Roro Jonggrang di An1magine Volume 1 Nomor 2 April 2016

PrajuritM.S. Gumelar 

Di istananya bergaya tahun 800-an masehi di area Jawa Dwipa Tengah yang megah. Duduk di singgasananya dengan tenang Raja Pengging; Prabu Damar Moyo sedang mendengarkan keluhan dari tamu di negeri tetangga.

“Nama saya Roro Anjani, dan ini putri saya yang kedua bernama Roro Jonggrang dari Alam Kerajaan Baka, sembah hormat bagi Prabu Damar Moyo,” ujar Roro Anjani dan Roro Jonggrang pun ikut sembah hormat.

“Ada apakah sampai seorang permaisuri dari Kerajaan Alam Baka datang ke sini dengan minim pengawalan?” Tanya Prabu Damar Moyo.

“Ampun Paduka Prabu! Kami ke sini meminta pertolongan, ada raksasa yang mengancam keselamatan raja kami, Raja Baka yaitu Prabu Gupala dan putri saya yang pertama ditawan oleh raksasa tersebut,” kata Anjani.

“Sehingga kami meloloskan diri dengan cara agar tidak menarik perhatian, kami ditemani oleh para punggawa yang berani mengorbankan nyawa mereka, banyak yang telah berguguran dalam proses pelarian ini, sehingga hanya beberapa saja yang tersisa,” lanjut permaisuri raja Baka tersebut.

“Hm baiklah, sembari saya mempersiapkan rencana untuk membebaskan Prabu Gupala. Silakan beristirahat dalam beberapa hari, dalam waktu dekat saya akan memberitahukan dalam pertemuan kita berikutnya,” Prabu Damar Moyo menutup pembicaraan.

Di luar istana, suasana senja yang indah di kejauhan burung-burung terbang berarak menuju ke sarangnya.

Istana yang indah di Area Gunung Merapi yang tinggi, sehingga memudahkan bagi kalangan istana untuk melihat pemandangan yang ada di area bawahnya.

Secara perlahan senja berubah menjadi gelap dan matahari yang telah tenggelam digantikan oleh sinar bulan purnama yang tampak indah dengan kelap-kelip gemerlap bintang di malam hari yang cerah.

Seorang ksatria berjalan tegap bergegas memasuki area pertemuan dengan raja.

Kemudian bebeberapa puluh depa sebelum sampai di singgasana raja, ksatria tersebut bergerak secara bersimpuh mendekati raja,

sesampainya di depan raja segera ksatria tesebut menghaturkan sembah sebagai tanda hormat yang mendalam.

“Hamba Bandung siap mendengarkan sabda paduka prabu!” dengan tegas dan bernada hormat Bandung bersiap mendengarkan Sabda Prabu Damar Moyo.

“Bandung, seperti yang telah dijelaskan oleh petugas kerajaan kepadamu, kita akan menolong Prabu Gupala untuk mendapatkan kerajaannya kembali, agar dapat memimpin Kerajaan Baka yang kini tengah dilanda kesulitan karena adanya raksasa yang menculiknya,” ujar Prabu Damar Moyo.

“Apa saranmu agar kita dapat membantu Prabu Baka tersebut?” tambah Damar Moyo.

“Ampun paduka prabu, ada baiknya kita mengirimkan tim kecil agar tidak begitu mencurigakan, tetapi tim kecil ini merupakan kumpulan orang yang mempunyai kecerdasan, ketrampilan dan kekuatan yang melebihi prajurit-prajurit pada umumnya,” jawab Bandung.

“Namun saat ini dikarenakan banyak dari pasukan-pasukan elit kerajaan kita yang tersebar menjalankan tugas dalam pengembangan kerajaan kita, maka yang tersisa hanya saya saja,” Bandung  melanjutkan usulnya sembari tetap menunduk tanpa berani menatap wajah rajanya karena penghormatan.

“Ha ha ha kau benar Bandung, kau memang satu-satunya senopati yang ada sebab lainnya sedang bertugas ke tempat lain, namun permintaan tolong dari kerajaan Baka tidak boleh disepelekan,” kata Damar Moyo.

“Kau buatlah sayembara untuk mencari orang di kerajaan kita yang mempunyai kualitas seperti yang kau perlukan untuk dijadikan prajurit yang siap membantu dalam tugasmu,” sabda Damar Moyo.

“Baik Paduka Prabu, hamba pamit mundur untuk melaksanakan tugas,” jawab Bandung dengan sepenuh niat.

