CERPEN: DARI MOEN UNTUK BUMI

http://wide-wallpapers.net/on-another-planet-2-wide-wallpaper/

DARI MOEN UNTUK BUMI
Archana Universa


"Keteraturan dan ketidakaturan itu silih berganti, Moen!" seru Xnox sembari mengayunkan tangan buat memukul kepalaku.

Aku berhasil mengubah frekuensiku sesaat sebelum tangannya mengenai kepalaku.
Menghindar dengan jitu.

"Kau bisa menghindari pukulanku. Tapi kedamaian dan peperangan tidak dapat dihindari. Jalani saja," lanjut Xnox sembari mengerucutkan bibirnya, kecewa pukulannya meleset.

"Aku hanya sebal. Orang-orang itu mengira mereka sudah baik. Padahal banyak konflik laten di antara mereka. Tidak diserukan, bersikap seolah tidak masalah padahal di dasar pemikiran mereka penuh dengki," keluhku sembari memandangi tangan kiriku yang nampak seperti memudar.

Xnox memandangi tanganku.

"Waktumu sudah tidak banyak ya, Moen?"

Aku mengangguk.

"Hidup dan mati silih berganti seperti kau bilang perdamaian dan peperangan juga silih berganti."
"Akhirnya kau setuju padaku!" serunya sembari berkacak pinggang.

"Oh! Aku memang sudah setuju sejak awal. Aku hanya enggan mengakuinya," jawabku sembari menolak dagu dengan tangan kananku. Tangan yang masih normal.

"Sudah berapa lama kau hidup, Moen?" Xnox duduk di sampingku.

Kami ada di tepi danau Bovcoit. Danau yang permukaan airnya sering kali diciumi kabut. Pemandangan yang terbatas.

https://suwalls.com/fantasy/stranger-crossing-the-lake-at-night-46075/

 Tapi penglihatanku lebih tajam. Aku melihat pemandangan di danau ini tanpa terhalang kabut.

"Cukup lama," kataku setelah menghela napas lebih dulu.

"Berapa lama tepatnya?" desak Xnox.

"Tidak sopan menanyakan umur orang lain!" kilahku.

"Kau hanya tidak mau menjawabnya," timpal Xnox sembari mengangkat bahunya.

"Jauh lebih tua darimu," cibirku.

"Ya. Ya. Kau lebih tua dariku. Hanya saja penampilanmu mirip anak umur sepuluh."

"Penampilan inikan yang membuatmu merasa bisa semena-mena padaku? Akui saja! Kau sering menganggap dirimu lebih tua dariku!" ujarku sembari meliriknya melalui sudut mata.

"Tampilanmu terlalu hemat! Entah itu keberuntungan atau kutukan." Xnox membelai janggut putihnya.

Seluruh rambut di kepalanya sudah putih. Rambut alisnya juga putih. Mungkin rambutnya yang lain juga sudah putih total.

Kami sekarang mirip kakek dan cucu.

"Katakan padaku. Apakah menyenangkan hidup lama?" tanyanya.

"Relatif. Ada saatnya aku ingin mati karena lelah menjalani hidup. Ada saatnya aku ingin hidup karena merasa banyak hal yang belum kulakukan."

Xnox mendorong batu dengan tongkatnya. Batu itu masuk ke danau. Ia mungkin tidak bisa melihatnya, tapi aku bisa. Batu itu membuat air di danau bergejolak, bahkan hingga ke tepi lainnya.

"Aku tidak tahu standar banyak menurutmu itu sebenarnya berapa banyak," katanya, pelan.

Aku sendiri juga tidak tahu, pikirku. Hidup berarti kumpulan persoalan yang tidak kunjung selesai. Satu selesai, muncul yang lain. Silih berganti.

"Menurutmu, ke mana kita setelah mati?" tanyaku.

