CERPEN: Logika vs Emosi


“Logika vs Emosi”
Niken Penta Dewi


“Dandy” tangannya dijulurkan siap menerima jabat tanganku saat baru tiba di kantor di bilangan pusat kota Surabaya, “Risya” kataku lirih sambil melirik ID Card yang tergantung di dada kirinya, KEPALA HRD.

“Ini ruanganmu” kata Pak Dandy, seorang lelaki perlente yang cukup tampan dengan wajah serius. Kulihat sepintas ruangan kerja, mebel kantor sudah lebih dari cukup dengan suasana kantor yang sibuk namun hening.

Terlihat pegawainya bekerja dengan cekatan tanpa banyak bicara, aku tersenyum puas. “Mulai hari ini kamu bekerja dan jika ada yang kurang jelas bisa bertanya pada ibu Rahayu, Kepala Kantor” aku hanya bisa menganggukkan kepala sambil mataku mencari sosok Ibu Rahayu, ternyata beliau sedang ada urusan di luar kantor.

Hari ini, adalah hari pertama aku masuk kerja setelah menyelesaikan pendidikan D3 Akuntansi di satu universitas ternama di Malang, prosesi wisuda telah kujalani tiga bulan lalu.

Aku berjalan menuju meja kerjaku yang membelakangi jendela dan menghadap ke ruang direktur operasional.

Sejujurnya, aku masih ingin melanjutkan kuliah ke jenjang S1 namun apa daya tangan tak sampai, ayahku hanyalah seorang petani sayuran di lereng Arjuno, Malang, Jawa Timur.

Dalam kekikukan diri di hari perdana ini, aku duduk dengan diam mensyukuri nikmat ini, padahal aku sudah pesimis bisa diterima bekerja di sini dengan hanya berbekal ijazah D3. Mendadak terngiang suara ayah saat kutanyakan tentang keinginan melanjutkan studi ke S1.

“Risya, ayah hanya bisa memberikan warisan ilmu kepadamu dan itupun sebatas D3 ini, jika kamu ingin melanjutkan kuliah ke jenjang berikutnya, ayah hanya bisa merestui dan mendoakan semoga dirimu bisa meraih dengan cara yang terbaik, tentunya”, aku hanya diam terpekur.

“Adikmu masih 4 orang lagi yang perlu biaya pendidikan juga, dan jadilah putri sulung sebagai panutan mereka. Jangan sesali situasi dan keadaan kita sebagai orang biasa tapi justru jadikan sebagai batu loncatan ke arah masa depan dengan gemilang minimal bagi dirimu sendiri…”

“... bantu ayah untuk menuntaskan pendidikan adik-adikmu, karena dengan ilmu, kita bisa berpikir dengan jernih bukan seperti ayah atau ibumu yang mendahulukan emosi daripada logika”.

“Selain itu, dengan ilmu hidupmu akan lebih mudah bekerja yang tak hanya mengandalkan otot tapi juga otak dalam menyelesaikan pekerjaan”. Ayah menyesap sisa kopi hitam pahit yang masih mengepulkan aroma kopi asli, hasil penggorengan ibu sendiri di atas bara api kayu bakar.

“Maksud ayah tentang mengandalkan otak dan otot tadi, kamu sudah paham?” tanya Ayah dengan memandangku lekat-lekat dan kubalas dengan gelengan kepala.

“Begini, ayah rasa Risya bisa mendapatkan pekerjaan yang memakai otak lebih banyak porsinya daripada otot. Lebih mudah begini penggambarannya, kamu tahu perkerjaan ayah, sebagai petani. Yang Ayah gunakan porsinya lebih banyak untuk bekerja itu otak atau otot?” ayah diam menanti jawabanku.

“Otot” kataku dengan tegas, “kini, sudah paham ayah. Kalau begitu ijinkan Risya mencari pekerjaan di kota Surabaya dan doakan bisa diterima agar bisa membantu biaya sekolah adik-adik” kataku dengan percaya diri dan ayah mengganggukkan kepala sambil mengusap rambutku dengan lembut.

