MINDPORTER 2: Archilum oleh M.S. Gumelar di An1magine Volume 2 Nomor 11 November 2017
MINDPORTER 2:
Archilum
M.S. Gumelar
Bumi
Di frekuensi lain, di timeline yang lain?
Aku tinggal di sini, mataku menatap langit, aku menjadi seseorang, di masa apa?
Kulihat wajahku di refleksi air, seorang manusia, spesies yang sering kusinggahi.
Memori
Memori adalah kekayaan.
Memoriku perlahan terpendam, menyatu dengan tubuh ini, akankah memoriku mampu bangkit di tubuhnya?
*
“Memori….”
“Ya memorimu akan ditransfer ke dunia virtual, kau akan abadi di alam virtual, tidak ada kematian, hidup selamanya,” jelas Kgrou.
“Bagaimana dengan tubuh asliku?”
“Tubuh aslimu akan dihibernasikan dengan teknik Gryeon. Di mana dalam keadaan hibernasi, tubuhmu akan mampu hidup jutaan tahun, dan memori dari hasil petualanganmu hidup di alam virtual otomatis ter-upload secara wireless ke memori otak tubuh aslimu”.
“Hm… siapa yang menjaga tubuh asliku?” tanyaku.
“Tentu saja kami, sebagai perusahaan lintas galaksi dan lintas frekuensi yang sudah trilyunan tahun mampu bertahan selama ini dan masih mampu bertahan trilyunan tahun ke depan” jelas Kgrou.
“Bagaimana bila database server kalian rusak?” kataku skeptis.
“Jangan kuatir, memori avatar-mu di alam virtual selalu ter-link dengan memori otak di tubuh aslimu, kau akan secara otomatis bangkit di tubuh aslimu bila ada virus, hacking, dan atau server mendadak rusak dan tidak berfungsi, rileks, dan nikmati kehidupan lainmu di alam virtual ini, alam virtual yang kami sebut sebagai Suruga,” Kgrou menekankan.
“Hm… baiklah, aku kini telah merasa yakin bahwa alam virtual Suruga ini aman” kataku.
“Tentu saja aman Grkji,” jawab Kgrou sembari tersenyum menenangkan.
“Apalagi kau kini hidup sendirian di Frir ini, planet kita yang indah ini tidak menjadi indah lagi saat istri dan anakmu meninggal dalam kecelakan stasiun angkasa Bujk,” kata Kgrou.
“Kgrou kau menyakiti kami dengan kata-katamu,” Kata seorang wanita cantik spesies Morj.
“Maaf Mirnd, aku tidak bermaksud menyinggungmu, ini hanya bisnis, tetapi kau tahu, suamimu juga tahu kalau kau android pengganti istri Grkji, demikian juga anakmu yang juga android, aku tidak bermaksud rasis, karena kau juga sebenarnya mahluk hidup seperti kami,” jelas Kgrou.
“Kata-kata bisnismu menyebalkan, kau tidak perlu mengatakannya pada suamiku yang tertarik dengan alam virtual Surugamu.” Mirnd berkata dengan ketus.
“Sudahlah Mom, seperti katanya, ini hanya kata-kata bisnis.” Clriae menengahi.
“Dengarkan anakmu Mirnd, dia luar biasa” Kata Kgrou.
“Pujian yang paradoks, kau tadi menghina aku dan anakku sebagai android dengan membandingkan kami pada tubuh biologi kami sebelumnya, yang perlu kau ingat, memori kami tetap sama, kami benar-benar istrinya, namun hanya dalam tubuh android saja, bukan berarti kami mati” Mirnd tetap berkata ketus.
“Mirnd tenang, anggap aku sedang liburan, kau dan Clriae masih dapat berkunjung padaku di alam virtual Suruga ini…”
“… aku ke Suruga dalam rangka tugas penelitian, tidak akan selamanya di sana, aku tahu kau istriku, demikian juga Clriae adalah anakku, tubuh hanya wadah, kebetulan aku masih menggunakan tubuh biologis, tapi suatu saat aku mungkin akan menyusulmu mengganti tubuh android juga bila tubuh biologisku sudah tidak mampu optimal lagi untuk dikloning” kataku.
“Keluarga yang sudah mencapai titik spiritual yang tinggi, baiklah, silakan berbaring di sana, proses akan kami lakukan” Kgrou memuji sekaligus berusaha mengakhiri perbincangan.
Aku duduk di suatu area cekung, Aku tersenyum pada istri dan anak perempuanku yang cantik.
Kemudian aku berbaring, dan secara perlahan tubuhku mengambang. Kemudian sejenis aroma terapi tercium di hidungku dan aku mendadak sangat mengantuk, aroma terapi itu adalah media pembius, aku mulai memejamkan mata.
Tertidur.
*
Mataku terbuka.
Tanganku terjulur ke langit.
Bagaimana angkasa begitu terlihat dekat, namun sekaligus jauh dalam waktu yang bersamaan.
Aku ingin terbang menembus awan-awan. Memenuhi dadaku dengan udara. Seolah itu adalah hal yang benar. Seolah aku ini berasal dari langit dan wajib kembali ke atas sana.
Ini bukan cerita hidup setelah mati karena aku tidak percaya ada surga. Ini merupakan impian bagi mereka yang hidup, bermimpi kemudian berusaha mewujudkannya.
