CERPEN: CATATAN DARI KLOROFO - Infinitree


CATATAN DARI KLOROFO: Infinitree
Archana Universa


"Bagaimana caranya manusia keluar angkasa, genius?"

Aku menoleh dan mendapati ayah menatapku dari balik kacamata berlensa plus-nya.

Aku suka tiap kali beliau mengajakku ngobrol soal luar angkasa.

"Bagaimana cara manusia keluar angkasa atau ke planet lain, atau mungkin galaxy lain?" tanya ayah.

Kadang aku merasa kata-katanya tidak lebih dari sekadar lelucon. Terlalu imajinatif. Namun perlahan aku merasa apa yang diucapkannya cukup logis dan possible.

"Melompat dengan sangat tinggi menggunakan trampolin khusus?" tebakku asal.

Saat itu adikku, Kloris masih berumur tiga, sementara umurku tujuh. Aku tidak ingat umur ayah, tapi aku ingat Kloris sedang melompat-lompat dengan trampolin ditemani ibu.

"Coba sebutkan seluruh cara yang kau pikirkan," pinta ayah sembari tersenyum.

"Terbang? Tapi manusia tidak terbang seperti burung," ujarku sembari mengernyitkan dahi.
"Hmmm," gumam ayah, tanpa komentar lebih lanjut.

"Mungkin dengan teknologi khusus...." gumamku melanjutkan.

"Seperti apa?" tanya ayah.

"Kembang api khusus luar angkasa. Atau balon yang bisa membawa manusia terbang keluar dari Bumi," jawabku, tidak yakin dengan ucapanku sendiri.

"Kau masih punya jawaban lain?" balas ayah.

Dahiku makin berkerut, memikirkan opsi lain.

"Bagaimana manusia keluar angkasa? Mungkin jawabannya begitu saja."

"Begitu saja?" ulang ayah, dengan senyuman khasnya.

"Ya. Begitu saja. Mendadak sudah ada di luar angkasa atau planet lain tanpa tahu caranya. Begitu saja," sahutku.

"Ah... Teleport alami, teknologi.... Jawabanmu mengagumkan, nak!" puji ayah.

"Sungguh?" tanyaku, sangsi.

Ayah mengangguk.

"Tapi aku asal menjawab saja," tepisku sembari menggoyang-goyangkan kaki hingga tidak sengaja sandal sebelah kiriku lepas.

"Kau tidak asal menjawab. Kau sudah mencoba memberikan jawaban dengan baik dalam waktu singkat," ujar ayah.

"Apa Ayah punya jawaban lain? Bagaimana manusia ke luar angkasa atau planet atau semesta lain?" balasku sembari mengambil sandal kiriku yang jatuh.

"Ada. Infinitree."

"Infinitree," ulangku seraya membulatkan mata.

Itulah saat pertama kali aku mendengar kata asing itu. Infinitree.

Pohon yang konon sudah sangat jarang, tapi diyakini ayah belum punah.

"Apakah Ayah mencari pohon itu?" tanyaku.

Ayah mengangguk. "Ayah mencarinya tiap kali melakukan riset, Kloro."

Ilmuwan. Ayahku seorang ilmuwan tanaman. Beliau sering bepergian. Sebulan, dua bulan. Di rumah kadang sehari, dua hari. Lalu pergi lagi.

Aku lebih banyak tidak bertemu dengannya. Bahkan sejak di kandungan. Hidupku banyak bersama ibu daripada bersama ayah.

Kadang aku berpikir ayah sebenarnya tidak terlalu sayang padaku, atau pada ibu. Kemudian saat Kloris, kebiasaan ayah untuk menghilang juga tidak berubah.

Ada titik di mana aku merasa harus menerima, bahwa ayah memang begitu. Dia suka bepergian. Kadang aku ingin ayah mengajakku, tapi katanya aku masih terlalu kecil (padahal menurutku aku sudah cukup besar dan tinggi, apalagi jika dibandingkan dengan Kloris).

"Ayah menemukannya?" tanyaku.

"Belum," bisik ayah, pelan. Dia mengusap kepalaku dengan telapak tangannya.

"Apa Ayah yakin Infinitree sungguh ada?" desakku.

"Bukankah lebih menyenangkan meriset tanaman yang sudah Ayah temukan saja? Kenapa merepotkan diri sendiri dengan tanaman yang tidak jelas?"

"Ilmuwan saja tidak cukup tanpa penemuan, Nak. Tentunya, Ayah juga meneliti tanaman yang sudah dikenal. Mencari tahu apa mereka memiliki khasiat atau efek lain, bisa yang bersifat positif atau negatif," jelas ayah.

