MINDPORTER 2: Archilum oleh M.S. Gumelar di An1magine Volume 3 Nomor 6 Juni 2018


MINDPORTER 2: Archilum
M.S. Gumelar


Kurasa aku pernah mendengarkan ayah bicara. Tentu aku pernah mendengarnya. Sayang tidak terlalu banyak yang bisa kuingat mengenai dia. Ayah sudah meninggalkan aku dan ibu, juga Chatura.

Ayah membuat posisiku jadi kian berat, atau lebih tepatnya membuat tanggung jawab Chatura lebih besar. Beban yang kudapatkan tentu tidak bisa dibandingkan dengan kakakku itu.

Ia merasa harus melindungi keluarganya. Ia adalah anak tertua jadi tanggung jawab itu terlimpahkan padanya. Mau tidak mau. Siap tidak siap.

Begitulah hidup. Kadang seseorang menjalankan sesuatu karena kondisinya memang seperti itu. Siap tidak siap harus dihadapi.

Seperti keputusanku untuk pergi. Siap tidak siap, aku harus memberitahu keluargaku. Aku tidak boleh mengulur-ngulurnya lebih lama lagi.

Aswin yang memutuskan belakangan saja sudah memberi tahu keluarganya, mengapa aku harus terus menyembunyikan hal ini?
“Ibu, aku ingin berpartisipasi dalam Archilum.”

Aku tahu perasaannya pasti campur aduk seperti perasaanku sekarang. Aku merasa tidak enak hati karena secara tidak langsung mengatakan ingin meninggalkannya. Dia juga pasti berat untuk ditinggalkan anaknya.

“Aku bertanya-tanya mengapa kau membutuhkan waktu selama ini untuk memberitahuku,” katanya sembari tersenyum. Seolah kata-kataku tidak menyakitinya.

“Apakah....” Aku tidak mampu menyelesaikan pertanyaanku. Rasanya lidahku mendadak kelu. Aku pasti sudah menyakiti perasaan ibu.

Ibu mengangguk, masih memberikan senyum yang selalu ada di wajahnya.

“Outi sudah menceritakan soal pertanyaanmu tempo hari, maka dari itu aku bertanya-tanya mengapa kau tidak mengucapkannya langsung padaku. Tapi aku tahu benar mengucapkan kata-kata seperti itu membutuhkan usaha khusus juga keberanian.”

“Maafkan aku menyakiti perasaanmu.”

Ibu menggeleng dan mendesah.

“Ketika kau lahir aku tahu kau akan melakukannya. Kau sangat mirip ayahmu dalam banyak hal. Keberanian dan dominasi. Kau selalu berani mengusahakan apa yang kau inginkan. Sangat mirip ayahmu.”

Aku tidak yakin harus merespon bagaimana, jadi kuputuskan untuk tetap menunduk, ketakutan untuk menghindari tatapan mata ibu. Anggaplah ini sebagai keinginan yang salah.

Ibuku sudah ditinggal suaminya saat masih belia dan kini putra bungsunya juga meminta izin untuk pergi. Tidakkah itu terdengar sangat tidak berperasaan, terdengar seperti alam tidak menyayanginya.

Ia mengulurkan tangannya dan meraih tanganku. Memberikan kehangatan dari tiap-tiap permukaan kulit kami yang bersentuhan.

Ibu masih sangat muda, masih cantik, tapi entah mengapa selama ini kami selalu menganggapnya selayaknya orang yang sudah tua. Mungkin karena ia adalah ibu, orang yang melahirkanku dan Chatura ke bumi ini.

“Apakah kau tidak berencana untuk menikah lagi setelah ayah pergi?”
Ibu tersenyum. Benar-benar meneduhkan.

Bagaimana mungkin tidak ada pria yang jatuh hati karena senyumannya itu? Tidak mungkin hanya ayah yang menaruh hati padanya.

“Aku berencana merawat kalian saja,” akunya dengan nada tenang.

“Kalau kau memang ingin terlibat dalam Archilum, aku akan memberimu semangat dan mengharap kau bisa berhasil mencapai dunia atas dengan selamat.”

“Tapi aku tidak setuju dia pergi.”
Aku dan ibu sama-sama menoleh dan mendapati Chatura ada di pintu belakang dengan wajah marah. Ia melemparkan Brachuura yang dibawanya ke tanah.

“Aku akan menghalangimu pergi. Kata siapa kau bisa pergi seenaknya?” katanya geram.

Aku sudah sadar kalau hal ini tidak akan berjalan dengan mulus. Chatura tidak akan setuju, hal itu sangat jelas.

Ia mungkin bisa menahan amarahnya ketika aku menyatakan akan pergi menjadi pekerja tambak dan memintanya menjaga ibu. Ia juga akan mengata-ngataiku dengan kasar, tapi kami tidak akan berkelahi secara fisik betapa pun marahnya dia.

