MINDPORTER 2: Archilum oleh M.S. Gumelar
MINDPORTER 2:
Archilum
M.S. Gumelar
Aku masih belum mengetahui apa sebenarnya hubungan dia dengan Chatura. Aku tidak pernah menanyakan hal itu padanya dan mungkin dia tidak tahu kalau aku sebenarnya adalah adik dari seseorang yang dikenalnya.
Akan lebih baik kalau aku tidak ikut campur. Chatura tidak akan suka dan menilai aku tengah mengorek-ngorek hidupnya. Ia akan semakin membenciku dan aku tidak ingin hal tersebut terjadi.
Hubungan kami memang tidak baik, tapi bukan berarti aku akan membiarkannya menjadi bertambah buruk. Terlepas aku tidak akan suka, ibu juga akan bersedih.
Ibu memang jarang berkomentar soal ketidakakuranku dengan Chatura, tapi bukan berarti dia tidak tahu. Ia pasti tahu dan merasa sedih karena anak-anaknya tidak rukun.
Ibu hanya memiliki dua anak dan mereka saling bermusuhan.
Sore ini agak berangin, aku tidak tahu apakah hujan akan turun nanti malam atau tidak. Yang jelas langit tidak nampak benar-benar bersih. Awan-awan hitam bergelayut tipis-tipis padanya.
Nebula berlari-lari kecil ke arahku. Ia membukakan pagar rumahnya dan mempersilakan aku masuk.
"Kau sudah datang?" sapanya ramah.
"Aku baru saja memilah beberapa ayam jantan dan betina yang sehat. Kau bisa membuat pilihan dari ayam-ayam yang telah kupilih."
"Terima kasih. Hari ini aku akan membawa pulang sepasang."
"Aku tahu, kau sudah memberitahuku sebelumnya," katanya riang. "Ayo masuk."
Pekarangan rumah Nebula sangat luas. Hampir seluas rumah orang tua ibu yang di tempati Outi. Bedanya jika rumah Outi dipenuhi dengan pepohonan, maka tempat ini terdapat banyak sekali kandang ayam.
"Hati-hati jangan sampai menginjak kotoran ayam. Baunya akan sulit hilang meski kau sudah berusaha menyucinya berkali-kali," peringat Nebula sembari tergelak.
Aku mengangguk kikuk. Aku sendiri tidak tahu alasannya. Apakah karena gadis itu sangat cantik ketika tertawa atau karena aku tahu ia memiliki sebuah hubungan tersembunyi dengan kakakku.
"Jadi mana yang kau pilih?"
Aku melihat ayam-ayam itu, detail yang mereka punya. Sebenarnya aku tidak mahir dalam memilih ayam. Aku juga tidak bisa membedakan mana indukan yang baik dan tidak. Kalau Brachuura aku tahu, untuk ayam pengetahuanku mendekati nol.
"Kau bantu aku saja yang kira-kira menghasilkan telur yang banyak."
Nebula tertawa mendengar kata-kataku. Bagus ia menganggapku lucu sekarang, seperti pelawak atau badut.
"Sudah kupilihkan yang sehat, kau pilih saja dari keindahan bulunya. Mana yang menarik perhatianmu."
Aku mengerutkan dahi. "Aku binggung karena pilihannya sangat banyak."
"Bagaimana dengan yang itu? Dengan bulu kehijauan dan sedikit merah?" usul Nebula sembari menunjuk seekor ayam.
"Apakah ada yang kehijauan saja?"
Nebula memutar bola matanya kemudian kembali tertawa. Aku tidak tahu kalau gadis ini doyan tertawa.Tapi itu lebih baik dari pada gadis-gadis yang lebih suka ngambek dan cemberut. Lebih baik banyak tertawa daripada cemberut.
Ia merekomendasikan beberapa yang menurutnya bagus. Aku mengangguk-angguk dan mulai memerhatikan ayam-ayam yang diusulkannya.
Beberapa menit kemudian aku sudah mendapatkan sepasang ayam yang kubutuhkan, jantan dan betina.
"Kuharap mereka bisa banyak bertelur. Ibuku sangat menyukai telur," sahutku senang.
"Apakah ibumu sangat menyukai telur ayam? Bagaimana dengan telur bebek? Aku memiliki beberapa butir telur bebek yang diasinkan. Tunggulah di sini dan anggap itu sebagai bonus."
Nebula melompat masuk ke dalam rumahnya. Tempat ini benar-benar bau, seolah aku baru menyadarinya. Bau kotoran ayam bercampur dengan udara.
Belum suasana yang lumayan berisik karena ayam-ayam itu terus mengeluarkan suara. Kadang berkokok.
Aku tidak bisa membayangkan bagaimana rasanya hidup di antara ratusan ayam seperti ini. Mereka akan berkokok saat menjelang pagi dan pasti sangat berisik.
Ayam-ayam itu mematuki tanah mencari makanan dengan santai. Beberapa masuk ke kandang dan bersantai, kadang keluar sebentar kemudian saat melihatku mereka akan masuk ke kandang kembali.
Nebula keluar dengan tiga butir telur di tangannya.
"Katakan kalau kau menyukainya. Kau bisa kembali kemari dan membeli sepasang bebek jantan dan betina untuk dipelihara di rumah," sahutnya riang.
Jadi ia memberiku ini dan mengharapkan aku membeli ternaknya yang lain. Teknik penjualan yang cukup menarik.
Aku meraih telur-telurnya dan memasukkan ke dalam tas dari bambu yang selalu kubawa ke mana-mana.
"Terima kasih," sahutku setelah menyimpan telur-telur gratis itu dengan baik.
"Kalau kau memiliki pertanyaan soal perawatan unggas, kau bisa menanyakannya padaku. Oh ya, perpustakaan juga memiliki beberapa buku yang bagus soal beternak unggas. Kau bisa membacanya," katanya memberitahu.
"Terima kasih atas bantuanmu," ujarku sekali lagi.
"Jangan sungkan," balasnya sembari tersenyum.
Aku bisa memikirkan gadis ini sepanjang hari kalau ia terus-terusan memberiku senyuman manis seperti itu. Tidak heran Chatura terlihat menyukainya.
