CATATAN DARI YVISIONNE: Si Pengintip
CATATAN DARI YVISIONNE: Si Pengintip
Archana Universa
"Nah, kalau yang ini kapal rusak dan tengkorak manusia yang berlubang di atasnya," jelas si pemandu wisata.
"Sejak kapan kapal dan tengkorak tersebut ada di situ?" tanyaku sembari mengernyitkan dahi. "Area di sini bahkan jauh dari laut."
"Entahlah. Kata orang tua di sini, kapal dan tengkorak ini sudah ada di sini sejak lama," jawabnya.
Aku tidak puas. Ada yang ganjil, tapi tidak bertanya lebih lanjut. Terlebih Sherry terlihat sudah ingin beranjak dari tempat ini menuju objek lain yang dirasanya lebih menarik.
Kami bergegas ke tempat lain. Masih berada dalam area La Plancha tentunya. Sebenarnya tujuan kami kemari bukan ingin melihat benda-benda aneh yang menjadi bagian dari service tamu yang datang ke La Plancha. Sherry bilang minuman khas tempat ini enak, maka dari itu kami menyempatkan ke La Plancha sebelum pulang dengan kereta, nanti petang.
Pemandu membawa kami ke hadapan lukisan yang sudah tua, kuno, seribu persen retro dan mungkin harusnya jadi bahan kajian arkeolog atau semacamnya. Hanya saja pikiranku tidak fokus lagi. Pikiranku tidak tenang. Ada yang salah. Tapi aku tidak ingat apa yang sebenarnya menggangguku.
https://asset.kompas.com/crop/0x0:780x390/780x390/data/photo/2016/02/23/0019043kepala-kereta-cepat780x390.jpg
"Sebaiknya kita bergegas ke stasiun," bisikku pada Sherry.
"Kau nampaknya tidak menikmati tempat ini, aku tidak keberatan jika kau pergi duluan. Kita bisa bertemu di stasiun," usulnya, tidak ingin menahanku lebih lama lagi di La Plancha. "Kau bisa ke luar gerbang, ke arah kiri. Setelah mendapati perempatan, ke kiri lagi. Lurus saja dan kau akan menemukan stasiun di sebelah kiri jalan."
Aku terdiam. Mungkin dia benar kalau aku tidak tertarik pada tempat ini. Meski demikian, aku tidak segera meninggalkan La Plancha. Aku masih mengekori Sherry dan empat teman kuliahnya mendengarkan celotehan si pemandu. Meski bersahabat baik sejak sekolah dasar, kami pergi ke universitas berbeda jadi aku tidak dekat dengan teman-teman kuliahnya.
Hanya saja aku tidak ingat. Bagaimana mendadak aku sudah berada di halaman area depan La Plancha. Kurasa aku berjalan sambil melamun. Sudah kubilang pikiranku tidak tenang. Ada yang salah, tapi aku masih belum ingat apa.
Aku memandangi langit yang seolah mendadak menjadi sore. Jingga, dengan semburat kemerahan, ungu, dan kelabu.
Seorang anak laki-laki seumuranku mendadak berlari mendahuluiku. Meski sekelebat, aku tahu wajahnya panik.
Dan tanpa aba-aba, aku juga ikut berlari. Otomatis, begitu saja. Napasku memburu. Dia lebih cepat. Tapi aku tidak sedang mengejar anak laki-laki itu. Aku bahkan tidak mengenalnya. Pikiranku tertuju pada tujuan: Stasiun Xiauzu.
Setibanya di gerbang. Si anak laki-laki melesat berbelok ke kanan. Entah mengapa aku merasa dia juga akan menuju stasiun. Aku merasakannya, tanpa tahu alasannya. Mungkin ada shortcut menuju stasiun dari sini.
Meski begitu, petunjuk dari Sherry begitu jelas. Kiri, kemudian kiri lagi. Tujuanku ada di sebelah kiri. Jadi tanpa mengurangi kecepatan lariku, aku mengikuti ucapan Sherry yang diputar di kepalaku.
Kuayunkan kakiku dengan kencang. Kemudian ingatan itu muncul. Berkelebat, tidak dapat dikendalikan.
Orang-orang berlarian. Berteriak. Tangis. Hujan gerimis. Bukan hujan biasa. Hujan asam. Hanya saja aku tak merasakannya.
Bagiku hujan hanyalah air biasa. Mungkin karena kadar keasamannya tidak tinggi. Entahlah.
Kemudian, mirip meteor, konsentrasi asam menghantam gedung-gedung yang tidak terlalu tinggi. Bangunan di sini memang paling tinggi hanya enam lantai. Seketika bangunan yang terkena hancur. Bukan luluh lantah menjadi tanah. Hanya bagian yang terkena tembakan asam yang hancur. Namun tetap saja mengerikan ....
