MINDPORTER 2: Archilum oleh M.S. Gumelar di An1magine Volume 3 Nomor 2 Februari 2018
MINDPORTER 2:
Archilum
M.S. Gumelar
"Tadinya aku berharap kau akan membawa ikan atau Brachuura," sambungnya sembari memerhatikanku yang sedang menyiapkan makan siang buat ibu dan dia.
"Kalau ikan saja kau bisa memancingnya dari sungai, tidak perlu menungguku. Brachuura akan kubawakan lain kali," sahutku, tidak senang.
Chatura mendengus, ia kemudian membuka tempat penyimpanan beras dan membantuku menyiapkan nasi.
"Kadang aku merasa jadi anak bungsu itu menyenangkan. Bisa berkelana ke mana saja yang diinginkan. Melepaskan tanggung jawab untuk merawat orang tua."
Debat ini lagi. Entah kapan akan berakhir. Dia akan selalu menganggap aku ini penjahat yang melarikan diri dari tanggung jawab.
Maksudku kalau aku ingin lari, mengapa aku perlu balik lagi ke rumah.
Aku hanya pergi bekerja di tempat yang tidak sama dengan keluargaku, bukan berarti aku kabur.
"Memangnya kau ada keinginan lain selain menjadi petani?" tanyaku, berusaha tetap tenang.
"Karena kutukanmu aku tetap harus jadi petani, memangnya siapa yang akan menjaga ibu? Dia semakin tua. Cukup kau saja yang tega meninggalkan dia bekerja di antara hutan-hutan tanpa bantuanmu," cibirnya tidak senang.
"Aku bertanya, memangnya jika bukan petani jamur, kau ingin bekerja sebagai apa?"
"Bukan itu masalahnya," tangkis Chatura. "Aku hanya tidak ingin meninggalkan ibu seperti kau memperlakukannya. Orang tua kita hanya satu dan kau tidak peduli."
Percuma saja Chatura tidak akan menjawab pertanyaanku. Ia hanya mau didengarkan tanpa mau mendengarkan.
Bagaimana setiap kata-kata dan tindakanku hanya akan menjadi kesalahan baginya. Aku penjahatnya.
"Jadi apa yang kau inginkan? Melupakan keinginanku menjadi seorang pekerja tambak dan kembali menjadi petani?" tuntutku mulai emosi marah.
"Semestinya kau menyadari itu sebelum pergi," dengusnya sembari mengaduk-aduk nasi.
Astaga, ini kelihatannya akan berjalan lama. Aku segera menyelesaikan pekerjaan memotongku. Sebaiknya aku tidak memegang benda tajam saat ini.
Tidak, aku tidak berencana melukai Chatura. Biasanya aku juga tidak sering bertindak gegabah, cukup bisa menguasai diri sehingga tidak ada hal buruk yang terjadi. Atau mungkin hal bodoh.
Chatura mungkin suka melukai perasaanku, tapi dia tetap kakakku. Dia tetap saudaraku dan aku tetap tidak suka melukainya meski dia suka membuat masalah denganku.
Aku tidak ingin melukainya bukan karena ia kakakku atau karena aku takut. Aku tidak mau ibu jadi sakit kepala karena anak-anaknya bertengkar. Jadi dalam situasi begini lebih baik aku mengalah.
Anggap aku yang lebih waras dari pada kakakku.
"Bagaimana upacaramu kemarin?
Ah... pertanyaan itu. Aku sebenarnya tidak benar-benar tertarik buat mengetahuinya. Masalahnya pertanyaan apa lagi yang bisa kusampaikan buat mencairkan suasana?
"Berjalan lancar," sahut Chatura, ia mengaduk-aduk nasi dengan pandangan kosong.
"Apakah upacaranya bagus?"
Chatura menoleh ke arahku dan mengangkat bahunya.
"Mungkin karena pengalaman pertama aku cukup menyukai suasananya. Sangat ramai di sana. Wangi bunga terbawa udara, hingga berbagai kupu-kupu ikut datang ke kuil dan menyembah dewa."
Dia memandangi nasi yang sedang dimasak itu lagi.
"Tapi jika mengingat perjalanannya yang cukup jauh, juga persiapannya yang rumit, aku merasa tidak terlalu antusias. Kau tahu ibu bahkan sempat terkena duri pada telapak kakinya saat berjalan."