Sebaiknya aku tidak berpikiran macam-macam pada Nebula. Mungkin Chatura tidak akan suka kalau tahu aku berhubungan dengan salah satu teman gadisnya. Ia tidak akan melarang, kurasa, tapi akan lebih baik kalau aku akan menjaga jarak dengan Nebula supaya hubunganku dengannya tidak menjadi terlalu dekat.
Chatura menilai aku terlalu banyak membuat masalah, bisa-bisa dekat dengan Nebula akan menjadi masalah lainnya dan itu tidak akan membuat hubunganku dengan Chatura bertambah baik.
Aku hanya mengambil kemungkinan kalau cewek di hadapanku ini adalah calon kakak iparku, jadi kuputuskan untuk bersikap sopan saja padanya. Tidak kurang, tidak lebih.
"Aku akan pulang sekarang," pamitku seraya mengangkat dua ekor ayam yang baru saja kubeli dengan kedua tangan.
Mereka sudah diikat kakinya oleh Nebula jadi aku tidak akan khawatir mereka akan melompat dan kabur menjauh.
"Baik. Terima kasih karena sudah membeli ayam dari tempatku," sahutnya sembari melambaikan tangan.
Hubungan kakakku dengan Nebula tentunya tidak ada hubungannya denganku. Tapi entah mengapa aku terus bertanya-tanya. Aku pernah melihat mereka bersama dan sekarang aku benar-benar ingin tahu apakah gadis itu akan menjadi kakak iparku.
Pastinya menyenangkan kalau Chatura menikah. Tidak lama kemudian istrinya akan mengandung kemudian melahirkan seorang bayi yang lucu dan aku akan menjadi paman dari anak kakakku.
Tapi sayang kemungkinan itu akan hilang karena aku akan segera pergi. Aku akan meninggalkan keluargaku di belakang dan menatap hidup yang baru.
Sedikit banyak aku lumayan lega karena teman baikku Aswin akan menemaniku di tempat asing. Minimal akan ada yang menyertaiku menjalani hari-hari yang baru.
Kami akan menangis bersama karena merindukan orang-orang yang kami tinggalkan, juga akan tertawa bersama merasakan hal-hal yang belum pernah kami bayangkan.
Ya, semestinya aku tidak memikirkan kakakku juga Nebula. Kalau mereka menyukai satu sama lain, tentu mereka akan bersama. Membayangkan ada seorang gadis yang merawat Chatura juga akan mengajak ibu ngobrol membuatku sedikit lebih tenang.
Kuharap orang-orang yang tetap memilih tinggal di dunia bawah bisa merasakan kebahagiaan dan melanjutkan hidup dengan baik. Mereka harus tetap bersemangat, menyadari bahwa hidup akan terus berlanjut dan orang-orang akan datang dan pergi.
Aku berjalan ke rumah. Hari sudah mulai gelap karena aku memang menunggu waktu kerjaku habis sebelum pergi untuk membeli ayam. Tapi aku yakin bisa sampai di rumah saat berkas-berkas matahari masih ada.
Jalanan setapak yang kulalui hari ini adalah jalanan yang sudah kulalui sejak aku kecil. Aku selalu berlarian di atas lumut-lumut dan batang pohon yang tumbang.
Ibu selalu khawatir jika aku berkeliaran di hutan. Ia takut aku tersesat atau tertimpa pohon besar yang roboh. Namun hal itu tidak pernah terjadi. Aku memang pernah terperosok dan sedikit binggung menentukan arah, tapi pada akhirnya aku selalu dapat tiba di rumah dengan selamat.
Chatura ada di depan kandang yang baru kuselesaikan kemarin kemudian ia mendapatiku baru datang sembari membawa dua ekor ayam.
"Kau baru membelinya?" tebaknya. Mata Chatura tidak menatap mataku, ia memandang ke arah ayam-ayam yang kubawa.
"Benar, aku baru saja membawanya sore ini," kataku mengaku. "Apa kau tahu bagaimana cara merawat ayam?"
Chatura mengangguk.
Aku memberikan kedua ayam itu padanya dan duduk di dekat pintu belakang rumah, meluruskan kakiku setelah perjalanan cukup jauh.
Chatura dengan gesit membebaskan ayam-ayam itu dan memasukkannya ke dalam kandang.
"Sebaiknya kita kurung beberapa hari supaya mereka mampu mengenali rumah mereka yang baru," katanya sembari mengelus-elus ayam jantan. Ayam itu berontak dalam pelukannya.
"Kurasa kita harus memberikan mereka makanan dan air supaya tidak teralu tertekan karena pindah ke tempat yang baru."
"Aku akan membawakan air dan jagung buat mereka," kata Chatura sembari mencari-cari tempat yang dapat ia gunakan untuk memberi makanan ayam-ayam itu.
Aku menghela napas. Kuharap aku bisa mendapatkan beberapa telur dari ayam-ayamku sebelum pergi ke dunia atas.
Aku membersihkan badanku dengan cepat. Kurasa aku tidak akan mandi sore ini karena merasa agak dingin. Kuharap aku tidak jatuh sakit. Aku benci sakit karena membuat tubuhku menjadi lemah.
"Aku akan masuk duluan," ucapku pada Chatura.
Kakakku tidak membalas kata-kataku. Dia mungkin mendengarnya tapi pura-pura tidak dengar, mungkin dia benar-benar tidak mendengarku.
Kuintip kamar ibu. Aku melihatnya sedang terbaring di atas ranjangnya dengan mata terpejam. Aku sadar benar akan merindukannya. Aku menyayangi ibu.
Lagi-lagi aku menghela napas kemudian meluruskan tubuhku di atas ranjang yang empuk.
Beberapa hari yang lalu ibu menukarkan jamur-jamurnya dengan kapas. Ia mengisi kasur dan bantal-bantal kami yang kempes sehingga menjadi empuk kembali.
Kamar ini telah menjadi tempat tidurku selama belasan tahun. Aku pasti akan merindukan ruangan ini setelah aku pergi.
Lihat sekarang siapa yang tengah bersedih. Rasanya ironis saja jika membayangkan waktuku di sini sudah tidak panjang sementara aku menggunakan waktu yang tersisa untuk bersedih dan gundah.
Aku memejamkan mataku dan berusaha bernapas dengan normal. Sial aku sulit untuk mengendalikan perasaanku akhir-akhir ini. Rasanya aku merasa lumayan tertekan.
