CERPEN: ASDOF


ASDOF 
Archana universa


Aku berlari sembari menutupi wajah. Berbahaya memang, tapi kadang aku tidak ingin melihat makhluk-makhluk itu.

Bukan manusia! Seratus persen bukan manusia!

Tapi aku tidak mau menjerit. Orang tuaku akan membawaku ke tempat-tempat ibadah, orang pintar atau apa pun sebutan mereka itu, kemudian mengadakan ritual bagiku. Semacam pelepasan? Atau apalah. Tapi aku tidak kerasukan!

“Jangan tutupi wajahmu seperti itu, nak. Kau bisa mati!”

Sebaris kalimat peringatan, dari mereka yang non-manusia.

“Justru kalianlah yang menginginkanku mati!” balasku tanpa menghentikan langkah.

Setelah aku berada cukup jauh dari makhluk tadi, barulah aku memindahkan tanganku dari wajah. Aku berhasil melaluinya. Hanya saja aku terlalu sering menemui makhluk semacam ini.

Dengan tinggi tiga meter. Menggunakan jubah panjang kehitaman. Tanpa kaki, tanpa bayangan. Dia melayang-layang. Dapat menembus manusia atau benda padat lainnya.

Mulanya aku menangis. Menjerit ketakutan. Karenanya orang-orang mengira aku kesurupan. Padahal aku hanya ketakutan. Ketakutan yang berlebihan.

Mereka mengira ada makhluk yang hendak mengambil alih tubuhku, tapi tidak. Sejauh yang kuketahui mereka tidak pernah memasuki tubuh manusia. Mereka menembusnya.

Aku sendiri tidak pernah melihat wajah mereka. Aku takut wajahnya terlalu menakutkan dan aku tidak akan dapat mengontrol diriku lagi.

Aku benci tiap kali orang-orang melihatku dengan pandangan aneh. Menudingku dapat melihat setan.
Selain menyatakan makhluk yang aku lihat adalah setan, ada juga yang mengatakan makhluk tersebut adalah pencabut nyawa. Itulah yang dikatakan sahabatku, Ren.

“Kurasa, dari deskripsi yang kau ceritakan, sebenarnya kau memiliki kemampuan untuk melihat malaikat pencabut nyawa,” ujarnya dengan mimik serius.

“Aku suka jika bisa melihat malaikat! Tapi kenapa harus pencabut nyawa!” gerutuku, tak senang.

“Atau mungkin dewa kematian?” gumam Ren, samar. “Nikmati saja. Tapi kupikir kau memiliki sesuatu yang kau sembunyikan dariku!” seru Ren dengan nada menuduh. Ia bahkan mendekatkan wajahnya ke wajahku, mendramatisir.

“A-apa?” sahutku gagap.

“Death note!” seru Ren, puas.

“Dasar otaku!” balasku sembari menoyor kepala Ren. Bisa-bisanya dia bercanda ketika temannya menceritakan hal yang paling ditakutinya.

Namun hingga hari ini aku masih tidak mengerti, sebenarnya apa sih makhluk yang kulihat itu?

Benarkah setan yang kulihat itu? Ataukah mereka pencabut nyawa? Aku tidak tahu. Aku tidak pernah melihat tuhan, lalu bagaimana mungkin aku bisa melihat setan? Jika aku bisa melihat setan bukankah semestinya aku juga bisa melihat tuhan?

Entahlah. Aku pusing. Sudah terlalu sering memikirkannya tanpa mendapat jawaban yang pasti. Tidak ada orang yang bisa menjawab pemikiranku karena mereka tidak dapat melihat makhluk yang kulihat.

Jadi percuma saja orang-orang itu memberikan berbagai masukan. Aku tidak menerimanya karena mereka sendiri tidak mengalaminya. Jika tidak mengalami, berarti mereka hanya menebak-nebak. Setidaknya aku tahu lebih banyak karena aku yang mengalami.

Dari sekian banyak area yang ditempati makhluk itu, kebanyakan adalah perempatan dan jalan raya. Jadi kau pasti memahami mengapa aku sangat benci berjalan menuju sekolah.