Aku mengerutkan dahi. Aku belum melihat ibu jadi aku tidak tahu bagaimana kondisinya.
“Ibu... ibu di mana?”
“Istirahat di kamarnya, tadi aku baru mengembalikan cangkul ke tetangga sebelah dan melihatmu masuk ke dapur.”
Jadi sebenarnya aku sudah terlambat.
Dugaanku salah, mereka sudah sampai rumah terlebih dulu. Aku bisa membayangkan bagaimana ibu dan Chatura sampai ke rumah dan tidak mendapati aku di depan pintu buat menyambut mereka.
Mendadak aku merasa bersalah pada kedua orang keluargaku ini.
"Jagalah ibu Candhra. Terutama sebelum kita sama-sama menikah, kita harus menyenangkan hati beliau."
Aku tidak menjawab. Tapi keadaan itu sudah lama melintas di kepalaku, tentang Chatura akan segera menikah dan berkeluarga sendiri. Tinggal di rumah berdua bersama istrinya, hingga akhirnya dikaruniai anak.
Jika beruntung, istri Chatura akan menerima ibu kami untuk tinggal bersama keluarganya. Jika tidak maka akan timbul masalah. Ibu tidak boleh tinggal sendirian. Dia sudah tua.
Meski terlihat masih kuat dan penuh semangat, aku tahu tenaganya sudah tidak seperti dulu lagi. Bahkan lumut sekalipun bisa membuatnya jatuh ke tanah.
Padahal suku kami sangat andal dalam melewati lumut.
Setelah itu kami tidak banyak bicara. Chatura berpura-pura menyibukkan diri untuk mengaduk-aduk beras sementara aku berusaha fokus memasak lauk untuk dimakan dengan nasi.
“Nasinya sudah jadi, nampaknya lauk masakanmu juga hampir matang. Biar aku yang menyelesaikan, kau bangunkan ibu saja,” pinta Chatura tanpa memandangku.
Aku mengikuti petunjuknya dan menuju kamar ibu.
Ibu ada di atas ranjangnya, terpengkur pelan. Jelas ia sangat kelelahan. Tapi ibu tidak akan mengeluh, ia adalah wanita yang kuat. Wanita yang membesarkan kedua anak laki-lakinya meski tanpa suami.
Sesaat aku hendak berbalik untuk memberi tahu Chatura supaya membiarkan ibu tetap tidur. Namun mendadak aku melihat ibu membuka matanya dan menatapku. Ia tersenyum, begitu hangat.
“Ibu sudah bangun?” tanyaku sembari mendekatinya dan meraih tangan ibu.
“Kau sudah datang, nak? Tadi aku sempat bertanya-tanya karena tidak melihatmu di rumah ketika pulang,” bisiknya dengan lembut.
“Maaf aku datang terlambat,” sesalku.
“Kau pasti menghabiskan waktu yang menyenangkan dengan Aswin.” Ia kemudian mengubah posisinya menjadi duduk. “Bau apa ini? Aromanya begitu lezat.”
“Aku dan Chatura menyiapkan makanan untuk kita semua. Ayo makan supaya ibu tetap kuat.”
Kami makan bersama. Aku menyukainya. Bertiga, aku, ibu dan Chatura. Seolah kami ini keluarga bahagia yang tidak pernah mengalami kekurangan.
Chatura membagi-bagikan nasi sementara aku menyiapkan ikan kesukaan ibu.
Memisahkan daging dengan tulang-tulangnya. Sementara ibu memotong buah buat anak-anaknya. Semuanya saling melayani.
Keluarga kami memang memiliki semangat yang tinggi. Ketika ibu keluarga lain hanya mengurus rumah, ibuku bekerja tidak kenal lelah mencari jamur. Anak-anak ibu juga tidak ada yang menganggur. Kami bahu membahu membuat dapur rumah ini selalu mengepul.
Tidak ada yang minta dilayani, semuanya bekerja dengan caranya sendiri-sendiri demi kepentingan keluarga. Demi kepentingan kelompok, hingga tidak jarang melupakan kepentingan diri sendiri.
Pencapaian, prestasi, berkarya. Akhirnya apa yang dilakukan selalu berhubungan dengan makanan, tempat tinggal, dan pakaian.