 "Tidak ada. Seperti saat kau belum dilahirkan. Tidak ada apa pun. Tapi itu versiku, banyak versi di luar sana. Reinkarnasi misalnya? Atau surga dan neraka? Entahlah, sepanjang ingatanku, aku belum pernah mati. Jadi aku tidak akan tenggelam untuk berasumsi ini atau itu. Terserah saja mau percaya yang mana."

Xnox menolehkan kepalanya ke arahku. "Jangan bilang kau takut mati, Moen!"

"Aku bahkan tidak tahu apakah harus takut atau tidak," gerutuku.

"Kurasa banyak makhluk hidup yang takut mati."

Aku mengangguk. "Makhluk hidup takut mati karena takut kehilangan masa lalunya."

*

Pertama kali aku bertemu Xnox sekitar dua ribu tiga ratus tahun yang lalu. Saat itu Xnox belum terlihat setua sekarang. Rambutnya juga masih hitam.

Kurasa hukum silih berganti tidak berlaku bagi Xnox. Rambut hitam menjadi putih, namun tidak bisa kembali menjadi hitam lagi.

Seiring berjalannya waktu, kulitnya makin keriput saja. Bahkan dua bulan terakhir Xnox mulai membawa-bawa tongkat bersamanya karena kakinya sudah mulai bermasalah.

Sementara penampilanku kini dibanding dua ribu tiga ratus tahun lalu tetap saja. Seolah tubuh ini telah membeku di umur sepuluh tahun. Aku tidak akan menua seperti Xnox. Aku akan tetap begini hingga mati.

Dan kematianku sudah dekat....

*
Aku mendapat informasi kalau salah satu planet di zona yang menjadi tanggung jawabku kembali terjadi perang.

"Bumi lagi?" kata Xnox dengan nada mengeluh. "Para monyet itu memang sulit bersatu."

"Aku akan ke sana," ucapku, memberitahunya.

"Bersama-sama. Planet itu juga masuk dalam daftar tugasku! Bagaimanapun kau ini kan atasanku, Moen," kekeh Xnox.

"Aku sudah mengirimkan surat permohonan pensiunmu di awal hari ini. Nikmati waktumu, Xnox," tolakku.

"Pensiun!" bentak Xnox tidak senang.

"Kau bahkan tidak akan pensiun hingga kau mati. Aku masih ingin bertugas bersamamu
“Biarkan aku pergi denganmu!"

Aku mengangkat kedua tanganku, tanda menyerah. Aku sudah cukup mengenal Xnox. Percuma saja berdebat. Dia akan tetap menyusulku meski aku tidak membawanya teleport bersama.

Kuraih lengan Xnox. Detik berikutnya kami sudah berada di Bumi.

*

Perang menggunakan nuklir bukanlah favoritku.

Bagi makhluk sepertiku atau Xnox, nuklir tidak akan melukai kami. Tapi nuklir bagi penghuni Bumi tentu saja berbeda impaknya.

"Kadang aku berharap Bumi musnah saja. Terlalu banyak problem!" Xnox mulai nyinyir lagi. Kebiasaan yang selalu kambuh tiap menginjakkan kakinya di Bumi.

Aku memberikan pandangan tak setuju.

"Ya. Ya. Kehidupan itu berharga. Meski bagi makhluk rendahan seperti manusia, bakteri atau amoeba!" gerutunya padaku.

Xnox tidak berhenti di situ. "Seandainya bisa memilih, aku akan memilih ditugaskan di planet yang lebih cinta damai saja. Bumi terlalu barbar, Moen! Susah untuk tidak mencibir manusia. Aku sudah mencobanya selama ribuan tahun, tapi tetap saja gagal. Sungguh aku sudah mencoba agar tidak nyinyir!"

http://eskipaper.com/images/space-nebula-planet-moon-stars-art-1.jpg

"Xnox, menurutmu kenapa kali ini mereka pesta perang nuklir?" ujarku memotong cerocosannya.