Seolah ini merupakan suatu panggilan. Dapat disebut takdir karena aku wajib mencapainya. Sampai berhasil.
*
Chapter 1
Aku menjulurkan leher panjang-panjang, sepanjang yang kubisa. Bukan untuk melihat cewek seperti yang ada di kepala Aswin. Bukan juga karena leherku sedang kram.
Aku tengah memandangi kakakku, Chatura yang tengah membantu ibu kami mempersiapkan perlengkapan untuk upacara Shinar yang akan diadakan besok.
Kupenuhi paru-paruku dengan aroma mawar dan melati yang semerbak dari tempat-tempat sesaji. Rasanya benar-benar manis, seolah aku mampu mengecap bunga-bunga itu.
Wangi semacam ini tentunya tidak kucium tiap hari karena perayaan juga tidak ada tiap hari. Maka dari itu sesaji juga tidak perlu dibuat setiap hari. Meski selama bertahun-tahun aku selalu mencium wangi ini setiap perayaan, aku selalu merindukan aromanya yang manis.
“Wahai pria yang menghirup aroma bunga-bunga dalam diam. Izinkan harapku bercampur denganmu di udara. Merasuk perlahan dalam raga yang penuh dengan dahaga.”
“Kalau kau haus, minum saja Aswin,” gerutuku kesal. Kenapa bocah yang satu ini selalu muncul, mengendap-endap dan mendadak sudah berada di balik punggungku.
“Aih! Itu kan hanya deretan kata-kata indahku, sahabat. Masa aku menyebut dahaga dan kau mengira aku haus,” ujarnya dengan nada mencibir.
“Terserah kau sajalah,” kataku sembari kembali menjulurkan leher bak jerapah.
Ibuku sedang mencoba kain yang akan digunakan Chatura untuk perayaannya besok. Rasanya aku bisa mati karena iri.
Bagaimana mungkin Chatura mendapatkan kain baru sementara aku tidak. Ini benar-benar menyebalkan.
Mestinya ibu tetap memberiku kain baru, biarpun aku tidak mengikuti perayaan. Setidaknya itu akan sedikit menghiburku. Ia mestinya sadar kalau aku benar-benar iri dengan Chatura.
"Kau benar-benar menginginkannya ya?" celetuk Aswin sembari terkekeh.
Aku berbalik sembari berkacak pinggang. Nyaris aku lupa kalau ada anak ini di sekitarku karena terlalu asik memandangi keluargaku, "Kenapa sih kau selalu mengagetkanku seperti itu?"
"Ah! Bagus. Kau yang mengendap-ngendap, aku yang di salahkan," gerutu Aswin sembari memegang beberapa keramba baru.
Ia memang benar. Aku tadi kaget saja dan spontan menyalahkannya. Itu tidak benar kan? Anggap saja itu refleks, refleks yang buruk.
"Jadi kau mau membantuku ke tambak tidak?"
"Apakah kau akan memberiku beberapa?"
"Aku tidak akan memberi banyak, tapi setelah selesai bekerja, kita akan membakar beberapa."
"Terdengar menggiurkan."
"Aku tahu kau tidak akan menolak," kekehnya.
Kami pun pergi menjauhi pemukiman. Masuk lebih jauh ke dalam bayang-bayang pepohonan dan melintasi lumut-lumut yang tumbuh bak rumput.
Lumut tumbuh di atas tanah, di batu, juga di batang pohon. Hutan yang memisahkan rumahku dengan area pinggir pantai anehnya dipenuhi lumut.
Pastinya tumbuhan itu senang dengan tempat-tempat lembab. Untungnya hanya hutan kecil itu yang ditumbuhi lumut, sisanya hidup kami normal.
Meski begitu kami tidak pernah tergelincir. Tidak akan kecuali sedang dikerjai atau sial... mungkin juga karena sedang melamun.
Tapi intinya kami sudah terlatih melewati padang licin. Mungkin karena sering melewatinya.
Lumut-lumut itu tidak terasa licin, mungkin karena tubuh kami sudah beradaptasi dengan baik.
Mungkin juga karena memang itu normal di sini. Atau tepatnya hutan ini, karena seperti yang sudah kukatakan, hutan ini memang dipenuhi lumut, tidak seperti hutan-hutan lain di Bumi kami.
Tumbuhan perintis yang menjadi bagian dari hidup kami. Lumut diinjak, lumut dikonsumsi, lumut dijadikan obat.
Setidaknya tumbuhan itu memiliki manfaat, bukan cuma tempelan yang membuat orang-orang yang tidak terlatih melewatinya untuk jatuh.
Di sini kami tidak dapat mencium aroma bunga-bunga sesaji. Jika udara pemukiman tengah terasa manis, maka tempat ini terasa segar. Setidaknya itulah pemikiranku.
"Kau tahu kadang aku suka gatal kalau kita melewati padang ini," keluh Aswin sembari menggoyang-goyangkan tangannya.
"Alergimu kambuh?" tanyaku sembari mencoba mengamati tangannya.
Kulit kami sama-sama berwarna kecoklatan, namun kulit Aswin lebih gelap sedikit. Yang membedakannya lagi, rambut di lengan kakiku dan tanganku lebih banyak dari miliknya.
Aswin mengangguk muram. "Kau tahu kan pada bulan-bulan di mana lumut melepaskan spora. Nah karena itu aku akan terserang gatal-gatal."