Di Suatu Kedai Pinggiran Kota Kerajaan Pengging, beberapa orang dari suatu kedai berlarian keluar dan ada yang menabrak Pikatan yang baru tiba dan sedang mencoba masuk kedai tersebut akhirnya urung.

Bondowoso yang ada di belakang Pikatan juga urung untuk masuk ke kedai.

Pikatan dan Bondowoso mengikuti orang-orang tersebut melihat poster daun lontar yang dipasang oleh petugas kerajaan.

“Dibuka lowongan sebagai prajurit elit, bisa beladiri pencak silat, belum berkeluarga, hanya untuk usia tujuh belas tahun ke atas, bagi yang berminat, berkumpul di alun-alun kota tiga hari lagi untuk mengikuti tes,” kata seseorang yang membaca poster lontar tersebut.

“Wuah aku masih lima belas tahun, aku sudah sembilan belas tapi tidak bisa beladiri, payah, aku harus segera belajar silat nih!” ujar seorang lainnya lagi.

“Iya aku juga tidak bisa, uda berkeluarga ni, eh bau busuk apa nih,” salah seorang berkata sembari menutup hidungnya.

“Eh iya, bau busuk, kayaknya ada yang kentut?” orang tersebut menyingkir dari area tersebut, diikuti oleh orang-orang lainnya, yang tersisa cuma Pikatan dan Bondowoso yang akhirnya tepat berdiri di depan Poster lontar tersebut.

“Kesempatan terbuka…” kata Pikatan yang sembari melihat Bondowoso. Bondowoso tersenyum gembira.

“Kita cari penginapan dan pekerjaan, minimum sampai hari tes, semoga dapat,” ujar Pikatan.

“Kita balik saja ke kedai, aku masih punya duit, aku sudah lapar,” kata Bondowoso.

“Ha ha ha iya, aku juga sudah lapar, yuks!” timpal Pikatan.

Mereka pun masuk ke kedai yang tadi dan duduk di area agak mojok paling kanan agar tidak mengganggu pengunjung lainnya.

“Aku pesan nasi, tempe, tahu dan lele dipenyet sambal” ujar Bondowoso kepada pelayan.

“Baaaa… Baik den,” ujar pelayan bengong tapi ngerii melihat Wajah Bondowoso.

Segera tangan Pikatan digerakkan di depan muka pelayan tadi agar segera beralih perhatiannya kepadanya,”Aku pesan nasi, pepes ikan mas dan pepes jamur, sambel pete, dan dua teh tawar, segera ya ga pake lama!” ujar Pikatan.

Pelayan itu segera menutup hidungnya karena bau busuk yang kuat. Dan mengangguk tanda sebagai  jawaban lalu bergegas menyiapkan masakan yang telah dipesan tadi.

Tak berapa lama makanan sudah siap. Mereka pun menikmati hidangan yang telah disajikan oleh pelayan.

“Hei siapa yang kentut, kau ya?” seorang pengunjung tinggi kurus di suatu kelompok meja menunjuk orang yang ada di meja depannya.

“Kau yang kentut, kau selalu menyalahkan kelompok kami dalam berbagai hal!” ujar orang gendut yang ada di kelompok meja depan yang ditunjuk tadi.

“Hallah memang kelompokmu yang selalu bikin keributan dan suka berbuat curang dan tidak punya sopan santun!” ujar orang yang tinggi kurus dengan lebih ngotot dan berapi-api.

“Kelompokmu yang kurang ajar dan tidak punya sopan santun!” balas orang gendut tadi.

“Hallah banyak omong kau, hiaaaaat!” orang tersebut menyerang orang gendut tadi dengan jurus silatnya.

Orang gendut tadi segera menghindar, lalu pemilik kedai menengahi dengan bergerak maju di antara mereka.

“Mohon maaf aden-aden, berkelahinya di luar saja!” kata pemilik kedai.

Orang kurus tinggi tadi tidak peduli, dan segera menyerang lagi orang gendut tadi dan segera saja kedua kelompok tadi berkelahi di dalam kedai tersebut.

Pikatan dan Bondowoso tidak terganggu, mereka tetap makan dengan asyiknya. Sedang perkelahian kedua kelompok tadi semakin seru.

“Ha ha ha aku  sudah susah bernapas karena kenyaaang, perutku buncit!” ujar Pikatan sembari mengelus perutnya yang tampak nyembul penuh.

“Heekh wuah aku gelegekan kekenyangan!” ucap Bondowoso dan bau mulutnya segera menyebar.

Mendadak perkelahian menjadi berhenti karena bau busuk semakin kuat, dan mereka pun segera keluar dari kedai tersebut dengan muntah-muntah.