Aku memfokuskan mataku kembali. Aku mengembalikan kesadaranku ke realitas "sekarang". Hujan asamnya belum datang. Tapi tidak akan lama lagi. Aku tahu, hari inilah waktu kejadian malapetakanya.
Harusnya ada scientist yang dapat memprediksi kejadian ini kan? Mengapa tidak ada peringatan sama sekali? Keluhku di kepala. Tapi bukankah aku juga sama saja jahatnya? Tidak memberitahu orang-orang. Padahal aku tahu akan ada bencana.
Tapi, akankah orang-orang itu percaya? Akankah aku ditertawakan dan dianggap gila seperti peristiwa sebelumnya? Mereka tidak memercayaiku. Maka dari itu aku tidak menolong mereka. Aku hanya sibuk menyelamatkan diriku sendiri.
Stasiun rasanya jauh sekali. Sherry bilang tiga puluh menit berjalan kaki? Aku sudah berlari sejak tadi. Kakiku sudah terasa berat. Napasku sesak. Namun mengapa stasiunnya belum juga kelihatan? Di mana sebenarnya bangunan itu?
Aku terus berlari meski paru-paruku terasa seperti mau pecah. Sepatu yang membungkus kakiku bagai dipasangi beban masing-masing sepuluh kilo. Tidak. Aku tidak bisa berhenti. Aku ingin selamat, aku harus selamat.
Tepat ketika aku nyaris pingsan karena panik juga lelah, aku tidak memiliki tubuh atletis dan stamina yang bagus: aku melihatnya. Plangnya berkilau memantulkan sisa-sisa cahaya matahari senja. Aku tiba di Stasiun Xiauzu.
Namun ada yang aneh. Benar-benar aneh. Aku melihat Sherry dan teman-temannya di area depan pintu masuk. Menungguku.
"Ba-bagaimana?" tanyaku dengan napas tersenggal. Aku tidak sedang berhalusinasi kan?
"Yvi! Ternyata ada jalan tembus dari La Plancha ke stasiun. Pemandu yang memberitahu kami. Aku memutuskan segera kemari buat menyusulmu," jelas Sherry sembari menyodorkan minuman di tangannya padaku. Minuman yang dibelinya di La Plancha. Aku tahu dari labelnya.
Aku menerimanya dan langsung menghabiskan isi botol itu.
"Well, aku masih punya selusin lagi kalau kau mau," tawarnya. "Lihat! Keringatmu bercucuran begitu! Pasti kau mengikuti rute yang kuberitahu ya. Lumayan jauh pastinya," katanya, prihatin.
"Kau sudah beli tiketnya?" tanyaku sembari menyeka keringat di wajah dengan lengan baju.
Sherry menyodorkan kartu perjalananku. Kami berenam segera masuk. Setelah sampai ke tempat menunggu kereta dan menitipkan ranselku pada Sherry, aku pamit ke kamar mandi.
Senja ini stasiun padat. Bukan karena orang-orang pulang kerja. Ini akhir pekan. Orang-orang mengejar kereta terakhir. Jam tujuh. Keretaku berangkat satu jam lagi.
Kamar mandinya penuh sesak juga jorok karena banyaknya pengguna, sementara orang yang bagian cleaning-nya kewalahan. Lantainya bahkan becek di sana-sini.
"Percayalah keadaannya akan lebih parah jika hujan," tuturnya padaku dengan wajah lelah. Meski begitu, ia terus menggerak-gerakkan tongkat pelnya.
Selesai merapikan penampilanku yang mengerikan sehabis marathon menuju tempat ini, aku kembali menerobos kerumunan orang-orang. Dari kaca, aku bisa melihat air mulai turun dari langit. Entah itu hujan asam seperti mimpiku atau bukan.
Kemudian aku mataku menangkapnya. Anak laki-laki yang lari dari La Plancha. Aku ingat benar. Itu seratus persen dia.
https://www.deviantart.com/nacho3/art/Destroyed-City-505524389
"Hujan asam, huh?" dengusku yang telah berdiri di sampingnya. Ikut memandang keluar jendela.
Yang kuajak bicara tidak menunjukkan keterkejutan. Dia bahkan tidak menoleh untuk melihat siapa yang mengajaknya bicara.
"Kapal dan tengkorak manusia yang berlubang di atasnya yang ada di La Plancha merupakan akibat dari hujan asam sebelumnya. Beratus-ratus tahun yang lalu. Sayang tidak ada dokumen yang menyatakan hal tersebut sehingga informasinya terputus." Ia kemudian menambahkan, "Tempat ini aman."
