CERPEN: KATAKAN PERMINTAANMU

https://s6.postimg.org/vwnodyyep/muse_bliss_09_crop_c0_5_0_5_1920x1080_75.jpg

KATAKAN PERMINTAANMU
Archana Universa


"Kau mungkin saja dalam bahaya, tapi aku tak peduli."

"Apa maksudmu mengatakan ini?" tuntutku.

"Supaya kau tidak datang merengek dan meminta bantuanku. Aku bahkan tidak ingin melihatmu lagi. Kau sungguh menyedihkan."

Aku memutar perdebatan dengan Rteyan minggu lalu. Kami sudah baikan sekarang. Tapi, aku masih tidak mengerti ucapannya.

Entah hanya omong kosong atau memang ada maksud tersembunyi aku tidak tahu. Tapi mungkin aku akan segera mengetahuinya.

*

Aku menendang kaleng bekas minuman yang di buang sembarangan entah oleh siapa. Saat itu petugas kebersihan memergokiku, kemudian memelototiku.

Kadang begitu, disalahkan seolah aku yang membuang kaleng tersebut sekaligus menendangnya.
"Dasar tukang bikin masalah."

Rasanya aku sudah sering mendengar kalimat itu.

"Kurasa kau memiliki kekuatan super," kata Rteyan suatu ketika.

"Apa?" sahutku, malas.

"Menarik masalah datang padamu," koarnya sambil tertawa.

Hanya saja kalau itu benar, aku tidak menyukainya. Baginya lucu, bagiku tidak.

Bukan berarti aku ingin disukai, aku hanya ingin merasakan bagaimana diperlakukan normal tanpa tudingan-tudingan negatif, menghakimi.

Mungkinkah?

*

Rteyan melemparkan sebungkus rokok padaku.

"Kau tahu aku tidak merokok," tolakku.

"Semua orang mengira kau perokok. Termasuk aku, kecuali dirimu sendiri," kata Rteyan dengan senyum mengejek.

Aku membuat gumaman tak jelas. Begitulah. Orang selalu menuduhku lebih parah daripada kenyataannya.

Menurut mereka aku ini tukang buat masalah. Menurutku merekalah orang-orang jahat.

Rteyan juga tidak bisa dikategorikan sebagai teman yang baik. Hanya saja aku tidak punya banyak pilihan, tidak bisa membuat tuntutan. Tersudut.

Siang itu kami bolos sekolah bersama. Aku bolos karena tidak mau dengar guru paling sok suci sedunia, alias guru agama. Sementara Rteyan bilang dia sedang bosan. Daripada tidur di kelas, lebih baik bolos.

"Kopinya satu, bi," pintaku pada pemilik warung.

"White coffee ya?" tanya si pemilik warung, memastikan pesananku.

"Biasa," timpalku.

"Rokok. Kopi. Kue cucur," gumam Rteyan di antara kunyahannya. "Habis ini mau ke mana?"

Aku mengangkat bahu. "Pulang. Tidur."

"Membosankan," cibirnya.

"Beri masukan, jangan cuma nyinyir!" protesku sembari menoyor kepalanya.

"Tentu saja! Aku tahu tempat menarik," senyumnya penuh kemenangan. "Ayo berangkat!"

*

Aku tidak tahu ke mana Rteyan membawaku. Semoga tidak sebatas berputar-putar di jalanan ibu kota seperti orang bego.

Nakal boleh, bego jangan.

Tapi aku menahannya. Menahan diri untuk tidak memberikan sumpah serapah pada Rteyan. Amarahku hanya akan membuatnya senang.

Harusnya aku pulang saja langsung tadi. Kenapa juga aku harus mengekori Rteyan.

Aku masih sibuk bersungut-sungut dalam kepala hingga tidak menyadari motor Rteyan sudah ada di sampingku.

"Woi! Jangan bawa motor sambil tidur! Dari tadi dipanggil diam aja!" bentaknya.

"Apa?" tanyaku, datar.

"Kita sudah hampir sampai. Habis perempatan depan, ambil kiri. Nanti masuk gang ketiga di kiri. Jangan bablas!" katanya, kentara kesal karena aku tidak menggubris kata-katanya tadi.

Rteyan tidak menungguku menjawab "ya". Dia langsung memimpin lagi, menunjukkan arah.

Aku bahkan masih tidak tahu ke mana dia akan membawaku.

*

Bangunan itu mirip warung terbengkalai. Cat birunya mengelupas di sana sini. Jendelanya masih dari kayu, ala zaman baheula.

Sebatang pohon mangga berdiri kokoh di halaman dengan daun-daun kering di bawahnya. Kentara sekali tidak pernah ada yang membersihkan halaman.

Sekilas pasti orang akan menyangka rumah ini kosong. Tapi pintunya tidak tertutup rapat. Sedikit terbuka. Di dalam gelap. Aku tidak bisa melihat apa pun yang ada di dalam rumah aneh itu.