Tapi keadaan kali ini berbeda. Mengikuti Archilum berarti meninggalkan keluarga dan kemungkinan besar tidak akan kembali. Hilang begitu saja, tidak dapat bertemu kembali.

“Lebih baik kau mati saja dari pada pergi untuk memuaskan egomu itu!” seru Chatura, kasar.

Aku memejamkan mata. Telingaku berdenging. Sekarang kakakku tidak mau menatapku. Ia marah. Wajar sebenarnya kalau ia marah. Berarti tanggung jawab atas ibu sepenuhnya dilimpahkan padanya.

Ia pasti marah.

Aku sebenarnya ingin minta maaf atas keputusanku, tapi setelah kupikir lagi tidak ada gunanya. Untuk apa? Chatura hanya akan menilai maaf sebagai ucapan belaka. Jika aku benar-benar ingin dimaafkan, maka satu-satunya jalan adalah dengan membatalkan niatku.

Apa yang dia inginkan, tidak akan kulakukan. Aku memiliki mimpi dan akan mencoba meraihnya. Aku berani bermimpi dan menerjang hambatan-hambatan yang malang melintang.

Ituah yang membedakan aku dengan Chatura. Aku berusaha melepaskan diri dari aturan-aturan dan bertekad buat mengejar apa yang kuinginkan.

Sementara Chatura memilih buat terjebak dengan kewajiban-kewajibannya.

Sebenarnya sifat tanggung jawabnya menurun dari ibu. Meski sempat memberontak dengan memalsukan diri menjadi kembarannya dan menikah dengan ayah, pada akhirnya ibu tetap melaksanakan tugasnya sebagai juru kuil Archilum.

Aku tahu benar, dia memilih untuk melajang setelah ayah pergi untuk membaktikan diri pada kuil. Terlepas dari pekerjaannya sebagai petani jamur, ibu banyak menghabiskan waktu senggangnya di kuil.

Ia akan berdoa siang dan malam, seolah tengah memohon pengampunan pada para dewa untuk memaafkan kesalahannya saat muda.

Betapa ia mencoba menyimpang dari kodratnya sebagai pendeta dan berakhir dengan kehilangan orang yang amat dicintainya.

Namun ibuku adalah sosok yang kuat. Ia sudah banyak ditempa oleh kehidupan. Ia juga menyayangiku. Sesuai kata-katanya, ia akan mendukungku hingga akhir. Bahkan jika ia tidak memiliki kesempatan buat melihatku lagi, beliau akan tetap menyayangiku.

Amarah Chatura dan dukungan ibu membuat kepalaku pening. Di satu sisi aku merasa sangat bersalah pada mereka, di sisi lain aku tidak mau melepaskan kesempatan untuk mengikuti Archilum, upacara teragung di Bumi ini.

Pintu kamarku diketuk dan aku melihat ibu muncul di sana.

“Ibu....” kataku, lirih. Mungkin hanya diriku saja yang bisa mendengarnya.

“Boleh ibu masuk?” tanyanya.

Aku mengangguk dan mengubah posisiku dari berbaring menjadi duduk. Ia masuk menghampiriku, duduk di atas ranjang yang sama, duduk di sebelahku.

“Aku sudah mencoba bicara dengan Chatura. Dia benar-benar keras kepala, tidak mau menerima keputusanmu. Tapi kau tidak perlu mengkhawatirkannya, aku akan mencoba memberikan pemahaman padanya secara perlahan.”

“Aku merasa bersalah padamu dan Chatura,” ujarku masih dalam nada lirih yang sama.

“Tidak perlu merasa bersalah. Aku menyukai anakku yang pantang menyerah dalam meraih cita-citanya. Cita-citamu adalah sesuatu yang besar, tidak semua orang berani buat mengambil keputusan seperti itu.”

“Ibu, Chatura pasti merasa aku melimpahkan seluruh tanggung jawabku padanya. Dan aku tidak akan menyangkal itu. Aku ini bukan anak yang berbakti padamu.”

“Berbakti atau bukan, kupikir mestinya aku yang menilainya,” katanya sembari tersenyum. “Jangan khawatirkan aku. Aku juga masih bisa menjaga diriku, Chatura kadang-kadang hanya terlalu terbebani tanggung jawab yang sebenarnya tidak kutuntut dari dia.”

“Tapi bukankah anak memang harus menjaga orang tuanya?”

“Dan bukankah orang tua harus mendukung cita-cita anaknya? Jangan dipikirkan terlalu keras, nanti kau sakit. Kau akan membutuhkan tubuh yang bugar hingga Archilum datang.”

Masalahnya biarpun aku ingin tidak memikirkannya, hal itu terus terlintas di kepalaku. Lebih mudah buat memikirkannya dari pada tidak memikirkannya.

Chatura pasti merasa agak dikhianati oleh ibu karena beliau dengan mudahnya memberikan izin padaku buat pergi. Ia ingin agar ibu sedikit menghalangi keinginanku. Sedikit ketidaksetujuan akan membuatnya senang.