Hanya tiga hal itu. Tiga hal yang berulang-ulang seolah tidak berujung. Lingkaran setan yang membuat orang di dalamnya tidak mampu buat menyusup keluar.
Dan bagi orang-orang yang menginginkan buat mencapai cita-cita pribadi akan dinilai negatif. Egosentris, tidak bertanggung jawab. Entah apa lagi yang digunakan untuk mendefinisikannya.
"Kita harus berterima kasih pada para dewa yang telah menyediakan makanan yang lezat hati ini," celetuk Chatura sembari melemparkan senyuman ke arah ibu.
Hah? Berterima kasih pada dewa? Bagaimana jika saling berterima kasih. Padaku yang menyediakan ikan, pada Chatura yang memasak beras menjadi nasi, dan pada ibu yang telah menyediakan jamur untuk dimasak .
Semua didapatkan dari jerih payah, bukan datang dari langit. Kadang aku tidak mengerti mengapa orang terjebak dengan konsep pemikiran seperti itu. Aku benar-benar tidak setuju.
Tapi memangnya apa yang dapat kulakukan mesti tidak setuju? Tidak ada. Aku hanya seorang pecundang yang tidak mampu mengeluarkan pikirannya menjadi kata-kata. Aku terjebak dalam konsepku sendiri dan tidak mengatakannya pada orang lain.
Karena mereka akan menilai bahwa aku sesat, menilai aku sudah salah jalan.
Ujung-ujungnya orang-orang menilai aku perlu dikembalikan ke jalan yang benar. Itu artinya dengan pelayanan selama beberapa tahun di kuil.
Tentu aku akan berhati-hati. Di duniaku lebih banyak orang yang tertutup pikirannya. Segala pertanyaan yang menumpulkan dewa-dewa yang suci adalah sesat.
Dan tidak ada manfaatnya dinilai sebagai orang sesat.
Lebih baik jika dihukum pelayanan kuil, bagaimana jika orang-orang itu menjadi marah dan bertindak kejam. Membakarku hidup-hidup mungkin? Aku tidak tahu, tapi yang jelas aku memilih bermain aman saja. Tidak ada pelayanan, tidak ada pembunuhan. Biasa-biasa saja.
"Aku senang kedua anakku berkumpul bersama," decak ibuku sembari menerima ikan yang sudah kubuang tulangnya.
"Kau dengar Candhra, ibu ingin sering-sering kau pulang," sindir Chatura.
Aku tersenyum pada ibu. "Karena jarang berkumpul jadi terasa lebih bernilai pertemuannya."
Chatura mendesis tidak senang tapi aku tidak menggubrisnya. Tidak ada alasan bagiku untuk berdebat di depan ibu. Di sisi lain aku juga malas meladeni sifat kekanak-kanakannya.
"Chatura sebenarnya rindu padamu, tapi dia mengeluarkan perasaannya dengan cara khusus. Kakakmu ini memang sulit bersikap ramah, tapi sebenarnya hatinya lembut," kata ibu senang.
"Ah ibu membuatku terlihat lemah," gerutu Chatura.
"Lemah lembut bukan simbol dari kelemahan," senyum ibu.
Ibu memang selalu bisa mencairkan suasana dengan baik. Tanpa dia aku dan Chatura bagai anjing dan kucing yang selalu membuat masalah satu sama lain. Namun senyuman ibu mengubah segalanya, menghangatkan hati yang keras.
Ketenangan, itu adalah sifat yang dimiliki ibu. Ia tenang meski harus menghidupi kedua anak laki-lakinya yang masih kecil karena suaminya meninggal. Ia tetap tenang dan bekerja keras untuk hidupnya.
Aku bahkan jarang mendengarnya mengeluh. Seolah seluruh gerutuannya ditelan mentah-mentah melalui setiap senyuman yang tersungging di wajahnya. Ia adalah orang tua yang hebat. Aku memuja ibu.
"Oh!" Ia sepertinya mendadak teringat sesuatu. Ia mengambil tempat minum air yang terbuat dari kulit hewan dan diserahkannya padaku.
"Apa ini?" tanyaku heran.
"Obat ketombe," celetuk Chatura.
