MINDPORTER 2: Archilum oleh M.S. Gumelar di An1magine
MINDPORTER 2: Archilum
M.S. Gumelar
Memang aku tidak bisa memastikan kalau makhluk yang tinggal di atas sana adalah manusia sama seperti keadaan di bawah. Tapi aku yakin peserta Archilum sebelumnya sudah meneruskan keturunan di atas sana. Jadi pasti ada makhluk mirip kami.
Tidak mungkin semuanya mati setelah mencapai atas. Pasti ada yang bertahan dan berhasil beradaptasi dengan lingkungan yang jauh berbeda dengan dunia bawah.
"Apa yang sebenarnya ingin kau sampaikan Vedika?" tanyaku sembari memicingkan mata.
"Aku hanya ingin orang-orang yang pergi tetap memikirkan orang-orang di dunia bawah. Berjanjilah kalau kau akan mencari jalan kembali dan menceritakan hal-hal menarik di atas sana," ujarnya sembari memalingkan muka, tidak berani menatapku lagi.
"Mengapa kau tidak mencoba pergi ke dunia atas saja kalau keingintahuanmu memang besar. Kau juga sangat penasaran dengan upacara agung, bukan?" bujukku.
"Seandainya aku memiliki kesempatan untuk itu. Tapi tidak. Aku adalah satu-satunya putri dari kedua orang tuaku yang sudah renta. Mereka memilikiku setelah menikah bertahun-tahun lamanya. Jika sekarang aku pergi, itu hanya akan membuatku merasa bersalah."
"Tentu kau akan mengambil keputusan yang terbaik bagimu. Kurasa pilihanmu sudah tepat," kataku menenangkannya.
"Maka dari itu, karena aku tidak dapat pergi, aku meminta orang-orang yang pergi supaya mencari jalan agar dapat kembali," ujarnya dengan penuh harap.
"Harus kuakui aku cukup iri pada kalian yang bisa pergi ke atas. Seandainya saja orang-orang percaya bahwa mereka yang pergi ke dunia atas dapat kembali, maka aku akan berusaha merayu orang tuaku dan berjanji untuk segera kembali," lanjutnya.
"Kenyataannya memang kudengar belum ada yang pernah kembali. Kecuali Rawi penulis buku itu. Hanya saja banyak orang menyangsikan tulisannya. Tidak yakin kalau Rawi benar-benar pernah pergi dan dapat kembali," desahku, pelan.
"Masalahnya buku itu sendiri baru ditemukan dua belas tahun setelah Rawi meninggal. Dan tidak ada orang yang berani bersumpah bahwa Rawi memang pernah berhasil ke dunia atas, bahkan kembali ke dunia bawah."
"Kau tahu itu terdengar sangat rumit."
"Memang. Sebenarnya aku memikirkan kemungkinan lainnya."
"Mengenai pengetahuan yang Rawi dapatkan?"
Vedika mengangguk. "Bisa saja buku itu dijatuhkan orang dari dunia atas."
"Tapi untuk apa?" tanyaku tidak mengerti.
"Untuk memuaskan keingintahuan orang-orang bawah akan dunia atas. Mungkin saja penulisnya sempat menjadi orang dunia bawah. Setelah berhasil mencapai atas, dia tidak tahu cara kembali, jadi ia mencoba memberitahu apa yang ada di dunia atas dengan menjatuhkan buku dari langit."
Aku menimbang-nimbang apa yang baru dipaparkan Vedika. Sebenarnya antara mungkin dan tidak mungkin. Maksudku, jika memang buku itu dijatuhkan, mestinya kondisi buku tersebut sangatlah buruk.
Tidak menutup kemungkinan buku itu rusak ketika dijatuhkan dari atas.
Kemungkinan lainnya, buku itu memang rusak kemudian si Rawi menulis ulang hal-hal yang masih bisa di selamatkan.
Aku secara pribadi merasa buku ini sangat tidak lengkap.
Jadi bisa saja buku itu memang di tulis ulang. Tapi entah mengapa aku selalu memikirkan jika saja Rawi memang pernah ke dunia atas dan kembali, itu akan membuat perbedaan yang besar.
“Kuharap kau bisa menguak misteri ini, tapi mula-mula kau harus berhasil melewati upacara agung,” sambung gadis itu.
“Aku memang tidak memiliki rencana buat gagal.”
Kata-kata Vedika tentu berhasil bercokol di kepalaku. Ia ingin orang yang berhasil melewati Archilum supaya berusaha kembali ke dunia bawah.
Supaya pengetahuan dari orang-orang yang pergi bisa dibagikan kepada orang-orang yang tinggal.
Aku juga ingin melakukannya seandainya ada jalan buat kembali. Masalahnya hingga kini yang bergaung hanyalah cara untuk pergi. Seolah ini hanya perjalanan satu arah.
Di mana orang yang pergi, tidak diperhitungkan untuk kembali lagi.
Archilum adalah upacara kepergian, bukan keberangkatan dan kembali. Setidaknya itulah yang jelas hingga sekarang.