Meski berat, anehnya aku tidak pernah berpikir buat melewatkan Archilum. Seolah aku memiliki panggilan untuk ini, seolah sudah takdirku buat melakukannya.
Archilum akan menjadi satu momen terpenting dalam hidupku. Kuharap aku bisa berhasil dan pergi dengan tersenyum.
"Candhra apakah kau tidur?”
Itu suara ibu, ibuku, sosok yang kusayangi. Kubuka mataku dan melihatnya ada di pintu kamarku.
Ia tersenyum, tapi aku tahu matanya sedikit sembab. Ia menangis karena aku akan segera pergi dan itu membuatku ikut bersedih. Tidak, aku harus menahannya.
Aku mungkin akan menangis, tapi tidak di depan ibu, juga bukan di depan Chatura. Aku akan menangis sendirian seperti seekor serigala yang terbuang.
"Ibu," kataku. Aku tidak mengingat kalau memanggil wanita di hadapanku bisa membuatku sangat tenang. Aku menyukainya, maka dari itu aku mengulanginya sekali lagi. "Ibu."
Ia menarik kursi dan duduk di hadapan. Berbeda dengan Chatura yang memilih buat menghindari tatapanku, ibu malah menatapku lekat-lekat.
"Aku membelikan sepasang ayam untukmu sore ini," kataku dengan suara tercekat.
"Benarkah? Terima kasih banyak."
"Chatura sedang ada di belakang rumah. Ia menyediakan air dan makanan bagi ayam-ayammu. Kuharap mereka akan memberimu banyak telur dan anak ayam."
"Tentu, aku akan memelihara mereka dengan baik."
"Aku yakin ibu mampu melakukannya. Tangan-tangan ibu selalu berhasil dalam segala pekerjaan. Bahkan tanaman yang nyaris mati sekalipun dapat ibu pulihkan."
"Aku tidak sehebat itu...." ucapnya pelan.
"Itu benar. Ingat saat aku membawa burung yang terluka saat umurku baru empat tahun? Anak burung itu belum sepenuhnya ditumbuhi bulu dan cabang yang menopang sarangnya harus patah karena angin kencang. Burung itu sekarat, tapi dengan tangan-tanganmu, ia dapat pulih bahkan terbang."
"Anak burung itu tidak mati karena ia memiliki semangat hidup yang tinggi," kata ibuku, lembut.
"Tapi ia akan mati seandainya kau tidak menolongnya."
"Dan aku tidak akan mungkin menolongnya jika kau tidak membawanya padaku. Aku ingat benar, hari itu kau berlari-lari panik sembari membawa anak burung itu ke rumah. Saat itulah aku menyadari kalau anakku adalah pribadi yang lembut dan baik hati."
"Kau.... kau yang menularkan kebaikan itu ibu," ujarku sembari bersedih.
Ibu memandangiku dengan sangat tenang. Matanya memancarkan keteduhan.
"Jangan bersedih. Aku tahu kau punya banyak pikiran berat sekarang. Tapi kurasa sekarang waktunya untuk menyiapkan makan malam. Kalau kau tidak letih, maukah kau membantuku di dapur?"
Aku mengangguk, kemudian mengikuti langkah-langkah ibu. Mengikuti hal-hal yang telah dicontohkannya padaku.
Tapi sebelum aku sempat keluar kamar untuk mengikuti ibu ke dapur, Chatura masuk ke kamarku dengan rahang yang mengeras.
"Kalau kau pikir ayam-ayam itu bisa menebus dosa-dosamu karena akan meninggalkan keluargamu demi cita-citamu yang konyol, itu tidaklah benar. Aku tidak akan memaafkanmu hanya karena kau membuat sebuah kandang dan membawa sepasang ayam."
"Tentu aku tidak akan melakukannya karena alasan tersebut. Aku melakukannya karena aku tahu ibu sangat menyukai telur dan Outi pernah mengatakan kalau akan menyenangkan kalau kita memelihara ayam”
“Mula-mula memang dua, tapi lambat laun akan menjadi banyak hingga kau kesulitan menghitungnya," ujarku menyatakan alasanku yang sebenarnya.
Chatura mendengus tidak senang. Ia pasti beranggapan kalau aku sedang mencari alasan saja. Bahwa aku sedang berusaha menebus kesalahan yang kuperbuat dengan berbuat kebaikan sebelum aku pergi.
"Kalau kau memang memikirkan ibu, tinggallah. Lupakan keinginanmu untuk pergi, maka dari itu kau akan bisa memberinya kebaikan lebih banyak jumlahnya dari yang bisa kau berikan sekarang!" hardiknya penuh amarah.
"Ada apa ini Chatura? Mengapa kau berteriak-teriak seperti itu?"
Ibu muncul dengan kerutan di dahinya, tampak prihatin dengan kelakuan kedua anak-anaknya.
"Ibu, katakan pada anak ini supaya tidak pergi. Ia belum menjadi anak yang baik bagimu. Jangan biarkan dia mengambil kesempatan untuk pergi karena ia belum menunjukkan baktinya padamu!" seru Chatura frustasi.
Sekarang aku bisa melihatnya. Perbedaan ketika Chatura melontarkan kata-kata pedas padaku tapi masih memberikan senyuman simpul dengan kondisinya sekarang. Wajah Chatura merah padam, sangat kentara kalau ia sedang marah.
"Bukan kau yang menilai apakah adikmu sudah berbakti pada orang tuanya atau belum."
Chatura ingin membantah. Ia membuka mulutnya, tapi segera ia katupkan kembali.
“Kumohon hentikan perdebatan kalian yang tiada habisnya itu. Chatura, adikmu tidak lama lagi akan pergi”
“Tidak bisakah kau memberikan kenangan yang baik padanya?” keluh ibu. Tidak biasanya ia menghilangkan senyum dari wajahnya.
“Tapi ibu, ia bahkan tidak menyadari kakimu mendapat memar lain karena terpeleset tanah becek petang ini! Ia tidak punya perhatian pada orang tua!” desis Chatura kesal. “Ayam-ayam itu tidak bisa menggantikan perannya sebagai anak!”
