KOMODO: External Instant Evolution di An1magine Volume 3 Nomor 5 Mei 2018
EVOLUSI INSTAN MANUSIA SECARA EKSTERNAL
M.S. Gumelar
“Zhadkira,” ternyata wanita, seorang nenek, benar nenek yang mendadak menjadi genius di usia keemasan.
“Hm ayo kita ke sana”. Mega menggerakkan kepalanya ke arah Rangga. Lalu Mega mulai mengambang untuk siap-siap terbang.
“Terbang?” tanya Rangga.
“Iya tidak perlu beli tiket”. Angguk Mega.
“Bisa berapa lama?” tanya Rangga.
“Aku bisa terbang 100 kali kecepatan cahaya,” jawab Mega.
“Whaoow, kecepatan terbang yang luar biasa cepat, aku hanya 5 kali kecepatan cahaya,” keluh Rangga, “tapi bukan itu maksudku, kenapa tidak teleport?”
“Teleport? Aku tidak bisa!”. Mega menggelengkan kepala.
“Aku ajari, kalau tidak bisa, aku pegang kamu, dan kita akan teleport ke Madura, bersama,” Rangga menawarkan solusi.
“Sepertinya yang kedua saja, belajarnya nanti aja ya,” jawab Mega.
SYUUT
Rangga mengambang, lalu memegang tangan Mega.
ZAAAP
Keduanya teleport.
“Makanan sudah siap, yuk kita makan!” Prof. Habibie muncul bersama istrinya.
“Mana mereka?” tanya istrinya.
“Entahlah, tadi sepertinya mereka masih di ruangan ini?” jawab Prof. Habibie.
“Ah udahlah, Mama ditunggu arisan, Papa aja yang ngajak mereka makan kalau mereka uda balik!” gerutu istri Prof. Habibie.
“Arisan lagi?” tanya Prof. Habibie ke istrinya. Mata Prof. Habibie celingukan mencari istrinya yang ternyata sudah pergi ke arisan.
“Hadeuh, ya sudahlah….”. Prof. Habibie mengambil smartphone yang ada disakunya, kemudian mengontak seseorang bernama Anita.
”Ya…Papa jangan calling terus, Anita akan nyampe ke Flores sekitar 5 jam lagi ya, ini masih nunggu di waiting room untuk boarding,” jawab Anita di Bandara Soekarno Hatta, Tangerang.
“Baik sayang, Papa udah kangen nih…, bye love youu, see you sooooon,” jawab Prof. Habibie di ruang di mana Rangga dan Mega teleport ke Madura.
*
PLUNG
“Ah… legaaaa,” kata Maung Geulis. Lalu cebok dan segera menyiram toiletnya.
Maung Geulis bergegas ke ruangan lainnya, di sana dia melihat pertemuan dengan menggunakan hologram lintas galaksi.
“Panglima Burung!” Teriak Panglima Kumbang seketika masuk ke ruangan tersebut.
“Ah sudah lama tidak bertemu kalian lagi, kalau mengumpul begini, sudah dapat ditebak keadaan di Bumi saat ini”. Panglima burung memegang dagunya dengan tangan kiri dan tangan kanannya di area dadanya.
ZZZT
“Wah maaf, koneksi terganggu, badai kosmis sepertinya,” kata Q-del.
“Tidak apa-apa Q-del, masih diterima jelas kok di sini”. Panglima burung mengacungkan jempol.
“Jadi kapan kau bisa ke Bumi, jangan terburu-bu…,” sebelum Panglima Naga menyelesaikan kalimatnya.
“Tidak masalah, aku uda di sini, aku rasa aku terlalu lama di Planet Brugh”. Panglima Burung sudah berada di antara mereka.
“Teknologi teleport yang sudah sangat maju,” puji Keling,”Kami sebenarnya mau mengontakmu saat di Bunian, tetapi teman-teman memutuskan di sini”.
“Tak masalah Keling, lama kita tidak bertemu lagi”. Panglima Burung bergerak ke arah Keling dan menjabat tangannya.
Panglima Naga mendekat ke arah Panglima Burung, dan mengangkat tangan untuk menjabat tangannya Panglima Burung, tetapi jabatan Panglima Burung kepada Keling belum kelar juga, ditariknya lagi tangannya.