"Bukan," tangkis ibu sembari terbahak. "Ini air dari kuil. Chatura mengambilkannya untukmu supaya kau lancar dalam pekerjaan, percintaan. Pokoknya hal-hal yang baik datang padamu."
Aku menoleh ke arah kakakku dan membulatkan mata. "Sungguh Chatura? Kau mengingatku ketika melakukan upacara?"
"Tentu saja aku ingat!" seru Chatura dengan nada menggerutu yang biasa keluar dari mulutnya. "Keluargaku hanya kau dan ibu, bagaimana aku bisa mengenyahkanmu dari kepalaku."
"Ah! begitu... Kalau begitu terima kasih kakakku tersayang," sorakku senang.
"Jangan sungkan," ucapnya pelan, nyaris tidak terdengar.
Aneh. Karena terlalu sering bertengkar, aku merasa Chatura membenciku. Aku selalu berpikir kalau sebenarnya dia senang karena aku hidup jauh darinya.
Karena sering bertengkar aku merasa pertengkaran adalah hal yang cocok bagi kami berdua. Kini saat dia menunjukkan kasihnya padaku, mendadak aku merasa cukup terkejut.
Suka cita memenuhi paru-paruku, seolah aku melayang. Di balik kata-katanya yang pedas Chatura sebenarnya memerhatikanku, memikirkanku, adiknya. Satu-satunya adik yang dimilikinya.
"Chatura, kau sudah melihat kolam belakang? Kolam penyimpanan makanan?" sahut ibuku sembari memandang kakakku lekat-lekat.
Aku nyaris tersedak. Oh tidak, ini akan memalukan. Sebaiknya ibu tidak perlu memberitahunya. Chatura akan tahu bila melihatnya jadi sebenarnya hal itu tidak perlu disebutkan, apalagi di depanku. Ini benar-benar akan memalukan.
Chatura melihat ke arahku sekilas kemudian kembali melihat ibu.
"Ada apa?" tanyanya.
"Dua hari yang lalu Candhra membawakan Brachuura kesayanganmu. Jumlahnya lebih dari selusin!"
Astaga! Ibu benar-benar memberitahunya. Aku sampai tersedak nasi yang ada di mulutku.
"Minum, cepat minum," sahut ibuku panik. Ia menyodorkan gelasku.
Chatura memandangiku. Ia tidak menyangka aku akan membawakan sesuatu yang dia suka. Brachuura adalah makanan kesukaannya, meski tidak pernah mengaku, tapi aku tahu benar ia bisa makan perpuluh-puluh hewan bercangkang itu dalam hitungan menit.
“Aku senang anak-anakku peduli padaku juga menyayangi satu sama lain,” ujar ibu sembari tersenyum. “Ngomong-ngomong soal keluarga, aku berencana untuk mengunjungi Outi minggu depan. Kuharap kita bertiga bisa berangkat bersama.”
Chapter 6
Genetix Laboratory, di Bumi Tahun 3354
“Bukan mutasi?” gumam Cosmica.
“Tergantung cara memandang, kau bisa menyebutnya mutasi memory atau boleh juga evolusi memory, memory itu hidup dan dapat berpindah oleh dirinya sendiri ke mahluk mana pun secara random," Aku menjelaskan.
“Apakah kau memiliki kekuatan super?” tanya Matahari.
“Tidak” jawabku
“Baiklah seperti terdengar konyol, tetapi bagaimana kau akan membantu kami?” Tanya Matahari.
“Aku tidak membantu dengan kekuatan super bila tubuh ini tidak memiliki kekuatan super?” jawabku.
“Hm… jadi tergantung pada tubuh yang kau singgahi ya?” Magnet menekankan.
“Ya” jawabku singkat. Sembari melihat ruangan ini yang serba warna putih dengan teknologi canggih di masanya.
“Baiklah, siapa namamu?” Tanya Cosmica.
Orang itu bergerak maju ke area yang lebih terang, sehingga terlihat jelas wajahnya.
“Mr. G!” Matahari dan Cosmica terkejut, mendadak mereka melakukan posisi siap untuk bertarung.
“Tenangkan diri kalian!” Seru Magnet.
“Kau sudah tahu Magnet, mengapa kau membiarkan dia ke sini?, ini markas rahasia kita!” Bentak Matahari sembari tetap melihat ke Mr. G dan tetap bersiaga.