“Ibu... jatuh lagi?” tanyaku panik. Saat itulah aku memerhatikan kakinya yang kembali lebam. Luka lamanya saja belum benar-benar sembuh, sekarang dia jatuh lagi.
Mengapa ibu tidak menceritakan apa-apa? Tidak ada yang salah juga dengan cara jalannya. Sepertinya ia sengaja tidak membiarkanku prihatin akan keadaannya.
Malam itu aku membantu menyiapkan air panas untuk ibu merendam kakinya. Tapi ia tidak menceritakan apa-apa lagi. Ia hanya tidak ingin aku terlalu memikirkannya.
“Aku bisa menjaga diri. Masih ada Chatura yang menemaniku, jangan khawatir, nak.”
Mendadak aku menjadi merasa agak sedih. Mungkin Chatura benar, semestinya aku lebih memikirkan orang tuaku. Rasanya apa yang selama ini kuberikan pada ibu belum cukup. Kasih sayangnya sulit terbalas secara setimpal.
"Kau akan pergi besok," kata ibu sembari tersenyum. Ia memang tersenyum, tapi matanya memancarkan kesedihan.
"Kau dan Chatura harus melihatku menuju langit. Kalian harus menyaksikannya tanpa berkedip," sahutku sembari membalas senyumannya.
"Kuharap kau berhasil. Kau tentunya sudah mendengar betapa banyak orang yang gagal. Langit tidak menerima kedatangan orang-orang yang tidak menjadi pilihannya." Ibu berhenti sebentar untuk menghela napas panjang, seolah ada sesuatu yang menghimpit dadanya.
Kenapa aku tahu? Karena aku merasakan hal yang sama. Seolah ada batu kasat mata yang tengah menekan dadaku. Membuatku kesulitan bernapas, sesak. Aku sedih, begitu pula dengan ibu.
Aku sedih karena akan segera berpisah dengan orang-orang yang kusayangi. Tapi di sisi yang lain, adrenalinku juga terpacu. Besok akan jadi penentuan. Apakah langit akan menerimaku atau tidak. Apakah aku akan berhasil, gagal, atau mati.
"Candhra," ibuku menyebutkan namaku dengan lambat-lambat, seolah itu bisa membuatku tetap berada di sisinya.
"Ceritakan padaku, tanda macam apa yang kau terima hingga kau yakin untuk mengikuti upacara agung."
Mata kami beradu. Aku mendesah pelan kemudian menggeleng.
"Tidak ada tanda-tanda. Aku sendiri tidak tahu apakah dewa memilihku atau tidak memilihku. Tapi aku akan berusaha biarpun dewa tidak memilihku. Dewa di langit akan melihat jerih payahku untuk datang ke kuilnya besok dan akan membukakan kesempatan bagiku."
"Tapi bukankah itu mengerikan? Kalau kau memang tidak mendapatkan apa pun, ada kemungkinan gagal," sahut ibuku, cepat.
"Apakah itu menjadi masalah? Aku tidak tahu bagaimana cara dewa memilih. Mungkin dia memilihku dan aku tidak menyadari tanda-tanda yang diberikan. Mungkin dia menolakku dan aku tidak akan tahu hingga aku gagal. Apakah itu penting?" geramku sembari mengepalkan tangan.
Entah mengapa aku sedikit marah. Mungkinkah sebenarnya aku tengah ketakutan? Aku ketakutan hingga tidak dapat mengontrol emosi. Seolah-olah segalanya lepas dari genggaman dan aku tidak memiliki apa pun untuk tetap mendongakkan kepala.
"Kau benar, dewa akan tersentuh ketika melihat usahamu besok."
"Buatku Archilum bukanlah masalah dipilih dewa atau tidak. Tapi apakah aku yakin buat melakukannya atau tidak. Aku yakin banyak peserta lain yang sebenarnya tidak mendapatkan tanda apa pun juga tapi tetap akan mencoba menjadi peserta besok."
Ibuku menggangguk pelan. "Kau pasti mampu melakukannya."
"Besok aku akan benar-benar pergi. Pilihan pertama, sesuai harapanku, aku akan berhasil mencapai dunia atas. Kemungkinan kedua aku akan jatuh karena langit tidak menghendakiku dan mati. Intinya aku pasti akan pergi. Jadi kumohon agar kau merelakanku, ibu."
Ibu mengangguk sekali lagi.
"Aku akan merelakanmu, nak. Aku sangat lega kalau kau memang sudah memantapkan tekad untuk Archilum. Aku bangga padamu."
"Terima kasih ibu...."
Untuk beberapa saat kami terdiam. Chatura sudah menghambur ke halaman belakang. Sepertinya kembali menyingkirkan diri dengan mengurus ayam.
Setidaknya itu lebih baik dari pada berdebat denganku. Ibu juga tidak akan senang dengan perseteruan di antara kami.
"Upacara agung bukanlah ajang pamer. Memang ada bagian di mana orang-orang berusaha untuk mencapai tempat yang lebih tinggi dari pada yang lain dan tercatat dalam sejarah. Tapi bukan itu tujuannya."
Aku menatap ibu.
"Tujuanmu adalah berhasil mencapai dunia atas. Berhasil melompat dari tempat yang lebih tinggi dari peserta lain adalah bonus, dan kau tidak harus selalu mendapatkan bonus bukan?" katanya lagi.
"Aku akan berusaha sebaik mungkin dan tidak akan mendorong diriku untuk melakukan hal-hal di luar batas kemampuanku."
"Fokus pada tujuan dan jaga dirimu. Itulah permintaan terakhirku sebagai ibumu."
Aku mengantar ibu ke kamarnya dan memijit-mijit kakinya.
“Mungkin besok ibu tidak perlu mengantarku....”
“Aku akan mengantarmu. Memarku tidak lebih buruk dari pada yang sebelumnya. Chatura membuatnya terdengar lebih buruk dari pada keadaan yang sebenarnya supaya kau tidak pergi saja.”
“Maaf aku menyusahkanmu.”
“Kau segera tidurlah. Kita akan berangkat pagi-pagi besok,” pesannya.
Aku menunggu hingga ibu tertidur baru aku keluar dari kamarnya. Saat itulah aku mendapati Chatura sedang menungguku di meja makan. Ia bahkan sudah menyiapkan dua cangkir teh untuk kami berdua.