Kemungkinan untuk kembali seolah-olah terdengar mustahil karena minimnya data soal kepulangan. Tapi siapa tahu pulang bukanlah hal yang mustahil. Jika itu memang memungkinkan, aku akan berusaha pulang.
Pulang memang menjadi konsep yang aneh untuk sekarang. Tapi siapa tahu ketika sudah tiba di dunia atas, pengetahuan soal pulang ke dunia bawah dapat dengan mudah diperoleh.
Pengetahuan dari bawah ke atas di dapatkan melalui Archilum. Pengetahuan dari atas ke bawah mungkin akan segera aku ketahui segera setelah mencapai dunia atas.
Yang penting berusaha dulu. Mula-mula aku harus berhasil ke atas, setelah di atas aku baru bisa memikirkan cara buat ke bawah. Karena jika aku tidak pernah di atas, bagaimana aku bisa mendapatkan cara untuk ke bawah?
Pikiran-pikiran itu terus hilir-mudik di kepalaku. Ya. Jika aku sudah berhasil nanti, aku akan mencoba mencari jalan untuk kembali.
Mungkin dengan kembali aku bisa melepaskan kerinduanku pada ibu dan kakakku. Mereka pasti akan senang jika aku kembali. Chatura akan tersenyum saat itu dan berhenti memarahiku, dan ibu mungkin akan menangis.
Sebenarnya aku tidak yakin apakah ibu akan menangis. Aku tidak pernah melihatnya menangis sepanjang hidupku.
Ibuku adalah orang yang tegar. Ia rela meninggalkan sukunya demi menikah dengan ayah. Ia berani mengambil tanggung jawab untuk membesarkan anak-anaknya ketika ayahku menikah.
Ibuku adalah panutan, sekaligus sosok untuk ditertawakan.
Ia tidak terlalu cerdas, namun daya juangnya lebih keras dari pada baja. Tidak mengeluh pada hal buruk yang terjadi dalam hidupnya.
Jadi jika aku memiliki daya juang dan keberanian buat melangkah ke dunia yang baru, itu karena gen yang diturunkan ibuku. Gen seorang pejuang, gen pemberontak.
Kadang aku ingin cepat-cepat tertidur saat malam untuk menghindari ibu.
Menghindari tatapannya. Memahami kadang aku terlalu fokus pada diriku sendiri dan tidak mengindahkan perasaannya.
Hari ini aku melihatnya terduduk di pelataran rumah kami. Lesu dengan kaki memar. Perlahan bengkak itu membesar membuat hidupku terasa di neraka.
"Tidak apa-apa. Tidak apa-apa," gumamnya pelan seolah tidak ingin memecahkan kesunyian senja kali ini.
"Bagaimana...."
"Aku tidak berhati-hati. Aku sudah melihat lubang itu beberapa kali. Namun hujan tadi sore membuatku berjalan secara tergesa-gesa dan melupakan bahaya yang berasal dari tanah."
"Tidakkah Chatura pergi bersamamu?" tanyaku sembari memeriksa lukanya.
"Dia pergi siang tadi," ujar ibu setelah menghela napas.
"Ke mana? Bukankah semestinya ia menjagamu?" tanyaku emosi.
Sebenarnya aku tidak boleh melimpahkan kesalahan ini pada Chatura mengingat aku sendiri juga tidak menjaga ibu. Namun tetap saja aku berharap ia berada di sisi ibu ketika hal itu terjadi, Chatura bisa membopong ibu pulang.
Beliau tidak semestinya berjalan kaki pulang dengan kaki yang bengkak.
"Tidak perlu cemas, aku baik-baik saja," kata ibu sembari menepuk-nepuk bahuku.
Aku duduk di sebelahnya dan menghela napas.
"Aku akan membuatkan bubur beras untukmu, ibu."
Ibu menepuk-nepuk punggung tanganku dengan sayang.
"Kau tidak perlu melakukannya. Aku bisa melakukannya, tidak perlu mengkhawatirkanku."
"Aku tidak mengerti, ibu," bisikku lirih.
Aku bahkan kadang tidak mengerti diriku sendiri, pikirku dalam hening.
“Jangan membebani dirimu karena aku atau Chatura. Hidupmu adalah milikmu.”
Aku menundukkan kepala. Sikap ibu dan Chatura benar-benar bertolak belakang. Jika dengan Chatura aku merasa terintimidasi, maka di hadapan ibu aku merasa lemah. Aku ingin membawanya pergi ke dunia atas.
“Mengapa kita tidak pergi ke dunia atas saja bersama?” Aku menyerukan ide yang terdengar gila itu. Aneh memang, tapi kurasa aku perlu mengutarakannya.
Ibu tersenyum lebar, reaksinya benar-benar tidak terduga.
“Tidak Candhra. Aku ini juru kuil untuk dunia atas. Biar Outi yang memerankan itu, tapi aku yang lebih tahu keadaan bumi bawah.”
“Tanggung jawab yang memuakkan,” desisku pelan.