“Ayah izinkan, bekerjalah dengan sungguh-sunguh. Ayo Bu, kita ke kebun menuntaskan pekerjaan menanam kubis yang tadi ditinggal karena hujan”. Ayah dan ibu bergegas menuju kebun sayuran dan aku tercenung sendiri memikirkan percakapan ayah dan anak yang teduh nan hangat ini, meski dingin melilit raga setelah hujan deras mengguyur dengan lebatnya.
“Risya” seketika terkesiap mendengar namaku dipanggil seorang ibu yang suaranya berat sedikit nge-bass namun renyah dan terdengar berwibawa.

“Iya ibu, saya.. Risya.. “ sedikit tergagap karena aku tak tahu beliau siapa. Seorang ibu yang sudah berumur di atas kepala 4, senyumnya sungguh memesona dengan dekik di ke dua pipinya. Tampak kewibawaan beliau di mataku dan terasa kehangatannya saat berbicara, sepertinya semua karyawan begitu menghormatinya.

“Oh iya, maaf.. Perkenalankan saya, Ibu Rahayu, biasa dipanggil Ibu Ayu. Bisa ikut Ibu ke ruangan rapat?” belum sempat menjawab, beliau sudah berjalan dengan gesit dan langkah tegap seperti semua di anggap angin lalu.

Aku kira beliau akan arogan atau semacam pimpinan perusahaan yang menakutkan seperti dalam cerita sinetron di televisi atau penggambaran dalam novel, setidaknya mirip drama K-pop. Pemimpin yang culas, licik, tapi berwajah cantik dan berlagak anggun juga kaya.

Tapi ternyata, begitu beliau berselisih jalan dengan karyawan lain, mereka menyapa dulu atau sesekali Ibu Ayu yang lebih dulu bertegur sapa meski hanya memanggil nama bahkan lebih sering tersenyum ramah.

“Risya, jam 10 pagi ini akan ada rapat para pimpinan perusahaan, tolong bantu Ibu mempersiapkan ruangan juga konsumsi dan membagikan dokumen yang telah Ibu perbanyak ini di setiap kursi, paham kan?” tanya beliau lembut nan tegas.

“Paham bu,” balasku dengan segera mengerjakan tugas-tugas tersebut. Akhirnya selesai sudah pekerjaanku, dan hanya bisa menunggu hingga rapat usai.

Jarum jam tepat menunjukkan angka 17.20 WIB, rapat dibubarkan. Setelah membereskan ruangan, dan diperbolehkan pulang oleh Ibu Ayu, aku melangkah ringan menuju halte bus. Hari pertama bekerja telah berlalu dengan lancar dan aku bersyukur bisa melaluinya dengan baik.

https://andiktaufiq.files.wordpress.com/2015/02/liburan-ke-surabaya.jpg

Tak terasa sudah hampir dua tahun aku bekerja di perusahaan ini yang bergerak dalam perdagangan ekspor impor produk pertanian dan perkebunan di Surabaya.

Saat aku sibuk menyelesaikan laporan tentang daftar gaji karyawan yang akan dikirim ke lembaga keuangan sebagai rekanan perusahaan, berkelebat sosok Pak Dandy berjalan dengan langkah lebar layaknya seekor harimau kelaparan.

Berpapasan dengan Ibu Ayu tepat di depan meja kerjaku, dan begitu terkejut melihat perselisihan para petinggi di kantor ini.

“Belajarlah itu jika tak ingin dipecat” kata Dandy serius pada Ibu Ayu. “Tapi jika laporannya yang Ibu buat terlihat buruk, dengan mudah dirimu akan dipecat. Tak peduli apa pun alasannya”. Dandy menegaskan kekakuan Bapak Direktur Operasional, atasan kami.