"Aku tidak pernah menginginkan sesuatu yang buruk menimpamu. Aku tahu kau akan sulit mempercayainya mengingat …,”
“..., aku banyak mengatakan hal buruk padamu, maafkan aku yang tidak pernah menjadi kakak yang baik buatmu, Candhra," katanya membuka pembicaraan. Ia menyodorkan teh yang sudah dibuatkannya padaku.
"Jangan berlagak menjadi kakak yang baik ketika aku hendak pergi. Berlagak menyebalkan saja seperti biasa supaya aku bisa lebih ringan meninggalkanmu."
"Sial kau Candhra! Saat aku berusaha menunjukkan ketulusanku, kau malah menjadikanku bahan lelucon," gerutu Chatura.
Aku memeluk Chatura dengan sayang, sama seperti yang sering kali kulakukan ketika kami masih anak-anak. Rasanya waktu itu sudah berlalu sangat lama. Ketika aku selalu berlari ke Chatura dan berlindung padanya.
Chatura selalu menghajar balik anak-anak yang berlaku kasar padaku biar dia juga harus di keroyok. Dia tidak peduli. Ia akan menyerang secara membabi buta hingga rasa kesalnya turun.
Dia selalu menjadi penolongku dan dulu aku selalu berlari padanya minta buat minta bantuan. Dulu aku adalah adik yang manja padanya.
Kemudian segalanya berubah. Aku tumbuh dan menjadi kuat. Anak cengeng yang selalu menangis pada kakaknya, telah menjadi pemberani.
Itu pasti alasan Chatura selama ini berlaku kasar padaku. Sikapku padanya berubah, sikapnya padaku juga ikut berubah. Kini aku tahu, ia sering merindukan adik laki-lakinya yang berlari padanya.
"Aku sudah menerima kalau kau adalah laki-laki yang kuat, sama seperti aku. Maka dari itu kau harus membuktikan kalau mampu menjadi yang terbaik. Buat aku bangga sebagai kakakmu!" ujarnya memberiku dukungan.
"Pasti, kak!" janjiku.
"Aku minta maaf karena banyak saat-saat di mana aku terlalu memikirkan diriku sendiri.
"Terdengar sangat kau, Chatura."
“Oh ya, apa kau masih bertemu dengan Rawi?”
Chatura menggeleng. “Aku sudah lama tidak bertemu dengan anak itu. Terakhir ketika bertemu dengannya Rawi bilang sedang tertarik dengan dunia masak-memasak. Ia menyatakan tengah mengumpulkan Heirplum. Memangnya ada apa?”
Rawi benar-benar ingin membuat Ebuir nampaknya. Mengonsumsinya lebih dulu di banding peserta lain. Mungkin ia ingin meraih tempat tertinggi di Arc, supaya ia tidak kenal takut lagi.
“Tidak ada apa-apa. Aku hanya ingat dulu dia adalah sahabatmu,” dalihku, tidak menceritakan permasalahanku yang sebenarnya.
“Kami memang dulu berteman. Tapi dia agak temperamental, jadi aku agak menjauh darinya.”
“Kuharap kau bisa mendapatkan teman yang lebih baik, seperti aku dan Aswin.”
“Kalian memang kompak, kudengar kalian akan pergi ke atas bersama. Senang mendengar kau tidak akan sendirian di tempat yang baru,” desah Chatura tanpa bisa menyembunyikan kesedihannya.
“Benar, aku tidak akan terlalu kesepian karena Aswin akan pergi bersamaku.”
“Candhra, kau harus berhasil menuju dunia atas besok. Dengan begitu aku akan bisa bercerita dengan bangga tentang adikku kepada teman-temanku”
“Minumlah tehnya dan segera tidur.”
“Astaga, kau terdengar seperti ibu!” kekehku yang kemudian mengambil teh yang dibuat oleh kakakku.
Chapter 19
Malam itu aku tidak bisa tidur. Berbagai pikiran berkelebat di kepalaku, berputar-pular. Setelah selesai, diulang kembali. Rasanya sudah pagi ketika aku baru terlelap dan kurasa belum genap dua jam aku tertidur ketika ibu mengetuk kamarku.
"Candhra bersiap-siaplah."
Aku membuka mata, tapi tidak menyahut. Kupandangi langit-langit kamarku. Sepertinya ini buat yang terakhir kalinya. Ini juga terakhir kalinya aku tidur di ranjangku yang telah kugunakan sejak kecil.
Rasanya aneh harus meninggalkan semua ini. Meninggalkan hal-hal yang kuketahui di belakang kemudian menatap hal-hal baru.
"Candhra, ayo bangun," ujar ibuku lagi dari balik pintu.
Aku menguap. Langit belum benar-benar benderang di luar sana. Tapi kami harus segera bersiap-siap dan berangkat. Tidak ada yang mau datang terlambat ke Archilum. Datang terlambat sama artinya dengan kehilangan kesempatan buat pergi ke dunia atas.
Kesempatan mengikuti Arcilum yang berlangsung selama empat ratus sekali tentunya tidak patut di sia-siakan. Jika melewatkan yang ini, maka kemungkinan besar tidak ada kesempatan lain.
Memang Archilum kali ini jelas berbeda. Dalam selang waktu dua puluh tahun saja, upacara agung terlaksana kembali.
"Menurutmu apa yang membuat Archilum kali ini datang dengan cepat?" tanyaku pada ibu yang sudah membuatkan sarapan untuk kami semua.
Chatura sudah bergabung di meja dengan piring tanah liat di hadapannya. Ia hanya melirik saat melihatku keluar kamar.
"Aku tidak tahu alasannya," sahut ibu sembari tertawa. "Aku hanya merasakannya bila Archilum akan datang. Tapi bukan berarti bumi memberitahuku mengapa."
"Kupikir kau benar-benar bisa berkomunikasi dengan bumi."
"Mungkin memang bisa, tapi dengan bahasa yang sangat terbatas."
Kami sarapan telur. Telur dadar dengan potongan daun bawang juga cabai yang lezat. Rasanya aku akan merindukan masakan ibu setelah pergi jauh nanti.
Sekarang Chatura sudah tidak mengomel lagi, kami sudah berbaikan. Tapi tetap saja aku akan merindukan omelannya yang khas. Omelan seorang kakak yang kadang mengandung kata-kata kasar untuk menutupi kepeduliannya.