Hoeeeekh, Hoeeeeeeeeekh

Mereka muntah bergantian.

Bondowoso segera merogoh kantong uangnya dan memberikannya ke Pikatan untuk membayar makanan yang telah mereka santap.

Pikatan segera menuju ke pemilik kedai dan berkata,” Berapa semuanya Pak?”
“Dua Tahil perak den” ujar pemilik kedai

“Wuah kami cuma punya 1 tahil perak nih pak, gimana kalo kami mintakan ganti kerugian untuk bapak karena ulah perkelahian mereka?” nego Pikatan.

“Kalo bisa den, setuju,” jawab bapak pemilik kedai mengiyakan.

Pikatan mendekati si kurus tinggi yang memulai perkelahian di kedai tersebut,”Wuah si jagoan kenapa muntah-muntah, katanya jagoan, bau begitu saja ga tahan, wah payaaaaah!” ujar Pikatan menyindir.

“Apa kau bilang, mau mati?” bentak si kurus tinggi tersebut.

“Ya nggak lah, tapi kau harus membayar ke pak pemilik kedai hasil ulahmu dan temanmu yang gendut itu yang kau ajak bermain-main di dalam kedai sehingga barang-barang kedai jadi rusak!” ujar Pikatan sembari menunjuk orang gendut yang juga masih muntah-muntah.

“Kau ikut campur?” kembali orang tinggi kurus tadi berteriak.

“Ya iyalah, melihat perbuatanmu yang merugikan orang lain!” jawab Pikatan santai.

“Hm Hiaaat,” orang kurus tadi langsung menyerang Pikatan dengan tinju tangan kanannya.

Dengan sigap, Pikatan tangan kanannya menyambut dan memegang tinju tersebut, lalu memelintirnya sedemikian rupa sehingga tangan orang tersebut menjadi seperti terkunci, tangan Pikatan yang sebelah kiri menahan persendian si pria tinggi kurus tersebut.

Sehingga pria tinggi kurus tersebut kepalanya terbawa hentakan tenaganya ke bawah, dan karena persendian lengannya tertahan tangan kiri Pikatan dan kepalan tangannya terkunci oleh tangan Pikatan yang sebelah kanan, maka orang tersebut benar-benar tidak berkutik, semakin meronta akan semakin menyakitkan.

“Akh…baik,-baik, aku berikan uang penggantiannya!” teriak si pria tinggi kurus tadi.

 “Branangan, ambilkan uangku yang kau bawa, berikan sepuluh tahil emas kepada pemilik kedai,” ujar pria kurus tadi meminta temannya untuk melakukan yang diucapkannya.

“Baik den,” jawab Branangan, segera mengambil uang di kantongnya dan menyerahkan sepuluh tahil emas kepada pemilik kedai.

“Apakah sudah cukup Pak?” tanya Pikatan ke Pemilik Kedai.

“Sudah, sudah lebih dari cukup den, makasih banyak!” jawab pemilik kedai kegirangan.

“Nah sekarang pergilah!” Pikatan mendorong kunciannya ke arah depan sehingga pria kurus tadi tersungkur ke tanah.

Orang kurus tadi bangun dan meludah, lalu menggerakkan kepalanya sebagai tanda untuk mengajak kelompoknya pergi dari tempat itu.

Segera saja kelompoknya mengikuti arah si tinggi kurus pergi.

Tinggal si gendut yang masih muntah-muntah, belum sembuh juga, dan semakin parah, sebab Bondowoso ada di situ dekat dengan si gendut tersebut.

“Hoeeeeeeekh, hoeeeeeekh!” si gendut dan teman-temannya seperti mau pingsan.

“HOEEEEKH!” salah seorang teman si gendut muntah dan tersungkur pingsan.

“Kenapa baunya semakin menusuk?” tanya seorang teman si gendut yang agak jauh.

”Hoeeek!” dia muntah setelah berkomentar.

“Ayo kita pergi dari sini saja,” si gendut mengajak teman-temannya, mereka pun bergerak menjauhi area tersebut, sembari dua orang menyangga temannya yang pingsan tadi.

“Aden-aden terima kasih dengan bantuannya, mohon maaf saya juga tidak tahu mengapa tempat ini menjadi bau busuk?” ujar pemilik kedai.

Bondowoso dan Pikatan tertawa dengan perkataan Pemilik Kedai. Pemilik kedai bengong, kebingungan dan ikut tertawa sembari menutup hidungnya, tanpa mengerti apa yang dimaksud.

Bondowoso dan Pikatan lalu berjalan menjauh dengan tetap tertawa.