Tapi buktinya keinginannya tersebut tidak terealisasikan dan itu membuatnya tidak senang. Chatura jelas lebih ingin aku tinggal dari pada pergi dan mungkin mati.

Aku tahu ia sebenarnya mengkhawatirkanku Di samping mengkhawatirkan dirinya sendiri juga ibu. Tapi aku merasa berhak buat meraih keinginanku.

Sebenarnya agak melegakan kalau ibu memberikan izinnya langsung tanpa berbelit-belit. Beliau benar-benar berpikiran terbuka dan memahamiku.

Dan rasa lega itu dapat meluber jadi lebih luas lagi seandainya Chatura juga memberikan dukungannya padaku buat pergi. Aku sangat ingin hal itu terjadi meski kemungkinannya hampir mendekati mustahil.

Pasti rasanya menyenangkan bila Chatura melepasku dengan pelukan. Melegakan bila dia akhirnya bisa menerima keputusanku meski berat.

Pikiranku masih kacau hingga seolah-olah berjalan tanpa memerhatikan arah. Aku tidak tahu darimana datangnya, atau bagaimana caranya aku bisa sampai ke desa Aswin lagi.

"Kau tidak terlihat gembira, sahabat."

"Hmm?"

"Apa kau tengah jatuh cinta?"

Aku melempar sebuah buah apel dan ditangkapnya dengan baik.

"Dari mana kau mendapatkan ini?" tanyanya riang.

"Tentu saja dari rumahku. Kami sedang masuk dalam masa panen."

"Boleh kah aku ikut memetik?" tanyanya dengan penuh semangat.

"Mampirlah ke rumahku," sahutku sembari tersenyum.

"Jadi kenapa kau terlihat lesu, gadis mana yang sudah mencuri hatimu?"

"Kau tahu benar aku bukan playboy sepertimu."

"Sial kau Candhra. Bukan salahku kalau banyak wanita yang mau denganku. Aku juga tidak keberatan banyak pria yang mau denganmu."

Aku melempar apel yang lain. Sengaja mengincar kepalanya tapi lagi-lagi Aswin bisa menangkapnya.

"Jangan gunakan makanan sebagai senjata," sahutnya sembari terkekeh kemudian menggigit apel yang kulemparkan. "Jadi mengapa kau sedih?"

"Memangnya terlihat sangat jelas?" tanyaku sembari mengerutkan dahi.

"Wajahmu berkerut seperti kakek-kakek begitu."

Aswin mengangkat apel yang kuberikan, menaruhnya di area yang kena cahaya baru kemudian menggigitnya. “Ini sangat lezat!"

"Aku tahu kau akan menyukainya."

Kurebahkan diriku di sebelah Aswin dan memandangi langit bersih. Langit biru dengan awan putih di sana-sini.

Kemudian tanganku terjulur ke atas, seolah hendak meraih angkasa dan merampasnya dalam genggamanku. Seolah langit dapat kumiliki seorang diri.

"Apakah ini soal menjadi anak langit?"

Nah! Akhirnya orang ini bisa menerka apa yang sesungguhnya ada di kepalaku.

“Keadaannya tidak bertambah baik ketika kau membicarakannya pada keluargamu kan?” tebaknya lagi sembari tersenyum pahit. “Mereka pasti takut kita mati.”

“Mati atau hidup bukan kita yang menentukan,” desisku. “Memang sih buat beberapa orang, Archilum terdengar seperti upacara bunuh diri masal.”

“Dengarkan dirimu, kau membuat upacara agung terdengar buruk!”

Aku hanya mengangkat bahu, masih menunjukkan mimik wajah sedih seperti sebelumnya. Sikap Chatura tentu sudah bisa sangat diprediksi tapi tetap saja aku seperti tidak mampu menghadapinya.

“Kau sendiri, apakah keluargamu sudah mulai memahami keinginanmu?”

“Ibuku sudah lebih tenang, ia sempat berkata padaku kalau keputusan yang berkaitan dengan hidupku, segalanya ada di tanganku…

“... Kakakku sudah mulai tidak menceramahiku, mereka cenderung terlihat menghindari percakapan soal Archilum. Sementara adik perempuanku, aku tidak bisa melakukan apa-apa, tapi dia cukup histeris.”

“Terlihat tidak lebih baik dari keadaanku.”
“Bagaimana mungkin keadaanmu bisa lebih buruk? Kau hanya punya ibu dan seorang kakak laki-laki.”

Aku tidak bisa menahan diriku untuk tersenyum. “Kau benar. Tidak separah itu. Terlebih karena ibuku langsung setuju. Masalahnya hanya Chatura, Chatura yang selalu menjadi masalah.”

“Lihat, keadaanmu lebih baik dari padaku,” cibir Aswin sembari membenahi rambutnya yang tertiup angin.