"Tempat mafia?" tanyaku, asal.

"Kau boleh menyebutnya begitu!" timpal Rteyan, terbahak.

"Ayahku sebenarnya yang sering kemari, tapi terus aku jadi juga suka kemari. Kau akan menyukainya! Tidak semua orang kuberi tahu soal tempat ini."

https://s3.amazonaws.com/spoonuniversi-wpengine/spoonuniversi/wp-content/uploads/sites/16/2016/02/4514391020_f3c20e853b_o.jpg

 Aku mengingat-ingat ayah Rteyan. Pria paruh baya berkumis yang kerap menggunakan singlet putih dan sarung motif kotak-kotak. Penjudi. Beruntung ibu Rteyan punya pekerjaan, jadi mereka masih bisa bertahan.

Jadi kira-kira apa yang Ayah Rteyan juga anaknya lakukan disini?

Opsi lain muncul di benakku. Panti pijat?

Rteyan mengetuk pintu dengan irama. Kurasa semacam kode.

Dia menoleh ke arahku dan memamerkan senyum mengejek. "Kau akan berterima kasih padaku!"
Sungguh, kuharap tempat ini bukan sarang prostitusi. Bukan karena aku impoten, tapi aku takut kena penyakit kelamin menular.

*

Mulanya aku berpikir mataku buta.

Tapi itu hanya sesaat. Setelah mataku menyesuaikan dengan keadaan sekitar, barulah aku melihatnya.
Ruangannya tidak terlalu besar. Aku bisa melihat seorang wanita duduk di salah satu kursi rotan.

Rambut hitam panjangnya menyentuh pinggang. Ia memakai baju terusan berwarna hitam. Di sampingnya terdapat lilin.

"Aku datang!" kata Rteyan sembari duduk di salah satu kursi rotan yang ada di dekat wanita asing itu.
Kuputuskan untuk duduk di samping Rteyan. Mematung, membisu, tidak tahu harus apa. Kalau aku bisa hidup tanpa bernapas, mungkin aku juga akan berhenti bernapas juga menghentikan detak jantungku.

"Katakan permintaanmu!" kata wanita itu. Suaranya seperti lonceng. Bukan serak seperti dugaanku.
Rteyan memberikan kode supaya aku menjawab wanita itu.

Tapi aku hanya mengangkat bahu karena bingung.

"Aku bisa melakukan apa pun! Katakan keinginanmu!" seru wanita itu lagi.

Oke. Ini benar-benar aneh. Jadi aku memelototi Rteyan.

"Kenapa menatapku, jawab saja pertanyaannya," cuit Rteyan.

"Memangnya apa keinginanku?" desisku kesal.

"Aku tahu kau pasti sulit mempercayainya. Tapi Frotuna bisa mengabulkan keinginanmu."

"Lalu apa yang harus kuberikan padanya untuk mengabulkan keinginanku?" tanyaku, penuh curiga.

"Tidak ada," jawab Frotuna.

"Tidak ada," ulang Rteyan.

"Bagaimana mungkin!" tawaku. "Ini benar-benar tidak lucu. Soal mengabulkan keinginan, juga soal aku tidak perlu memberikan apa pun pada Frotuna. Aku tidak percaya."

"Coba," perintah Frotuna sembari memberikan senyuman miring padaku.

"Benar, coba buat permintaan, supaya kau bisa tahu kalau baik Frotuna dan aku tidak sedang melucu," desak Rteyan.

Aku mengerucutkan bibir.

"Oh! Syaratnya, kau hanya bisa membuat permohonan untuk dirimu sendiri, tidak dengan orang lain. Misal kau ingin ada cewek yang suka padamu, itu tidak akan berhasil."

"Apa yang ayahmu minta ketika kemari?" tanyaku.

"Dia membuat permintaan agar jadi master di bidang perjudian. Setelah dari sini ayah hampir selalu menang," beber Rteyan.

"Lalu apa yang kau minta dari Frotuna?" tanyaku sembari memicingkan mata.

"Aku? Aku meminta naik kelas," katanya sembari tersenyum lebar.

Kalau kenaikan kelas Rteyan masuk dalam salah satu keajaiban dunia aku akan menyetujuinya.
Nilai jeblok, absen bolong-bolong, sikap seenaknya. Aku sudah berpikir dia akan tinggal kelas. Tapi nyatanya tidak! Rteyan dinyatakan naik kelas.

Banyak hal yang bersliweran di kepalaku. Tapi aku harus menanyakan yang satu ini dulu.
"Kenapa kau membawaku kemari?"

Rteyan menghela napas. "Aku tahu kau sedang tidak senang beberapa hari ini. Banyak melamun, sensitif seperti bapak-bapak baru menopouse.... Kurasa aku perlu mengulurkan pertolongan karena kau temanku."