“Sudah kubilang untuk tidak merasa terbebani. Jika kau merasa perlu pergi, maka kau cukup memfokuskan dirimu untuk pergi. Tidak perlu memikirkan hal-hal lain yang tidak perlu.”
“Tapi....”
“Tidak ada tapi. Aku hanya ingin kau berhasil melewati Archilum dan membuatku bangga,” sela ibu masih dengan senyum hangat yang sama.
Ibu pergi ke sumur untuk membersihkan diri. Sementara aku merebuskan tanaman obat untuk mengobati memarnya. Tidak butuh waktu lama untuk membuat aroma obat menguar ke udara.
Berhubung aku sudah menyalakan api, aku akan membuatkan makanan sekalian. Aku tidak mau melihat ibu sibuk di dapur saat sedang sakit. Jadi aku juga mulai membuat bubur beras dan juga memasak jamur.
"Kau pikir kau ini jagoan?"
Aku berbalik dan mendapati Chatura tengah mengerutkan dahi padaku.
"Aku tidak akan terkejut Chatura, sungguh, selama ini kita memang jarang sependapat," sahutku sembari memotong sisa jamur yang tersisa.
Biar aku jarang memasak di rumah, bukan berarti masakanku tidak enak. Memang tidak akan terdiri dari banyak rempah seperti yang biasa dibuat ibu. Tapi aku cukup terampil di bidang ini.
"Dengar, kami membutuhkanmu, Candhra."
"Jangan tampil rapuh di depanku," ujarku mendengus.
Kuletakan pisau yang baru saja kugunakan dan menyingkirkannya jauh-jauh. Tidak benar ada benda tajam di sekitar pertengkaran. Aku percaya akan baik-baik saja, tapi bisa jadi Chatura akan kalap.
Katakan saja kalau emosiku sebenarnya lebih tenang daripada Chatura. Biarpun secara umur dia lebih tua daripadaku, tapi kedewasaan belum tentu.
Dia bisa jadi sangat pendiam, lebih pendiam dibanding aku. Tapi diamnya itu bukan cerminan dari kesabaran. Diamnya adalah bom waktu karena timbunan dendam.
Aku ingat benar betapa banyaknya ia berkata bahwa kesabaran itu memiliki batas. Padahal aku tidak pernah melihat pangkal dan ujung kesabaran itu.
Hanya pilihan. Hanya kontrol emosi. Dan dia tidak lebih dari seorang pendendam.
Biar dia tidak pernah meneriakkannya, aku tahu benar kalau dia sangat marah ketika ayah memintaku tinggal bersamanya sementara dia harus tinggal dengan ibu.
Pilihan semacam itu. Kenyataan semacam itu, dan di matanya akulah yang bersalah.
"Aku tidak percaya, kau sama sekali tidak nampak berat untuk pergi meninggalkanku juga ibu”
“Entah makhluk egois macam apa dirimu itu," cibirnya lagi kemudian berlalu.
Entah berapa menit yang kulewatkan untuk berdiri sembari mengepalkan tangan.
Kalau saja aku bisa membenci Chatura, mungkin segalanya akan terasa lebih mudah dan ringan.
aku tidak akan melakukannya. Bagaimanapun dia saudaraku dan aku paham benar kebencian bukanlah jalan keluar yang menyenangkan.
“Kalian bertengkar lagi.”
Ibu sudah muncul dengan rambut yang masih agak basah. Jalannya agak tertatih-tatih karena kakinya yang sakit.
“Ibu sudah selesai membersihkan diri?” tanyaku sembari menuntunnya berjalan.
“Aku bisa melakukannya sendiri. Berjalan tidak jadi masalah. Jangan membuatku merasa lebih tua dari umurku yang sebenarnya,” ujarnya sembari tersenyum.
Rasanya aku benar-benar ingin berteriak tidak tahan. Bagaimana mungkin ibu masih bisa tersenyum padahal kakinya sedang sakit? Aku benar-benar tidak bisa memahaminya.
“Kuharap kalian bisa lebih akur,” lanjutnya lagi.
“Aku tidak memulainya,” jawabku membela diri.
“Aku tahu. Yang jelas jangan membencinya. Chatura mungkin terlihat jahat, tapi sebenarnya ia peduli.”
“Aku tahu,” erangku, pelan. “Duduklah. Aku sudah merebuskan tanaman obat dan akan menyelesaikan masakanku.”
Chatura nampaknya masuk ke kamarnya karena ia tidak terlihat ketika aku membantu ibu duduk di ruang keluarga yang juga berfungsi sebagai ruang makan.
Setelah ibu duduk di dekat jendela, aku segera mengambilkan air obat yang telah kubuat.
“Sepertinya masih panas. Tunggulah beberapa saat sebelum ibu merendam kaki,” kataku memberitahu.
“Terima kasih sudah membuatkanku air rebusan.”
“Memarmu terlihat cukup buruk. Kuharap obatnya bisa membuat kaki ibu cepat sembuh.”
Aku kembali ke dapur kembali. Bubur yang kubuat sudah matang, begitu pula tumis jamur yang kubuat. Aku memindahkan keduanya dari wajan ke perkakas makan. Tidak lupa aku mematikan api.