“Karena aku melihat, ibumu memiliki banyak anak. Sementara jika aku pergi, Chatura akan sendirian menjaga ibu.”

“Ini bukan masalah jumlah sobat! Hubungan ibu dan anak, perasaan ibu yang akan berpisah dengan anaknya itu tidak bisa digantikan oleh anaknya yang lain.”

“Kau benar....” bisikku sembari menunduk.

“Sudahlah. Mau Chatura menerima atau tidak yang jelas kau tetap akan pergi.
Memangnya apa yang bisa dia lakukan untuk mengurungkan niatmu?”
Apa yang bisa Chatura lakukan?


Chapter 14

“Keputusanku sudah bulat. Tindakanmu tidak akan bisa menghentikanku.”

"Tunggu aku akan menyobek mulutmu."

"Hei, lihat cara bicaramu. Mulutmu begitu kotor."

"Apa kau berpikir aku sedang main-main?"

"Aku tidak peduli dengan ancamanmu."

Senja itu langit menjadi lebih gelap dari pada biasanya. Ini pasti karena hujan yang jatuh ke tanah sepanjang hari.

Termasuk sehari sebelumnya.

Langit seolah memiliki kelebihan air sehingga ia memutuskan untuk memuntahkan hujan dalam beberapa hari terakhir ini.

Karena perubahan cuaca yang cukup signifikan, beberapa Brachuura mati karena perubahan suhu yang drastis. Berkilo-kilo Brachuura kehilangan nyawa dan terpaksa di jual ke pasar.

Harga Brachuura jatuh, kebanyakan pekerja tambak juga membeli hasil pekerjaan mereka. Tentunya dengan harga yang murah.

Sama seperti aku yang sengaja membawakan hampir setengah karung Brachuura pulang. Kami bertiga akan pesta besar, makan makanan laut yang lezat bersama-sama.

Meski Brachuura yang kubawa tidak seenak biasanya. Ini bukan Brachuura yang baru berganti kulit, sehingga kulitnya agak keras jika dimasak  nanti. Namun itu bukan masalah. Brachuura selalu saja lezat apa lagi jika di bakar saat hujan begini.

Dagingnya yang empuk dan harumnya menerbitkan liur.

Mestinya Brachuura bisa membuat keluargaku malam ini senang karena bisa makan malam mewah dengan harga terjangkau. Tapi siapa yang mampu menghentikan amarah Chatura?

Dia masih marah, ia masih tidak senang atas keputusanku untuk pergi. Maka dari itu di sinilah ia, menemuiku di belakang rumah, menyiapkan api untuk makan malam kami.

"Kau tidak boleh pergi ke surga Candhra. Kau bukan orang terpilih."

"Memangnya siapa kau menentukan hidupku?"

“Aku kakakmu dan aku peduli padamu!” jawabnya sembari melotot.

“Benar kau kakakku dan terima kasih sudah peduli padaku. Apa lagi yang kau ingin kau katakan?”
Chatura mengepalkan tangannya hingga buku-buku jarinya memutih. "Aku sudah mengatakan apa yang seharusnya kukatakan padamu. Tidak ada lagi yang perlu kukatakan.

"Chatura, kuharap kau tidak menyembunyikan sesuatu dariku," sahutku sembari memicingkan mata.

"Kenapa kau sulit memercayaiku?" Dia menghela napas panjang. "Kau tahu kadang kau tidak berlaku seperti aku ini kakakmu."

Aku mengepalkan tangan.

Dia tidak sepenuhnya salah.

"Kalau aku tanya masalahmu, kau tidak akan memberitahukukan?" tuntutku. Aku merasa dia menyembunyikan sesuatu dariku.

"Tidak."

Benarkan? Dia tidak akan mengatakan apa pun mengenai dirinya sendiri. Dasar Chatura si tengik!

Aku akan pergi jauh dari sini dan mungkin tidak akan bisa kembali. Aku akan meninggalkan ibuku seperti anak durhaka dan meninggalkan Chatura seperti adik yang tidak menyayangi kakaknya.

Terkesan jahat dan mementingkan diri sendiri. Egois dan tidak peduli pada orang lain. Tapi aku yakin untuk melakukannya. Biarpun dewa tidak memilihku.

Biar nantinya langit tidak mau menerimaku, aku akan tetap mencobanya.

“Kau memang tidak pernah sedetik pun berpikir untuk merawat orang tuamu, Candhra."

Aku memijit-mijit kepalaku. Chatura nampaknya benar-benar ingin membuat kepalaku pening, seakan mau meledak.

Benar-benar kakak yang baik dia ini.

Dia benar-benar mengeksploitasi keinginanku menjadi sesuatu yang mengerikan. Menjadikan keinginan menjadi suatu senjata dan menyakiti.

Kadang aku berpikir bagaimana mungkin ibu bisa melahirkan kedua anak laki-laki yang sangat berbeda. Berbeda cara berpikir, berbeda dalam bertindak.