“Ya sudah lama kita tidak berjuang bersama lagi, sepertinya kali ini reunian kita akan lebih menantang dari sebelumnya,” jelas Keling.
“Sepertinya begitu,” celetuk Kumang.
“Ah Kumang, kangen dengan kau juga,” kata Panglima burung dan menjabat tangan Kumang.
Panglima Naga mengangkat tangan untuk menjabat tangannya Panglima Burung, tetapi jabatan Panglima Burung kepada Kumang belum kelar juga, ditariknya lagi tangannya.
“Senang bertemu lagi Panglima Burung,” Maung Geulis menyapa.
“Ah Panglima Kumbang, di mana Ayahmu?” Panglima Burung mendekati Maung Geulis dan menjabat erat tangannya.
Panglima Naga mengikuti arah gerak Panglima Burung, dan mengangkat tangan untuk menjabat tangannya Panglima Burung, tetapi jabatan Panglima Burung kepada Maung Geulis belum kelar juga, ditariknya lagi tangannya.
“Dia sekarang berada di istana, bersama Panglima Kilat, dan namaku kini Maung Geulis” jelas Maung Geulis.
“Ah namamu yang lama kau gunakan lagi, tidak masalah, sekarang di kerajaan mana kalian mengabdi?” tanya Panglima Burung.
“Bukan kerajaan, tetapi pemerintahan dalam bentuk republik dan menggunakan sistem demokrasi,” jelas Nwang Vhalon.
“Republik, demokrasi?” ulang Panglima Burung. Kemudian matanya menatap ke arah Nwang Vhalon.
“Sudah berapa lama tepatnya pemerintahan ini berdiri?” tanya Panglima Burung ke Nwang Vhalon. Lalu tangan Panglima burung menjabat tangan Nwang Vhalon.
“Masih muda, kurang dari seratus tahun,” jelas Nwang Vhalon.
Panglima Naga mengangkat tangan untuk menjabat tangannya Panglima Burung, tetapi jabatan Panglima Burung kepada Nwang Vhalon belum kelar juga, ditariknya lagi tangannya.
“Demokrasi, suatu keadaan yang sangat menantang kalau sebagian besar penduduknya bodoh, karena demokrasi pada situasi seperti itu potensi hanya akan menghasilkan pemimpin yang bodoh dan serakah…”
“... matematika gaya demokrasi adalah jika yang bodoh memiliki banyak pengikut, maka akan menguasai suara terbanyak dipastikan orang yang bodoh, dan suara terbanyak dipastikan akan memimpin menjadi rezim baru,” kata Panglima Burung.
“Ya kau pernah berkata tentang hal itu di masa lalu, saat itu kau dikenal dengan nama Socrates, kau membenci demokrasi, tetapi uniknya beberapa sejarah ada yang bilang kau pencetusnya, padahal kau yang tidak suka dengan konsep itu,” jelas Nwang Vhalon..
“Benar, ah itu mitos…sampai kini aku tidak suka,” jelas Panglima Burung.
“Tetapi kini, kita berada di area pemerintahan yang menggunakan sistem demokrasi itu, namanya Republik Indonesia,” jelas Panglima Naga.
“Ah Panglima Naga, kau benar,” tangan Panglima Burung terangkat, tetapi tidak menjabat tangan Panglima Naga yang siap menjabatnya. Tangan Panglima Burung menyentuh pundak kiri Panglima Naga.
“Sudah lama kita tidak bertemu Panglima Naga, bagaimana kabar Go Ku?” Tanya Panglima Burung.
“Namanya kini Mr. G, setelah pertempuran terakhir kita dengannya ratusan tahun yang lalu, kini dia belum bikin ulah, tapi…,” tangan Panglima Naga yang akan menjabat tangan Panglima Burung diturunkan.
“...ancaman baru muncul, hampir setiap orang mendadak seperti menjadi sakti, di mulai di area pemerintahan ini, dan potensi menyebar ke seluruh Bumi akan menjadi potensi kekacauan besar,” jelas Panglima Naga.
“Bukankah ancaman Go Ku di masa lalu juga mengancam keselamatan Bumi dan semua mahluk di dalamnya?, ini bukan masalah baru”. Mata Panglima Burung mengarah ke semua temannya.