Chatura masuk ke dapur dan membantuku mengambilkan piring sementara aku membawa bubur dan lauk ke meja tempat ibu menunggu.
“Ia nampak masih kesal, namun tidak mengatakan apa pun.
“Wangi sekali masakanmu, Candhra,” puji ibu sembari menerima piring dari Chatura.
Keluarga kami cukup berada. Kebanyakan masyarakat di sini masih makan menggunakan alas daun, sementara kami sudah memiliki piring dari tanah liat.
“Makan yang banyak ibu, Chatura,” ujarku sembari membagikan bubur ke piring mereka.
Chatura memandangi piringnya yang kuisi dengan bubur, ia tidak mengangkat wajahnya untuk menatapku.
Kurasa ia pasti sedang menahan diri sekarang untuk tidak bersi tegang di depan ibu.
Setidaknya sekarang apa yang diperbuatnya adalah benar. Tidak perlu menyeret ibu dalam perdebatan kami.
Meski begitu semestinya Chatura sudah menerima keputusanku.
Ia tentunya tahu kalau ibu juga tidak menghalangi keinginanku. Kuharap lambat laun ia juga memiliki pendapat yang sama.
“Kaki ibu kenapa?” Chatura memerhatikan air rebusan yang kini tengah digunakan ibu untuk merendam kakinya sembari makan. Sepertinya ia baru menyadarinya.
“Sedikit bengkak. Kakiku akan segera baikan dengan cepat,” kata ibu mententramkan.
“Candhra! Kau harusnya ikut menjaga ibu, bukannya bermain-main dengan hewan berkaki sepuluhmu itu!” seru Chatura sembari melotot ke arahku.
Akhirnya aku kena damprat juga. Benar dugaanku, sedari tadi Chatura hanya menahan amarahnya. Ditahan dan menunggu buat meledak.
“Kau sendiri memangnya ada keperluan apa sampai membiarkan ibu pulang sendiri?” tuntutku tidak mau mengalah.
“Aku mencari jamur untuk tambahan makanan. Sebentar lagi musim panen jamur akan lewat. Kita perlu memiliki simpanan untuk melakukan barter dengan makanan lain”
“Kau pikir aku melarikan diri sepertimu? Tidak! Aku memikirkan keluargaku. Aku melakukan apa pun yang bisa kulakukan untuk kebahagiaan keluargaku, bukannya mementingkan diri sendiri!”
“Sudah! Sudah! Kita sedang makan malam sekarang,” tegur ibu dengan suara lembutnya yang khas.
“Ibu aku tidak mengerti mengapa kau membiarkan anak tidak tahu diuntung ini pergi?”
“Kau sudah kehilangan suami sekarang kau ingin anakmu pergi juga?” desak Chatura, tidak terima.
“Chatura! Kita sedang makan malam. Jangan berdebat di meja makan!” seru ibu terlihat tidak senang.
“Ada apa ini? Apa hubungannya hal ini dengan ayah?” Pertanyaanku lebih terdengar sebagai tuntutan. Aku menuntut penjelasan dari pernyataan yang di berikan Chatura.
Sedetik kemudian kedua orang di hadapan menundukkan wajahnya buat menghindari tatapanku.
Chapter 17
Aku ingat benar terakhir kalinya aku bertemu Rawi. Itu adalah sore hari tepat sebelum aku pergi ke tempat Outi. Waktu itu aku kembali melihatnya berkeliaran di area dekat tambak.
"Jika kau berhasil mencapai dunia atas apa yang akan kau lakukan selain merindukan keluargamu? Apa kau sudah memikirkannya matang-matang? Apa kau sudi melepaskan segala yang kau miliki di dunia bawah dan memulai dari nol kembali?"
Rawi membuang tangkai buah Heirplum dan memasukkan buah itu ke mulut. Ia terlihat sangat santai dan menikmati hidup.
"Aku belum memikirkannya, tapi aku sudah merasa sangat yakin."
"Kau belum memikirkannya, maka dari itu kau sangat merasa yakin," selanya.
Aku mencoba membuka mulutku untuk menyangkal, tapi sebenarnya kata-kata Rawi benar.
Aku hanya fokus untuk mengikuti Archilum tanpa memikirkan hal-hal lain. Efek-efek apa saja yang akan kudapatkan, juga orang-orang sekelilingku.
Terlalu terpaku pada sebuah tujuan, tanpa benar-benar memperhitungkan apa saja yang mungkin terjadi karenanya. Egoiskah aku?
"Pikirkan dulu dengan tenang karena kapan terjadinya Archilum juga belum jelas. Kuharap kau bisa memikirkan keputusanmu dengan hati-hati. Jangan sampai membuat keputusan yang merugikan dirimu sendiri," tegasnya sembari bangun dari atas tanah kemudian pergi menuju hutan.
Aku masih di sana untuk beberapa saat meski Rawi sudah tidak menemaniku lagi. Langit di atas terlihat tenang. Tapi berbagai pikiran di kepalaku berkelebat dan menjadi seperti benang kusut.