Berseberangan.

Kadang aku merasa hal itu terlalu aneh untuk diwujudkan secara nyata. Kadang aku merasa ini semua hanya mimpi buruk yang akan berakhir. Chatura dan aku akan saling mendukung, kami akan berbagi cerita dan rahasia.

Tapi hal itu tidak pernah terjadi meski hanya sekali.

Chatura dan aku selalu berseberangan. Seolah kami memang tidak pernah ditakdirkan untuk dapat berdiri dalam satu garis yang sama.

Seolah kami berasal dari dunia yang berbeda, dan bukannya dari orang tua yang sama.

Aku tidak ingin berbohong, kadang aku ingin membencinya. Tapi aku tidak mungkin membenci orang yang kusayangi, keluargaku.

Kukatakan kami memang selalu berseberangan, namun tetap ada kenangan manis saat bersama Chatura. Saat-saat di mana kami mengunjungi rumah Outi misalnya. Namun tetap saja lebih banyak berseberangannya.

"Kau mengapa tidak pernah menyadari betapa egoisnya dirimu?"

"Apa?" tanyaku merasa tidak sepakat.

"Dulu kau dengan congkaknya
mengatakan ingin bekerja di perairan dan banyak melakukan hal di luar rumah. Kini kau mengatakan ingin mengikuti upacara aneh itu?"

"Mengapa kau katakan Archilum sebagai upacara aneh?" sahutku sembari berkacak pinggang.

"Karena orang yang masih hidup tidak mungkin mendapatkan surga. Dan aku yakin jika kehidupan di atas jauh lebih baik, maka orang yang pergi tidak  akan kembali ke bawah. Jadi misi kemanusiaan apa yang di dengung-dengungkan tidaklah relevan."

"Apa yang sebenarnya ingin kau katakan, Chatura?"

"Berhentilah memikirkan dirimu sendiri dan mengatakan apa yang kau kerjakan merupakan sesuatu yang baik."

"Dan mengatakan apa yang kau katakan adalah baik?"

Chatura mengepalkan tangannya. Tapi aku yakin ia tidak memiliki keberanian buat melakukannya.

Chatura hanya kasar di mulut namun tidak pernah berkelahi. Ia tidak pernah melakukannya, memukul orang, tidak sepertiku yang gemar membuat onar.

Setidaklah itu yang ia pikirkan.

Ia selalu berpikir kalau aku ini penjahat dan dia orang baiknya. Bahwa seluruh tindakan yang kulakukan tidak lebih hanya buatku sendiri dan dia selalu berpikir kalau dialah yang membuat segalanya baik.

Seolah aku ini tukang rusuh dan dia yang selalu membereskan kerusuhan yang aku buat. Maka dari itu aku selalu dipandang sebelah mata oleh Chatura.

"Bahkan untuk keluargamu saja kau tidak bisa diandalkan. Kau hanya mengejar impian pribadimu dan  melepaskan tanggung jawab untuk merawat orang tua. Pikirkan itu, Candhra."
“Bagaimana kalau kau membantuku membakar Brachuura saja?” dengusku kesal.

Chatura tidak menggubris kata-kataku. "Apa bagusnya dunia atas hingga kau lebih memilih buat pergi ke sana dan meninggalkan seluruh hidupmu yang tenang? Kau memiliki pekerjaan yang kau inginkan, keluargamu juga ada di sini, tidakkah itu cukup Candhra?"

Perdebatan yang berlanjut ke perdebatan yang lainnya. Chatura tentu memiliki hak untuk mengatakan hal itu. Ia juga boleh berusaha buat mengubah pikiranku. Tapi mengenai membuat keputusan, akulah yang akan melakukannya.

Aku tahu benar, ia sangat ingin aku tetap di sini. Mungkin ia tidak akan lagi menggerutu tiap kali aku pergi ke desa perairan buat bekerja asal aku tidak jadi mengikuti Archilum.

Chatura mungkin akan lebih membebaskanku dalam bertindak di masa depan selama aku tidak meninggalkan keluargaku. Ia tidak akan terus-terusan mengomel seperti seorang nenek-nenek bawel.

Tapi letak masalahnya bukan di situ. Aku akan tetap pergi biarpun ibu tidak mengizinkan dan Chatura menahanku. Aku akan mencari cara supaya dapat pergi.

Namun bagiku keadaan sebenarnya tidak terlalu buruk. Ibu sudah memberi restu, dan Aswin biar sebenarnya tidak setuju juga sudah berkata untuk belajar merelakanku.

Hanya Chatura yang tetap keras kepala. Ia ingin aku tinggal dan tidak berbuat yang aneh-aneh. Ia ingin aku menjadi adiknya yang baik.

"Aku akan membuatmu berpikir seribu kali, hingga kau yakin kalau keputusanmu untuk mengikuti upacara agung adalah sebuah pilihan yang kekanak-kanakan."