“Ada bedanya, dulu cuma Go Ku yang menjadi ancaman, kini hampir semua penduduk Bumi ada potensi menjadi seperti Go Ku,” kata Keling.
“Ya satu seperti Go Ku di masa lalu sangat merepotkan, apalagi banyak…”. Kedua tangan Kumang bergerak membuka lebar ke arah depan dada, sebagai isyarat kekhawatirannya.
“Saat semua manusia menjadi tuhan, maka tidak ada lagi tuhan,” kata Panglima Burung.
“Ah itu memberiku ide, di masa lalu Bumi, ada suatu era keadaannya, di mana semua manusia sudah menjadi tuhan, di masa itu mereka disebut dewa. Jauh sebelum masa Yunani Kuno…”
“... Orang Yunani Kuno kemudian menyebut mereka para dewa, padahal mereka terevolusi lebih cepat di masa lalu, namun entah apa penyebabnya, masa ribuan tahun sebelum Yunani Kuno” jelas Panglima Burung.
“Bukankah peradaban terkuno adalah Orang Bunian?” tanya Keling.
“Kau benar Keling, tetapi ada masa di mana kalian juga terlibat menghentikan evolusi di Bumi, dengan menempatkan pesawat besar yang dilapisi tanah dan bebatuan…”
“... agar menjadi berat dan kalian menempatkannya di dekat Bumi, kalian menyebutnya Bulan, sebagai pengerem rotasi Bumi, bukankah begitu?” tanya Panglima Burung.
“Entahlah, aku generasi ke 5 penjaga Kota Bunian, dan aku termasuk orang yang malas membaca sejarah, tetapi ada potensi hal tersebut masuk dalam rekaman data komputer di Kota Bunian”. Keling menjelaskan sembari melirik ke arah Kumang.
Kumang mengangguk mengiyakan.
“Baiklah, kini kita tahu tujuan kita selanjutnya,” kata Maung Geulis.
WHOOOP
Mereka ter-teleport ke Kota Bunian.
*
“Anda berkuatan super? Terpanggil untuk bela negara? Segera daftarkan diri Anda ke kantor kepolisian terdekat, negara memerlukan baktimu!” terpampang wajah Selo Adimulyo sebagai presiden di salah satu jeda iklan yang ada di Channel 6.
“Tak kusangka begini keadaannya,” kata Genruo.
“Yang ini sepertinya tidak terjadi di sejarah masa lalu yang kita baca di masa kita”. Genruo menunjuk ke arah TV yang mereka tonton.
“Kau benar, garis waktu, atau timeline di masa ini dan sejarahnya sepertinya berbeda, ada yang tidak beres?” keluh Bintang.
“Karena ulah kita di masa lalu kah?” selidik Genruo.
“Sepertinya tidak, kita tidak mengubah, coba kau lihat tentang Prabu Jayabaya, mari kita lihat ramalannya”. Bintang meminta Genruo mencari informasi via internet.
*
Genruo browsing menggunakan tablet komputer, “Iya kau benar, ramalannya belum berubah, kita berhasil menempatkan sejarah seperti sebelumnya, walaupun kita tahu Prabu Jayabaya yang asli telah dibunuh oleh pemberontak di masa lalu, tidak disangka, memang kau harus menggantikannya…”
“... sebab ternyata kau yang membuat ramalan tentang masa depan itu…”. Genruo mengambil sebotol air yang tinggal setengah yang ada di sampingnya dan meneguknya.
GLUKH
GLUKH
GLUKH
“Terkadang merasa kalau kau yang mengubah sejarah, ternyata hasilnya memang harus begitu kejadiannya,” kata Bintang. Sembari melihat ke arah Genruo yang telah selesai minum.
“Sejarah di masa depan kita, Presiden Republik Indonesia saat ini bukanlah Selo Adimulyo, tapi seorang wanita, aku lupa namanya… eh… eh…,” Bintang mencoba mengingatnya.
“Susi Pudjiastuti,” kata Genruo.
“Iyaaa kau benar, itu dia”. Bintang gembira setelah tahu namanya.