Chatura memberikan setengah bagian telurnya buatku dan menambahkan nasi juga untukku.
Sebenarnya aku tidak terlalu ingin makan banyak sekarang, tapi ia beranggapan aku harus punya cukup tenaga bila ingin berhasil sampai ke atas.
"Kau harus berhasil. Pilihannya berhasil atau mati. Aku lebih senang melihatmu membumbung tinggi ke atas dari pada mati."
"Tenang saja, aku akan melakukan yang terbaik," kataku meyakinkannya.
"Ibu sudah mendoakanmu terus," sahut Chatura sembari melemparkan pandangan ke ibu yang nyaris tersedak karena ucapannya.
Buru-buru ibu mengambil gelasnya dan meneguk air.
"Tentu saja aku berharap supaya anakku berhasil," katanya dengan wajah merah padam.
"Terima kasih ibu, terima kasih kakak," ujarku dengan penuh haru.
"Melodramanya kita undur saja sampai kau akan berangkat ke atas. Kurasa kita harus segera memulai perjalanan atau anak ini akan ketinggalan upacara," kekeh Chatura.
Dengan susah payah aku menjejalkan seluruh sarapan buatan ibu ke dalam perut. Seandainya aku bisa membawa bekal untuk disantap di dunia atas, pasti aku akan meminta pada ibu.
Belum apa-apa aku sudah merasa kehilangan hal-hal kecil yang sudah menjadi bagian dari keseharianku.
Entah itu kamarku, entah itu masakan ibu. Hal-hal lama yang tidak akan kumiliki lagi, tapi akan tetap tersimpan dalam ingatan.
Aku meneliti tiap jengkal dari rumahku sebelum meninggalkannya. Dalam kepala aku bertanya-tanya apakah aku bisa mendeteksi rumahku dari atas sana. Apa aku masih bisa melihat orang-orang dunia bawah beraktivitas.
Memancing di sungai, memanen jamur, atau mengamati Brachuura berganti kulit.
"Menurutmu apa aku masih bisa melihat kalian dari atas?" tanyaku ragu-ragu.
"Mungkin kau bisa melihat kami, tapi kami tidak bisa melihatmu," celetuk Chatura.
"Kemungkinannya kecil kalau jauh. Kami mungkin akan sekecil semut dan kau tidak akan bisa mengetahui orang yang ada di bawah," sambung ibu memberikan opininya.
Kami berangkat sebelum matahari terbangun. Langit masih gelap dan udara pagi yang dingin menusuk tulang.
Aku mengusap-usap tanganku ke pakaian dari kulit ikanku. Seperti bayi yang terlahir, Aku tidak akan membawa apa-apa ke dunia atas. Hanya pakaian yang melekat di tubuhku saja, tidak ada yang lain.
Dengan demikian aku nyaris pergi dengan tangan kosong.
"Candhra, semisalkan kau bertemu dengan ayahmu di atas sana, maukah kau menyampaikan pesanku padanya?"
Pertanyaan ibu membuyarkan lamunanku soal kemungkinan tampilan dunia atas. Imajinasiku tidak terlalu baik. Aku masih berpikir dunia atas tidak terlalu berbeda dengan dunia bawah.
Orang-orang dengan kulit coklat dengan baju dari kulit ikan. Mungkin di atas sana lebih banyak yang menggunakan busana dari bahan lainnya.
Aku benar-benar tidak tahu penampakan dunia atas, dan itu membuatku sedikit gugup. Aku bahkan mulai kebingungan soal apa yang akan kulakukan begitu sudah mendarat di atas.
Tidak ada rencana.
"Apa itu ibu?" tanyaku, berusaha mengontrol diriku. Aku tidak boleh terlihat gemetaran. Itu akan membuat ibu dan Chatura khawatir.
"Katakan padanya bahwa aku dan Chatura hidup dengan baik. Kuharap dia juga baik di atas sana dan sampaikan kalau aku sangat merindukannya."
Rindu. Kata-kata itu seolah menohok jantungku.
"Kurasa aku juga akan merindukan kalian."
"Jangan cengeng, Candhra," cibir Chatura.
"Kuharap kau bisa bahagia hidup dengan ayahmu, aku akan bahagia juga bersama Chatura di bawah sini."
“Ngomong-ngomong apakah kuilnya masih jauh?” tanya Chatura berusaha mengalihkan topik pembicaraan. Ia sepertinya berusaha supaya tidak terlihat menyedihkan karena ditinggal adiknya pergi.
“Sebentar lagi sampai.”
“Kurasa aku sudah mulai bisa membaui bunga-bunga sesaji,” gumam Chatura, pelan.
Kuil Archilum di bangun di atas tanah yang luas. Berbagai sesaji sudah dijajarkan mengelilingi kuil.
Aku tidak yakin dewa benar-benar membutuhkan sesaji macam ini. Maksudku mereka kan hebat. Jadi sebenarnya tidak perlu dibawakan buah atau bunga. Kecuali jika memang tujuannya untuk pujian. Bahkan dewa sekalipun senang di puji.
Tidak perlu menunggu lama. Ketika masuk ke kuil, kami langsung ditanyai siapakah yang akan pergi ke atas. Begitu aku mengakuinya, para pendeta segera menyodoriku Ebuir yang dihidangkan dalam piring berukirkan awan di pinggirannya.
Aku mengambil beberapa keping. Mereka bilang aku bisa mengambilnya lagi jika mau. Ebuir tersedia untuk para peserta dengan jumlah yang melimpah.
Mereka menyebut orang yang akan mengikuti Archilum sebagai pejuang langit. Untuk pengantar pejuang langit, baik keluarga atau sahabat, mereka boleh mengambil Ebuir yang tersisa setelah upacara Archilum berakhir.
Ebuir, si makanan dewa. Terlihat begitu mewah di atas piring berukir awan. Kurasa aku memang membutuhkan makanan semacam ini untuk mengusir rasa gugup. Makanan ini benar-benar istimewa.
Bagaimana sepiring makanan mampu memberikan perbedaan yang luar biasa. Tidak, bukan sepiring, bahkan hanya satu atau dua buah keping saja bisa membuat kepercayaan diri seseorang meningkat.