"Terberkatilah kau oleh dewa! Bukankah bulan ini tingkat spora yang dihasilkan lumut akan menjadi lebih banyak?" sahutku sembari mengingat-ingat.
"Kau membuatnya terdengar lebih mengerikan, sungguh," dengus Aswin kesal.
Aku terbahak dan tersedak oleh liurku sendiri. Memang tidak dibenarkan menertawakan kesialan orang lain. Anggap saja ini karma.
Aswin menjulurkan lidahnya padaku.
"Apakah Akusara dan Angga membantu menyiapkan sesaji hari ini?" sahutku setelah selesai terbatuk-batuk.
"Begitulah, kau mungkin tidak percaya, adikku, Amrita saja terlihat sangat tertarik membantu untuk perayaan esok lusa."
Aku hanya bisa mengeluarkan tawa kering. Tidak ada yang patut kami gerutukan karena peraturannya memang begitu.
Laki-laki yang sudah berumur dua puluh empat baru boleh mengikuti upacara di kuil. Sementara batasan untuk perempuan adalah umur dua puluh.
Tapi aturan untuk perempuan bisa berubah jika dia sudah menikah, maka dia boleh ikut upacara di kuil meski belum genap dua puluh tahun.
Penduduk yang dinilai masih belum dewasa hanya boleh melakukan upacara di rumah masing-masing.
"Kau tahulah. Kita tetap masih bisa merayakannya meskipun hanya di rumah. Lagi pula tinggal beberapa tahun lagi sampai kita dapat bergabung di kuil."
"Lihat siapa yang sedang bicara. Candhra yang benar-benar menginginkan mengikuti perayaan di kuil."
Aku membulatkan mata. "Memangnya kau tidak ingin merayakan Shinar di kuil? Ingin terus-terusan di rumah?"
"Bukan begitu. Aku hanya merasa agak sedih karena seluruh keluargaku pergi ke kuil sementara aku tidak."
Ah, iya aku ingat. Amrita baru saja menikah bulan lalu meski umurnya masih enam belas. Mungkin seperti itulah kondisi ibuku saat ia harus menikah dengan Rama diumur belia. Mungkin malah lebih mengerikan.
Mengandung di usia dua belas. Melahirkan Chatura sembilan bulan kemudian dan tidak lama aku muncul di rahimnya.
Kurasa itu sangat melelahkan, tapi ibuku itu orang yang kuat, "Hei! Bukankah kita senasib? Tahun ini Chatura juga akan ke kuil. Aku juga sendirian," ujarku berusaha membuatnya tidak terlalu sedih.
"Senasib dengan orang sial sepertimu tidak membuatku bahagia," ledek Aswin.
"Kurang ajar kau Aswin!" gerutuku sembari memukul punggungnya. Tidak terlalu keras tapi mampu membuat sahabatku itu mengaduh kesakitan.
Tidak biasanya, Aswin tidak membalasku. Biasanya ia akan memukulku lebih keras untuk meluapkan kekesalannya.
Kurasa ada sesuatu yang mengganjal pikirannya. Sesuatu tentang perayaan dan kuil. Sepertinya dia benar-benar merasa tersingkir beberapa tahun ini.
Jarak dia dengan Angga adalah delapan tahun. Bisa dibayangkan bertahun-tahun melakukan perayaan berdua dengan Amrita. Situasinya sekarang malah Amrita sudah bisa ke kuil sementara dia tidak.
Sebaiknya kami mengganti topik supaya dia tidak uring-uringan terus. Apalagi tubuhnya sedang gatal-tagal.
"Jadi sekarang sudah saatnya ternakanmu dipanen?" tanyaku sembari merentangkan kedua tangan ke udara.
"Kau tidak akan percaya selalu ada Brachuura yang berganti kulit setiap harinya. Oh ya, nanti aku tukar beberapa dengan jamur ya?"
Barter. Kami memang sudah terbiasa melakukannya. Jika keluarga Aswin bekerja di tambak Brachuura, maka ibuku adalah petani jamur.
Meski aku ini anak petani, tapi pekerjaan yang berhubungan dengan perikanan lebih menarik buatku.
Aku banyak menghabiskan waktu bekerja di tambak milik keluarga Aswin.
Sebagai balasannya, aku sering ditraktir beberapa ekor Brachuura. Tinggal dibakar sebentar hingga kulitnya kemerahan, tidak perlu ditambah bumbu, rasanya sudah sangat enak.
Aswin sering meledekku, tentang niatanku bekerja dengannya itu tidak lain karena aku gemar makan Brachuura saja. Padahal aku memang suka dekat dengan perairan.
"Atau mungkin kau ini anak dari dewa air," kelakarnya.
"Kau membuatku serasa anak pungut saja. Chatura sangat giat mengumpulkan juga melakukan budidaya jamur, sementara aku malah pergi jauh-jauh dari area itu."
"Mungkin sebenarnya kau ada ketidakcocokan dengan spora seperti aku," kekehnya.
"Untung saja keluargaku bekerja di daerah perairan. Aku tidak bisa membayangkan terkena spora jamur."
"Mungkin kau akan berubah jadi monster."
"Baguslah. Aku mau menjadi monster asalkan itu naga berkepala sembilan."