“Kalau begitu, peluang kita untuk mengembalikan ke timeline aslinya akan semakin terbuka lebar…,” ucap Genruo.
“Tunggu, kalau timeline ini dianggap kesalahan, ada potensi Timox akan datang dan memperbaikinya?”. Bintang tampak gembira,”Kau tahu apa artinya Genruo?”
“Apa?” tanya Genruo balik ke Bintang.
“Kita bisa pulaaaaaaang!” teriak bintang.
“Oh iyaaaaa,” Genruo tersenyum.
*
“Selamat sudah menjadi bagian dari kami, kepolisian!” kata seorang pria menjabat seorang pria lainnya.
“Makasih, semoga dengan kekuatan superku, bisa membantu sesama,” kata pria tersebut menjawabnya.
“Kau pasti akan sangat membantu kami, eh apa julukanmu itu? Halilintar?” tanya pria tersebut. Kemudian menarik tangan kirinya yang menjabat pria tersebut.
“Benar sekali Kapten Made,” jawab pria tersebut. Sembari melepaskan jabatan si kapten.
“Bagus!” Puji Kapten Made,”…eh apakah kau dapat berlari sangat cepat?”. Kapten Made tersenyum, sembari mata Kapten melihat ke arah teman-teman lainnya di ruangan tersebut.
“Oh tidak, Kapten, hanya mampu mengeluarkan petir di tangan saja, tanpa bisa berlari super cepat”.
“Baiklah, aku akan memanggil namamu sesuai julukanmu, selamat datang Halilintar!”. Kapten Made menjabat tangan Halilintar lagi.
Semua orang berada di ruangan tersebut bertepuk tangan.
“Silakan nikmati makanan yang ada, mumpung saat istrirahat, dan ingat kejahatan tidak pernah beristirahat, oleh karena itu setelah selesai makan, kita fokus melayani masyarakat lagi,” kata Kapten Made.
“Baik Kapten, siaaap!”. Hampir semua dalam ruangan tersebut menjawab.
*
“Halilintar, aku akan perkenalkan kau dengan partner-mu, kurasa kau dan dia dapat saling membantu…” kata Kapten Made.
“Saling membantu, sepertinya akan mencelakan dirinya Kapten, saya bekerja sendirian, kekuatan listrik ini belum bisa saya kendalikan secara benar…,” jawab Halilintar.
“Ah… untuk itulah dia kuperkenalkan padamu…,” jawab Kapten Made. Kapten Made membuat isyarat kepada seorang wanita yang sedang makan donut. Dalam satu kedipan mata, wanita tersebut sudah berada di depan Kapten Made dan Halilintar.
“Oh… luar biasa, kau bisa berlari cepat?” Halilintar memuji.
“Bukan bergerak cepat,” Kata Kapten Made, “Teleport dalam satu kedipan,” lanjut Kapten Made.
“Kenalkan, nama saya Vina,” kata Vina ke arah Halilintar dan tangannya menjulur ke arah tangan kanan Halilintar.
“Eh… namaku Paku, Paku Bhuwana,” Halilintar menyebut namanya dengan lengkap,”Tapi… panggil saja Halilintar”. Halilintar membalas jabatan Vina dengan tangan kiri.
Vina sadar, ternyata Halilintar seorang yang kidal, ditariknya tangan kanannya, dan diulurkannya tangan kirinya. Sembari tersenyum, “Senang bertemu Anda, Halilintar”.
“Baiklah, karena kurasa kalian sudah saling mengenal, bekerjalah sebagai satu tim tangguh, itu perintah, dan sekaligus aku akan sangat banyak mengandalkan kalian dalam tim kepolisianku di wilayah ini nantinya,” kata Kapten Made.
“Siap Kapten!”. Halilintar dan Vina menjawabnya hampir serentak.
*
“Nenek Zhadikira adakah?” tanya Rangga.
“Ada tapi silakan bergantian, ambil nomor antrean di sana, setelah itu silakan menunggu untuk dipanggil nomor antreannya,” kata seseorang yang sepertinya menjadi salah satu pengelola di sana sembari menunjuk area antrean..
Mata Rangga terbelalak, antrean panjang yang diperkirakan akan selesai berjam-jam kemudian.