Kebanyakan makhluk ini melayang-layang di tempat ramai. Kadang di pemakaman, tapi itu jarang. Jadi sejujurnya kuburan lebih menyenangkan daripada aku harus berjalan di perempatan.

Seperti hari ini, aku harus berjalan sendirian. Aku sudah meminta mom untuk menjemputku sepulang les barulah kami ke mall bersama-sama. Tapi tentu saja mom tidak mau.

“Aku akan menunggumu di Mall. Di salon langganan mommy, kau sudah sering kesana, pasti hafal,” tolak mom ketika aku merengek minta di jemput di tempat les.

“Tapi aku lebih suka mom jemput!” pekikku. Jalan sendirian dari tempat les yang sebenarnya hanya berjarak beberapa blok dari mall merupakan mimpi buruk buatku. Ada dua perempatan yang harus kulalui sendirian!

Bersama mom aku bisa menutup mata atau melihat ke bawah saja ketika melalui perempatan. Itu artinya aku bisa berpura-pura bahwa makhluk berjubah hitam itu tidak ada.

Tanpa mom, aku harus waspada. Melihat sekeliling saat menyeberang.

Makhluk itu tahu aku dapat melihat mereka dan tidak jarang menyapaku. Benar-benar membuatku merinding. Memangnya mereka tidak tahu kalau mereka malah makin membuatku ketakutan?

Kuharap mereka berpura-pura tidak dapat merasakan keberadaanku, seperti aku berusaha mengacuhkan mereka. Hanya saja itu jarang terjadi. Mereka suka menyapaku.

Kadang aku ingin menantang diriku sendiri untuk balas menyapa. Atau mungkin bertanya pada makhluk itu, apakah mereka sungguh setan atau malaikat pencabut nyawa?

Tapi tentu saja tidak kulakukan. Melihat kelebatan mereka saja aku sudah gemetaran apalagi balas sapaan mereka, nyaris mustahil.

Pengecut! Umpatku pada diri sendiri.

Ini adalah pertempatan terakhir sebelum aku tiba di mall. Makhluk-makhluk itu melayang rendah, lebih rendah dari pada biasanya. Aku gemetaran.

Lampu penyeberangan di perempatan berubah merah. Aku hampir saja melangkah untuk menyeberang ketika salah satu dari mereka berdiri tepat di hadapanku. Menjulang tinggi.

Seolah makhluk itu meluncurkan mantra patung, aku berada di tempatku. Diam, tidak-benar-benar diam sih karena aku gemetaran.

Orang-orang melewatiku. Mulai menyeberang jalan sementara aku masih terpaku. Tidak berani bergerak atau menengadah untuk melihat wajah dari makhluk yang selama ini aku takuti.

“Jangan bergerak,” perintah makhluk itu.

Memangnya aku harus bagaimana lagi? Bukankah aku sudah mematung sekarang?

Kemudian segalanya terjadi. Seunit bus meluncur tak terkendali. Orang-orang berteriak, beberapa hanya terpaku memandangi bus maut yang mendekati korban.

Aku membenamkan wajah ke kedua tangan ketika aku mendengar tabrakan itu. Bus itu penuh penumpang, orang-orang yang menyeberang juga lumayan banyak karena sekarang jam pulang kerja.

Korbannya pasti puluhan. Aku tidak ingin melihatnya, aku tidak melihatnya, hanya saja bau darah yang bercampur asap kendaraan terlalu kuat, memenuhi udara di sekelilingku.

Ketika aku terbangun, aku berada di ruangan serba putih. Bukan surga, aku belum mati. Aku masih berada di pinggir jalan ketika kecelakaan maut itu terjadi dan tidak ada kendaraan lain yang meluncur ke arahku, mestinya aku baik-baik saja.

“Apa kau baik-baik saja?”

Suara itu! Suara yang memerintahkanku tetap berada di tempat. Seandainya dia tidak memperingatkanku, pasti aku sudah di tabrak bus maut tadi.

Aku berusaha menenangkan diri. Tapi jarak di antara kami terlalu dekat. Kulirik pintu keluar, tidak mungkin melarikan diri tanpa melewati makhluk ini.

“Aku senang kau selamat,” katanya lagi, terdengar tulus.