Xnox mengetukkan tongkatnya ke tanah sebanyak dua kali. "Jelas sekali, perbedaan ideologi, beda persepsi mengenai kebenaran yang kemudian membawa pada peperangan. Sekarang baru jutaan yang mati, tapi aku bertaruh, korbannya akan bertambah banyak hingga milyaran. Bodoh sekali manusia ini, sulit diajarkan untuk berdamai."

"Bagaimana agar peperangan ini berubah jadi perdamaian?" tanyaku sembari berpikir. "Terbakar amarah, membunuh diri sendiri dan orang lain. Jika tidak terbunuh, minimal celaka."

Xnox memberikan pandangan dasar-pecinta-manusia padaku, tapi tidak berkomentar melalui mulutnya.

"Apa yang kau dapatkan Xnox?" tanyaku mengacuhkan bahasa tubuhnya.

Xnox kembali mengetukkan tongkatnya. Kemudian menghela napas.

"Kau tidak akan suka, Moen."

"Ceritakan," pintaku.

"Plutonium. Sempat mencapai 3.900 derajat Celcius, kurasa lebih. Bomnya mengenai pembangkit listrik tenaga nuklir. Kontaminasi air, tanah, udara. Kanker, perubahan hormon serta chromosom karena radiasi nuklir tidak terhindarkan," katanya.

"Mutasi sel tubuh, apakah akan ada yang menjadi manusia super?" gumamku.

"Dengan kanker kandung kemih, perut dan usus besar, juga kanker darah alias leukemia, kemungkinannya lebih ke mati daripada menjadi superhero," desah Xnox.

"Armageddon untuk area sekitar sini, terutama."

Xnox mendadak menghentikan perkataannya dan mulai memperhatikan tanganku lagi.

Kini tidak hanya tangan kiri, sisi tubuh kiriku juga mulai nampak samar, seolah aku bisa menghilang kapan saja. Bukan teleport, tapi mati.

"Kalau aku mati di sini, kau bisa pulang dengan tongkat saktimu itu," kelakarku, tapi entah mengapa nadaku terdengar sedih, begitu pula dengan raut wajah Xnox.

"Kau tahu, meski aku banyak menggerutu padamu, tapi kau sudah kuanggap seperti saudaraku sendiri," gumam Xnox, lirih.

"Terdengar seperti ucapan selamat tinggal di pemakaman," kekehku.

Xnox terdiam, tidak yakin apa yang harus dikatakannya.

Namun aku tahu apa yang harus dikatakan dan dilakukan.

"Aku akan mati di sini, Xnox. Aku sudah memutuskannya."

Xnox mengangguk, seolah dapat membaca pikiranku.

"Jangan ucapkan selamat tinggal." Aku memberi jeda sejenak sebelum menambahkan kata, "Kumohon."

Xnox mematung di tempatnya. Matanya terpaku padaku.

Aku kemudian berjalan. Dua puluh meter jauhnya. Merasakan puing dan potongan tubuh manusia di kakiku. Kemudian melakukannya, hal yang akan menyedot energi kehidupanku hingga habis.

Aku mungkin tidak bisa membuat kontaminasinya hilang seratus persen. Tapi aku bisa membuat kondisi area ini jauh lebih baik.

Kukerahkan seluruh tenagaku. Hal terakhir yang kulihat adalah setetes air mata dari Xnox, jatuh ke janggut putihnya, kemudian melebur dengan tanah.


Cerpen ini ada di majalah AN1MAGINE Volume 3 Nomor 2 Februari 2018 eMagazine Art and Science yang dapat di-download gratis di Play Store, share yaa


“Menerbitkan buku, komik, novel, buku teks atau 
buku ajar, riset atau penelitian di jurnal? An1mage jawabnya”

AN1MAGINE BY AN1MAGE: Enlightening Open Mind Generations
AN1MAGE: Inspiring Creation Mind Enlightening 
website an1mage.net www.an1mage.org

Comments

Popular Posts

PARTNERS

Contact Form

Name

Email *

Message *