“Apa?.. jangan memprovokasi saya lagi” Ibu Ayu menekannya. “Beraninya Bapak menyalahkan saya” beliau membuang nafasnya, “Risya, ambilkan dokumen yang kemarin Ibu minta untuk kamu pelajari” letupan kecil emosi ibu Ayu terbias pada nada suaranya.
“Kamu orang bodoh yang nekat,” amarah Pak Dandy meledak hebat membuat senyap suasana ruang kantor ini, “bertanggungjawablah atas perbuatanmu,” kata Pak Dandy masih ada ledakan emosinya.

“Kenapa Bapak marah seperti ini?.. kendalikanlah diri. Saya menyadari memang diri ini adalah orang bodoh yang tak bisa menghasilkan keuntungan bagi diri sendiri tapi mendapatkan laba dengan nominal berjuta perak bagi perusahaan.

Tapi ini merupakan kesalahan yang dipersonifikasikan agar saya membuat kesalahan dan masalah,” tegas Ibu Ayu dengan tetap berdiri anggun meski badannya bertumpu di meja kerjaku.

“Aku berkata seperti itu demi kebaikan kita,” tukas Pak Dandy cepat.

“Kalau begitu bicara dengan baik-baik, tak perlu membuat keributan seperti ini. Kita semua tahu bahwa hal yang terpenting dari suatu proyek adalah menyelesaikannya, setelah selesai baru kita tahu kualitas kerja. Maka kerjakanlah sesuai porsi pekerjaan kita masing-masing, dan saya mengubah laporan sudah sesuai sistem dan prosedur yang ada”.

“Mengapa laporan ini saya ubah?, seharusnya itu yang Bapak tanyakan bukan marah-marah tak tentu arahnya. Sebab, kita hidup di masa inflasi sehingga sangat memengaruhi bisnis perusahaan ini. Dan mengenai laporan ini juga sudah diketahui oleh Ibu Hani, Manajer Operasional” kata ibu Ayu sambil memegang kepala sendiri, nampak sikapnya dingin sekali.

“Apa? Kamu takut menghadapi kemurkaan Pak Direktur Operasional dengan berlindung di balik Ibu Hani? Ini semuanya menjengkelkan. Kenapa aku mengkhawatirkanmu padahal sudah merusak laporan yang telah kita buat sebelumnya,” jelas Pak Dandy marah.

“Tunggu Pak Dandy” ibu Ayu menghela nafas dengan lembut sambil berkata tegas dan jelas, “takut, terkadang kita perlukan untuk mengendalikan jiwa yang sedang dilanda emosi,” terdengar lugas dan mantap suaranya.

“Kupikir semua akan berjalan dengan baik karena Bapak tak mau berdiri di tempat lain, namun sayangnya kekuasaan dan wewenang berada di tangan orang yang jahat maka peraturan yang akan memenjarakan mereka, bukan begitu pak Dandy?” Pernyataan yang bagus dan langsung mengena sasaran, Ibu Ayu terlihat tersenyum puas dan Pak Dandy hanya diam membisu. 

“Aku butuh mereka tapi juga akan menghadapi para pencuri ilegal, kejahatan komplotan mereka itu memang cerdas,” kata Pak Dandy melunak, lalu berlalu menuju ke ruangan kerjanya.

“Kebenaran akan hilang karena kompromi atau kolusi,” sungutku pelan pada Tika, rekan kerja berdampingan meja tapi terdengar oleh Ibu Ayu dengan menoleh padaku.

“Bagai teori konspirasi antara Ibu Manajer Operasional yang lama dan Pak Dandy untuk menggeser kedudukan Ibu Ayu selaku Manajer baru” bisikku dengan suara sedikit keras pada Tika, dan dibalas dengan tatapan tajam Ibu Ayu dan Tika. Aku hanya mengangkat bahu dan ke dua tangan tanda tak memahami situasinya, hanya menduga-duga saja.

“Itu pemikiran yang bagus, Risya. Kamu pintar bermain kata dan sudah bisa membedakan antara logika versus emosi” Ibu Ayu membalikkan badan ke arahku dengan mengacungkan ke dua jempolnya.