"Sungguh?" timpalku.
Dia menoleh dan memberikan tatapan heran padaku. "Kau kemari bukan buat berlindung?"
"Aku memang menunggu kereta." Mendadak aku mengerutkan kening. "Memangnya bangunan ini tidak bisa hancur?"
"Bisa hancur. Hanya saja ada pelindungnya. Jadi tempat ini aman, semacam save point," tuturnya.
"Pelindung zat anti asam di atapnya?" gumamku.
"Kau sedang melucu ya?" sahut anak laki-laki itu sembari memicingkan mata padaku.
"A-apa?" tanyaku gagap.
"Namamu?" tanyanya.
"Y-Yvisionne...." Aku mengucapkan namaku.
"Hei! Kau tidak ada dalam daftar!" serunya terlampau keras sehingga beberapa orang menoleh ke arah kami. Anak laki-laki itu melanjutkan dengan merendahkan volume suaranya. "Bagaimana kau bisa tahu soal hujannya? Kau ini penyelundup ya?"
Aku memijit keningku dengan jari. "Kau membuatku pusing. Pelindung apa? Daftar apa? Penyelundup apa? Kurasa mengajakmu bicara adalah keputusan yang salah. Anggap saja aku orang gila."
Anak laki-laki itu menahan lenganku. "Maaf, aku terlampau kaget. Aku Rtyu ." Dia memperkenalkan diri. "Kurasa kau seorang pengintip."
"Pengintip!" ulangku, giliran aku yang kebablasan menggunakan nada melengking. Tapi aku langsung menguasai diri. "Apa maksudmu ...."
https://edinburghsecretsociety.files.wordpress.com/2010/10/masks.jpg
"Kau sudah melihat hujan asamnya kan?" potongnya tanpa menunggu kalimatku selesai.
Aku mengangguk. "Mampu menghancurkan gedung. Mengerikan."
"Apa kau bisa melihat masa lalu?" tanya Rtyu.
"Tidak. Aku melihat masa depan. Apa kau bisa melihat masa lalu?" tanyaku, penasaran.
"Aku bukan pengintip. Aku seorang scanner. Mengklasifikasikan kemampuan …, Kurasa sebaiknya kita tidak membahas hal sensitif di tempat umum seperti ini ...." Rtyu mengerutkan kening.
Kami ke salah satu area yang agak sepi. Aku berharap Sherry tidak sedang mencariku. Semoga dia pikir antrian kamar mandinya kelewat mengerikan sehingga tidak mencariku ke toilet.
"Jadi apa maksudmu dengan bangunan ini aman? Dan dari mana kau bisa tahu kalau bakal ada hujan asam?" tanyaku dengan nada menuntut. Aku menyilangkan kedua lengan di depan dada.
"Ada orang yang memiliki kekuatan untuk membuat bangunan ini tahan terhadap hujan asam. Dari mana aku tahu? Semua anggota Arc-society sudah diinformasikan," jelas Rtyu dengan nada rendah.
"Arc-society...." gumamku, pelan.
"Komunitas orang-orang istimewa. Seperti kau, seperti aku, seperti orang yang sedang membuat gedung ini menjadi tempat perlindungan. Masih banyak lagi," tuturnya.
"Kalau begitu kita harus mengajak sebanyak mungkin orang untuk berlindung di stasiun!" usulku.
"Kita tidak dapat menyelamatkan semua orang. Kadang keberuntungan yang membuat orang berada di sini atau di tempat lain. Random," katanya.
"Ya.... Memperingatkan orang-orang sekalipun belum tentu mereka percaya," bisikku, sedih.
Pengeras suara menyerukan keretaku sudah berada di stasiun dan tidak lama lagi akan berangkat.
"Kurasa kita berpisah di sini," ujarku lambat-lambat. "Senang bertemu denganmu," tambahku.
"Jangan khawatir kita akan segera bertemu lagi," timpalnya.
"Katamu, kau tidak bisa melihat masa depan," gerutuku.
"Oh! Tidak perlu berpikir bahwa masa depan selalu misteri. Ada beberapa hal yang bisa direncanakan dan diusahakan," tutupnya seraya berjalan menjauhiku.
Cermin ini ada di majalah AN1MAGINE Volume 3 Nomor 7 Juli 2018 eMagazine Art and Science yang dapat di-download gratis di Play Store, share yaa
“Menerbitkan buku, komik, novel, buku teks atau
buku ajar, riset atau penelitian di jurnal? An1mage jawabnya”
AN1MAGINE BY AN1MAGE: Enlightening Open Mind Generations
AN1MAGE: Inspiring Creation Mind Enlightening
website an1mage.net www.an1mage.org
Comments
Post a Comment