Aku tertawa mendengar jawabannya. Kalau Rteyan sedang melucu, dia berhasil. Tapi ekspresinya sangat serius, aku tahu dia tidak sedang main-main.

Jadi aku berganti lawan bicara, menghadap Frotuna.

"Mengapa kau mengabulkan permintaan orang-orang?" Tentu. Tentu, aku harus menanyakannya.
"Agar aku bisa tetap memiliki kekuatan ini," jawabnya sembari tersenyum.

"Kau bisa membuat permintaan dan mengabulkannya sendiri!" timpalku.

"Tidak bisa. Aku tidak bisa mengabulkan permintaanku sendiri. Harus orang lain. Begitulah aturannya," jawabnya, santai.

"Termasuk tinggal di dalam rumah gelap yang hanya disinari lilin?" ejekku.

"Mataku terlalu sensitif. Aku tidak bisa berada di ruangan yang terang. Percayalah kemampuanku melihat dalam gelap lebih baik dari pada manusia sepertimu," ujarnya.

"Apa kau bukan manusia?" ejekku.

"Menurutmu?" balasnya.

"Dengar! Aku membawamu ke sini bukan agar kau berdebat dengan Frotuna! Katakan permintaanmu dan hal itu akan segera beres, OK?" potong Rteyan yang mulai gerah dengan sikapku.

"Aku belum tahu, bisa minta waktu untuk berpikir?" desisku tidak senang.

"Kau hanya belum mengatakannya karena belum bisa percaya pada kemampuan Frotuna," desah Rteyan.

"Coba!" perintah Frotuna, lagi-lagi sembari memberikan senyuman miring padaku.

"Entahlah," desisku sembari memalingkan muka.

"Kau bisa mengatakan apa yang ada di kepalamu," usul Frotuna sembari memelintir sejumput rambut panjangnya dengan tangan kanan.

Begitu? Pikirku. Bagaimana dengan permintaan yang absurd?

"Aku ingin pindah, hidup di galaxy lain," jawabku asal.

Lalu segalanya mendadak berubah menjadi putih.

*

Kurasa aku benar-benar buta.

Atau mungkin juga tidak. Kalau tadi aku tidak bisa melihat karena terlalu gelap, sekarang mataku silau gara-gara cahaya yang terlalu terang.

Silau! Bagaimana mungkin ada sembilan matahari di langit?

Hah?! Sembilan? Mataharinya ada sembilan?

Aku mengucek-ngucek mataku. Menghitungnya lagi sembari memicingkan mata. Benar ada sembilan matahari! Ya ampun! Apa aku jadi sinting?

Tapi ada yang lebih aneh lagi! Pohon-pohon di sini daunnya biru. Tanahnya merah.

Aku bersumpah baru melihat kelebatan kucing hutan di pohon dekatku. Kucing itu warnanya ungu!

Aku melihat tubuhku. Di balik seragam sekolahku, aku bisa melihat kulitku kini berubah jadi transparan dan memendarkan cahaya temaram.

Ini pasti mimpi! Bertemu Frotuna pasti juga mimpi.

Aku memerintahkan diriku agar terbangun dari mimpi aneh ini. Tapi tidak ada yang terjadi. Kucubit lengan kananku dengan tangan kiri. Sakit.

Aku tidak bisa bangun! Atau mungkinkah aku memang tidak sedang tidur? Bahwa aku memang secara ajaib berpindah ke tempat asing? Suatu tempat di jagad raya, seratus persen bukan di Bumi?

Kemudian aku mengingatnya lagi. Permintaanku pada Frotuna. Soal pindah dan hidup di galaxy lain.
Mungkinkah... Mungkinkah permintaan yang kukatakan pada Frotuna terkabul?

Rteyan yang sudah lama bersamaku pasti tahu benar aku akan menjawab asal jika dia membawaku pada Frotuna. Dia sengaja membuatku dalam bahaya.

Aku ingat Rteyan berkata tidak ingin melihatku lagi. Sekarang aku tahu maksud perkataannya saat kami bertengkar minggu lalu. Rteyan sudah merencanakan semua ini!

Lalu apa yang harus kulakukan disini? Aku bukan lagi manusia dan tidak lagi berada di Bumi!

Seseorang, tolong aku!



Cerpen ini ada di majalah AN1MAGINE Volume 3 Nomor 2 Februari 2018 eMagazine Art and Science yang dapat di-download gratis di Play Store, share yaa


“Menerbitkan buku, komik, novel, buku teks atau 
buku ajar, riset atau penelitian di jurnal? An1mage jawabnya”

AN1MAGINE BY AN1MAGE: Enlightening Open Mind Generations
AN1MAGE: Inspiring Creation Mind Enlightening 
website an1mage.net www.an1mage.org

Comments

Popular Posts

PARTNERS

Contact Form

Name

Email *

Message *