“Bagaimana bila dia hanya berpura-pura menjadi seorang mindporter?” Cosmica menekankan.
“Aku jamin dia seorang mindporter yang kita perlukan” Jawab Magnet dengan tenang.
“Apa buktinya?” Tanya Matahari.
“Tanyakan siapa namamu, dan aku on-kan detektor gelombang otak pembaca kebohongan” Saran Magnet.
“Siapa namaku?” Tanya Cosmica.
“Entahlah, tapi kau cantik, berwajah oriental, mata cenderung tidak lebar, kulit kuning cerah, tinggi, serta langsing” Jawabku.
“Check, perhatikan data yang tertampil di monitor retina matamu” Saran Magnet.
“Jujur” terlihat tampilan data muncul di retina mata Cosmica dan Matahari.
“Sial, Magnet benar, atau alat kita sudah rusak?” Matahari masih sangsi.
“Aku masih sangsi, tetapi untuk sementara kita gunakan saja kesempatan ini…” Gumam Cosmica.
“Kesempatan?” Tanyaku.
*
“Kesempatan…” Gumamku lagi.
“Hei bangun, kau tertidur diperjalanan…” ada sepasang tangan menggoyangkan tubuhku.
“Aku tahu kau kelelahan karena kau pulang larut malam dan aku memintamu bangun lebih pagi” Ucap ibu sembari melepaskan goyangan tangannya.
Ah iya aku tertidur di atas dokar yang tengah melaju perlahan dikendalikan oleh Chatura, kuda-kuda tersebut terkadang meringkik perlahan.
Perjalanan ke Jathilan ini memakan waktu nyaris seharian apabila menggunakan kuda. Jika berjalan, bisa memakan waktu dua, bahkan tiga hari.
Meski tergolong jauh, namun medan yang dilewati cukup mudah, tidak terlalu menanjak dan menurun, cenderung datar.
Rutenya juga tidak harus memasuki hutan-hutan gelap, meski banyak yang memotong jalan melalui hutan-hutan rimbun. Namun itu tidak terlalu dianjurkan.
Hutannya benar-benar rimbun hingga sinar matahari sulit buat menembus dan meski masih siang, orang yang berada di sana akan segera merasa hari tengah mulai gelap.
Karena ibuku tidak mau menembus hutan, begitu pula dengan Chatura, maka kami melewati jalan setapak yang terlihat jelas meski bumi diguyur hujan.
Memang banyak warga yang melewatinya. Kebanyakan untuk mencari kayu bakar dalam hutan Di samping rute untuk menyambung desa yang satu dengan desa yang lainnya.
Desaku, Kereta, merupakan desa hutan terluar, setelahnya langsung desa pesisir. Tempatku bekerja disebut Desa Lamboru.
Di lain ketiga desa itu rasanya aku belum pernah benar-benar tinggal di sana.
Ada beberapa desa singgah memang, tapi hanya sebentar saja, numpang lewat, sehingga aku tidak begitu memahami desa yang kulewati. Namun aku mengingat benar suasananya.
Rata-rata mirip. Orang-orang dengan pakaian dari kulit ikan. Semua manusia di bumi memiliki ciri-ciri yang sama. Bermata cukup lebar, hidung bangir, dan kulit sawo matang.
Bibiku memiliki wajah seperti ibu, mereka terlahir kembar. Namun anehnya wajah bibi jauh lebih tua bila dibandingkan dengan ibu, meski kemiripannya hampir seratus persen.
Beberapa orang mengatakan karena dia tidak menikah, jadi ia lebih cepat tua.
Beberapa berkata sebenarnya bibi harusnya terlahir beberapa tahun sebelum ibu. Yang lain menyebutkan sebenarnya tidak ada perbedaan yang signifikan di antara keduanya.
Aku sendiri tidak mau ambil pusing. Karena bagiku keduanya jelas berbeda.
Yang satu orang tuaku, wanita yang membawaku ke dunia, sembilan bulan dalam kandungannya, yang lain hanya kukenal karena memiliki garis darah yang sama dengan ibu.
Tidak dekat, dan tidak ingin dekat. Setidaknya itu kalimat yang cocok buat menggambarkan hubunganku dengan bibi.