“Wuoh tak kukira Nenek Zhadkira menggunakan kecerdasannya sebagai penasehat ragam masalah mental dan sosial…” bisik Mega.
“Ya seperti psikolog yaaa…” balas Rangga.
“Ih kamu bau busuk banget, coba cari toilet umum di sana, beli sabun dan sampo dulu, kalau bisa beli bedak juga untuk anti bau badan,” saran Mega.
“OK,” jawab Rangga lalu bergegas ke area toilet yang ditunjuk Mega.
*
“Selamat datang Timox,” kata Maung Bodas.
“Terima kasih Jenderal Bodas,” kata Timox.
“Aku sudah mendengar semua hal tentangmu dari Karbin”. Maung bodas tersenyum ke arah Timox, dan tangannya mempersilakan Timox untuk duduk.
“Langsung saja ke pokok permasalahan, Timox akan menjadi satu tim dengan Karbin dalam menyelesaikan tugas membantu kami, pemerintahan saat ini di bawah Presiden Selo Adimulyo untuk mengejar dan mencegah kejahatan yang dilakukan oleh manusia super yang berbuat jahat di masa ini,” jelas Maung Bodas.
“Bila tidak memungkinkan menahan dan memenjarakan para penjahat super tersebut, kami berikan lisensi izin agar menghabisi mereka bila diperlukan,” tegas Maung Bodas.
“Perintah yang sangat jelas Jenderal Bodas,” jawab Timox.
“Baiklah, aku harap kau dan Karbin, segera melakukan tugas kalian,” kata Maung Bodas. Mata Maung Bodas melihat ke arah Karbin kemudian ke arah Timox.
“Siap Laksanakan!” teriak keduanya.
*
“Hentikan!” kata seorang polisi wanita yang sedang memegang pistol mengarah ke seorang pria dengan kaos bertuliskan “S” dan dibawahnya ada kata Sudirman.
Tetapi pria dengan kaos merah bertuliskan Sudirman tersebut tetap saja berjalan ke arah gedung pemerintah yang bertuliskan BPRD - Surabaya. Badan Pajak dan Retribusi Daerah Surabaya.
Di belakangnya telah bergelimpangan mobil dan motor yang rusak, bahkan ada mobil dan motor yang terbakar. Tampak orang berlarian menjauh.
Delapan polisi terkapar, masih bernapas, tetapi terlihat hampir semua tangan mereka patah, dan satu kaki mereka masing-masing juga patah.
“Hentikan, kataku!” teriak wanita polisi tersebut.
Orang berkaos tulisan Sudirman tetap berjalan.
DHAR
DHAR
DHAR
Tiga kali peluru ditembakkan ke tubuh orang tersebut, semuanya mental, dua peluru mental ke arah tembak. Satu peluru mental ke arah kaca area tersebut dan mengenai salah satu orang yang di dalamnya.
“Aduuuh!, tanganku-tanganku terkena peluru!” teriak pria yang terkena peluru yang memental tadi.
“Sia!” teriak wanita polisi tersebut dan dengan segera menyarungkan kembali pistolnya.
Lalu dengan berani wanita tersebut berjalan mengikuti orang bertuliskan kaos Sudirman.
“Stop!” wanita polisi berlari dan berhenti tepat di depan orang tersebut.
“Apa yang kau inginkan? Aku melihat kau tidak membunuh para polisi tersebut, walaupun aku tahu kau mencelakai mereka,” wanita tersebut melihat ke arah mata orang tersebut.
“Kau menangis?” ternyata mata pria tersebut menangis.
“Menyingkirlah…” kata pria tersebut lirih.
“Tidak, beritahu padaku apa yang terjadi padamu?” tanya wanita polisi tersebut.
“Bukan aku, tapi anak dan istriku, apa yang telah terjadi pada mereka, ketidakadilan!” kata pria tersebut. Sembari memegang salah satu kursi di sana, lalu dilemparkan ke arah kanan.
Tembok yang tebal tersebut berlubang terkena hantaman kursi tersebut, walaupun bahannya dari kayu, tetapi lemparan tersebut luar biasa kuat dan cepat, terlihat sisa-sisa remukan kayu di lubang bekas membentuk kursi tersebut.
“Istri dan anakmu?” wanita polisi tersebut memahami sesuatu.