"Satu badan dengan sembilan kepala itu mengerikan, sobat. Kau tidak akan bisa bergerak karena kepala-kepala itu saling memikirkan hal yang berbeda."
Aswin menjulingkan matanya. "Kau memang tidak tahu apa yang disebut dengan keren."
Aku memang tidak tahu kalau standar keren adalah memiliki sembilan kepala, pikirku.
"Bagaimana kalau kau menginap saja besok malam? Toh, orang-orang punya kesibukan masing-masing."
"Kau serius? Tidak mau mengurung diri di dalam kamar dan menulis buku harian?" kelakarku.
"Sinting kau Candhra! Aku mana pernah menulis hal-hal busuk dalam hidupku seperti itu?"
"Siapa tahu. Kau kan suka menjadi pujangga, siapa tahu kau juga suka menulis buku harian."
"Mana ada," gerutunya sembari memonyongkan bibir.
"Akusara akan menemukannya dan membeberkannya ke seluruh dunia."
"Jadi kau pernah memiliki buku harian dan ditemukan Akusara?" sahutku, terkejut,
"Untungnya belum separah itu tuan. Hanya buku puisiku yang kudedikasikan buat seseorang."
"Jangan paksa aku untuk menerkanya," sahutku usil.
"Ah! Itu...."
"Vedika."
"Arrrgh! Kenapa kau mengatakannya?"
"Karena aku ingat benar pertama kali mendengar namanya, kupikir kau menyebut seorang pria," tukasku riang, tidak merasa bersalah karena sudah menyebut sosok yang sudah lama disukai temanku tapi tidak mampu dimilikinya.
Aswin memasang tampang galak, tapi aku tahu benar ia sedang bercanda. Berteman selama tujuh tahun membuatku cukup mengenalnya.
"Nih, kau bantu bawalah," sahutnya sembari menyerahkan beberapa keramba.
Teman macam apa aku ini dari tadi tidak menawarkan bantuan.
Aku menerimanya dengan hati ringan. Kami belum akan sampai. Karena tadi aku berada di tengah pulau.
"Jadi kau dibebaskan tugas dari menyiapkan sesaji untuk perayaan?"
Ah... topik itu lagi. Sepertinya aku benar-benar tidak ada harapan untuk mencari topik lain. Mau bagaimana lagi. Upacara Shinar sudah jadi buah bibir semenjak dua bulan yang lalu.
Kadang aku tidak mengerti mengapa orang-orang bisa menjadi sangat antusias. Juga mengapa aku ikut-ikutan antusias. Jawabannya bisa jadi karena antusiasme itu menular. Mirip penyakit. Virus, bakteri, semacam itu.
"Tentu aku melarikan diri," sahutnya ringan.
"Terdengar sangat Aswin," kekehku.
"Lihat dirimu, tidakkah kelakuanmu sama sepertiku?"
Aku mencibir. "Keluargaku tidak perlu banyak persiapan. Hanya ada dua orang yang pergi. Lagi pula aku sudah membantu mereka."
"Membantu sebelum mengendap-ngendap?" ejek Aswin.
"Kau tahu kadang aku ingin menyelinap...."
"Berhenti di situ Candhra," ujarnya sembari memicingkan mata. "Kita tidak tahu apakah ada yang sedang mendengar kita dan mungkin saja bisa berujung pada salah persepsi."
Aku menghela napas panjang. Ia benar.
"Maaf aku ceroboh."
"Orang-orang sangat sensitif membahas Shinar. Bisa jadi salah paham. Kadang mereka, para orang dewasa itu, berpikir, kita masih suka berpikir macam-macam."
"Terima kasih sudah memperingatkanku, Aswin."
"Tidak masalah. Kita sudah dekat. Kau akan kaget dengan banyaknya Brachuura yang siap buat dipanen. Aku sudah memerhatikan gerak-gerik mereka semenjak semalam. Hari ini mereka pasti tengah berganti kulit."
Kami mempercepat langkah. Perairan sudah semakin dekat dan aku mampu mendengarkan debur ombak yang datang dan pergi secara perlahan namun pasti.
Senang sekali aku tinggal tidak jauh dari area perikanan. Senang karena aku bisa bekerja bersama Aswin, sahabatku. Senang karena ibuku bisa mengerti keinginanku yang sama sekali tidak tertarik dengan dunia jamur.
Perikanan di daerahku sebenarnya cukup maju. Sebagai komoditas nomor satu, hasil perikanan tidak hanya dipandang sebagai sumber makanan saja. Ikan diolah menjadi pakaian, ikan dibuat jadi kerajinan.
Kebanyakan penduduk di sini menggunakan pakaian dari kulit ikan. Pria dan wanita sama-sama hanya mengenakan pakaian dari pinggang hingga lutut, sementara bagian dada dibiarkan terbuka. Tidak masalah wanita tidak menutup dadanya.
Namun Brachuura yang sejak tadi kami bicarakan tentunya bukanlah ikan. Serangga air, dengan dua belas kaki, di mana empat kakinya dijadikan sebagai capit. Sepasang di depan, sepasang di belakang.
“Dulu aku sangat ketakutan dengan binatang ini. Bagaimana tidak depan dan belakang memiliki capit. Sepasang di depan saja sudah terlihat menakutkan,” gumam Aswin sembari memandangi tambak yang ada di dekat kami.