“Ja-jangan mengajakku bicara!” bentakku, tidak terdengar galak. Aku malah kembali gemetaran, padahal untuk sesaat tubuhku sudah merasa rileks.

“Mengapa kau selalu lari ketakutan ketika bertemu denganku? Apa aku menyeramkan?” tanya makhluk itu.

“Karena kau dewa kematian!” raungku, berusaha mencari cara melarikan diri, tapi ada jarum infus di tanganku. Ini tidak akan mudah.

Sekarang atau tidak sama sekali, pikirku. Aku memberanikan diri untuk mengangkat kepala dan memandang wajahnya. Wajah manusia dengan kulit kelabu. Tidak semengerikan yang selama ini kubayangkan.

“Dewa kematian?” Makhluk itu mengerjapkan matanya beberapa kali. “Bukan! Aku bukan dewa kematian. Aku adalah….”

“Malaikat pencabut nyawa!” sergahku, tidak menunggunya menyelesaikan perkataannya. Mungkinkah dia akan mengambil nyawaku sekarang?

“Lalu mengapa kau tidak mati kalau aku memang malaikat pencabut nyawa? Kita kan sudah sering bertemu,” decaknya terlihat kaget mendengar tuduhanku.

“Kalau kau bukan dewa kematian kenapa aku banyak melihatmu saat terjadi kecelakaan? Atau di rumah duka?” tuntutku.

“Karena aku perlu makan!” jelasnya.

“Kau memakan manusia hingga mati!” Sekarang aku menangis.

“Kenapa aku harus makan manusia? Aku tidak makan manusia,” tuturnya.

Aku meronta di atas kasur rawatku. “Ya! Kau makan manusia! Aku juga akan dimakan olehmu!”

“Kalau aku mau memakanmu, pasti aku sudah membiarkanmu mati tadi,” katanya.

“Jadi kau memakan bangkai? Kau tidak memakan manusia?” tanyaku sembari mencoba memberanikan diri untuk menatap mata makhluk itu.

“Tidak. Aku memakan kesedihan. Maka dari itu aku senang dekat-dekat dengan kematian.”
“Kenapa tidak makan manusia?”

“Karena manusia bukan makanan. Misalnya… Kau tidak memakan komputer. Kau tidak memakan komputer kan?” desaknya.

Aku mengangguk. “Manusia tidak makan komputer.”

“ASDOF juga tidak makan manusia. ASDOF makan kesedihan,” jelas makhluk itu.

“Kenapa ASDOF makan kesedihan?” tanyaku sembari mengerutkan dahi.

“Karena kesedihan memang makanan kami. Lihat sisi positifnya, ketika manusia sedih, mereka bisa berlarut-larut karena kesedihannya. Ada yang sampai bunuh diri, ada yang depresi sehingga menyakiti orang lain, misalnya. Karena ASDOF memakan kesedihan itu, harapannya manusia akan segera kembali menemukan kebahagiaan.”

“Oh,” sahutku singkat karena tidak tahu harus berkata apa lagi. Namun yang jelas aku sudah lega karena tidak akan dimakan. Sekarang aku lebih bisa merasakannya. Makhluk ASDOF ini sebenarnya tidak jahat.

“Siapa namamu, nak?” tanyanya setelah kami terdiam selama beberapa saat.

“Kaito,” jawabku dalam volume tidak lebih besar dari bisikan, tapi aku yakin dia mendengarnya. Ternyata keteganganku belum sepenuhnya memudar.

“Berapa umurmu?” tanyanya lagi.

“Sepuluh,” bisikku.

“Kau masih sangat muda Kaito. Aku sudah ribuan tahun. Kau tidak bisa seperti aku memang, tapi semua makhluk memiliki keunikannya sendiri,” jawab ASDOF.

Aku mengangguk. “Aku unik karena dapat melihat ASDOF. Menurutmu mengapa aku bisa melihat kalian sementara orang lain tidak?”

ASDOF memiringkan kepalanya sedikit. “Sejujurnya aku juga penasaran karena kita berbeda frekuensi. ASDOF bisa melihat manusia, tapi manusia normal tidak melihat ASDOF. kurasa kau ini semacam mutan, Kaito. Kau bisa melihat makhluk frekuensi lain, tidakkah itu menyenangkan?”