“Apa itu tadi? Omelan atau frustasi Ibu mulai muncul.. Ah, Ibu sudah terasa menua ya” tanyanya cenderung ke diri sendiri, aku dan Tika diam saja.

Dan hari ini berlalu dengan suasana muram durja di kantor dan melelahkan jiwa dan raga juga menguras pikiran, aku dan Tika beserta Ibu Ayu lembur mengoreksi laporan yang diperdebatkan oleh Pak Dandy tadi.

Laporan besok pagi akan dibawa oleh pak direktur operasional ke kantor pusat dalam rapat terpadu seluruh anak cabang perusahaan. Tepat jam 2.00 lewat tengah malam, laporan sudah naik cetak, aku terkapar di sofa bergantian dengan Tika yang merebahkan badan duluan, dan Ibu Ayu pamit pulang.

Aku mengalami banyak peristiwa dalam mencari sesuap nasi setelah beranjak dewasa, ternyata benar bahwa hidup perlu untuk diperjuangkan. Dan jadilah pemenangnya, untuk itu diperlukan ketekunan, fokus pada pekerjaan dan ilmu yang memadai serta imajinasi malaikat bukan sensasi liar belaka.

Setiap kali aku melihat cahaya matahari, tak hanya memberi kehangatan tapi juga kekuatan melangkah di awal hari baru. Cerah dan bahagia saat berada di alam terbuka, magisnya memberi aura positif, menjadikan terasa lebih sehat dan segar jiwa raga.

Untuk menutup tahun, perusahaan mengadakan gathering bagi seluruh karyawan kantor yang dilaksanakan selama empat hari dengan tema “Bercengkerama Tanpa Rencana” di kawasan wisata Gunung Bromo, Pasuruan, Jawa Timur.

Sasaran dan tujuan acara ini sudah jelas, yaitu terjadi kekompakan, team work terjalin dengan indah dan mental serta motivasi karyawan bisa terbangunkan agar lebih bersemangat bekerja di tahun-tahun mendatang.

 https://www.pegipegi.com/travel/wp-content/uploads/2017/12/shutterstock_758055910.jpg

Sepulang dari Bromo, aku lanjutkan untuk berlibur akhir tahun bersama keluarga di kampung. Setelah turun dari bis, menunggu di ujung jalan menuju ke perkampungan rumah ke dua orang tua, aku menghirup udara sejuk yang menyegarkan paru-paru.

Sesaat aku takjub sendiri melihat pemandangan yang sungguh luar biasa indahnya dari tepi jalan raya Batu menuju ke Kediri. Nampak kebun sayuran dengan sistem terasiring, berundak-undak dan meliuk-liuk mengikuti kontur lereng gunung Arjuno.

Aneka warna sayuran berpadu indah, hembusan angin dingin pegunungan mulai merasuk dalam kulit di balik jaket parasutku. Gumpalan halimun turun perlahan dari puncak gunung menuju lembah, menambah suasana romantisme yang magis.

Tak lama kemudian, adikku yang nomor dua, laki-laki datang dengan suara sepeda motor jenis trail yang menderu lembut datang menjemputku. Langit yang tenang tiba-tiba menumpahkan hujan, kami berdua menembus hujan dengan tingkat kewaspadaaan yang tinggi.

Jalanan aspal yang berlubang dan menurun tajam serta licin karena air hujan melebat, membuat aku memeluk erat tubuh adikku yang dengan cekatan mengendalikan sepeda motornya.

Suatu keistimewaan pada kerja dini hari yaitu suasana alamnya penuh romansa bagai lukisan, aku ikut ayah ke kebun sayur. Tatkala kaki fajar sudah berlari di balik kemilau mentari pagi, aku sudah duduk di tepi danau dengan ke empat adikku.