Seperti ucapannya, aku tidak dapat tenang. Segalanya menjadi kabur. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi padaku di masa mendatang. Pertanyaan Rawi benar-benar menggugahku.
Apa yang sebenarnya ingin kudapat dengan keberhasilan mencapai dunia atas?
Seandainya aku berhasil, apa yang sebenarnya ingin kulakukan di sana? Aku pasti akan merindukan keluargaku di bumi bawah dan bersedih. Aku mungkin saja ingin pulang, ingin kembali, namun tidak mengetahui caranya.
Pertanyaan yang sama dilontarkan oleh Chatura dan Vedika. Orang-orang itu berpikir tidak ada faedahnya untuk pergi ke dunia atas.
Bagaimanapun kehidupan di bawah sini sudah tentram dan menyenangkan. Jadi sebenarnya tidak perlu mempersulit diri untuk mengeksplorasi tempat baru yang benar-benar asing.
Meski Rawi mengatakan hal itu, kurasa dia tetap ingin mengikuti Archilum. Entah mengapa aku merasa dia tidak ingin aku ikut upacara agung.
Kini aku sedang berada di bawah pohon Heirplum yang waktu itu Rawi panjat, merasakan angin berhembus diwajahku dan menyembunyikan tubuhku dari sengatan sinar matahari.
“Sedang apa kau sobat?” sahut Aswin sembari menepuk bahuku. Ia menyodorkan makanan aneh itu lagi ke depan wajahku.
“Kurasa ini akan membantumu. Kau ingat makanan berbentuk bunga yang tempo hari kubawakan padamu?"
Aku mengangguk dan menunggu Aswin menyelesaikan kalimatnya.
“Kau terus-terusan membawa makanan ini, ibumu benar-benar sedang suka memasak rupanya,” sahutku sembari mengambil sekeping makanan yang dibawanya.
“Jadi dia sudah memberitahumu apa bahan makanan ini?”
“Sebenarnya aku asal menebak dan siapa sangka jawabannya benar.”
Aku menaikkan alis. “Apa?”
“Namanya Ebuir. Campuran Ebura dengan Heirplum.”
“Heirplum?” ulangku, kaget.
Aswin mengangguk.
“Benar-benar di luar dugaan bukan?”
“Rawi,” bisikku tiba-tiba.
“Ada apa dengan anak itu?” sahut Aswin, acuh. Ia memenuhi mulutnya dengan Ebuir.
“Sepertinya ia hendak membuat Ebuir. Itulah sebabnya waktu itu kita mendapatinya sedang memanjat pohon Ebura, kemudian di lain kesempatan aku menemukannya sedang memetik buah Heirplum. Memangnya makanan macam apa ini, Aswin?”
“Eh…, itu…,” Aswin terlihat salah tingkah.
“Sebenarnya ini rahasia. Ini adalah makanan khusus untuk Archilum. Ibuku ternyata bagian dari panitia persiapan sesaji Archilum. Jadi ia sudah mulai menyiapkan Ebuir. Katanya semakin lama disimpan, efeknya semakin baik. Tapi penyimpanannya tidak boleh melebihi dua kali purnama.”
“Efek apa?” desakku.
“Kau mungkin tidak akan percaya, makanan ini bisa membuat kita lebih percaya diri”
“Mungkin untuk membantu peserta Archilum untuk berani melompat dalam semburan, itu yang kutebak.”
"Baiklah itu memang terdengar keren, Aswin, sayangnya itu hanya lelucon."
Aku menunggu Aswin tertawa, tapi dia malah memasang muka masam.
"Kau tidak percaya padaku ya?"
"Seriuslah, Aswin."
"Tapi aku benar-benar serius!"
Melihat ekspresi Aswin aku jadi ingin tertawa, tapi kutahan.
"Ternyata itu adalah makanan yang dibuat khusus untuk Archilum. Ibuku sebenarnya tergabung dalam juru masak kuil.
Tidakkah itu terdengar ditutup-tutupi."
"Beliau pasti memiliki alasan untuk tidak menceritakannya," sahutku, menenangkan Aswin sebelum anak itu membuat spekulasi-spekulasi liar.
"Tapi aku sebal, Candhra, mengapa dia harus memiliki rahasia pada keluarganya sendiri."
"Peraturan kuil," tebakku.
"Mungkin saja. Ngomong-ngomong makanan yang kuberikan padamu benar-benar bukan makanan dewasa. Sebutannya adalah makanan dewa," cerita Aswin membocorkan rahasia kuil.
Aku merasa tertarik. "Katakan padaku. Makanan itu tidak membuat mabuk bukan?"
Aswin menggeleng. "Tidak. Tapi makanan itu bisa memacu adrenalin."
"Membuat detak jantung lebih cepat, begitu?"
"Membuat pemakannya merasa lebih berani dari pada kondisi yangs sebenarnya," kata Aswin, memberitahu dalam bisikan.