“Ini Reza, kirimkan seorang polisi dengan keterampilan psikolog, segera di poin ini, saya share lokasinya!” kata wanita polisi bernama Reza tersebut.
“Serta kirimkan ambulan, rawat segera yang terluka, terutama delapan polisi yang mengalami patah tulang,” lanjut Reza.
“Baik! 86” kata suara polisi yang ada di sisi satunya alat komunikasi.
“Aku perlu manusia super yang bisa terbang, atau teleport, atau berlari cepat, dengan manusia super yang punya kemampuan menyembuhkan, adakah?” tanya polisi tersebut kepada polisi lainnya.
“Ada, saya punya kemampuan healing!” kata seorang pria yang ada di sana, “… tetapi saya bukan polisi, saya ke sini untuk bertemu dengan teman saya”.
“Baik, kami perlu bantuan Bapaaaak…” kata polisi tersebut.
“Adiyus, nama saya Adiyus,” jawab pria tersebut.
“Baik Pak Adiyus, Anda dimohon ke lokasi ini, bersama Pak Sukran menggunakan motor yang di sana!” jawab polisi tersebut sekaligus memerintahkan.
“Eh… apakah ada orang super yang bisa teleport, berlari cepat, dan atau terbang yang bisa mengantarkan Pak Adiyus dengan cepat?” kata polisi tersebut lagi ke arah para orang di kantor polisi tersebut.
“Ada, aku Timox, mari Pak Adiyus bersama saya ke sana,” ajak Timox. Timox memegang tangan Adiyus.
“Tunggu, aku ikut,” Karbin berlari mendekat dan memegang tangan Timox.
ZAAP!
Keduanya ter-teleport ke area yang dimaksud.
ZAAAP!
Keduanya muncul di tempat yang dituju. Dengan segera Adiyus ke arah para polisi yang tangannya pada patah. Satu persatu polisi yang terkapar itu didatanginya.
Di salah satu polisi yang tangannya patah dan polisi tersebut mengerang hebat. Saat tangan Adiyus menyentuhnya, orang tersebut berhenti mengerang seperti baru saja mendapatkan suntikan penghilang rasa sakit.
Kemudian dengan perlahan tapi pasti. Adiyus meluruskan dan mengembalikan tangan yang patah polisi tersebut ke posisi semula, dan dengan ajaibnya, tangan tersebut pulih seketika, kemudian tangannya bergerak ke salah satu kaki yang patah.
Tak berapa lama kaki tersebut kembali utuh dan normal. Dengan tidak percaya polisi tersebut berdiri dan kagum dengan keajaiban yang terjadi.
“Kau punya kemampuan super dalam menyembuhkan, terima kasih…terima kasih,” polisi tersebut bersimpuh dengan tulus.
“Sama-sama, eh maaf, permisi, saya harus menyembuhkan lainnya,” kata Adiyus, dan bergerak segera ke polisi lainnya.
“Ah…kurasa kita sudah menemukan kan satu orang lagi yang tepat untuk tim kita,” kata Karbin saat melihat kekuatan Adiyus, sembari melirik ke arah Timox.
“Pilihan yang tepat!” kata Timox, kemudian melangkah ke dalam ke arah orang berkaos Sudirman berada.
“Apa kau seorang psikolog?” tanya Reza wanita polisi yang telah meminta bantuan sebelumnya.
“Ya!” jawab Timox tegas.
“Baiklah, dia berada di sana!”. Reza menunjuk ke seseorang yang tengah mengangkat seorang petugas pajak.
“Ya saya pimpinan Badan Pajak dan Retribusi Daerah Surabaya ini, tapi saya tidak bisa menuruti kemauan Anda, saya hanya pegawai, menjalankan tugas saja,” kumohon jangan bunuh saya, saya punya anak dan istri”. Pimpinan BPRD tersebut ketakutan.
“Sudirman, turunkan dia, dia tidak bersalah,” kata Timox sesampainya di sana. “Namamu Sudirman bukan? Sama seperti yang tertera di kaosmu tertulis di belakang”. Timox menganalisis.
“Tidak bersalah?” kata Sudirman.