Melihat matahari terbit dan air danaunya yang jernih dan bersih sehingga tampak bagai warna zamrud, sungguh pemandangan yang sempurna.

http://anekatempatwisata.com/wp-content/uploads/2014/09/Pulau-Sempu.jpg

“Ini salah satu hari terbaik untuk memancing ikan di danau,” teriakku lepas dan bebas setelah lama terkungkung bekerja dalam ruang sempit hanya selebar meja kerjaku di Surabaya yang panas namun sudah mulai menunjukkan kemolekannya.

Terbayang, taman-taman di pinggir jalan protokol nampak cantik dan terawat, jembatan Suramadu juga berhias diri kala malam hari tiba lampu neon aneka warna beratraksi manis memberi keceriaan pada warganya. Keasyikan kami memancing bersama menimbulkan kegembiraan dan rasa gotong royong sebuah ciri khas dari anak-anak luar kota.

Banyak hal yang harus dikerjakan secara beramai-ramai, mulai dari permainan rakyat yaitu layang-layang atau memancing seperti ini. Ada yang mencari cacing untuk umpannya, juga seorang adik sibuk memasang kail di tali pancing dan dua orang yang mencari bambu kecil untuk tangkai jorannya.

Kebersamaan seperti ini yang kurindukan saat harus berjuang hidup di belantara hutan Surabaya.
Di danau. Tak terasa matahari sudah menari-nari di atas kepala dengan ganasnya mencoba menembus mega mendung yang mulai terbentuk siap menumpahkan airnya.

“Kita pulang, aku sangat pusing karena kelaparan,” ajakku pada ke empat adik-adik yang serempak menjawab “setuju” dan dengan patuh mereka mengikuti langkah kakiku berjalan menuju rumah.
 
Akhirnya langit pun menangis, hujan rintik menambah kesyahduanku bergelung nyaman di balik selimut berupa kain panjang. Seiring malam berlalu dengan perginya mimpi-mimpi, kami sekeluarga bersiap menuju hari baru.

Hari esok yang lebih baik dengan warisan dari kedua orang tuaku yaitu ilmu. Banyak segi ilmu yang kami peroleh dari mereka selain ilmu dari sekolah maupun kampus, yaitu ilmu hidup dan berkehidupan antar sesama untuk saling menghargai dan menghormati dan beretika yang baik dan benar menuju kedamaian di negeri tercinta ini.


PROFIL PENULIS
Niken Penta Dewi, nama pena: Kirey Dewi Aju.
Telah menerbitkan novel berjudul “Diva: Cinta Yang Dirindukan” (2016) dan novel berjudul “Pelangi Jingga” (2017) juga buku kumpulan puisi berjudul “Lipstik Bicara”(2016) dan 28 buku antologi puisi dan cerpen (hingga kini).

Juara I dalam even cerpen, kisah nyata tema “Kebersamaan” (2017), sebagai penulis terbaik dalam even cerpen dengan tema “Kisah Inspiratif” (2018)

email: kireykembangaju@gmail.com dan nikenpenta@yahoo.com
Facebook: Kirey Dewi Aju (Edelweiss) dan Niken Penta Dewi.

Ayo berkarya, dengan ber-chatting juga, bergabunglah dengan inovel WA grup yang isinya tidak hanya candaan, tetapi benar-benar kamu bisa posting karya dan dimuat di majalah an1magine untuk karya-karya puisi, cerita pendek (cerita mini), cerbung, dan juga novel.
https://goo.gl/fU9Qc5
https://chat.whatsapp.com/EHoKxhRUJftKRzkBoGbk7F


Cermin ini ada di majalah AN1MAGINE Volume 3 Nomor 6 Juni 2018 eMagazine Art and Science yang dapat di-download gratis di Play Store, share yaa


“Menerbitkan buku, komik, novel, buku teks atau 
buku ajar, riset atau penelitian di jurnal? An1mage jawabnya”

AN1MAGINE BY AN1MAGE: Enlightening Open Mind Generations
AN1MAGE: Inspiring Creation Mind Enlightening 
website an1mage.net www.an1mage.org

Comments

Popular Posts

PARTNERS

Contact Form

Name

Email *

Message *