Chatura, orang paling suka cari muka yang kuketahui sekalipun tidak berminat mendekatinya.
Bibi seolah memiliki benteng yang tidak kelihatan. Mengisolasi dirinya sehingga tidak sembarang orang boleh mengenalnya. Seolah ia terlahir di tengah hutan kemisteriusan.
Bukan karena suara seraknya yang khas. Jika ada yang berbeda dengan ibu, maka adalah suara mereka. Ibuku memiliki suara yang lembut, sementara suara bibi terdengar kasar. Mungkin itu yang membuat orang-orang enggan mendekatinya.
Seolah bibi ini jahat. Kenyataan memang sering kali kejam. Orang-orang dengan mudah mengambil kesimpulan negatif karena dasar yang kurang rasional. Tapi itulah dunia. Sisi subjektifitasnya terlalu dominan.
Ia mungkin kurang ramah, tapi bukan berarti dia jahat. Cukup baik malah. Dulu setiap kali ke tempatnya, ia akan menyediakan berbagai buah-buahan segar. Ia memang memiliki rumah dengan pekarangan penuh pohon buah.
Tidak seperti rumahku yang pekarangannya tidak terlalu besar karena ayah membangun sepetak tempat pemujaan dewa kecil di samping rumah.
Karena tinggal sendirian di lahan tempat tinggal yang cukup luas, ibuku sering kali mengkhawatirkan kembarannya.
Ia takut saudaranya membutuhkan sesuatu namun tidak ada orang yang mampu mendengar jeritan minta tolongnya.
Meski begitu, hingga sekarang hal buruk itu belum pernah menimpa bibi. Ia sangat sehat dan terlihat tenang dengan kesendiriannya. Beberapa tetangganya curiga bibiku memiliki gangguan kejiwaan. Namun aku tahu itu seratus persen tidak benar.
Ia hanya sedikit tertutup. Tapi bukan berarti ia gila dan perlu dijauhi. Aku tidak pernah melihatnya menyakiti hewan atau mengeluarkan sumpah serapah. Ia hanya terlalu tenang, dan jika itu dirasa baik buatnya, mengapa orang-orang perlu mencibir?
Usil. Banyak orang usil di dunia ini. Mengomentari orang lain, ini salah, itu salah. Terlalu sibuk menyalahkan orang lain hingga tidak ada waktu buat berkaca. Tidak sadar kalau orang yang dicibirnya bisa jadi lebih hebat dari dirinya.
Jadi bukan berarti karena aku tidak dekat dengan bibi, maka aku membencinya. Aku hanya merasa kurang nyaman, seolah kami tinggal di dunia yang berbeda. Ada sesuatu yang tidak kupahami tentang dirinya, mungkin aku sama sekali tidak memahami bibi.
Tapi setidaknya ibuku memahaminya, saudara satu-satunya.
"Aku sedang memikirkan kapan kalian kau akan mengunjungiku dan dewa langsung mengirimkan kalian kemari, tidakkah itu luar biasa?" sambutnya ketika menemukan kami bertiga di depan pintu rumahnya.
"Kau terlihat sehat Outi," balas ibuku seraya memeluknya.
"Aku senang kau masih mengingat saudaramu yang penyendiri ini, Oura. Masuklah! Aku akan membuatkan minuman hangat untuk kita semua," ajaknya masuk.
Rumah Outi merupakan peninggalan orang tuanya. Cukup besar. Malah terlalu besar untuk seseorang yang hidup sendirian. Itu karena terdapat beberapa kamar.
Sebenarnya ibuku memiliki empat kakak laki-laki. Nasib buruk menyeret keempatnya dalam kematian, mati bersama-sama.
Mereka hendak berpetualang ke pulau sebelah selama beberapa hari. Namun di tengah perjalanan, kapal yang mereka tumpangi tenggelam. Hingga kini jasad keempat pamanku tidak pernah ditemukan.
"Kau merawat rumah ini dengan baik Outi. Kondisinya masih bagus seperti saat ayah dan ibu masih hidup," kata ibuku sembari menduduki sebangku dari kayu.
"Aku tidak banyak menyentuh rumah ini," Outi terlihat mengerutkan dahinya sebentar. "Aku lebih banyak menghabiskan waktu dikebun, bercocok tanam dari subuh hingga senja hari."