Ya. Ya. Kurasa kami memang tidak akan berbaikan. Ia akan selalu menganggapku sebagai sosok yang bersalah dan menyebalkan.

Tapi seandainya saja kami bisa berbaikan sebelum aku pergi, hal itu akan membuatku lebih bahagia. Kuharap itu bisa terjadi.

"Mengapa tidak kau batalkan saja?"

Aku mendongak dan memerhatikan Aswin yang sedang memanjat pohon Eyata untuk mengambil beberapa buahnya.

"Aku ingin ke dunia atas," jawabku, singkat.

"Apa kau percaya kalau manusia bisa ke surga kalau sudah mati?"

"Aswin, apa kau percaya kalau sebenarnya surga dan neraka itu ada?"

Aswin melemparkan dua buah Eyata dan aku menangkapnya dengan baik.

Nampaknya ia belum selesai dan aku masih harus memandanginya dari bawah.

"Kau mau mengambil berapa?"

"Sebanyak jumlah yang bisa membuat perut kita membesar seperti ibu hamil," kekehnya.

Aku mencibir. "Kau memang menyebalkan. Bagaimana mungkin kau banyak makan dan tetap kurus."

“Oh! Sebaiknya aku  tidak mengambilnya terlalu banyak.”

“Sebaiknya memang kau mengambil buah secukupnya saja,” dengusku mengingatkannya.

“Iya secukupnya karena aku membawakan sesuatu untukmu.”

Aswin segera turun dari pohon Eyata dan mengambil sesuatu dari keranjang yang disandarkannya di bawah pohon.

"Makanan apa ini?" tanyaku sembari mengerutkan dahi. Aku belum pernah melihatnya.

"Coba saja Candhra. Lezat kok," jawab Aswin yang kemudian memasukkan makanan aneh itu ke mulutnya.

Aku memerhatikan benda yang ada di tanganku. Ukurannya sekelopak bunga Tartana.

Aku tidak yakin apakah bunga ini bisa dibuat seperti ini dan bagaimana caranya.

"Rasakan dulu sobat," ulang Aswin sembari mengambil makanan itu lagi.

"Kau membuat ini? Aku tidak pernah menemukan makanan seperti ini sebelumnya."

Aku mengernyitkan dahi, dan sebelum ia mengulang-ulang menyuruhku untuk memakannya, aku segera memasukkan benda itu ke dalam mulut dan mengunyahnya. "Wah pedas!"

Aswin terkekeh senang. "Tapi enak kan?"

"Lumayan," sahutku sembari mengangguk-angguk. Aku mengambilnya lagi dan merasakannya.

"Ini buatan ibuku, resep rahasia untuk peristiwa rahasia."

"Dan kau mengucapkannya dengan nada penuh rahasia."

Aswin terkekeh lagi, seolah pembicaraan kami ini adalah lelucon.

"Jadi apakah asalnya dari bunga Tartana?"

"Bukan. Aku juga pernah menebak itu ke ibuku tapi menurutnya jawabanku salah," sahut Aswin dengan makanan di mulutnya. Untung saja tidak sampai menyembur keluar.

"Kau ingin mengatakan kalau sebenarnya kau juga tidak tahu bagaimana membuatnya?" tanyaku binggung.

"Kan sudah kubilang ini rahasia."

"Kau menyebutkannya seolah bukan rahasia," gerutuku.

"Memang bukan rahasia tapi ra-ha-si-a." Aswin memenggal-menggal kata itu dan kembali tertawa. Ia nampak sedang senang hari ini.

Jelas itu lebih baik dibanding saat Aswin merasa tertekan. Ia akan banyak menampilkan wajah sepucat kapur. Kadang keringat dingin muncul di pelipisnya.

Tapi sekarang rona merah itu muncul di pipinya, seperti orang mabuk. Atau dia memang sedang mabuk? Ini mencurigakan sungguh.

"Kau mabuk ya, Aswin?" tanyaku sembari memicingkan mata.

Aswin menggeleng dengan agak berlebihan. Jelas ia agak mabuk, hanya tidak mau mengakui saja.

Aku nyaris berpikir kalau makanan aneh ini bisa membuat mabuk sampai aku melihat tempat minum milik Aswin.Dari baunya saja sudah ketahuan kalau dia minum anggur.

"Astaga! Anak ini benar-benar...."

Aku tidak sempat menyelesaikan kata-kataku. Aswin sudah tergeletak di atas rumput. Wajahnya menantang matahari. Mestinya ia merasa silau dan tidak nyaman.

Tapi senyum itu masih ada di wajahnya. Seolah tidak ada orang yang bisa mengganggunya.
Aku mendesah pelan. Mabuk? Kurasa Aswin sedang punya beban pikiran yang berat. Ia selalu mencari anggur jika sulit tidur. Untuk bisa tidur ia akan membuat dirinya mabuk dan ketika mabuk ia akan tertawa-tawa, dia seperti merasa terbebas dan lebih mampu menerima masalahnya.
Masalahnya aku tidak tahu apa yang sebenarnya mengganggu pikirannya.

