Roro Jonggrang di An1magine Volume 1 Nomor 3 Mei 2016


Prajurit
M.S. Gumelar

“Eh ya, tidak ada larangan menggunakan alat atau tidak, kau cerdas, lolos, silakan masuk ruangan berikutnya!” ujar Prajurit tinggi kurus.


Sementara itu, Pikatan berhasil masuk ke tes ruangan kedua, namun gagal karena tangannya menjadi ngilu memukul batu persegi yang tebal itu. Para penonton berteriak mengejek.

“Wuah payah kau!” teriak seorang penonton.

Pikatan berjalan lunglai dan menunggu di luar, sebab dia melihat Bondowoso berhasil memasuki ruangan kedua.

Prajurit tinggi kurus berkata,”Selamat datang, silakan mematahkan dengan satu pukulan ke batu persegi empat tersebut, bila berhasil, maka Anda akan masuk ke tes berikutnya!”

“Kau adalah calon prajurit terakhir dan wuoooow berapa lama kau tidak mandi, baumu busuk,” lanjut prajurit tinggi kurus sembari menutup hidungnya.

Bondowoso berdiri tegak, lalu diangkatnya tangan kanannya tinggi-tinggi dan langsung memukulkannya ke batu persegi tersebut.

BRAAAAL!

Batu tersebut patah jadi dua dan penonton bersorak-sorak, lalu setelah tercium bau busuk mereka segera pada menutup hidungnya masing-masing.

“Kau berhasil, silakan memasuki ruangan berikutnya!” ujar prajurit tinggi kurus sembari tetap menutup hidungnya.

“Calon prajurit berikutnya!” teriak prajurit tua berkata.

“Hamba Bondowoso siap dengan tes selanjutnya” jawab Bondowoso.

“Hkh,” Prajurit tua menahan napas, lalu segera mengambil dan menaburkan wewangian agar melawan bau yang sangat busuk menyengat yang masuk ke hidungnya.

Lalu dia menggunakan selendangnya untuk menutup hidungnya.

“Tesnya hanya berupa tiga pertanyaan, bila satu pertanyaan saja tidak terjawab, maka pertanyaan berikutnya tidak akan aku tanyakan. Pertanyaan pertama, dengarkan baik-baik. Apa tujuan hidup?” tanya prajurit tua tersebut dengan tetap menutup hidungnya.

“Bertahan untuk hidup selama mungkin untuk tidak merugikan orang lain dan berbuat baik untuk menolong orang yang lain!” jawab Bondowoso mantap.

“Bagus!” ujar Prajurit tua matanya berbinar gembira.

“Pertanyaan kedua, pilih mana, hitam, putih atau abu-abu?” tanya prajurit tua.

“Abu-abu!” jawab Bondowoso mantap.

“Jelaskan!” lanjut prajurit tua.

“Abu-abu adalah kebijaksanaan, semua ini harus dilihat secara bijak, jangan hanya berupa hitam dan putih, tetapi dilihat dari dua sisi, belum tentu yang kelihatan putih adalah putih dan hitam adalah hitam, sebab mungkin saja yang putih adalah hitam dan hitam adalah putih,” Bondowoso mengambil napas lalu melanjutkan.

“Kita harus bijak dan mengenal dua sisi dengan baik untuk mencapai kebijaksanaan tertinggi berdasarkan peduli pada sesama dan melihat semua masalah dengan meminta informasi dari kedua belah pihak agar mengerti benar apa yang sesungguhnya terjadi,” jelas Bondowoso.

“Mantaaap!” itu adalah jawaban dari pertanyaan ketiga, selamat kau adalah prajurit elit berikutnya,” Selamaaaaat!” prajurit tua mengucapkan selamat dengan riang.

“Aku akan antar kau menemui kepala regu malam nanti!” sekarang ikut aku ke ruang berikutnya untuk detil-detil pangkat dan masalah keuangan,” lanjut prajurit tua,”Oh ya, namaku Gondrong,” kata Gondrong.
“Baiklah, terima kasih, tetapi saya bersama teman saya namanya Pikatan, bolehkah dia saya ajak?” tanya Bondowoso.

“Maaf tidak boleh, dia dapat kamu temui setelah proses ini selesai,” lanjut Gondrong.