“Menarik. Makanan itu bisa memanipulasi,” dengusku. “Jadi kau memberiku ini supaya aku tidak mundur untuk mengikuti Archilum?”
Aswin mengangguk. “Aku ingin kita berhasil Candhra. Aku sangat ingin kita bisa mencapai dunia atas bersama-sama.
Tapi masalah makanan ini tolong jangan beritahu pada siapa pun. Aku khawatir ibuku akan mendapat masalah karenanya.”
“Aku tidak akan membocorkannya Aswin. Kau bisa percaya padaku.
"Siapa yang menyangka ibu kita sama-sama memiliki rahasia soal kuil," dengusku sembari kembali mengambil sekeping makanan yang dibawakan Aswin.
“Jadi ibumu juga…,” Aswin tidak mampu menyelesaikan kata-katanya. Mulutnya menganga.
“Tidak. Bukan seperti ibumu yang menyiapkan makanan aneh ini. Tapi sebenarnya ibuku adalah juru kuil. Para pendeta mengira Outi adalah juru kuil, tapi sebenarnya orang yang bisa merasakan kedatangan Archilum adalah ibuku.”
“Benarkah? Tapi mengapa ibumu tidak menyatakan jati dirinya saja?”
“Karena dia menikah. Kau tahu sendiri seorang petinggi agama tidak diizinkan menikah, sementara ibuku menikah dan memiliki anak,” jelasku.
"Mereka memiliki alasannya masing-masing. Status ibuku juga dirahasiakan karena sebenarnya peserta tidak boleh tahu soal makanan ini. Mereka akan membagikannya sebelum Arc.
Memastikan seluruh peserta menyantap paling tidak satu keping. Para pendeta mengingikan seluruh peserta yang datang tidak mundur untuk mengikuti Archilum."
“Mereka benar-benar memiliki tugas yang berat, para ibu kita.”
"Aku lebih setuju kalau mengatakan mereka sebenarnya sangat misterius. Kurasa ibuku memiliki segudang misteri yang tidak ia bagikan pada keluarganya," dengus Aswin.
"Nah, beliau pasti juga memiliki alasan untuk itu."
"Alasan demi alasan," gumam Aswin dengan mata menerawang.
"Hormati saja keputusannya selama itu bukan perbuatan yang tercela. Lagi pula kita tidak mungkin mengutuk tingkah laku ibu kita sendiri," tawaku.
"Ah, kau benar. Sebagai anak kita memang diwajibkan untuk menyayangi orang tua. Tadi kau bilang Rawi mencari Ebura dan Heirplum? Menurutmu dia bisa membuat Ebuir?"
"Bagaimana kalau kita mencari Rawi dan menanyakannya langsung padanya?" usulku, mendadak merasa mendapat ide yang brilian.
"Sebenarnya aku sudah sempat mencarinya, tapi sayang orang itu seolah sudah hilang di telan bumi," keluh Aswin.
"Menurutmu dia bersembunyi?"
"Untuk apa dia bersembunyi?"
"Mungkin dia ketakutan, tidak ingin ikut Archilum. Dia hanya ingin dipandang hebat saja bisa menceritakan Archilum, tapi sebenarnya dia tidak memiliki keberanian untuk mengikutinya. Mungkin ia membuat Ebuir untuk menyingkirkan ketakutannya?"
"Kurasa itu tidak benar Candhra. Aku sudah melihat daftar peserta yang dimiliki ibuku dan mendapati namanya tertera di sana."
"Benarkah?" tanyaku, tidak benar-benar kaget. Lagi pula aku juga sudah memperkirakan Rawi akan mengikuti Archilum, sama seperti aku dan Aswin.
“Dia bisa saja hilang ditelan bumi sekarang ini, tapi dia akan muncul saat Archilum. Aku yakin.”
“Seyakin kau melepaskan cintamu?”
“Ah kau mendadak membahas gadis itu. Aku belum mempersiapkan diri untuk menjawab pertanyaan semacam itu,” ujar Aswin mendadak salah tingkah.
"Karena semuanya terasa aneh. Belum lama ini aku merasa hubunganmu dengan Vedika sudah mengalami kemajuan yang cukup signifikan."
"Benarkan?" sahut Aswin dengan wajah masam.
"Jangan kira aku tidak tahu kalau kalian sering bertemu di akhir pekan," ujarku sembari menyikut pelan pinggangnya, lalu tertawa.
"Jadi sudah seberapa dekatkah kalian dan mengapa mendadak kau menjauhinya?"
Aswin tersedak mendengar pertanyaanku. Ia terbatuk-batuk untuk beberapa saat.
"Aku benar-benar kecewa. Teryata gadis itu tidak sehebat yang kupikirkan," gerutu Aswin, gusar.
"Apa yang telah terjadi?"
"Aku mengajaknya bicara. Mengenai banyak hal, mengenai filosofi dan lain hal namun ternyata komentarnya tidak nyambung. Kebiasaannya untuk terus mengunjungi perpustakaan ternyata tidak membuatnya bijak," papar Aswin menjelaskan.
"Kalian tidak satu visi," kataku menyimpulkan.