“Lalu apa yang membuatmu jatuh hati pada Brachuura?” tanyaku sembari meletakan keramba di atas tanah.
“Karena daging dari capitnya sangat enak,” sahutnya sembari terkekeh.
“Ternyata kau yang doyan makan, seenaknya saja kau suka menuduhku bekerja di sini karena aku mau makan Brachuura. Ternyata tuduhan itu lebih tepat untuk dirimu sendiri,” cibirku.
Aswin terkekeh. “Bercanda. Sebenarnya aku ingin pindah. Bekerja untuk ikan-ikan. Tapi kau tahu sendiri seluruh keluargaku bekerja di sini.”
“Hei, aku juga memikirkan hal yang sama. Bagaimana kalau kita mengerjakan perikanan bersama-sama,” ujarku mendadak bersemangat.
“Kau mau berpindah meski itu artinya tidak akan bisa menyantap Brachuura sesering sekarang?” tanyanya sembari membulatkan mata.
“Ha! Aku tidak tahu kau selucu itu Aswin,” sahutku, jengkel.
Perutku memang sedikit buncit tapi bukan artinya aku gila makan seperti yang ia pikirkan. Mentang-mentang tubuhnya kecil dan cenderung kurus, Aswin gemar meledekku doyan makan.
Padahal setelah dipikir-pikir makannya lebih banyak dari aku, entah mengapa aku yang lebih melar dari dia. Sungguh tidak bisa kucerna. Bisa jadi sebenarnya Aswin ini cacingan.
“Pasti kau sedang memikirkan bagaimana memiliki tubuh indah seperti milikku,” ejeknya sembari mengambil beberapa keramba. Aku turut membantunya.
“Pikirlah sesukamu Aswin,” sergahku, sebah.
“Uhh! Tuan Brachuura sedang marah,” godanya lagi.
Kami mengambil Brachuura yang baru saja melakukan penggantian kulit. Brachuura memang kerap mengganti kulitnya. Melepaskan kulit yang lama di mana di bawah lapisan itu sudah ada lapisan baru yang tidak keras.
Aku bisa merasakannya, cangkang Brachuura yang lembut. Orang-orang mencari Brachuura yang baru saja berganti kulit dengan tujuan supaya bisa memakannya lebih mudah.
Setelah dipanen, Brachuura diletakkan ke dalam air tawar bersih beberapa saat. Baru kemudian kami meletakkan satwa itu ke dalam keranjang yang dialasi handuk basah sebelum kami menutupnya dengan handuk basah yang lain. Fungsinya adalah sebagai pelembab, supaya kulit Brachuura tidak cepat mengeras kembali.
Setelah kurang lebih satu jam bekerja kami mulai berkemas untuk menimbang tangkapan kami sebelum binatang-binatang itu dibekukan.
“Simpan beberapa untuk kita santap. Aku akan membawa bagian kita ke rumah dan menyiapkan perapiannya. Kau timbanglah sisanya,” ujar Aswin memberi instruksi.
“Tidak masalah,” kataku sembari mengangkat keranjang berisi tangkapan kami dan mulai berjalan ke tempat penimbangan.
Karena kebanyakan orang-orang tengah berkutat dengan Shinar, maka hari ini penimbangan terlihat lengang.
Sama seperti keadaan tambak yang terlihat lebih sepi daripada biasanya.
Kalau bukan karena Aswin, aku tidak mungkin akan mengetahui dunia ini. Keluargaku seluruhnya petani. Meski ayahku sebenarnya petani padi, bukan jamur seperti ibu. Kadang beliau juga menanam singkong dan ragam tanaman umbi di pekarangan rumah.
Aku ingat benar waktu itu aku sedang memancing di sungai yang tidak jauh dari rumah, saat itulah aku bertemu Aswin pertama kali. Seorang anak laki-laki yang seumuran denganku, sedikit lebih pendek dan suka tersenyum.
Seketika itulah aku tahu kalau dia orang baik. Sebut saja itu sebagai sensing. Tidak mampu dijelaskan secara logika, tapi aku bisa merasakannya.
Dugaanku tidak meleset, kami menjadi teman baik dengan cepat dan bertambah dekat dari hari ke hari. Kami sudah menganggap satu sama lain sebagai saudara.
Tentunya sudah bisa ditebak, ibuku mengatakan tidak masalah jika aku ingin bekerja di luar bidang keluarga kami. Yang penting aku memiliki pekerjaan yang baik, bukan tindakan yang terpaut dengan kriminalitas atau hal-hal buruk lainnya.
Aku sudah selesai melakukan penimbangan dan memastikan pekerjaan kami dicatat. Seperti biasa aku dan Aswin minta dibayar perminggu saja karena jika bayaran diberikan per hari, kami cenderung akan menghabiskannya tanpa ada yang ditabung.
Setelahnya aku kembali ke bawah pohon Ebura, tempat aku menyisihkan beberapa ekor Brachuura untuk disantap. Kuambil keranjang itu dengan cepat dan bergegas menuju lahan yang agak tertutup oleh tanaman perdu, tidak jauh dari rumah Aswin berada.
Di situ aku bisa menemukan Aswin sudah menyiapkan perapian untuk kami melakukan bakar-bakar.
“Aku sedang berusaha membuat api, tapi belum berhasil,” keluhnya sedikit sebal.