Pikatan menunggu dari matahari senja sampai orang-orang mulai membubarkan diri dan sampai tenda-tenda prajurit dinyalakan obor-obor sebagai penerangan.

Pikatan masih duduk di batu besar di depan arena luar alun-alun, sampai dia melihat Bondowoso berjalan keluar dari area tersebut.

“Terima kasih sudah menunggu Pikatan,” Bondowoso gembira melihat Pikatan masih setia menunggu.

“Aku gembira pada saat kau gembira, selamaaaat!” teriak Pikatan dengan gembira.

“Ha ha ha kau memang teman yang baik, yuks kita makan di kedai besar, aku dapat uang muka sebagai prajurit, lumayan banyak he he he, aku uda lapaaaaar!” ajak Bondowoso.

Mereka berjalan dengan riang gembira menuju salah satu kedai besar di dekat area alun-alun itu berada.

Setelah masuk ke suatu kedai besar, “Pelayan, carikan kami tempat tersendiri, sehingga kami bisa lesehan dan jauh dari pengunjung lainnya ya!” Pikatan meminta secara khusus untuk mereka.

“Baik den, ada area lesehan di sebelah sana, di pojok utara, dijamin tenang dan tidak terganggu, mari saya antar,” kata pelayan wanita tersebut sembari menutup hidungnya.

Setelah sampai di area yang dimaksud mereka pun segera memesan makanan dan setelah makanan datang, mereka melahapnya dengan semangat.

“Hmmm nasi kuning dan bebek bakar dipenyet dengan sambal mangga ini enak sekali, sudah habis satu bakul, dan kita nambah bakul kedua ha ha ha,” Pikatan bergembira.

“Wuah aku juga kekenyangan nih, sudah satu ekor bebek bakar penyet habis sendiri, minum air dari kelapa utuh ini mantap juga ha ha ha,” timpal Bondowoso.

Esoknya di pagi yang cerah di alun-alun upacara penobatan prajurit elit yang terpilih kemarin dilakukan.

Kata prajurit tua, “Yang sudah lolos tes kemarin silakan menghadap saya segera!”

“Siap, saya Ciung menghadap!” jawab Ciung dengan memegang golok besarnya dan menghujamkan ujung goloknya ke tanah.

“Saya Wanara, siaaap!” jawab Wanara dan segera pula meletakkan ujung gadanya ke tanah.

“Bondowoso siaaaap!” jawab Bondowoso sembari melakukan penghormatan ala militer, dengan tangan telapak tangan kanan melintang sedikit miring ke kanan di dahinya.

Ciung, Wanara, dan prajurit tua merasa heran dengan sikap Bondowoso.

Tahu ada yang salah kemudian Bondowoso segera melakukan gerak Om Swastiastu melekatkan telapak tangan menghadap ke atas di area depan dadanya. Baru setelah itu prajurit tua tadi segera berkata.

“Baiklah, nama saya Rakai Gondrong, Senopati kerajaan kita, Pengging” kata Rakai memperkenalkan diri, lalu menutup hidungnya dengan selempangnya agar bau busuk tertutupi.
Mata ketiga pasang pasukan elit baru tersebut terbelalak dan secara serentak berteriak “Siap Senopati!”.

Ciung dan Wanara menahan napas setelah bau menyengat menerpa hidungnya juga.

“Kalian telah membuktikan layak untuk menjadi pasukan elit khusus bagi Kerajaan Pengging dalam tes kemarin, oleh karena itulah kalian berada di sini!” lanjut Rakai Gondrong.

“Kini berbarislah di tengah alun-alun, nanti petugas senopati lainnya untuk tugas ini akan menemui kalian di sana, siap laksanakan!” perintah Rakai Gondrong, lalu Rakai Gondrong berjalan memasuki tendanya.

“Siaaaap!” ketiganya segera bergerak dan berlari ke tengah alun-alun dan berdiri di sana.

Mereka berjejer dan berdiri di sana menunggu. Ciung dalam satu kesempatan, segera menggunakan selempangnya untuk menutup hidungnya, melihat hal tersebut, maka Wanara pun segera mencontohnya.