"Kurang lebih begitu. Aduh bagaimana ini Candhra, bagaimana mungkin orang yang bisa memahamimu adalah kau! Seandainya kau cewek mungkin aku sudah...."
"Jangan diteruskan," potongku secara mendadak.
Aswin tertawa. "Tapi jujur saja perasaan yang kumiliki padanya menghilang begitu saja ke udara."
"Awas kembali terhirup," kelakarku.
Aswin menjulurkan lidah kemudian kembali tertawa.
"Jadi apa Vedika tidak akan ikut upacara agung?
"Benar. Kurasa gadis-gadis itu hanya mengalami penasaran akut tanpa memiliki keberanian untuk pergi ke belahan bumi yang lain. Mereka sudah terlalu nyaman di sini. Senang dengan apa yang sudah diketahui dan tidak ingin memperluas dunia mereka. Terlebih gadis itu akan segera menikah."
“Menikah?” ulangku, kaget.
“Dengan Angga.”
"Jadi di samping tidak akan pergi ke dunia atas, Vedika juga akan menikah dengan kakakmu?" tanyaku tidak percaya dengan apa yang baru saja aku dengar.
Aswin menghela napas berat. Kentara sekali tidak ingin mengulangi perkataannya barusan.
Tapi jujur saja itu luar biasa di luar dugaan. Aku benar-benar tidak mengerti bagaimana mungkin Aswin tidak tahu kalau Vedika menjalin hubungan asmara dengan kakaknya.
"Kau tahu aku merasa hancur sekaligus senang dalam waktu yang bersamaan."
"Terdengar cukup rumit," timpalku seraya mengerutkan dahi.
"Tapi biarlah, dengan begitu aku bisa fokus menjelajahi dunia yang baru di atas sana."
"Terdengar sangat Aswin. Bersemangatlah, kawan!"
"Pasti," sahut Aswin sembari nyengir kuda.
"Tapi bukankah itu bagus sobat? Kau jadi bisa berfokus pada gadis-gadis di dunia atas."
"Lihat dirimu. Benar-benar yakin kalau kita pasti bisa melewati Archilum dengan selamat!"
"Kita harus berpikiran positif tetapi tetap kritis. Lagi pula kita sudah mengantongi cukup banyak informasi yang makin mendekatkan diri kita pada keberhasilan."
"Kau benar. Kita maju bukan tanpa persiapan. Kita sudah berusaha sebaik mungkin."
"Benar. Kalau boleh kuprediksi, tingkat keberhasilan kita sudah mendekati seratus persen. Tinggal menjalankan apa yang diperlukan tanpa kesalahan pada hari yang sudah di tentukan."
"Hari itu sudah dekat," gumam Aswin dengan pandangan menerawang. "Aku penasaran mengenai kondisi dunia atas. Benarkah di atas itu surga?"
Aku mungkin akan menangis, tapi tidak di depan ibu, juga bukan di depan Chatura. Aku akan menangis sendirian seperti seekor serigala yang terbuang.
"Ibu," kataku. Aku tidak mengingat kalau memanggil wanita di hadapanku bisa membuatku sangat tenang. Aku menyukainya, maka dari itu aku mengulanginya sekali lagi. "Ibu."
Ia menarik kursi dan duduk di hadapan. Berbeda dengan Chatura yang memilih buat menghindari tatapanku, ibu malah menatapku lekat-lekat.
"Aku membelikan sepasang ayam untukmu sore ini," kataku dengan suara tercekat.
"Benarkah? Terima kasih banyak."
"Chatura sedang ada di belakang rumah. Ia menyediakan air dan makanan bagi ayam-ayammu. Kuharap mereka akan memberimu banyak telur dan anak ayam."
"Tentu, aku akan memelihara mereka dengan baik."
"Aku yakin ibu mampu melakukannya. Tangan-tangan ibu selalu berhasil dalam segala pekerjaan. Bahkan tanaman yang nyaris mati sekalipun dapat ibu pulihkan."
"Aku tidak sehebat itu.…" ucapnya pelan.
"Itu benar. Ingat saat aku membawa burung yang terluka saat umurku baru empat tahun? Anak burung itu belum sepenuhnya ditumbuhi bulu dan cabang yang menopang sarangnya harus patah karena angin kencang. Burung itu sekarat, tapi dengan tangan-tanganmu, ia dapat pulih bahkan terbang."
"Anak burung itu tidak mati karena ia memiliki semangat hidup yang tinggi," kata ibuku, lembut.
"Tapi ia akan mati seandainya kau tidak menolongnya."
"Dan aku tidak akan mungkin menolongnya jika kau tidak membawanya padaku. Aku ingat benar, hari itu kau berlari-lari panik sembari membawa anak burung itu ke rumah. Saat itulah aku menyadari kalau anakku adalah pribadi yang lembut dan baik hati."
"Kau…, kau yang menularkan kebaikan itu ibu," ujarku sembari bersedih.
Ibu memandangiku dengan sangat tenang. Matanya memancarkan keteduhan.