“Tidak menyenangkan, aku ketakutan selama ini,” jawabku dengan bibir mengerucut.

“Kau takut karena mengira ASDOF adalah makhluk jahat,” timpal makhluk itu.

“Sekarang aku tahu kalian tidak jahat, maafkan aku,” kataku, tulus.

“Oh! Kami memang tidak pernah membencimu, nak. Semua makhluk pernah melakukan kesalahan. Tidak terkecuali kau!” kekehnya.

“Tapi kenapa ASDOF bisa melihat manusia, tapi manusia normal tidak melihat ASDOF?” ujarku agak tersinggung. “Jadi menurutmu aku tidak normal?”

“Kau unik, tidak normal,” sahut ASDOF sembari terkekeh. “Kami bisa melihat kalian karena evolusi kami lebih tinggi dari pada manusia normal.”

“Mengapa kau menyelamatkanku? Apakah karena aku tidak normal?” tanyaku tidak mengerti.

“Karena belum saatnya kau mati. Benar, karena kau juga tidak normal. Karena kau unik, aku bisa memberimu peringatan. Sejujurnya, dari sekian banyak manusia yang ada di perempatan, hanya kau yang bisa melihat ASDOF. Maka dari itu aku menyelamatkanmu.”

Aku mengangkat alis. “Apakah ada manusia lain yang bisa melihat kalian?”

ASDOF mengangguk, “Ada, hanya saja jumlahnya tidak mencapai ratusan. Kurasa kau beruntung bisa melihat kami. Mulai sekarang kau tidak akan takut lagi pada kami. Tidak perlu gemetaran atau menjerit-jerit.”

“Mestinya kalian memperkenalkan diri lebih awal,” tuntutku.

“Kami sudah berusaha menyapamu, Kaito, hanya saja kau belum siap. Tidak masalah, semua makhluk memperlukan waktu untuk berproses menjadi lebih baik.”

Pipiku bersemu merah karena malu. Benar. Akulah yang menghindar padahal mereka tidak pernah mencelakaiku.

Kemudian aku mengangguk-angguk meski tidak benar-benar mengerti berproses menjadi lebih baik itu seperti apa.

Mataku kembali tertuju pada tanganku yang dijarum infus.

“Kau bilang aku selamat, lalu kenapa aku perlu dirawat disini?” tanyaku tak mengerti.

“Karena kau pingsan setelah kecelakaan itu, dokter takut kau mengalam shock jadi mereka memintamu tetap disini hingga siuman,” jelas ASDOF. “Kurasa ibumu menyesal karena tidak menjemputmu sepulang les.”

“Aku tidak akan meminta jemput ibuku lagi. Di masa depan aku bakal berani melalui perempatan. Kalian adalah temanku, aku tidak takut lagi.” Aku berhenti sebentar dan menambahkan, “Kalau kita bertemu lagi, aku akan menyapa ASDOF duluan!”

“Senang mendengarnya, Kaito,” ASDOF tersenyum padaku. “Nah, sekarang aku harus pergi, ibumu sudah selesai dengan proses administrasimu. Ibumu bisa mengira kau gila kalau bicara sendirian. Tidak perlu mengkhawatirkan apa pun, Kaito, kau akan segera pulang.”

“Tunggu, ASDOF!” sahutku sembari meraih tangannya yang ternyata sedingin es. Aku buru-buru melepaskannya. “Terima kasih sudah menyelamatkanku!”

“Tidak perlu sungkan,” jawabnya sembari menghilang, seolah udara menyembunyikannya.


Cerpen ini ada di majalah AN1MAGINE Volume 2 Nomor 11 November 2017 eMagazine Art and Science yang dapat di-download gratis di Play Store, share yaa


“Menerbitkan buku, komik, novel, buku teks atau 
buku ajar, riset atau penelitian di jurnal? An1mage jawabnya”

AN1MAGINE: Enlightening Open Mind Generations
AN1MAGE: Inspiring Creation Mind Enlightening 
website an1mage.net www.an1mage.org

Comments

Popular Posts

PARTNERS

Contact Form

Name

Email *

Message *