Aku menggaruk kepalaku yang mendadak terasa gatal setelah diusap ayah. "Lalu Ayah tahu infinitree dari mana?"

"Kakek buyutku," bebernya.

Aku membuat suara vokal O yang cukup panjang sebelum melanjutkan, "Berarti penemunya kakek buyutmu."

"Tidak juga."

Aku mengernyitkan dahi.

"Kakek buyutku juga diceritakan oleh kakeknya," tutur ayah, menjelaskan lebih lanjut.

"Wah, jadi sudah berapa generasi? Kok Ayah tetap optimis sih?" tanyaku, tak mengerti.

Ayah tersenyum. Tangannya mengangkatku kemudian menaruhku dalam pangkuannya.

"Sudah bergenerasi-generasi. Aku tidak tahu berapa tepatnya. Kemudian, Kloro, apa menurutmu aku terlihat optimis?"

Aku mengangguk mantap. "Kau adalah orang paling optimis yang kukenal di Bumi."

"Aku tersanjung," jawab ayah, terlihat senang atas pujianku.

Tapi aku sebenarnya tidak bermaksud memujinya. Aku hanya mengatakan kebenaran dalam kepalaku. Tidak ada kepentingan khusus untuk membuat ayah senang.

"Ayah aku merindukanmu." Kalimat itu meluncur begitu saja dari mulutku.

Tubuh ayah mematung sesaat. Namun bibirnya tidak menjawab.

"Aku menyayangimu, sangat!" tambahku sembari memeluknya erat.

***

Ayah sudah berangkat lagi tadi sore. Aku tidak akan bertemu dengannya selama beberapa saat.
Meski demikian ayah meninggalkan catatan mengenai Infinitree padaku.

"Kenapa kau tidak membawanya saja?" tanyaku, tapi tanganku menerima pemberiannya.

"Agar kalau kau rindu padaku, kau bisa membacanya, nak."

"Tapi aku lebih suka kalau kau tidak banyak pergi. Jurnal ini tidak bisa menggantikan kehadiranmu," tegasku.

"Oh memang bukan itu tujuanku. Aku ingin kau lebih memahami apa yang sedang kuperjuangkan, Klorofo." Ayah berhenti sejenak sebelum menambahkan, "Lagipula aku terlalu keren untuk digantikan jurnal usang."

Aku menimang jurnal ayah dalam pelukanku, memperlakukannya dengan istimewa.

Tidak butuh waktu lama untukku mulai membaca jurnal ayah. Banyak kata-kata asing yang tidak kumengerti. Ayah sudah menduganya lebih dulu. Jadi ia menambahkan catatan tambahan untuk istilah-istilah alien itu.

Meski begitu tetap saja sulit mencerna catatan ayah. Tapi bukan berarti aku menyerah. Aku kadang mengulang bagian yang sama berkali-kali. Kadang mengira-ngira artinya. Kadang meminta tolong ibu untuk membantuku belajar.

"Aku mendadak merasa sangat bodoh karena sulit sekali mencerna tulisan ayah," keluhku pada ibu pada akhir minggu pertama jurnal itu ada di tanganku.

"Kau genius nak. Memang tingkatan buku itu saja yang berat. Pelan-pelan kau akan memahami isinya, sekaligus memahami Ayahmu," kata ibu menguatkan semangatku.

"Apa ibu sudah berhasil memahami Ayah?" tanyaku.

"Ayahmu itu penuh misteri dan kejutan," tawa ibu.

Kloris ikut-ikutan tertawa meski tidak sepenuhnya memahami pembicaraanku dengan ibu. Adikku itu memang sering terpengaruh dengan sekitarnya. Tertawa ketika ada yang tertawa. Menangis ketika ada yang menangis.

"Aku lebih suka ayah menjelaskan Infinitree langsung saja daripada memberikan jurnal memusingkan ini padaku," rutukku, kesal.

"Kau tahu ayahmu sibuk. Lagipula belajar mandiri juga bagus. Kau bisa membuat catatan pertanyaan buat ayah dan menanyakannya langsung saat dia pulang," usul ibu.

Aku mengangguk. "Aku sudah punya segudang daftar pertanyaan untuk ayah!"

***

Sore itu aku dan ibu, juga Kloris, tengah berada di pekarangan.

Kloris sedang membuat sekuntum mawar menguncup lalu mekar, lalu kuncup lagi, mekar lagi seiring dengan gerakan tangannya. Sementara ibu membuang daun-daun yang menguning.

Aku memangku jurnal Infinitree. Beberapa bagian yang mudah dipahami dan menarik buatku, telah kubaca berulang kali. Setidaknya pemahamanku soal Infinitree sudah berkembang pesat selama hampir dua bulan ini.