Mungkin saat dia sadar aku akan mencoba mengajaknya bicara. Meski aku kurang yakin ia akan menceritakan apa yang tengah menganggunya.

Aswin terbangun beberapa jam berikutnya. Ia terlihat tidak lebih baik meski sudah tertidur. Seolah-olah masalah yang dimilikinya ikut mengejar hingga ke alam mimpi.

Aku segera memberinya minuman hangat dan sepiring makanan yang sudah dingin. Aku sudah makan malam beberapa jam yang lalu.

"Tidak, aku memang lapar tapi belum ingin makan. Biarkan aku menguasai kepalaku dulu," pintanya dengan suara lemah.

"Ada apa sebenarnya denganmu," tanyaku tidak mengerti.

"Ada apa dengan ada apa, aku tidak mengerti."

"Ya ampun kata-katamu kacau," gerutuku sembari memijat-mijat kening.

Aku duduk di atas kursi kayu, sudah agak reot tapi tidak masalah, masih cukup kuat menopang berat badanku.

"Seuntai kata maaf, katamu kau tak menerima. Penawaran dan penolakan. Semula dugaan, kini jadi kenyataan. Kauberi rasa manis, kau juga bawa kepahitan, namun kurasakan tawar."

"Aswin...."

"Ya?"

“Apa sesuatu terjadi di antara kau dengan Vedika?”

“Ya.”

“Itu menjelaskan segalanya.” Atau mungkin juga tidak.

Aswin tertawa masam. Aku hanya mengira-ngira, tidak berani bertanya lebih jauh padanya.


Chapter 15

"Kalian kemari untuk mencari tahu soal Archilum lagi?"

Aku menoleh dan mendapati Vedika tengah membawa beberapa gulungan perkamen di tangannya.

"Kau membaca semua itu?" tanya Aswin, terperangah.

"Dengar, aku baru saja menemukan fakta menarik soal Archilum."

Kami berjalan beriringan, mengikuti gadis itu ke dekat jendela besar di mana pertemuan kami sebelumnya mengambil tempat.

Ia membentangkan beberapa gulungan perkamen yang dibawanya ke atas meja, menyiapkan materi yang akan disampaikannya.

"Apakah Nebula tidak datang bersamamu?"

"Kenapa? Kau naksir padanya?" goda Vedika.

Aku hanya mendengus pelan. Kalau saja ia tahu Nebula punya hubungan yang disembunyikan dengan kakakku, pasti dia tidak akan membuat spekulasi seperti itu.

Seenaknya saja menuduh orang.

"Kupikir kalian selalu bersama," jawabku, tenang.

"Hari ini dia harus membantu ayahnya di peternakan. Beberapa ayam milik mereka mati mendadak."

"Apakah ada wabah?" tanya Aswin dengan mimik ngeri.

"Aku tidak tahu. Kuharap sih tidak ada sesuatu yang buruk."

Aswin mengerutkan keningnya. Aku tahu apa yang membuatnya khawatir, di rumahnya ia juga memiliki beberapa ekor ayam.

Tidak sebanyak milik keluarga Nebula dari spekulasiku karena tadi Vedika jelas-jelas menyebut peternakan. Sementara Aswin hanya beternak lebih untuk kebutuhan keluarganya saja.

Diam-diam aku mengalihkan penglihatanku pada Aswin, kemudian pada Vedika, kemudian ke Aswin lagi, lalu kembali ke Vedika.

Jika ditilik dari sikap Aswin kemarin, mestinya ada sesuatu yang terjadi di antara mereka bukan? Sesuatu yang tidak bagus sampai Aswin mabuk begitu. Dan jika aku telaah dari kata-katanya, sepertinya kisah cinta Aswin sudah bermuara pada penolakan.

Atau puisi itu hanya rangkaian kata-kata yang tidak mengacu pada kisah cintanya? Mungkinkah? Tidak mungkin. Selama ini puisi Aswin selalu mengacu pada keadaannya.

Jadi tidak salah lagi. Pasti ia sudah mulai mendekati Vedika, dan berakhir buruk.
Aswin juga terlihat tidak gugup seperti biasanya. Lebih aneh lagi, dia terlihat biasa-biasa saja ketika berada di dekat gadis itu.

Sulit rasanya membayangkan dia terlihat biasa-biasa saja di dekat gadis yang di sukainya. Aku masih belum menemukan jawaban dari kisah cinta Aswin, malahan hampir tidak berani menanyakannya. Takut menyinggung perasaannya.

“Jadi fakta apa yang baru kau temukan itu?” sahut Aswin sembari menatap Vedika seperti ia melihat adik perempuannya.

Vedika membentangkan sebuah gulungan perkamen dan menunjuk sebuah paragraf dengan petunjuknya.