“Biar kulakukan,” kataku sembari memberikan keranjang padanya dan mengambil alih pekerjaannya.
Tidak perlu lama untuk menyalakan api buatku. Bagaimanapun aku lebih terampil karena aku
memang lebih sering makan sendiri. Memancing, membakar, dan menyantap Brachuura seorang diri.
Meski beberapa ekor hasil tangkapanku sering kuberikan pada ibu untuk di masak, tapi biasanya aku makan satu atau dua ekor dulu.
Bisa sampai lima jika ikannya kecil atau ketika aku tengah kelaparan.
Berbeda dengan Aswin yang memasakkan untuknya, membuat Aswin tidak terlalu mahir membuat api. Tapi sebenarnya semua masalah kebiasaan saja. Ia bisa mahir juga jika sering melakukannya.
Masalahnya, jika bukan ibunya, maka ada aku yang akan menyalakan api. Itulah yang membuat Aswin tidak kunjung bisa membuat api dengan cepat. Ia bisa melakukannya, aku pernah melihatnya, tapi itu memakan waktu yang cukup lama.
Aswin tengah menusuk Brachuura dengan cepat. Khusus keahlian yang itu aku kalah dibandingnya. Hidup lama di area perairan membuatnya sangat terampil mengolah hewan-hewan air, termasuk serangga yang lezat itu.
“Aku benar-benar tidak suka hari ini. Semua orang pergi dan tidak ada makanan di rumah. Semuanya pergi meninggalkanku.”
“Hai bukankah kau sedang makan bersamaku?” tuntutku seraya mengambil empat tusuk Brachuura. Dua di tangan kanan dan dua di tangan kiri.
Ia ikut membantuku membakar Brachuura. Sepertinya kami mengambil selusin tadi, cukup banyak.
Sebenarnya akan menjadi masalah bagi kami karena Brachuura itu dikembangkan, tidak seperti memancing di alam liar di mana ikan dan serangga air tidak ada yang merawat.
Maka dari itu kami berinisiatif untuk menyiasati bagaimana kami tetap bisa mendapat Brachuura tanpa harus mengurangi jumlah produksi, yakni dengan ikut beternak di tambak.
Kami akan melepaskan beberapa bibit yang kami tangkap di laut dan mengambil Brachuura sebanyak bibit yang kami sebar. Tapi tentunya tidak banyak orang yang mengambil ternakan seperti kami.
Tindakan kami bisa disebut illegal dan legal pada saat yang bersamaan. Karena merasa tetap bertanggung jawab pada Brachuura yang diambil, kami tidak merasa mencuri. Tapi tetap saja bakal ada orang yang salah mengerti, maka dari itu kami sengaja mencari tempat sepi untuk membakar Brachuura.
“Aku heran mengapa orang-orang sangat antusias pergi ke kuil. Kalau perayaan bisa dilakukan di rumah, mestinya tidak perlu wajib ke kuil kan?”
Aku menoleh ke arahnya dan nyengir, “Maka dari itu jadilah dewa dan ubah peraturannya.”
“Tidak akan. Aku benci kuil. Aku tidak ingin dekat-dekat. Ada sesuatu yang membuatku takut mengenai kuil itu."
Aku mengernyitkan dahi, tidak memahami apa yang dimaksud Aswin.
"Seperti... seperti sesuatu yang gelap berdiam diri di sana."
"Dengar sobat, kurasa ini sudah agak melenceng karena tidak ada sesuatu yang jahat di kuil. Mestinya kita semua tahu itu."
"Tapi aku yakin kuil yang satu itu berbeda."
Aku mengangkat alis. Berusaha untuk tidak terlalu mengambil pusing perkataannya.
Kurasa masalah upacara Shinar sudah benar-benar membuat temanku itu tertekan.
"Candhra kau pasti tengah menganggapku gila sekarang," ujar Aswin sembari memicingkan mata.
"Aku hanya merasa kau perlu beristirahat," jawabku asal.
"Sudah kuduga kau tidak akan mau mendengarkanku," gerutunya, lagi-lagi muram. Sepertinya hari ini suasana hati Aswin sedang kurang baik.
Kuhela napas panjang-panjang.
"Kita bahkan belum pernah ke sana. Jadi kurasa itu hanya..."
"Sebenarnya aku sudah pernah ke kuil," sergah Aswin cepat.
"A-apa?"
Chapter 2
"A-apa?" ulang suara itu lagi.
Itu bukan suaraku meski aku juga terkejut.
Aku dan Aswin sama-sama menoleh dan mendapati Rawi tengah memanjat pohon Ebura dekat kami.
Rasanya aneh ada orang lain di sekitar sini, tambah aneh mengingat Rawi mestinya sudah masuk golongan warga yang ke kuil.
“Kenapa dia ada di sini?” gerutuku dari sudut mulut sehingga hanya Aswin yang mendengar.
“Entahlah.”
Dan saat itu aku menyadari wajah Aswin agak pucat. Pasti ia takut Rawi berkata macam-macam mengenai dirinya. Apalagi Aswin baru mengatakan rahasianya. Suatu hal mengerikan karena melanggar peraturan.
Jika tersebar dan ketahuan, ia harus bekerja di kuil selama beberapa bulan bahkan tahun untuk melayani dewa.