Dedaunan di pekarangan bergemerisik pelan meski tanpa angin. Aku sudah hafal kejadian macam ini. Tidak perlu berhitung hingga dua untuk menemukan ayah muncul dari salah satu balik pohon.
 
https://medium.com/the-mission/scale-mechanics-jack-the-beanstalk-36bafce81fb4

Seolah-olah pohon di pekarangan ini memiliki pintu rahasia yang akan membawa ke tempat rahasia.

"Ayah!" seru Kloris riang. Dia meninggalkan mawar yang sendari tadi menjadi pusat perhatiannya dan segera berlari mantap ke arah ayah.

Ibu juga menyudahi kegiatannya. Mendekati belahan jiwanya.

Keadaan ini begitu kontras denganku yang hanya bergeming, duduk di undakan pintu masuk, memegang jurnal Infinitree di tangan.

Ayah segera menggendong Kloris dan mengecup pipi ibu. Tas ransel ukuran jumbonya ada di punggung. Aku tahu dia letih sekaligus gembira karena bisa pulang.

Mereka bertiga menuju ke arahku. Ayah memberikan senyuman yang kurindukan selama dua bulan ini.

"Hai genius!" Ayah menyapaku.

Aku bangkit. Memeluk pinggangnya.

"Aku senang Ayah kembali," kataku dengan volume yang tidak lebih keras dari sekadar bisikan.
Meski begitu, aku yakin ayah menangkap ucapanku.

Ayah meraih tanganku dan kami berempat masuk ke dalam rumah.

***

Aneh. Aku merasa gugup akan kedatangan ayah kali ini. Bukan, aku bukannya tidak senang ayah pulang. Aku rindu diskusi berdua dengannya. Hanya saja kali ini aku takut ayah akan menguji pengetahuanku soal Infinitree.

Kuharap usahaku memahami jurnalnya selama ini sudah cukup baik. Jadi ayah akan merasa bangga padaku. Meski begitu, sebenarnya banyak hal yang masih belum kupahami.

Selepas makan malam, ibu membawa Kloris yang telah mengantuk ke kamar. Aku dan ayah tinggal berdua di ruang keluarga.

"Kau jadi agak pendiam, Nak," kata ayah yang tentu saja merasakan perubahan sikapku.

Biasanya aku akan bermanja-manja tiap kali ayah pulang. Menceritakan hal-hal yang terjadi selama beliau tidak ada di rumah.

"Apa kabarmu, genius?" tanyanya karena aku masih belum bersuara.

"Yah begitu...." jawabku, ragu.

Dia mengangkatku dan menaruhku dalam pangkuannya. "Ya ampun kau bertambah berat! Apa berat badanmu naik seribu kilogram selama aku pergi?" godanya.

Aku mengernyit. "Kurasa bukan seribu, tapi naik sepuluh ribu kilogram. Hanya saja mestinya penurunan beratku lebih banyak. Sekitar dua puluh ribu."

"Mengapa begitu?" timpal ayah, geli dengan celotehanku.

"Karena otakku panas terus. Jadi banyak kalori yang hilang," jelasku.

Ayah tertawa sejenak. Kemudian ia meniup-niup kepalaku, katanya agar otakku tidak overheat.
"Sudah baikan?" tanyanya sambil mengacak-acak rambutku.

Lagi-lagi, aku menggaruk kepalaku yang mendadak terasa gatal setelah diusap ayah. Kurasa belum lama ini ayah baru menggunakan tangannya untuk meneliti kotoran sapi atau mungkin meneliti segunung kecoak yang sudah tewas. Jadi banyak bakteri di tangannya.

"Lumayan." Aku terdengar tidak yakin atas kata-kata yang kuucapkan sendiri.

"Ceritakan padaku, apa saja yang telah kau pelajari sampai kepalamu terasa panas, Kloro," pintanya, menyunggingkan senyuman.

Aku menghela napas panjang. "Apa kita sedang membahas Infinitree, sekarang?"

"Apa pun yang ingin kau bagi padaku, genius," sahut ayah.

"Semakin membacanya aku semakin optimis infinitree itu ada. Hanya saja aku punya pemikiran sendiri kenapa pohonnya sulit ditemukan," kataku sembari mengerutkan dahi.

"Hipotesis, katakan genius!" seru ayah bersemangat.

Aku membuka jurnalnya. Halaman yang sudah kuhapal. Gambar daun yang dicurigai sebagai daun infinitree.

"Bukankah ini tidak terlihat asing?" tanyaku sembari menunjuk gambar tersebut.

"Mirip marijuana," gumam ayah.

"Aku juga memikirkannya. Cannabis." Aku menyebutkan nama lainnya.

"Jadi?" tanya ayah.

