-nyala.

Kami tiba di negara yang kami tuju pada pagi hari waktu setempat. Kabut tipis. Dingin. Aku merapatkan jaket sembari menyeret kopor.

"Kuharap kita sering-sering bisa menikmati business class tanpa bayar, aku suka yang gratis-gratis!" tawanya. Seratus persen semangatnya telah terkumpul kembali.

Menggunakan taxi, kami memberitahu alamat hotel tempat konferensi digelar.

Letaknya di desa, bukan pusat kota. Namun dari gambar-gambar dan info di internet, kelasnya bintang lima. Singkatnya: hotel bagus.

Check-in berlangsung cepat. Kamarku dan Zirko ada di lantai lima. Biasanya mereka memisah tamu pria dan wanita, tapi kami sudah bilang akan sekamar.

"Aku sedang memikirkan. Seberapa kaya orang-orang di balik Arcresearch ini," gumam Zirko sembari merebahkan tubuhnya di kasur.

"Sangat kaya, pastinya juga sangat misterius. Banyak orang kaya yang menolak terkenal dan enggan diekspose. Berpenampilan biasa-biasa saja, berbaur dengan masyarakat, sehingga kau bisa tidak menyadari sesungguhnya mereka punya pengaruh," timpalku sok tahu.

Aku membidikkan kamera dengan lensa tele ke arah bangunan yang ada di hadapan hotel kami menginap. Jaraknya lumayan jauh tapi lensaku mampu mengatasinya.

Harus diakui pemandangan di sini sungguh spektakuler. Pegunungan dapat ditemukan di sisi utara dan selatan. Sementara di timur adalah laut. Hanya saja karena bukan area tropis, meski summer, suhunya tetap rendah.
 
http://www.welcometoscotland.com/pub/img/accommodation/590/26707__original.1419156436.jpg

"Kedamaian bisa jadi mahal untuk orang-orang tertentu," ujar Zirko. "Jam berapa kita harus turun?"

"Registrasinya mulai pukul tiga sore. Masih banyak waktu sebelum pembukaannya dimulai," jawabku sembari mengecek jadwal di brosur konferensi yang kami dapatkan saat check-in tadi.

"Baguslah. Kurasa aku akan tidur lagi," kuap Zirko.

"Dasar kebo!" ledekku. Padahal aku tahu Zirko sulit tidur di pesawat.

Kupikir aku terlambat menyadarinya. Kesehatan Zirko menurun. Mungkin kelelahan karena jam istirahatnya berantakan.

Saat kami turun sejam sebelum acara pembukaannya dimulai, Zirko terpeleset beberapa anak tangga.
"Kuharap tidak ada yang patah," gumamku seraya membantunya berdiri.

"Tidak. Tidak patah. Tapi kurasa keseleo," ujarnya sembari mengernyit kesakitan.

Kami belum melihat panitia Arcresearch meski acaranya segera dimulai. Mereka mestinya punya panitia yang bertanggung jawab pada kesehatan peserta, bukan? Hanya saja karena aku tidak bisa menemukan seorang pun, aku bertanya ke receptionist.

Dari informasi pihak hotel, klinik dekat sini sudah tutup siang hari. Kebanyakan hanya buka setengah hari. Kalau mau ke rumah sakit, kami harus kembali ke kota.

"Kami punya krim pereda nyeri dan tongkat untuk membantu Anda berjalan," tawar si petugas hotel.
"Brilian! Kurasa itu cukup untuk sekarang," jawab Zirko.

"Kau yakin?" tanyaku, ragu.

Zirko mengangguk mantap. "Sudah tidak terlalu sakit seperti saat awal jatuh."

"Tidak ada yang patah?" desakku.

Zirko mengerucutkan bibir sebelum menjawab. "Aku tidak tahu ya. Memangnya mataku punya kekuatan sinar rontgen? Tapi kurasa kakiku baik-baik saja. Sakit, tapi tidak parah seperti patah."
"Kau ingin beristirahat di kamar saja?" usulku.

"Aku bisa menahan sakitnya. Lagipula aku sangat penasaran dengan konferensinya. Aku jauh-jauh kemari bukan untuk tidur-tiduran di kamar hotel, Magnes."

Zirko kembali membuka mulutnya saat aku hendak ngomong lagi.

"Aku baik-baik saja. Berhentilah bersikap berlebihan, Magnes!"

Berdasarkan ilmu kira-kira yang tidak bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya, aku merasa ada sekitar dua ratus orang di aula besar ini.