Intinya orang yang melanggar peraturan harus membaktikan hidupnya pada dewa agar dewa tersebut tidak murka.
Kepercayaan semacam itulah yang masih dipegang oleh orang-orang dari suku kami.
Tunduk pada dewa. Panen memberikan sesaji, saat masa tanam juga melakukan hal yang sama. Intinya warga meminta supaya hal-hal buruk dijauhkan dari hidup mereka.
Aku pribadi sebenarnya tidak terlalu memusingkan hal itu. Kadang aku merasa tidak senang melakukan upacara-upacara semacam itu. Entahlah, aku sama sekali tidak tertarik.
Namun rasa ketidaktertarikan itu akan menjadi masalah karena masyarakat akan mulai menyindirku, juga keluargaku.
Beban sosial yang ditanggung akan lebih menyebalkan dari pada melakukan ritual. Maka dari itu aku lebih memilih untuk mengikuti arus.
Katakan saja aku ini pengecut yang tidak berani mengutarakan pikiranku yang sesungguhnya. Kalah oleh pendapat dominan, kalah oleh peraturan yang sering kali terdengar konyol buatku.
Namun mau bagaimana lagi. Bahkan Aswin sekalipun sebenarnya masih sangat taat pada akar-akar kepercayaan suku kami. Ibu dan Chatura juga. Maka dari itu aku sering merasa kesepian.
Seolah-olah hanya aku yang tidak ingin terikat oleh peraturan-peraturan keyakinan. Oleh sebab itulah kadang aku merasa kesepian.
Meski aku tidak setuju dengan peraturan-peraturan yang ada, tapi aku masih patuh menjalaninya.
Maka dari itu aku benar-benar terkejut saat Aswin mengatakan dia pernah mengunjungi kuil yang diperuntukkan bagi para dewasa. Itu lebih terdengar seperti lelucon, lelucon yang menjadi mengerikan karena ada orang lain yang mendengar.
Rawi turun dari pohon dengan beberapa buah Ebura yang masih mentah dan menyimpannya di tas yang ada di balik punggungnya.
Ia menghampiri kami, tentu saja, aku juga tidak punya keyakinan dia akan pergi begitu saja tanpa memberikan serentetan pertanyaan.
“Jadi kau pernah ke kuil jelek itu?” cibirnya seraya duduk di antara aku dan Aswin.
Rona muka Aswin jadi memerah. Ia tidak sedang membuat lelucon, apa yang dikatakannya tidak main-main. Tapi mestinya Rawi tidak ikut campur.
Memangnya apa untungnya dia menimbrung pembicaraan orang lain seperti ini?
Memangnya Rawi penatua desa, sehingga Aswin harus mengaku padanya? Memangnya Rawi ada hak buat menginterogasi Aswin soal kelakuannya?
“Sedang apa kau? Buah Ebura tidak bisa dikonsumsi saat masih mentah,” selaku mencoba buat mengalihkan pembicaraan.
Rawi memiringkan kepalanya sedikit dan tertawa mengejek. “Memang tidak untuk dimakan, tapi bukan berarti buah yang mentah tidak memiliki khasiat.”
Aswin menundukkan kepalanya, tidak memerhatikan Brachuuranya yang hampir gosong separo karena tidak dibalik. Dengan cekatan aku segera membalik makanan kami. Beruntung hanya hampir gosong. Brachuura sangat tidak lezat bila gosong, sebenarnya juga berlaku untuk makanan lain.
Rawi memerhatikan tusukan Brachuura milik kami.
“Kuharap itu bukan curian,” desisnya lagi.
“Tentu tidak,” tukasku cepat. Orang-orang pasti akan berpikir begitu, tapi aku dan Aswin tahu benar kalau kami bukan pencuri.
“Kami ikut menabur beberapa benih sehingga bisa mengambil benih-benih kami ketika siap santap.”
Rawi terlihat seperti tidak setuju, tapi ia tidak mengeluarkan suara lagi. Ia malah mengerutkan keningnya sembari memandangi makanan yang tengah beradu dengan api.
“Kau mau beberapa?” kataku menawari. Jujur saja sebenarnya hanya berbasa-basi. Yang penting dia tidak menanyakan hal-hal soal kuil ke Aswin.
Dia menggeleng. “Menyedihkan bagiku, Brachuura akan membuatku gatal-gatal.”
“Alergi?” tanyaku tetap tenang.
“Begitulah. Baiklah kalian lanjutkan saja. Aku akan mencari buah Ebura lagi,” pamitnya sembari merapikan isi tasnya sebelum menggunakan tas itu lagi dipunggungnya.
Kami memandanginya berlalu.
“Kukira dia akan membombardirmu dengan pertanyaan. Tidak kusangka dia akan pergi secepat itu,” decakku sembari memeriksa Brachuura yang tengah kami bakar.
“Aku lega dia tidak memberiku pertanyaan yang aneh-aneh,” gumam Aswin, wajahnya masih pucat, belum pulih.
“Anggap kita beruntung. Lagi pula dia juga mestinya sedang mempersiapkan sesaji di kuil. Kalau dia menilai kelakuanmu mencurigakan, maka kelakuannya juga mencurigakan,” cibirku tidak senang dengan Rawi.
Aku tidak tahu mengapa, tapi aku tidak pernah benar-benar menyukai Rawi. Ada semacam perasaan tidak nyaman yang muncul ketika ada dia di sekitarku.