Aku menghela napas panjang, mempersiapkan diri untuk memberitahu ayah mengenai hipotesisku yang agak gila.

"Ini hanya dugaan, OK? Bisa benar bisa salah."

"Tidak ada yang menuntut hipotesis harus benar, genius. Ungkapkan," pintanya.

"Infinitree. Hanya muncul jika pohon tersebut sudah berusia beribu-ribu tahun. Jika tidak, maka hanya tanaman Cannabis biasa." Aku berhenti sejenak. "Tapi Cannabis saja mungkin tidak cukup. Kurasa ada persilangan tanaman, mungkin bukan tanaman dari Bumi. Juga ditambah kekuatan dari manusia."

"Kekuatan seperti apa?" celetuk ayah.

"Seperti milik Kloris. Dia bisa mengendalikan tanaman. Pertumbuhan tanamannya perlu diarahkan. Juga terkadang diperlukan dua infinitree untuk menjembatani dua planet. Dua tanaman ini perlu bertemu dan beririsan," jelasku.

Ayah tersenyum. "Butuh perencanaan matang dan panjang supaya manusia bisa pindah ke planet lain 'hanya' menggunakan pohon, bukan begitu?"

Aku mengangguk.

Ayah melanjutkan. "Banyak yang menilai Infinitree hanya mitos. Namun aku tidak setuju. Konon, bagian bawah pohonnya sangat kuat, sehingga mampu meneruskan pertumbuhan meski puncaknya sudah berada di luar angkasa.”

“Daun-daunnya hanya menghasilkan oksigen, tidak seperti pohon pada umumnya yang menghasilkan karbondioksida selain oksigen. Kemudian batangnya menyediakan air dan dapat dikonsumsi oleh para 'penyeberang'. Keistimewaan inilah yang membuat Infinitree membuat manusia berpindah planet hanya dengan menyusuri batangnya."

"Pasti orang-orang yang menyeberang dengan infinitree sangat kuat karena bisa memanjat begitu tinggi," gumamku.

"Benar. Para penyeberang biasanya memiliki kekuatan fisik tidak biasa. Oh! Aku lupa menyebutkan kalau batang Infinitree juga menghasilkan gravitasi, jadi biar di luar angkasa, para penyeberang tidak akan melayang jauh dari batangnya," tambah ayah.

"Apa orang-orang para penyeberang ini perlu selalu dekat dengan daun Infinitree agar bisa bernapas?" giliran aku yang bertanya.

"Benar, selama makhluk tersebut membutuhkan oksigen untuk bernapas. Makhluk yang tidak membutuhkan oksigen kebanyakan tidak bisa menyeberang menggunakan Infinitree.”

“Kudengar para penyeberang menggunakan daun Infinitree seperti masker. Tentu ada batas waktunya. Namun tetap membantu siapa tahu ada bagian batang yang tidak berdaun sehingga kadar oksigen di area tersebut rendah," jelas ayah.

Aku lagi-lagi mengernyitkan dahi. "Tapi masih tetap ada masalah biarpun Infinitree punya gravitasi, oksigen, air, juga menghasilkan makanan. Bahaya di luar angkasa. Asteroid misalnya. Apakah tidak menghancurkan Infinitree?"

"Pertanyaan bagus, genius," senyum ayah.

"Kurasa karena bahaya itulah Infinitree tidak populer. Banyak Infinitree dihancurkan karena dinilai tidak aman untuk berpindah ke planet lain. Maka dari itu kini sulit sekali menemukannya."

"Kalau memang Infinitree tidak sekeren itu, kenapa Ayah masih tetap mencarinya?" tanyaku, binggung.

"Karena pencatatan itu perlu. Aku juga memikirkan persilangan yang kau utarakan sebelumnya. Aku ingin menemukan Infinitree bukan untuk menyeberang. Aku hanya ingin menemukan pohon itu saja supaya tidak dituduh hanya mitos belaka."

"Semangat Ayah! Kutunggu tambahan catatan luar biasa berikutnya di jurnalmu," kataku sembari mengembalikan jurnal yang telah kubaca habis itu.



Cermin ini ada di majalah AN1MAGINE Volume 3 Nomor 6 Juni 2018 eMagazine Art and Science yang dapat di-download gratis di Play Store, share yaa


“Menerbitkan buku, komik, novel, buku teks atau 
buku ajar, riset atau penelitian di jurnal? An1mage jawabnya”

AN1MAGINE BY AN1MAGE: Enlightening Open Mind Generations
AN1MAGE: Inspiring Creation Mind Enlightening 
website an1mage.net www.an1mage.org

Comments

Popular Posts

PARTNERS

Contact Form

Name

Email *

Message *