Bondowoso nyengir melihat kelakuan mereka karena dia tahu mereka tidak tahan dengan bau tubuhnya.

Satu jam berlalu, Bondowoso dan teman-temannya tetap berdiri tegap tetapi orang yang ditunggu belum hadir juga.

Mata Bondowoso mencari-cari siapakah orang yang akan muncul. Waktu terus bergerak, bahkan tanpa terasa sudah siang. Mereka berkeringat, lapar, haus namun tetap ditahan dan berdirinya mulai loyo.

Mendadak seorang kakek berpakaian rapi mendekati area mereka berdiri. Mereka segera saja berdiri lebih tegap dan bersiap-siap.

Kakek tersebut melihat mereka mengelilingi mereka, lalu di depan mereka dan duduk, lalu mengeluarkan bekalnya, lalu menyantapnya dengan lahap, lalu diakhiri minum dengan nikmatnya.

Bondowoso, Ciung dan Wanara menelan ludah melihat hal tersebut. Kemudian kakek tersebut pergi dari area tersebut.

Ketiga orang tersebut menghela napas. Masih berdiri menunggu dengan pertanyaan sederhana, siapakah orang yang harus mereka temui di sini? Mereka berdiri mulai tidak tegap lagi. Waktu terus berlalu bahkan sampai sore, mereka tetap menunggu.

Menjelang malam, Bondowoso tidak tahan, segera dia keluar dari barisan tersebut dan mulai menuju ke tenda di mana terakhir kali melihat Senopati Rakai Gondrong berada.

Di sana Bondowoso melihat Senopati Rakai Gondrong sedang berbincang-bincang dengan seorang pemuda yang tampak gagah dan penuh percaya diri.

“Maaf Senopati” ujar Bondowoso menyapa Rakai dengan pelan.

“Ada apa Bondowoso? Hei bukankah kau seharusnya baris di sana?” teriak Rakai dengan sengit, lalu segera saja menyerang Bondowoso dengan tangan kanannya.

Bondowoso segera menghindar dan dengan sigap memegang tangan kanan Senopati Rakai dengan tangan kirinya dan mengarahkan menjauh dari dirinya, serta memutar tenaga yang berasal dari Rakai ke arah lain.

Hal ini membuat Rakai akan terpelanting, untuk mengantisipasi aliran energi ini, maka Rakai salto sampai beberapa kali agar tidak terpelanting dan berhasil menjejak bumi dengan selamat.

“Maaf Senopati, saya tidak sengaja, hanya gerak refleks saja, maaf,” ujar Bondowoso merasa bersalah.

“Ha ha ha, kau memang persis seperti yang aku duga Bondowoso, bersifat sabar, tetapi juga bila berlebihan kau akan menanyakannya, sifat itu yang aku tunggu selama ini dari ketiga calon prajurit elit yang terpilih hari ini, kau kunobatkan sebagai Bekel”

Ujar Senopati Rakai Gondrong, sembari menyelempangkan selempangnya agar menutupi hidungnya lagi.

“Inilah Bondowoso, kuperkenalkan pada Gusti Senopati Bandung!” lanjut Senopati Rakai mengenalkan Bondowoso kepada pemuda tegap dan percaya diri.

Bondowoso segera duduk bersimpuh dan sembah sebagai bentuk penghormatan kepada Bandung, “Hormat saya kepada Gusti Senopati Bandung!” ujar Bondowoso dengan hormat.

“Ha ha ha ternyata ini Bondowoso yang kau ceritakan selama ini Senopati Gondrong ha ha ha, baunya seperti belum mandi bertahun-tahun ha ha ha!” ujar Bandung dengan terus terang, dan segera menutup hidungnya dengan selempangnya.

“Iya gusti senopati, semoga sesuai dengan kebutuhan senopati untuk tugas spesial yang senopati maksud,” ucap Senopati Rakai Gondrong.

“Hm sepertinya memang tidak persis seperti yang aku bayangkan, namun baiklah, aku rasa aku sudah tidak punya waktu lagi untuk mengadakan pemilihan lagi,” ujar Bandung.

“Baiklah Bekel Bondowoso, bawa dua pasukanmu yang masih di alun-alun untuk menghadapku segera!” perintah Bandung.