Seolah ada kekuatan tak kasat mata yang merasuki tubuh pemakannya. Memenuhi diri mereka dengan optimisme dan keberanian yang tidak wajar.
Keberanian buatan yang tidak murni berasal dari dalam diri sendiri. Penuh manipulasi. Tapi bukan berarti tidak nyata.
Dibuat dari resep rahasia oleh pekerja kuil ternama. Dibuat oleh wanita-wanita yang mengabdikan diri sebagai pelayan dewa, namun bukan pemuka agama.
Siapa yang menyangka, ternyata ibu Aswin adalah salah satu dari orang-orang hebat tersebut. Tangan-tangan manusia yang bekerja untuk memuji dewa dengan olahan pangan.
Aku mengunyah Ebuir sembari memandang ke atas.
Semenanjung itu bagaikan makhluk raksasa yang mengawasi manusia di bawahnya. Manusia-manusia pemuja dewa. Mungkin semenanjung tersebut memang ditugaskan dewa untuk mengamati apakah manusia banyak berlaku baik selama hidupnya, atau kebalikannya.
Aku bisa merasakannya, jantungku berdebar lebih keras dari biasanya. Napasku memburu dan segalanya nampak kabur. Hanya lubang di semenanjung itulah yang terus menyita perhatianku.
Jika aku ingin berhasil, aku harus bisa melalui lubang tersebut. Dengan demikian segala perseteruan dan kesedihan orang-orang yang kutinggalkan akan terbayarkan.
Aku sudah mempertaruhkan segalanya, bahkan nyawaku sendiri. Aku sudah mengucapkan selamat tinggal dan bersedia untuk tidak kembali jika memang tidak mungkin untuk kembali.
Maka dari itu tidak boleh ada kegagalan. Aku tidak akan menerima kegagalan. Aku di sini untuk berhasil dan memenangkan apa yang kuinginkan.
“Nanti kau akan pergi ke kuil keberangkatan. Hanya para pejuang langit yang akan berangkat ke sana. Pengantar hanya boleh pergi hingga batas kuil ini saja,” jelas ibuku sembari ikut mendongak.
“Apa kuil itu berada tepat di bawah lubang yang menghubungkan dunia atas?”
“Benar. Di kuil itulah semburan akan muncul. Semburan yang akan membuat orang-orang dunia bawah menuju surga. Rasanya benar-benar terberkati, bagaimana aku bisa memandangi air dalam jumlah besar ke angkasa sebanyak dua kali dalam hidupku. Tidak hanya aku, Chatura juga.”
“Senang sekali. Aku tidak mengingatnya karena dulu aku masih terlalu kecil untuk merekam hal-hal dalam hidup,” keluhku.
“Bersemangatlah Candhra. Aku mungkin melihatnya sebanyak dua kali. Tapi aku tidak akan pernah merasakan sensasi terbawa semburan untuk ke dunia atas,” kata Chatura.
Keramaian di sekeliling seolah tenggelam dalam kericuhan dalam kepalaku. Dalam hitungan menit aku tidak akan menjejakkan di bagian bumi yang sama lagi. Aku akan pindah ke tempat di mana orang-orang menganggapnya sebagai surga.
Jika itu memang surga, maka semestinya tidak akan ada kesedihan lagi bukan. Dengan tegas, aku meminta diriku untuk mulai melepaskan segala rantai kasat mata yang mengikatku di sini.
Kepergian ini adalah pilihanku dan aku tidak pernah sekalipun berpikir untuk mundur. Seolah inilah takdir, kisah ini yang harus kujalani dan kuselesaikan.
Duniaku akan berubah. Aku tidak tahu apakah aku perlu takut untuk itu.
Nampaknya aku terlalu fokus pada pikiran-pikiran yang berkelebat di kepalaku hingga tidak menyadari Aswin sudah ada di sampingku. Aku tidak tahu kapan dia datang.
Dari raut mukanya, aku tahu Aswin sangatlah tegang sekarang. Mungkin wajahku juga seperti itu. Entahlah, aku tidak tahu. Meski bisa berkaca pada pantulan air danau.
Refleksi air …, wajahku ….
Aku …, seseroang di Bumi ini, siapa aku?
Mendadak ingatanku kabur, digantikan oleh siapa?
Kini aku kembali lagi ke diriku yang berada di Bumi ini.
“Candhra…”
“Aswin,” sapaku.
“Jantungku berdebar lebih keras dari biasanya,” kata Aswin sembari memandangi semenanjung yang menjulang di atas kami.
“Menarik, bukan?” ujarku sembari terkekeh.
“Kurasa aku tidak akan menyesali keputusanku untuk mengikuti Archilum,” desahnya.
Sementara pikiranku dan Aswin berkelana ke atas sana. Keluargaku dan keluarga Aswin terlihat sedang mengobrol bersama.
Aku bisa melihat Vedika yang lengannya dikaitkan ke lengan Angga. Ada Amrita juga Akusara dengan pasangannya masing-masing.
Ibuku terlihat sangat dekat dengan ibu Aswin. Aku tidak tahu kalau mereka ternyata bersahabat. Tapi itu memang tidak mustahil mengingat keduanya sama-sama aktif dalam upacara kuil.
Ayah Aswin mendengarkan penjelasan mengenai jamur konsumsi juga khasiat jamur dari Chatura. Semuanya terlihat rukun. Aku benar-benar menikmati pemandangan semacam ini. Rasanya dunia benar-benar damai.
“Apa kita akan bisa melewatinya?” tanya Aswin lebih pada dirinya sendiri.
“Kita akan ke sana bersama,” anggukku, yakin.
Mendadak seorang pendeta naik ke podium kemudian memberikan pengumuman.
"Dari sini peserta akan di berangkatkan ke tempat semburan. Kalian akan berangkat empat orang sekali jalan."
Keluargaku dan keluarga Aswin menghampiri kami. Amrita menangis tersedu-sedu saat memeluk Aswin. Sementara ibuku mengecup pipiku dengan sayang.
“Waktunya sudah tiba. Aku akan melihatmu terbang ke angkasa, nak.”
“Ingat kau harus berhasil, Candhra!” ujar Chatura sembari menepuk-nepuk bahuku.