"Tanganmu memang tangan seorang penanam. Aku masih iri mengingat saat di mana ayah memberikan kita bunga dan menanamnya. Tanamanmu bertambah besar dan berbunga banyak, sementara milikku memang tidak mati, tapi ia kerdil dan tidak pernah memberiku bunga," kenang ibuku sembari tersenyum.
"Katakanlah itu hanya keberuntungan," balas Outi sembari menyiapkan empat gelas yang diisi dengan daun teh dan bunga melati. Ia menyeduhnya dengan air panas dan sejurus kemudian wangi teh menguar, memenuhi rumah yang hangat itu.
Outi meletakkan sajiannya di atas meja dan ia duduk, bergabung dengan kami. Seperti biasa aku dan Chatura tidak banyak berkomentar di sini. Kami juga tidak benar-benar tahu apa yang mesti dikatakan pada bibi.
"Aku senang kalian datang sebelum gelap. Kau tahu di sini lebih cepat gelap dari pada tempat kalian," katanya sembari memandangi permukaan teh miliknya.
"Karena daerah kita berbeda, matahari yang kita terima juga berbeda. Biar begitu, di sini matahari juga lebih cepat datang," celetuk ibuku.
"Bibi aku pinjam sumur untuk membersihkan diri ya?" selaku sembari bangkit dari kursi.
"Kau tidak minum tehnya dulu, nak?" tanya ibuku.
"Aku akan meminumnya setelah mandi," ujarku sembari memberi isyarat pada Chatura kalau-kalau ia mau mengikutiku.
Tepat seperti dugaanku, Chatura mengikutiku ke bagian belakang rumah. Kami sudah bolak-balik kemari sejak kecil, jadi sudah hapal benar denah rumah masa kecil ibuku ini.
"Biarkan mereka mengobrol dan bernostalgia. Sebaiknya setelah ini kita bergabung sebentar dan segera masuk ke kamar," sahutku sembari membuka pintu belakang.
Di luar langit sudah gelap. Nyaris tidak ada cahaya. Chatura yang sudah terbiasa dengan keadaan semacam ini, sudah membawa lampu dapur untuk dibawa kemari. Cahaya akan membantu kami semisal ada ular yang datang. Membantu kami melihat lebih baik.
"Kau benar, aku benar-benar tidak berbakat buat mengajak bibi mengobrol."
"Tenang saja, ibu akan mengobrol dengan bibi hingga pagi. Besok tidak perlu bangun terlalu pagi."
"Kuharap bisa seperti itu, karena biasanya aku akan terbangun subuh seperti biasa."
"Semoga rasa letih bisa membuat tidurmu malam ini lebih lelap," ujarku sembari mulai menimba.
Chatura memerhatikan sekeliling sementara aku menimba. Memang sering begitu, aku yang akan menimba, tidak hanya buatku mandi, tapi juga buat dia.
Tapi keadaannya berbeda saat kami kecil, Chatura yang menimba buatku. Kini nampaknya keadaan sudah terbalik.
Meski begitu aku tidak merasa keberatan, menimbakan seperti menunjukkan rasa sayang sebagai saudara. Kadang aku bahkan menimba buat Aswin berhubung badanku lebih berisi dari padanya. Kadang aku suka takut kalau Aswin tidak kuat dan malah tercebur dalam sumur.
Sebenarnya badan Chatura lebih tinggi dan besar daripadaku, tapi bukan berarti aku lebih lemah dari dia. Pekerjaanku di area tambak membuat tanganku cukup berotot. Sementara kaki Chatura lebih kuat karena naik turun gunung tiap hari.
Tanjakan bukan masalah baginya.
"Rasanya sudah lama sejak terakhir kali kita mandi bersama," gumam Chatura seraya membasahi badannya.
Air di sini benar-benar dingin, mungkin karena areanya sudah jauh dari pantai.
"Rasanya seperti kembali ke masa saat kita masih kanak-kanak," balasku, setuju.
"Ah, dingin sekali. Sebaiknya kita bergegas atau akan terkena flu," keluhnya seraya mengguyur tubuhnya dengan air dingin.