“Baik gusti senopati!” ujar Bondowoso, dan segera pamitan, bersimpuh mundur lalu setelah di luar segera berlari menemui dua orang teman prajurit yang masih berdiri di sana.

Setelah ketiganya berbaris.

“Dengarkan, kita akan mengadakan misi penyelamatan untuk seorang raja dari Kerajaan Baka, oleh karena itu kalian harus siap mengorbankan nyawa dalam tugas ini, bila ada yang keberatan, dipersilakan meninggalkan barisan ini!” ujar Senopati Bandung sembari membelakangi barisan tersebut.

Bandung menunggu beberapa lama, lalu melirik ke belakang ke arah mereka dan tersenyum,”Pilihan yang bagus, kalian benar-benar berjiwa ksatria dan peduli dengan sesama, istirahatlah, besok aku sendiri yang akan memimpin kalian untuk misi ini, barisan dibubarkan!” perintah Senopati Bandung dengan tegas.

“Dawuh  gusti!” ketiganya segera membubarkan diri dari barisan, mereka disambut prajurit lainnya dan diantarkan masuk ke tendanya masing-masing.

“Di sinilah tenda Anda bekel,” ujar prajurit tersebut.

“Terima kasih,” ucap Bondowoso

Bondowoso masuk ke tendanya, sudah terhidang di meja dalam tendanya makanan yang enak-enak.

“Wuah belibis bakar!” ujar Bondowoso

“Ada sambal petainya juga!” ada suara dari balik tenda, dan nongol kepala seseorang dari celah bawah tenda.

“Ha ha ha Pikatan, ayo makan bersama, dapat makanan nih!” undang Bondowoso kepada Pikatan yang masuk tenda melalui celah tadi.

“Wuoooh mantaaap!” ujar Pikatan.
“Ha ha ha Ueeeenak tenaaaaaan!” ujar Bondowoso.

Mereka pun menyantap makanan dengan lahap.

Esok harinya, ketiga prajurit tadi telah berada di tengah alun-alun lagi. Kali ini Senopati Bandung mendekati mereka dengan naik kuda dengan hidung tertutup sejenis masker “Kalian segera naik ke kuda yang telah disiapkan, dan segera ikuti aku!” Perintah Bandung.

Lalu Bandung melemparkan dua masker ke arah Ciung dan Wanara. Dengan sigap Ciung dan Wanara menggunakan masker tersebut untuk menutup hidungnya.

“Baik gusti senopati!” jawab ketiganya, dan mereka segera bergegas ke kuda masing-masing yang telah disiapkan oleh prajurit lainnya.

Setelah mereka di atas pelana kuda masing-masing, mereka bergegas memacu kudanya mengikuti Senopati Bandung yang telah mendahului mereka agak jauh.

Setelah ketiganya berhasil menyusul Bandung.

Ciung mendekati Bandung,”Gusti senopati, saya secara pribadi belum tahu peta kekuatan maupun peta lokasi-lokasi yang ada di Kerajaan Baka, apakah gusti senopati sudah memilikinya?” tanya Ciung.

“Aku juga belum tahu, oleh karena itulah aku merekrut orang-orang yang spesial untuk melakukan tugas ini, yang aku tahu misi ini adalah misi bunuh diri dan  tujuannya yaitu menolong Raja Gupala dan menyelamatkan putrinya dari tangan orang yang menggulingkannya,” jawab Bandung tegas.

“Kalau begitu, izinkan hamba untuk melakukan pengumpulan informasi tentang hal itu sesampainya kita di sana,” Wanara menawarkan diri.

“Bagus Wanara, kau lakukan nanti!” Bandung menyetujuinya.

“Ayo kita percepat laju kuda kita, agar kita tiba di desa terjauh sebelum malam tiba!” perintah Bandung. Segera saja mereka memacu kuda-kuda mereka agar segera tiba di tujuan.

*

Seorang pria paruh baya sedang mendorong dagangannya ke arah alun-alun suatu desa. Alun-alun desa sedang ramai.

Pak pedagang pria paruh baya berkata pada seorang pasangan muda yang lewat di dekatnya “Den berapa lama rencananya acara pesta pernikahan putra pak lurah desa kita ini?”