Kebanyakan bicara dalam bahasa ibu masing-masing. Aku yang sudah bersama Zirko, memilih tidak terlalu berbaur dengan peserta lain. Kami merapat ke dinding, menghindari kerumunan. Berjaga-jaga agar kaki Zirko tidak terinjak orang yang berlalu lalang.

Zirko memberikan senyuman padaku tiap aku memberikan tatapan khawatir padanya. Aku tidak bermaksud seperti itu, tapi aku terus-menerus melakukannya, mengkhawatirkan partner in crime-ku.

Aneh. Sudah sejak awal aku merasa undangan ini aneh. Acara aneh. Organisasi aneh.

Terlebih lagi ketika aku mendengar seseorang memekik ke arah pintu. Atau lebih tepatnya tempat yang tadinya pintu masuk aula berada. Namun pintu itu sudah hilang, lenyap, tidak berbekas. Seolah-olah ruangan ini tanpa pintu.

"Apa kita sedang dihibur oleh salah seorang tukang sulap?" tanya Zirko sembari mengernyitkan dahi.

"Sayangnya lebih banyak yang ketakutan daripada terhibur," timpalku memandangi wajah-wajah pucat di ruangan.

Pekikan lain terdengar. Orang-orang berkerumun dekat jendela. Kemudian hal aneh lainnya muncul.
Tangga itu muncul begitu saja. Seolah memang sejak tadi sudah ada di sana.

"Naik! Naik!" Orang-orang menyerukan hal serupa.

"Tunggu di sini," kataku pada Zirko. "Aku akan mencaritahu."

Tidak menunggu jawaban, aku segera mendekati jendela sementara orang-orang mulai berebut menaiki tangga.

Aku melihatnya dengan jelas. Air bah. Tsunami atau apalah itu. Gedung di seberang yang tadi sempat kufoto. Mulai ditelan air. Tidak butuh waktu lama supaya bahaya sampai ke gedung ini.

Aku berbalik hendak memberitahu Zirko. Ternyata dia sudah menyusulku dengan kakinya yang cedera.

"Zirko, kurasa mereka memang benar. Kita harus naik. Apa kau bisa?" tanyaku cemas.

"Kucoba," katanya.

"Jangan cemas, aku tidak akan meninggalkanmu," ujarku.

"Yang benar saja Magnes, kau sudah kelihatan cemas, kok!" sahut Zirko santai.

"Kau bisa menggunakan tangga?" Aku berusaha bersikap tenang, sungguh, tapi gagal.

"Kucoba," ulangnya.

"Aku akan tetap bersamamu," janjiku.

Zirko terlihat kepayahan. Padahal kami baru naik dua lantai. Kurasa kami peserta paling akhir. Yang lain sudah berada entah berapa lantai diatas kami.

Saat hendak naik ke lantai tiga, cobaan lain muncul. Anak tangganya tidak lengkap!

"A-apa kau bisa melompat?" tanyaku tergagap.

"Tidak," jawab Zirko, singkat. "Kurasa aku tidak bisa naik lebih jauh lagi, Magnes."

Aku menoleh dan melihat wajah Zirko yang bercucuran keringat.

"Kalau begitu kita di sini saja," putusku. "Semoga airnya tidak terlalu tinggi...."

"Sebenarnya aku memikirkannya. Kemarilah, Magnes," pintanya.

Aku mendekati jendela samping Zirko berdiri.

"Apa?" tanyaku tidak mengerti.

"Sebuah ujian... Atau lelucon," ujarnya menggunakan nada tenang yang sudah kuhafal.

"Ujian, tapi... Apa? Kenapa? Untuk apa?" tanyaku tidak mengerti.

"Tidak ada air bah, Magnes. Itu hanya tampilan. Indera bisa menipu. Apa yang kita lihat belum tentu merupakan kenyataan," jelasnya sembari menunjuk ke luar jendela.

Kemudian aku menangkap maksudnya.

"Tidak ada air bah," bisikku.

"Tidak ada. Menurutmu, apa aku bisa kembali ke aula bawah? Aku ingin beristirahat di salah satu sofa dan minum minuman dingin. Capek sekali."

"Sebaiknya kita beristirahat dulu sebentar di sini sebelum kembali turun," usulku.

"Setuju."

Turun perlahan. Satu demi satu. Aku agak cemas saat membawa Zirko turun. Meski aku yang lebih dulu melangkah ke bawah, tapi jika Zirko jatuh, aku tidak akan mampu menahan beban tubuhnya.

Kami melakukannya dengan lambat. Sesekali berhenti saat Zirko terlihat kesakitan. Meski memakan banyak waktu, kami berhasil melakukannya.