“Dunia atas bukanlah surga seperti yang di dengung-dengungkan. Hanya tempat berbeda di dunia yang sama. Tempat yang lebih tinggi memang, tapi jelas bukan surga.”

“Apa yang dituangkan di sini?” tanyaku, tertarik.

“Bahwa di dunia atas tetap ada kematian. Jadi bisa di pastikan tempat ke mana orang-orang akan pergi ini bukanlah surga.”

Jujur saja aku memang tidak menilai dengan melewati Archilum maka kematian tidak akan bisa menyentuhku. Aku juga tidak merencanakan untuk meraih keabadian melalui upacara ini.

Aku hanya ingin melihat sisi kehidupan yang lain. Dunia atas nampaknya benar-benar berbeda dengan dunia bawah. Aku ingin melihat perbedaan itu dengan mata kepalaku sendiri.

“Menurutku memang tidak semua orang menginginkan keabadian dengan bermigrasi ke dunia atas,” ujar Aswin setelah beberapa detik penuh keheningan.

“Bukan keabadian?” tanya Vedika sembari mengangkat alis matanya. “Mungkin kalian berpikir untuk mendapatkan hidup nyaman. Tidak ada kelaparan, tidak ada kejahatan di atas sana?”

“Kami bahkan tidak membayangkan soal makanan di sana atau kebahagiaan. Kami malah berpikir bagaimana caranya untuk tetap bertahan hidup setelah mencapai dunia atas,” jelasku.

Vedika mengerut-ngerutkan dahinya. Jelas ia kebingungan.

“Yang jelas kami tidak seperti orang kebanyakan. Kalau tidak keberatan, aku ingin menemui si kembar sebentar,” ujar Aswin sembari mendorong bangkunya dan berdiri.

“Ada apa?” tanyaku ikut binggung untuk hal yang lain.

“Aku sedang mencari buku Rayuan Janur Kelapa, buku lanjutan Sekapur Sirih. Aku sudah memeriksa rak-rak sastra tapi tidak kunjung menemukannya. Barangkali si kembar melihatnya, aku akan segera kembali.”

Aswin melesat pergi bahkan sebelum aku sempat memberinya anggukan.

“Rayuan Janur Kelapa,” decakku pelan.

“Buku macam apa itu.”

“Itu buku kumpulan puisi,” sahut Vedika menjelaskan.

“Jadi kau membaca buku semacam itu juga?”

“Aku membaca beragam buku. Jadi apa yang ingin kau lakukan setelah mencapai dunia atas?"

Vedika menatapku lurus-lurus sembari melipat kedua tangannya di depan dada. Nampaknya gadis ini benar-benar tertarik dengan motif kami yang sebenarnya.

Tentunya jika orang-orang mengharapkan hidup yang mudah setelah mencapai dunia atas, aku dan Aswin memiliki paradigma yang berbeda.

"Melakukan petualangan di tempat baru, mengumpulkan pengetahuan-pengetahuan baru. Sesuatu yang mungkin tidak pernah di bayangkan sebelumnya.

Atau melihat sesuatu yang dianggap mustahil, terjadi di dunia atas," jawabku dengan tenang.

Pertanyaan semacam itu tidak akan membuatku gugup buat menjawab karena setiap malam aku selalu memikirkannya.

"Lalu untuk apa kau pergi kalau pengetahuan itu tidak dapat dibagikan kepada orang-orang di bawah sini," tuntut Vedika.

Sepertinya gadis ini memiliki cara pikir yang sama seperti Chatura. Hanya saja serangan yang disampaikannya tidak seagresif yang ditunjukkan kakakku.

Sebenarnya wajar memang. Banyak orang yang berpikir seperti mereka, maka dari itu jumlah orang yang mengikuti Archilum konon tidak pernah banyak.

Mereka sudah senang dengan kehidupan di bawah dini.

Kehidupan yang mereka lihat dan diajarkan oleh orang tua mereka. Kehidupan yang mereka kenal dan dinilai aman.

Di atas sana bukan berarti tidak ada bahaya. Mungkin saja peserta Archilum yang lolos dapat segera mati karena satu dua hal di atas sana.

Satu bumi namun dengan keadaan yang jauh berbeda.

Seolah orang-orang di dunia bawah dan atas memiliki dunia yang berbeda.

Padahal sama-sama manusia.


Bersambung....


Cerbung ini ada di majalah AN1MAGINE Volume 3 Nomor 6 Juni 2018 eMagazine Art and Science yang dapat di-download gratis di Play Store, share yaa


“Menerbitkan buku, komik, novel, buku teks atau 
buku ajar, riset atau penelitian di jurnal? An1mage jawabnya”

AN1MAGINE BY AN1MAGE: Enlightening Open Mind Generations
AN1MAGE: Inspiring Creation Mind Enlightening 
website an1mage.net www.an1mage.org

Comments

Popular Posts

PARTNERS

Contact Form

Name

Email *

Message *