“Sepertinya tiga hari tiga malam pak, wuah semoga dagangannya laku ya, banyak penduduk desa yang hadir di sana, sebab makanannya juga gratis katanya!” ujar pemuda tersebut sembari menggandeng tangan pemudi pasangannya.

“Wuaaaah gratis?” keluh Pedagang paruh baya tersebut, dorongannya mulai melambat.

Di pelaminan sepasang remaja yang sudah dinikahkan sedang duduk bak raja dan ratu. Mereka tersenyum bahagia kepada tamu-tamu yang datang.

Rakyat sedang makan dan minum gratis sesuai dengan kebutuhan, mereka berbaris antre makan ala prasmanan nasi ambeng  dan juga nasi tumpeng , setelah mereka mengambil makanan lalu duduk lesehan  di tempat yang telah disediakan.

Para penari wanita menari dengan indah dan gemulai diiringi bunyi gamelan  mengalun dengan harmoni antara sinden , gerak penari dan iramanya.

Lalu seseorang berdiri di podium dan melambaikan tangan ke pemain musik, pemain musik segera memelankan irama musiknya lalu berhenti, para penari pun ikut berhenti.

Lalu orang yang di podium tadi berkata, suaranya menggema di keheningan suasana “Silakan dinikmati hiburan dan makanan yang telah kami sediakan”

“saya Lurah Ngenger merasa gembira atas kehadiran para sanak para kadang, para perangkat desa dan para rakyatku Desa Banjar yang kami cintai di acara pernikahan anak kami yang bernama Sumantri,” ujar Lurah Ngenger.

“Monggo  dilanjut!” Lurah Ngenger meminta acara dilanjutkan, suara musik terdengar lagi, pesinden segera melantunkan suaranya dan penari segera bergerak mengikuti irama lagunya.

Lurah Ngenger turun dari podium dan segera bergegas duduk di tempatnya.

Mendadak terjadi keributan, beberapa orang yang sedang duduk terpental ke luar dari suatu area dan kemudian masuk beberapa orang.

Pimpinan orang-orang tersebut berkata dengan lantang “Aku Yandrei, merasa dipermalukan karena kekasihku telah menikah dengan Sumantri, aku tantang Sumantri untuk bertarung! turun kau Sumantri bila kau merasa seorang laki-laki!” tantang Yandrei dengan pongahnya.

“Beraninya kau merusak acara pernikahan anakku Yandrei!” teriak Ngenger merasa dihina di depan umum.

“Diam kau Lurah!, Ini memang acaramu, tetapi aku menantang anakmu, apa dia berani mempertahankan harga dirinya, seberani dia mengambil kekasihku!” teriak Yandrei.

“Baiklah Yandrei, aku di sini! dan aku tidak mengambil kekasihmu, dia sendiri yang tidak mau dengan kau, dan lebih memilih aku!” teriak Sumantri dengan tegas.

“Ah diam kau, kau memelet-nya! ” tuduh Yandrei.

“Aku pantang menggunakan hal mistik seperti yang kamu tuduhkan, dan aku tidak percaya dengan hal-hal seperti itu, itu fitnah keji, dan fitnah merupakan jalan licik bagi orang sepertimu!” jawab Sumantri.

“Ah tutupen cangkemmu!  Bila kau merasa benar, ayo kita tentukan dengan jalan ksatria, siapa yang menang dalam pertarungan ini, dia yang benar dan akan membawa Dumilah!” Yandrei menunjuk wanita yang ada di samping Sumantri yang kini sudah syah menjadi istri Sumantri.

“Ha ha ha cara kuno dan licik bagi orang yang tidak lagi menghormati hukum resmi kerajaan dan hukum adat masyarakat, tetapi baiklah karena itu juga aturan ksatria, mari kita lakukan!” jawab Sumantri, dia pun melangkah, namun tangannya ditarik oleh Dumilah, dan kepala Dumilah menggeleng-geleng.

“Jangan takut Dumilah, dan jangan khawatir, aku pasti bisa melawannya,” ujar Sumantri lirih kepada istrinya tersebut.

Dumilah berlinang airmata dan akhirnya melepaskan tarikan tangannya. Sumantri segera mendekati Yandrei.

Para undangan serentak mundur tanpa dikomando dan melingkari mereka yang akan bertarung secara ksatria.