"Jangan bersedih. Aku tahu kau punya banyak pikiran berat sekarang. Tapi kurasa sekarang waktunya untuk menyiapkan makan malam. Kalau kau tidak letih, maukah kau membantuku di dapur?"
Aku mengangguk, kemudian mengikuti langkah-langkah ibu. Mengikuti hal-hal yang telah dicontohkannya padaku.
Tapi sebelum aku sempat keluar kamar untuk mengikuti ibu ke dapur, Chatura masuk ke kamarku dengan rahang yang mengeras.
"Kalau kau pikir ayam-ayam itu bisa menebus dosa-dosamu karena akan meninggalkan keluargamu demi cita-citamu yang konyol, itu tidaklah benar. Aku tidak akan memaafkanmu hanya karena kau membuat sebuah kandang dan membawa sepasang ayam."
"Tentu aku tidak akan melakukannya karena alasan tersebut. Aku melakukannya karena aku tahu ibu sangat menyukai telur dan Outi pernah mengatakan kalau akan menyenangkan kalau kita memelihara ayam”
“Mula-mula memang dua, tapi lambat laun akan menjadi banyak hingga kau kesulitan menghitungnya," ujarku menyatakan alasanku yang sebenarnya.
Chatura mendengus tidak senang. Ia pasti beranggapan kalau aku sedang mencari alasan saja. Bahwa aku sedang berusaha menebus kesalahan yang kuperbuat dengan berbuat kebaikan sebelum aku pergi.
"Kalau kau memang memikirkan ibu, tinggalah. Lupakan keinginanmu untuk pergi, maka dari itu kau akan bisa memberinya kebaikan lebih banyak jumlahnya dari yang bisa kau berikan sekarang!" hardiknya penuh amarah.
"Ada apa ini Chatura? Mengapa kau berteriak-teriak seperti itu?"
Ibu muncul dengan kerutan di dahinya, tampak prihatin dengan kelakuan kedua anak-anaknya.
"Ibu, katakan pada anak ini supaya tidak pergi. Ia belum menjadi anak yang baik bagimu. Jangan biarkan dia mengambil kesempatan untuk pergi karena ia belum menunjukkan baktinya padamu!" seru Chatura frustasi.
Sekarang aku bisa melihatnya. Perbedaan ketika Chatura melontarkan kata-kata pedas padaku tapi masih memberikan senyuman simpul dengan kondisinya sekarang. Wajah Chatura merah padam, sangat kentara kalau ia sedang marah.
"Bukan kau yang menilai apakah adikmu sudah berbakti pada orang tuanya atau belum."
Chatura ingin membantah. Ia membuka mulutnya, tapi segera ia katupkan kembali.
“Kumohon hentikan perdebatan kalian yang tiada habisnya itu. Chatura, adikmu tidak lama lagi akan pergi”
“Tidak bisakah kau memberikan kenangan yang baik padanya?” keluh ibu. Tidak biasanya ia menghilangkan senyum dari wajahnya.
“Tapi ibu, ia bahkan tidak menyadari kakimu mendapat memar lain karena terpeleset tanah becek petang ini! Ia tidak punya perhatian pada orang tua!” desis Chatura kesal.
“Ayam-ayam itu tidak bisa menggantikan perannya sebagai anak!”
“Ibu…, jatuh lagi?” tanyaku panik. Saat itulah aku memerhatikan kakinya yang kembali lebam. Luka lamanya saja belum benar-benar sembuh, sekarang dia jatuh lagi.
Mengapa ibu tidak menceritakan apa-apa? Tidak ada yang salah juga dengan cara jalannya. Sepertinya ia sengaja tidak membiarkanku prihatin akan keadaannya.
Malam itu aku membantu menyiapkan air panas untuk ibu merendam kakinya. Tapi ia tidak menceritakan apa-apa lagi. Ia hanya tidak ingin aku terlalu memikirkannya.
“Aku bisa menjaga diri. Masih ada Chatura yang menemaniku, jangan khawatir, nak.”
Mendadak aku menjadi merasa agak sedih.
Mungkin Chatura benar, semestinya aku lebih memikirkan orang tuaku. Rasanya apa yang selama ini kuberikan pada ibu belum cukup. Kasih sayangnya sulit terbalas secara setimpal.
Chapter 18
Aku sudah berusaha melakukan sebanyak yang kubisa sebelum pergi.
Kandang ayam. Aku sudah membuatkannya bagi ibu dan hari ini aku akan pergi ke tempat Nebula untuk membeli sepasang ayam.
Bersambung
Cerbung ini ada di majalah AN1MAGINE Volume 3 Nomor 7 Juli 2018 eMagazine Art and Science yang dapat di-download gratis di Play Store, share yaa
“Menerbitkan buku, komik, novel, buku teks atau
buku ajar, riset atau penelitian di jurnal? An1mage jawabnya”
AN1MAGINE BY AN1MAGE: Enlightening Open Mind Generations
AN1MAGE: Inspiring Creation Mind Enlightening
website an1mage.net www.an1mage.org
Comments
Post a Comment