“Kau pikir setelah aku membayar pajak penghasilan, dengan seenaknya mereka memakan pajak yang kuberikan dari kerja kerasku, dan tidak ada yang kembali kepadaku dalam bentuk asuransi, sehingga anak dan istriku meninggal, kau bilang mereka tidak bersalah?”. Gigi Sudirman gemeletuk, kemudian matanya mencari arah sumber suara di belakangnya.
“Dengar, aku tahu perlakuan pemerintah sebelumnya tidak baik, tetapi pemerintahan yang kini telah menjawab apa yang kau maksud…,” jelas Timox.
“Justru anak dan istriku meninggal di masa pemerintahan Selo Adimulyo, keputusan itu terlambat satu tahun baru diterapkan di Surabaya, anak dan istriku telah menjadi korban, dan Selo Adimulyo akan merasakan balasannya, dimulai dari BPRD Surabaya ini!” teriak Sudirman.
“Tunggu, kalau baru sekarang diterapkan, tentu saja itu mungkin, tiap provinsi punya wewenang dan persiapan tersendiri agar dapat menerapkan keputusan presiden tersebut,” jelas Timox.
“Tidak adil!” teriak Sudirman. Tangannya meraih kabinet besi kemudian melemparkannya ke arah Timox.
ZAP
Timox berpindah ke area lainnya tetapi masih dalam ruangan tersebut.
BRAAAKH
Kabinet besi membuat lubang besar di dinding dan kabinet masih melesat, kemudian terhenti saat ada tangan kuat menahan lajunya. Kabinet besi melesak di area yang dipegang oleh Karbin.
Kemudian Karbin masuk melalui dinding yang sudah rusak karena terhantam oleh kabinet besi tersebut.
Kemudian bermunculan ke delapan polisi yang telah pulih, Reza, disusul oleh Adiyus.
“Apa? Bagaimana kalian bisa sembuh dengan cepat?” Sudirman keheranan.
“Kekuatan super untuk menyembuhkan!” jawab Reza.
“Biarkan kami menyembuhkan luka batinmu, kami berjanji akan menghidupkan anak dan istrimu!” bujuk Timox.
“Benarkah kau mampu melakukannya?”. Mata Sudirman berbinar.
“Ya!” jawab Timox mantap.
Adiyus menggeleng-gelengkan kepala tanda tidak mampu.
Timox melihat ke arah Adiyus, dan mengedipkan mata.
*
Sudah pukul 23.49 malam di area Madura.
“Rangga dan Mega silakan masuk, kini giliran kalian,” teriak pengatur urutan.
“Akhirnya…,” kata Rangga. Lalu menepuk punggung Mega yang tertidur pulas di bangku panjang yang ada di dekatnya.
“Eh…masih ngantuuuuk…,” keluh Mega.
“Ayo, biar kita segera pulang dan tidurnya dilanjutkan nanti dengan lebih nyaman!” ajak Rangga.
“Uuuh….dasar Ra Ngganteng!” balas Mega mencibir dan bangun dengan ogah mengikuti Rangga yang berjalan duluan.
“Jadi begitu ya Nek,” jawab Rangga yang telah bertemu dengan Nenek Zhadkira. Mega baru masuk dan hanya mendengar kalimat itu saja, kemudian Mega duduk di samping Rangga.
“Dia namanya Mega, teman sekantor,” jelas Mega.
“Ih… tanya apaan sih?” Mega penasaran.
“Oh ini Mega yaaa…,” Nenek Zhadikira tersenyum.
“Iya Nek, jadi mungkin Nenek bisa memberi kami jawaban pasti dari permasalahan ini?” tanya Rangga lagi.
“Jawaban pasti tidak ada, semua faktor adalah penentu, sedikit atau banyak, akan di luar dugaan dan kendali…” kata Nenek Zhadikira.
“Intinya, kau memerlukan segala bantuan dari orang yang dikenal, tidak dikenal, baik dan buruk itu relatif, belum tentu yang kau anggap baik adalah baik, dan belum tentu yang terlihat buruk adalah buruk, yang terpenting adalah….”
“... bagaimana mengarahkan hal yang terlihat negatif merugikan orang lain… apalagi merugikan banyak orang, ubah menjadi positif…,” kata Nenek Zhadikira melanjutkan.