Aku memandangi wajah-wajah keluargaku selama beberapa detik, berusaha mengingat setiap detailnya dan menyimpannya dalam kenanganku supaya aku tidak sampai lupa rupa mereka.
Kemudian aku mengucapkan kalimat itu. “Aku pergi.”
Pastinya ada banyak kata yang ingin aku ucapkan. Tapi entah mengapa aku kehilangan apa yang ingin kukatakan. Terlalu banyak hingga aku tidak tahu mana yang harus disampaikan. Jadi aku hanya berpamitan.
Para pejuang langit memasuki gapura kuil dan berbaris di pinggir sungai besar. Jumlah kami tidak banyak, hanya sekitar tiga puluh orang. Mayoritas laki-laki.
Aku tidak terlalu memerhatikan sekelilingku, aku hanya memikirkan keluarga yang telah kutinggalkan di belakang.
Aswin juga tidak nyerocos seperti biasanya. Sepertinya pikirannya juga masih berpusat pada keluarganya.
Kami mengantri untuk bergantian diangkut ke kuil pusat Archilum.
Aku masih setengah melamun ketika menunggu kendaraan kami untuk pergi datang ketika mendadak air di dekat kakiku mendadak bergejolak. Mulanya masih pelan kemudian mendadak air itu terciprat ke mana-mana.
Sebentuk benda yang besar muncul dari dalam air. Mula-mula kupikir itu adalah kapal, meski setahuku tidak ada kapal yang bisa menyelam di dalam air.
Semua kapal mengapung di atas permukaan air, tidak masuk ke dalamnya. Karena kapal yang masuk ke dalam air artinya tenggelam.
Kupikir aku belum pernah melihat benda semacam ini sebelumnya. Sesuatu yang besar dan berwarna gelap. Tunggu apakah itu mata?
Tidak mungkin transportasi yang dimaksud untuk mencapai tempat upacara agung merupakan seekor ikan raksasa bukan? Ini sungguh-sungguh tidak masuk akal.
"Apakah aku tengah bermimpi?"
Aswin bergumam di sampingku. Jadi bukan aku seorang yang menganggap hal ini aneh. Seluruh peserta Archilum pastinya merasakan hal yang sama, kecuali mereka yang pernah mendengar ceritanya.
Tapi memangnya siapa yang bisa memberitahu? Selain peserta, tidak ada orang lain yang pernah masuk ke dermaga kuil.
Sementara mereka yang gagal kebanyakan akan terluka parah dan mati. Kudengar saat penantian upacara Archilum tadi, ada satu orang yang berhasil tetap hidup setelah gagal untuk menggapai dunia atas.
Namun sayangnya orang itu lumpuh, bahkan untuk berbicara pun sangat sulit. Jadi tidak banyak yang bisa diceritakannya.
Biarpun ibuku adalah juru kuil, ia hanya merasakan getaran dari bumi. Ibuku tidak pernah mengikuti puncak Archilum, ketika semburan terjadi, ia hanya dapat memandanginya dari jauh seperti penonton biasa.
Hanya para biarawan yang mengetahui seluk beluk Archilum. Mereka mengetahuinya dengan baik. Namun mereka tidak pernah membahasnya pada khalayak umum. Seolah perayaan Archilum adalah sesuatu yang sangat sakral sehingga tidak boleh sembarangan dibicarakan.
Ikan itu membuka mulutnya kemudian terlihat seorang pendeta di antara gigi ikan besar tersebut.
“Empat orang!” seru si pengendali ikan memanggil peserta yang ada di depan.
Aku dan Aswin serta dua orang lainnya melangkah mendekati ikan yang akan mengantar kami. Kebetulan memang kami berada di barisan paling depan.
Aku bisa mendengar bagaimana para peserta lain berbisik-bisik soal kendaraan kami yang jelas unik.
Selama ini aku tidak pernah tahu kalau ikan bisa digunakan sebagai kendaraan.
“Cepatlah. Masuk dan berpegangan pada giginya! Ikan ini tidak akan melahap kalian!” seru si pengendali ikan, tidak sabar. “Kalau kalian tidak mau masuk ke ikan ini sama artinya kalian mundur dari Archilum.”
Kami mematuhi perintahnya. Meski ragu, kami tetap melangkah masuk. Aku dan Aswin berdiri berdekatan, kami memilih gigi yang di depan, takut jika terlalu ke belakang akan ditelan oleh ikan.
Setelah kami berempat masuk, ikan itu segera menutup mulutnya. Hal yang aku tahu selanjutnya adalah terdengar gemuruh dari luar sana. Kurasa ikan ini mulai masuk ke air. Kemudian aku merasakan ikan yang kukendarai berenang di dalam air.
Rasanya benar-benar aneh. Belum pergi ke dunia atas saja aku sudah mendapati hal yang menakjubkan. Pasti dunia atas memiliki pesona yang lebih hebat lagi. Aku tidak sabar ingin mendarat ke atas sana.
Mendadak pikiran sedih karena kehilangan keluarga teralihkan oleh pengalaman yang luar biasa ini. Aku senang bisa merasakan hal yang tidak pernah terlintas dalam kepalaku sebelumnya.
Seolah ini adalah mimpi. Tapi ini jelas lebih baik dari mimpi karena ini adalah kenyataan.
Aku bisa mengarungi sungai besar tanpa perlu berenang. Aku menunggang ikan. Bukankah ini luar biasa?
Selama perjalanan, tidak ada yang bicara. Semua berkutat dengan pikiran masing-masing. Aku yakin peserta lainnya pasti tersihir karena pengalaman yang hebat ini.
Archilum benar-benar di luar bayangan dan imajinasi. Pantas saja upacara ini diklaim sebagai upacara agung. Aku jadi memikirkan kemungkinan bila di atas sana benar-benar surga.
Bersambung....
Cerbung ini ada di majalah AN1MAGINE Volume 3 Nomor 8 Agustus 2018 eMagazine Art and Science yang dapat di-download gratis di Play Store, share yaa
“Menerbitkan buku, komik, novel, buku teks atau
buku ajar, riset atau penelitian di jurnal? An1mage jawabnya”
AN1MAGINE BY AN1MAGE: Enlightening Open Mind Generations
AN1MAGE: Inspiring Creation Mind Enlightening
website an1mage.net www.an1mage.org
Comments
Post a Comment