Seorang pedagang singkong dan ubi-ubian godok yang memikul dagangannya berjalan terseok-seok karena usianya yang berkisar 50 tahunan.

Pedagang tadi menyusuri jalanan kemudian beberapa orang berlarian mendahului pedagang tadi ke arah alun-alun kota Kerajaan Pengging.

Banyak orang telah berkerumun di alun-alun tersebut, di salah satu area tersebut, para pria sedang mendaftarkan diri untuk mengikuti tes sebagai Calon Pasukan Elit Kerajaan Pengging.

“Ayo buat antrean yang rapi!” teriak seorang prajurit berbadan besar dan berewokan dari Kerajaan Pengging melihat para pria yang mendaftarkan diri berdesakan tidak teratur.

Kemudian si prajurit ini dengan sigap membuat pembatas antrean dari tali panjang, sehingga tidak berjubel, tetapi baris berjejer ke belakang menunggu gilirannya dengan rapi.

“Wuah keren ni prajurit brewok,” ucap seorang gadis yang melihat aksi tersebut, matanya mengerling genit kepada si brewok.

Prajurit brewok melihatnya, si brewok tersenyum kepada gadis tadi. Mendadak si brewok seperti mendapatkan semangat lebih banyak.

Si prajurit brewok tadi segera bergerak ke depan antrean, lalu mengambil daun-daun lontar yang sudah tersusun rapi, lalu bertanya kepada seorang yang antre paling depan.

“Nama?” Tanya si prajurit brewok

“Lutung,” jawab calon prajurit.

“Baiklah langsung maju ke arah sana ya untuk proses berikutnya,” perintah prajurit brewok.

“Baik,” Lutung segera bergerak ke arah yang ditunjuk prajurit brewok.

“Nama?” setelah orang tadi pindah ke area yang baru prajurit brewok menanyakan nama calon prajurit berikutnya.

“Kasarung,” jawab calon prajurit kedua tersebut.

Sementara itu di area selanjutnya, Lutung sedang bersiap untuk mengalahkan seorang prajurit dengan menggunakan pedang kayu.

“Dalam tes ini kau harus mengenai prajurit tandingmu dengan pedang kayu sebanyak tiga kali, bila berhasil, kau masuk ke tes selanjutnya,” ujar prajurit tinggi besar memberi petunjuk.

“Mulai!” ujar prajurit tinggi besar memberi aba-aba.

Lutung dengan sigap menyerang dengan jurus silat andalannya. Prajurit yang menjadi lawannya berhasil menghindar dan menyarangkan sabetan pedang kayunya ke punggung Lutung.

Lutung terkesiap, kali ini dia harus lebih hati-hati. Mundur beberapa langkah, lalu menyerang lagi dengan jurus andalan rahasianya.

Untuk kedua kalinya Prajurit yang menguji berhasil menghindar dan menyarangkan sabetan pedang kayunya ke Pantat Lutung.

Lutung kaget, para penonton tertawa. Lutung semakin tergerak untuk menyerang karena merasa dipermalukan. Serangan ketiga, kali ini Lutung menjadi kalap dan tidak fokus lagi.

Lutung menyerang dengan membabi buta, hal ini tentu saja dengan mudah dihindari oleh prajurit tersebut, sehingga prajurit tersebut dengan cepat berhasil menendang Pantat Lutung, dan meletakkan pedang kayu di Leher Lutung.

“Ya sudah tiga kali serangan dan kau gagal! Kontestan berikutnya!” teriak Prajurit tinggi besar. Lutung berjalan lunglai keluar dari arena.

“Kasaruuung!” teriak prajurit tinggi besar.

“Siaaaap!” jawab Kasarung.

“Dalam tes ini kau harus mengenai prajurit tandingmu dengan pedang kayu sebanyak 3 kali, bila berhasil, kau masuk ke tes selanjutnya,” ujar prajurit tinggi besar memberi petunjuk.

“Mulai!” ujar prajurit tinggi besar memberi aba-aba.

Segera saja Kasarung menghentakkan pedangnya lalu dengan jurus yang menipu lawan, sehingga prajurit lawannya, terhentak, dalam satu jurus gerakan kombo, tiga sabetan pedang kayu mengenai kaki, perut dan lengan lawannya.

“Yap tiga kali berturut-turut dalam satu jurus gerakan, silakan Kasarung memasuki ruang tes berikutnya!” teriak prajurit tinggi besar.

Dalam ruangan ini ada sebongkah batu besar berbentuk segi empat seperti batu bata, namun dengan ketebalan 30 cm, lebar 50 cm dan panjang 100 cm disangga oleh dua batu besar yang juga rapi.