”Aku pikir, sebelum otakku menjadi genius seperti ini, kata orang lain, menurutku otakku sih biasa saja… tetapi sebelumnya aku berpikir, manusia itu terbagi menjadi hitam dan putih, ternyata manusia itu hanya ada satu warna yaitu abu-abu, tinggal abu-abu gelap ataukah abu-abu terang…,” Nenek Zhadkira menambahkan.
“Terima kasih Nek, apakah kami perlu membuat perkumpulan para manusia super yang baik untuk melawan yang jahat?” tanya Mega.
“Tidak perlu, biarkan itu menjadi tugas pemerintah, kalian hanya cukup bekerja sama dengan mereka, dan galang persatuan tidak hanya di Indonesia, juga dari negara lain…”
“... dan bila perlu semua negara dalam satu Bumi ini, PBB juga dapat kalian minta bantuannya, buatlah koneksi dengan pemerintah saat ini, mereka akan sangat membantu ke depannya dalam mengatasi masalah ini,” jelas Nenek Zhadkira.
“Baiklah Nek, kami akan ke sini lagi bila perlu bantuan Nenek,” Rangga meminta bantuan Nenek Zhadkira ke depannya.
“Tidak perlu repot-repot datang, gunakan saja alat telekomunikasi, smartphone atau sejenisnya, Nenek akan siap memberikan solusi, gratis untuk perdamaian di Bumi ini,” jelas Nenek Zhadkira.
“Terima kasih banyak Nek dengan segala solusi dan bantuannya,” Rangga dan Mega berpamitan.
*
Selo sedang duduk bersama Maung Bodas dan dua orang menterinya. Selo mempersilakan seseorang masuk,“Silakan”.
“Kabar baik Pak Presiden,” kata orang tersebut.
“Katakan!” Selo terlihat gembira.
“Pelaku inisiator penjarahan yang memicu massa di ITC Serpong, Tangerang Selatan, Banten. Seseorang yang mengenakan topi merah dan wajahnya tertutup sapu tangan hitam telah diidentifikasi dengan proyeksi kemungkinan besar sudah dikerucutkan menjadi lima orang!” kata orang tersebut.
“Bagus, Jenderal Maung Bodas yang akan mengambil langkah berikutnya”. Mata Selo dari menatap wajah orang tersebut kemudian kepala dan matanya ke arah Maung Bodas.
“Baik Pak Presiden, siap laksanakan!”. Kemudian Maung Bodas mengikuti orang yang memberi laporan tersebut.
“Baiklah, kini kita lanjutkan, perbincangan kita, bagaimana usul Pak Kapolri Nurzaman? ” tanya Selo Adimulyo.
“Begini Pak Presiden…,” Kapolri Nurzaman mulai berbicara.
“Saya sebagai Kapolri bertugas melayani dan melindungi rakyat”. Mata Kapolri Nurzaman memandang ke Presiden Selo.
“Selama ini, sebelum Pak Selo sebagai presiden, contoh sederhana bila terjadi pencurian sepeda motor, maka tidak ada biaya operasional bagi polisi untuk melakukan tugasnya dalam menangkap dan mendapatkan kembali sepeda motor dari rakyat yang motornya dicuri tersebut…”
“... akhirnya, mau tidak mau kami bertanya kepada rakyat yang terkena musibah, apakah ada dana untuk membiayai pencarian pelaku dan sepeda motornya, kalau tidak ada, maka maaf kami tidak dapat membantu,” jelas Kapolri Nurzaman.
“Itu seperti jatuh tertimpa tangga pula, rakyat selalu menderita, lalu di mana letak melayani dan melindunginya?”. Selo melihat ke wajah Kapolri Nurzaman.
Bersambung....
Cerbung ini ada di majalah AN1MAGINE Volume 3 Nomor 5 Mei 2018 eMagazine Art and Science yang dapat di-download gratis di Play Store, share yaa
“Menerbitkan buku, komik, novel, buku teks atau
buku ajar, riset atau penelitian di jurnal? An1mage jawabnya”
AN1MAGINE BY AN1MAGE: Enlightening Open Mind Generations
AN1MAGE: Inspiring Creation Mind Enlightening
website an1mage.net www.an1mage.org
Comments
Post a Comment