Aku tidak menjawab, tapi aku setuju kalau kami tidak boleh lama-lama di luar. Ibu suka menegur kami kalau mandi terlalu lama, padahal kami sudah bukan anak-anak lagi yang sering main air. Sesekali bolehlah saat mandi di sungai, tapi tidak setiap kali mandi.
"Kau tahu kita bisa kembali seperti dulu lagi, mengerjakan berbagai hal bersama. Kita bisa melakukannya jika kau tidak bekerja di tambak," ujarnya lambat-lambat.
"Apa kau membenciku karena aku tidak bekerja sebagai petani sepertimu dan ibu?" tanyaku, kaget.
"Aku tidak mungkin membencimu," sergahnya cepat. "Kau ini kan adikku. Aku hanya sebal karena kau tidak mau berkumpul dengan keluargamu."
"Terdengar seperti melarikan diri."
"Tidak, kau hanya memisahkan diri. Memangnya rumah tidak menyenangkan buatmu, Candhra?"
Aku menunduk. Apakah rumah tidak terasa menyenangkan dan nyaman?
Tentu rumahku adalah tempat ternyaman di bumi ini. Tapi bukan karena itu, alasannya bukan itu.
Aku tidak tertarik menjadi petani jamur. Aku memang bisa melakukannya, mencari jamur dan membedakan mana jamur layak konsumsi, mana jamur yang beracun. Tapi bukan itu yang kuinginkan.
Di hutan tidak ada debur ombak. Tidak ada limpahan sinar matahari yang seakan ingin membakar kulit. Entah mengapa aku menyukai ombak, seolah di mana terdengar suara ombak, aku tidak akan pernah merasa kesepian.
Seolah debur air yang bergulung ke laut adalah alunan terbaik untuk membuatku tetap tenang. Aku menyukai laut, lebih menyukai laut dari pada hutan yang rimba.
"Ah! Rasanya menyedihkan," Chatura memandang ke arahku. "Adikku lebih memilih menghabiskan waktu bersama Aswin daripada kakaknya."
"Tidak seperti itu...."
"Aku tahu kau tidak begitu. Itu hanya hal yang sering kurasakan," cengirnya.
Aku tahu Chatura tidak berbohong, ia sedang meluapkan perasaannya.
Rasa rindunya membuat dia sering berdebat denganku. Ia hanya tidak bisa mengontrol rasa ditinggalkan. Padahal aku tidak meninggalkannya.
Jika aku ingin pergi, aku akan benar-benar pergi. Menghilang ke tempat yang anonim, di mana keluargaku tidak mampu menemukanku, dan aku tidak dapat bertemu mereka lagi.
Kami masuk ke dalam dan melihat kedua kembar itu tengah menyiapkan makan malam.
"Kalian sudah selesai?" senyum ibuku sembari menyiapkan daun-daun untuk kami makan.
"Tidak ada banyak lauk," sesal bibiku.
"Tidak masalah, besok aku dan Chatura akan pergi memancing."
"Aku akan mengandalkan itu untuk lauk besok petang," sahut bibi, tanpa senyum. Suaranya yang serak kadang memberikan kesan kalau dia sedang marah, padahal ia biasa-biasa saja.
Kami makan dengan santai. Kadang ibuku tertawa ketika mengingat masa kecilnya dulu, sementara Outi terlihat lebih datar. Ia memang tidak tertawa, tapi ia lebih banyak tersenyum ketika ngobrol dengan ibu.
Aku menghabiskan makan lebih dulu karena ingin memeriksa kuda kami sebelum masuk ke kamar.
Daerah sini memang aman. Tingkat kriminal sangat rendah karena orang-orang yang takut pada karma. Jadi sebenarnya aku hanya ingin memastikan kendaraan kami sudah tertambat dengan baik.
Bersambung....
Cerbung ini ada di majalah AN1MAGINE Volume 3 Nomor 2 Februari 2018 eMagazine Art and Science yang dapat di-download gratis di Play Store, share yaa
“Menerbitkan buku, komik, novel, buku teks atau
buku ajar, riset atau penelitian di jurnal? An1mage jawabnya”
AN1MAGINE BY AN1MAGE: Enlightening Open Mind Generations
AN1MAGE: Inspiring Creation Mind Enlightening
website an1mage.net www.an1mage.org
Comments
Post a Comment