Bukan. Bukan merasa terancam, tapi tidak terjelaskan. Terdengar bodoh dan dibuat-buat memang, tapi mau bagaimana lagi. Aku tidak bisa mengenyahkan perasaan tidak nyaman, seolah-olah orang itu yang menghasilkannya.
“Mencurigakan....” desis Aswin pelan “Kelakuanku bukan tindakan mencurigakan tapi penasaran. Aku hanya sedikit kecewa mengapa banyak orang sudah bisa ke kuil itu sementara aku tidak. Rasanya sedikit tidak berdaya....”
“Jadi kau tidak sedang membuat lelucon? Kupikir tadi kau hanya hendak mengerjaiku saja, membuatku terkejut,” ujarku sembari mengangkat Brachuura yang telah matang dan memberikannya pada Aswin.
“Kadang-kadang aku juga berusaha menganggap hal itu tidak nyata, tapi aku tahu benar aku telah membuat kesalahan. Aku jahat sekali menyeretmu dalam hal ini. Semestinya kupendam sendiri saja.”
Kutepuk-tepuk perlahan bahunya. “Tidak apa-apa. Tapi sebaiknya kau tidak menceritakannya kepada orang lain lagi. Bisa jadi yang mendengar akan mengambil berat tindakanmu yang pergi ke kuil.”
“Kau benar, aku tidak ingin mendapat masalah.”
Aku mengangkat Brachuura milikku yang sudah matang dengan sempurna. Kulit Brachuura yang keabu-abuan menjadi merah.
Aku mengupas cangkangnya dengan mudah. Itulah sebabnya kami mencari Brachuura yang baru saja berganti kulit buat disantap.
Kami makan dalam diam, atau lebih tepatnya aku makan sementara Aswin tidak. Ia masih berkutat dengan pikirannya.
Aku sendiri juga tidak yakin apa yang ingin kukatakan. Aku hanya berharap Rawi tidak benar-benar mengusik kami karena tidak sengaja mencuri dengar.
Semoga dia bukan orang usil yang sok menerapkan peraturan dengan baik. Kalau sampai ia memperlakukan Aswin dengan buruk, aku tidak akan tinggal diam.
“Rawi tadi, tidakkah menurutmu tindakannya agak mencurigakan?”
Aku menelan Brachuura yang ada dimulutku, mengunyahnya perlahan dan memikirkan pertanyaan Aswin barusan.
Mencurigakan? Bisa jadi karena dia tidak pernah kemari. Tempat ini benar-benar tertutup. Meski tidak jauh dari pemukiman nelayan, jarang ada yang kemari. Kebanyakan nelayan lebih suka bercengkrama di tepi laut atau segera pulang ke rumah.
Sementara para petani tinggal agak terpisah dari sini, agak lebih masuk ke pulau dan tempat ini tidak dilewati akses pejalan kaki.
Luar biasa juga dia sampai tahu ada pohon Ebura di sini.
“Dia bukan nelayan maupun pekerja tambak seperti kita kan ya?” gumamku sembari membuka capit Brachuura yang menyembunyikan banyak daging.
Aswin menggeleng.
“Tangannya bukan tangan yang bersahabat dengan perairan. Terdengar seperti mengada-ada, tapi pada kenyataannya ia tidak mampu berhasil di bidang ini. Maka dari itu kudengar ia pindah pekerjaan lima tahun yang silam.”
“Nampaknya ia telah melewati masa-masa yang berat,” ujarku tidak terlalu peduli sebenarnya. Aku mungkin juga tidak akan mengingat ada makhluk bernama Rawi di sini kalau ia tadi tidak muncul.
Seorang kenalan lama yang tidak lama kelihatan dan mendadak muncul dengan cara tidak terduga. Kami tidak pernah punya masalah dengannya. Aku tidak pernah berkelahi dengannya karena kami memang asal kenal, tidak dekat.
Mungkin agak aneh kedengarannya, soal bagaimana aku mengukur kedekatan dengan pernah atau tidak juga tingkat seringnya bertengkar. Nah bertengkar, terutama saat kami masih lebih muda.
Kini aku dan Aswin sudah lebih memahami karakter masing-masing.
Cenderung lebih bisa menebak pilihan tindakan satu sama lain juga bagaimana cara masing-masing dari kami berpikir. Maka dari itu kami sudah lebih jarang bertengkar.
Meski kami bertengkar, itu pun juga tidak akan berlangsung secara lama. Kami ini bukan tipe orang yang suka berperang dan menyakiti. Jadi biasanya jika ada masalah, kami akan mencoba buat menyelesaikannya sesegera mungkin.
“Makanlah Brachuuramu. Kau tahukan dagingnya bisa menghasilkan racun jika terkena udara bebas terlalu lama,” kataku mengingatkannya.
bersambung....
Cerbung ini ada di majalah AN1MAGINE Volume 2 Nomor 11 November 2017 eMagazine Art and Science yang dapat di-download gratis di Play Store, share yaa
“Menerbitkan buku, komik, novel, buku teks atau
buku ajar, riset atau penelitian di jurnal? An1mage jawabnya”
AN1MAGINE: Enlightening Open Mind Generations
AN1MAGE: Inspiring Creation Mind Enlightening
website an1mage.net www.an1mage.org
Comments
Post a Comment