Hanya tinggal Lurah yang sedang berdiri di antara Yandrei dan Sumantri. Sumantri mendekati bapaknya lalu menarik lengan bapaknya, bapaknya bergeming pada awalnya, tetapi akhirnya menghela napas merelakannya dan mau mundur di belakang Sumantri.

Setelah berhadapan kedua-duanya segera memasang kuda-kuda. Dengan amarah yang menggelegak, Yandrei melakukan tendangan ke arah Sumantri.

Sumantri dengan sigap berkelit, lalu menangkap tendangan tersebut dan melemparkan Yandrei.

BRUUUGH!

Bunyi tubuh Yandrei menghantam pohon besar.

“Yeeeeeeeee!” Orang-orang serentak berteriak girang melihat hal tersebut.

Yandrei segera bangkit dan menahan rasa malu, kali ini dia mengeluarkan goloknya. Lalu mendekat ke arah Sumantri.

Sumantri bergerak agak menjauh berhati-hati sembari matanya mencari-cari sesuatu, lalu segera dia tersenyum setelah mendapatkan apa yang dicarinya.

Sumantri bergerak mendekati benda yang dia maksud dengan pandangannya tetap waspada pada Yandrei. Yandrei dengan cepat menyerang Sumantri dengan sabetan goloknya dari arah atas mengarah ke kepala Sumantri.

CLEKH

Bunyi golok Yandrei mengenai sasaran. Orang-orang terkesiap dan berteriak “HEH!” Mereka menghela napas secara bersamaan.

Yandrei menyeringai kecewa saat goloknya mengenai balok kayu yang diangkat oleh Sumantri sebagai penghalang goloknya.

Dengan cepat Sumantri melakukan tendangan ke arah perut Yandrei, Yandrei terdorong ke belakang dan pegangan goloknya secara otomatis terlepas.

Kini Golok Yandrei tertancap di balok kayu yang ada di tangan Sumantri. Lalu segera saja Sumantri membuang balok yang masih ada goloknya tersebut ke arah lain jauh dari Yandrei.

Yandrei menjadi gugup keringat menetes dari keningnya,”Lakukan segeraaaaa!” teriak Yandrei mengomando sesuatu.

Mendadak dari arah rerimbunan muncul perangkap jaring yang dilemparkan dan mengenai Sumantri sehingga Sumantri terperangkap dan sulit untuk bergerak.

“Sial!” teriak Ngenger dan segera akan membantu Sumantri, tetapi jaring-jaring lainnya mengenai dirinya sehingga dia terjatuh dan tidak dapat banyak bergerak.

Kemudian beberapa orang mendadak muncul dan membekap Dumilah. Lalu membawanya kabur dengan kuda,

“Lepaskan aku, tolong, tolooong!” teriak Dumilah.

“Dumilaaaaah!” teriak Sumantri tanpa daya.

“Ha ha ha ha ha ha!” tawa panjang Yandrei yang segera bergabung dengan orang-orang tersebut dan dengan cepat kuda-kuda mereka pacu meninggalkan area tersebut.

Tawa Yandrei terdengar semakin menjauh berserta teriakan Dumilah minta tolong.

Para pengunjung segera membantu Sumantri dan Lurahnya agar terlepas dari jaring-jaring tersebut. Mereka menjadi terharu dan murung melihat peristiwa tersebut.

“Sumantri bawa teman-temanmu mengejar mereka! Endar, Ascar, Nastar ikut aku mencegat mereka di arah sana. Ayoooooooo!” perintah dan ajakan Lurah Ngenger terdengar parau.

“Ayoooooooo!” jawab orang-orang yang merasa dirinya dipanggil.

“Kau tak apa-apa Ngger?” Tanya Lurah Ngenger kepada Sumantri.

“Baik Romo” jawab Sumantri takzim, matanya berkaca-kaca tanda kekhawatiran yang mendalam terhadap keselamatan Dumilah.

Bersambung…


Cerbung ini ada di An1magine majalah eMagazine Volume 1 Nomor 3 Mei 2016
yang dapat di-download gratis di Play Store, share yaa


Comments

Popular Posts

PARTNERS

Contact Form

Name

Email *

Message *