Prajurit tinggi kurus berkata,”Selamat datang, silakan mematahkan dengan satu pukulan ke batu persegi empat tersebut, bila berhasil, maka Anda akan masuk ke tes berikutnya!”

Kasarung berdiri dan berkonsentrasi di depan meja batu tersebut, lalu mulai mengangkat tangannya dan dengan sekuat tenaga memukulkannya ke batu persegi tadi.

“Ciaaaaaaat,” teriak Kasarung dan PLAAAAAAAAAKH!

Pukulan tangannya mengenai batu tersebut.

“AAAAAAAAAAAAAAAAAKH!” sekuat tenaga Kasarung berteriak memegang tangannya yang kesakitan, sementara itu batu tetap tidak terbelah.

Para penonton tertawa melihat Kasarung berjingkatan menahan sakit dan tetap memegang tangannya yang lebam  berdenyut-denyut sakit.

“Baiklah, maaf Anda gagal Kasarung, berikutnya Sangkuriaaaaaaang!” Prajurit tinggi kurus memanggil kontestan yang berhasil memasuki tahap ini.

“Siap!” jawab Sangkuriang dengan percaya diri.

Prajurit tinggi kurus berkata,”Selamat datang, silakan mematahkan….”  Belum selesai prajurit itu berkata, ternyata Sangkuriang sudah berhasil mematahkan batu persegi tadi dengan mudahnya.

“Eh baiklah, Sangkuriang silakan memasuki ruang tes berikutnya,” ujar Prajurit tinggi kurus.

“Baik, terima kasih!” ujar Sangkuriang, dengan segera melangkah ke tahap berikutnya.

Di ruangan ini tidak ada penonton, tetapi suasana sangat formal, semerbak aroma penyegar ruangan berupa menyan mengepul dan hamparan kembang setaman yang masih segar disebar di lantainya, menambah keformalan ruangan tersebut.

Di tengah ruangan ini berdiri seorang prajurit tua, Sangkuriang memberi hormat lalu memasang kuda-kuda untuk siap beradu silat.

“Kau tidak perlu memasang kuda-kuda untuk bertarung, aku hanya akan memberi 3 pertanyaan dan silakan dijawab, bila jawabanmu tidak sesuai yang kami maksud maka kau gagal” kata prajurit tua tersebut.

“Baiklah, hamba siap menerima pertanyaannya,” jawab Sangkuriang.

“Bila satu pertanyaan saja tidak terjawab, maka pertanyaan berikutnya tidak akan aku tanyakan. Pertanyaan pertama, dengarkan baik-baik. Apa tujuan hidup?” tanya Prajurit tua tersebut.

“Untuk mencapai kejayaan!” jawab Sangkuriang.

“Maaf kau gagal!” kata prajurit tua.

“Apaaaaa?” Sangkuriang membelalakan mata dan menyerang prajurit tua dengan cepat.
Dengan sekali tolakan saja tangan, pukulan Sangkuriang terarahkan ke lain arah sekaligus membuat Sangkuriang terpental ke luar ruangan.

Penonton yang di luar ruangan terpukau oleh terlemparnya Sangkuriang ke luar dari ruangan tes tersebut.

“Calon prajurit berikutnya!” teriak prajurit tua berkata.

“Hamba Hanuman siap menerima tes,” ujar seorang pemuda tampan bertubuh berkulit kuning langsat memasuki ruangan tersebut.

“Bila satu pertanyaan saja tidak terjawab, maka pertanyaan berikutnya tidak akan aku tanyakan. Pertanyaan pertama, dengarkan baik-baik. Apa tujuan hidup?” tanya prajurit tua tersebut.

“Untuk mencapai kesempurnaan,” ujar Hanuman.

“Maaf kau gagal!” kata prajurit tua.

“Calon prajurit berikutnyaaaa…!” teriak prajurit tua memanggil calon berikutnya.

Sementara itu, di ruangan tes kedua yang diwajibkan mematahkan batu persegi yang tebal.

“Calon prajurit berikutnyaaaa…!” prajurit tinggi kurus berkata,”Selamat datang…” belum habis kata-katanya.

Seorang pendekar masuk ke ruangan tersebut dengan golok besar di tangan dan langsung menyabetkan golok besarnya ke batu persegi tersebut, tak berapa lama batu itu pun terbelah.


Bersambung…


Cerbung ini ada di An1magine majalah eMagazine Remaja Volume 1 Nomor 2 April 2016
yang dapat di-download gratis di Play Store, share yaa


Comments

Popular Posts

PARTNERS

Contact Form

Name

Email *

Message *