Kupikir kami tidak akan menemukan siapa pun di aula. Tapi ada seorang anak perempuan, sekitar sembilan belas tahun duduk di salah satu sofa.

Dia segera bangkit ketika melihat aku dan Zirko.

"Kalian yang pertama, sekaligus yang kedua," soraknya.

Aku melirik ke arah pintu keluar aula yang sudah kelihatan lagi. Siapa tahu anak ini berbahaya.

"Aku tidak akan menyakiti kalian, kok," yakinnya seolah bisa membaca pikiranku. "Perkenalkan aku Magicka, panitia acara ini."

"Jadi yang tadi itu lelucon selamat datang atau apa?" tanya Zirko yang sudah duduk setengah tiduran di sofa. Kelelahan.

"Ujian, kami sedang mencari guru untuk Arcschool. Tentunya kalian lolos tahap awal," ujarnya seraya bertepuk tangan.

"Kami kemari bukan karena butuh pekerjaan," tolakku. Dalam kepala, aku membayangkan harus mengikuti ujian aneh lainnya.

"Kalian tidak akan menolaknya setelah presiden kami menjelaskannya. Seperti kalian tidak menolak buat datang ke konferensi Arcresearch," sanggah gadis itu.

"Kalau kami lolos tahap selanjutnya," dengusku.

Aku memandangi kaki Zirko yang jadi agak bengkak.

"Apa tidak ada panitia kesehatan di sini? Tenaga medis?" tanyaku, penuh harap.


https://static2.visitestonia.com/images/2986544/13282883_1004607979606204_1950971423_o_.jpg

"Oh ya benar! Ada, aku akan memanggilkannya untuk kalian." Magicka kemudian keluar dari aula.
Tidak hanya Zirko, aku juga diperiksa. Suhu tubuh, tekanan darah, juga memeriksa keadaan tubuh untuk mendeteksi seandainya aku juga punya cedera setelah ujian konyol tadi.

Kondisiku baik. Kaki Zirko juga dipastikan hanya cedera ringan.

Magicka meninggalkan kami di aula. Mengatakan waktu batas akhir ujiannya masih panjang. Jadi kami bisa bersantai dulu sambil menunggu peserta lain yang lolos.

"Sudah kubilang, kakiku tidak patah," katanya yang sudah terlihat lebih baik. Wajahnya tidak lagi pucat. Kakinya sudah dipasang brace untuk membatasi pergerakan.

Zirko menggoyang pelan botol berisi air kelapa di tangannya. Itu adalah botol kedua yang isinya dihabiskannya. Disampingnya sudah ada beberapa macam makanan dalam dua piring besar karena lambungnya sudah kosong kembali, menjerit minta diisi.

"Aku sudah lebih tenang karena kakimu sudah ditangani dengan baik."

Zirko mengangguk. "Kuharap mereka tidak mengadakan ujian yang ada hubungannya dengan fisik lagi."

"Kau tertarik dengan orang-orang aneh ini? Mau menerima pekerjaan yang mungkin aneh juga?" cibirku.

"Mereka bilang mencari guru. Aku tidak berpikir guru adalah pekerjaan yang aneh. Meski kuakui ujiannya tidak biasa. Tapi kita dipilih pasti karena memenuhi kriteria tertentu, bukan? Kita juga sudah lolos tahap awal," gumamnya.

"Entahlah, Zirko, aku belum akan memutuskan apa pun sebelum aku mendengar lebih banyak soal Arcschool dan Arcresearch," kuapku. Aku menaruh kepalaku di sofa tempat Zirko meluruskan kakinya. Aku duduk di atas karpet. "Kurasa aku akan tidur sebentar."

"Tidurlah. Aku akan membangunkanmu kalau acara berikutnya sudah akan dimulai," katanya.

Aku nyaris terjatuh tidur saat Zirko memanggil namaku.

"Magnes?"

"Hmmm?"

"Terima kasih karena tetap bersamaku."


Cerpen ini ada di majalah AN1MAGINE Volume 3 Nomor 4 April 2018 eMagazine Art and Science yang dapat di-download gratis di Play Store, share yaa


“Menerbitkan buku, komik, novel, buku teks atau 
buku ajar, riset atau penelitian di jurnal? An1mage jawabnya”

AN1MAGINE BY AN1MAGE: Enlightening Open Mind Generations
AN1MAGE: Inspiring Creation Mind Enlightening 
website an1mage.net www.an1mage.org

Comments

Popular Posts

PARTNERS

Contact Form

Name

Email *

Message *