MINDPORTER 2: ARCHILUM “SEMBURAN MAUT”


MINDPORTER 2:
ARCHILUM “SEMBURAN MAUT”
M.S. Gumelar


Suatu tempat di mana hal-hal yang dipikir mustahil dapat diwujudkan. Aku ingin segera merasakan sensasi berada di dunia atas. Maka dari itu aku harus berhasil melalui fase semburan. Ya, aku harus lolos.

Sebelum pikiranku berkelana lebih jauh lagi, aku bisa merasakan ikan yang kunaiki mulai bergerak ke atas. Itu artinya kami sudah hampir tiba.

Benar dugaanku, tidak lama, ikan itu membuka mulutnya dan menyajikan pemandangan yang berbeda. Kami telah tiba di kuil pusat.

“Kita sudah sampai. Kuharap kalian bisa melewati Archilum dengan selamat,” sahut si pengendali ikan.

Begitu kami sudah turun, ikan itu kembali mengarungi sungai besar. Menjemput para pejuang langit yang lain.

“Kita akan menunggu para peserta yang lain datang baru memulai sesi Arc. Kurasa kita masih punya cukup banyak waktu sebelum semburannya datang,” kata pendeta yang ada di kuil pusat Archilum.
Kuil pusat Archilum lebih kecil di banding kuil luar. Aku merasa seluruh orang tengah menunggu datangnya semburan dengan cemas.

“Kami tidak pernah mendesak orang-orang untuk mengikuti Archilum. Kalian bisa mundur kapan saja. Sekarang atau nanti. Kalian boleh tidak melompat saat semburan berlangsung jika memang tidak ingin. Terlebih Archilum sangat erat dengan kematian,” jelas si pendeta sembari menyodorkan Ebuir.

Aku dan Aswin segera mengambilnya. Kami sudah merasakan efek keberanian yang dimunculkan Ebuir dan tidak ingin kehilangan keberanian yang telah kami kumpulkan.

Peserta yang sudah tiba duluan memilih duduk-duduk di pelataran kuil sembari menunggu seluruh pejuang langit lain tiba di kuil pusat.

Kebanyakan memasang tampang tegang. Karena meski kami sudah tiba di kuil pusat, jarak lubang ke dunia atas dengan kuil ini masihlah sangat jauh. Jaraknya tidak sedekat yang kubayangkan.

“Pantas saja Jagaddhatri mengatakan kemungkinan mati saat mengikuti Archilum cukup tinggi. Kau lihat jaraknya, Candhra,” decak Aswin sembari menunjuk lubang di atasnya.

“Ibuku berkata yang penting adalah keselamatan. Kita tidak perlu terlalu bersemangat mencapai tempat yang sangat tinggi.”

“Tapi Jagaddhatri bilang ketinggian bisa membantu kita untuk melihat datangnya semburan dengan lebih baik.”

“Naik setinggi yang kita bisa kalau begitu. Ingat, kita harus mengutamakan keselamatan.”

“Aku tahu,” desah Aswin.

“Ngomong-ngomong kau melihat orang itu?”

“Rawi?” tebak Aswin.

“Siapa lagi?” balasku sembari mengangkat bahu. “Aku tidak melihatnya di kuil luar. Tidak juga saat sedang mengantri untuk naik ikan.”

“Mungkin dia agak terlambat. Seperti pahlawan kesiangan.”

“Siapa yang kalian sebut sebagai pahlawan kesiangan?”

Orang yang tengah dibahas muncul tiba-tiba seperti hantu. Tidak terdengar langkahnya. Seolah mendadak muncul dari udara kosong.

“Rawi, kau menjadi pejuang langit juga,” sapaku, setengah hati.

“Tentu saja aku ikut. Kalian ternyata juga ikut. Sungguh tidak kuduga kalian tertarik upacara semacam ini.”

“Berkat kau,” jawabku datar.

“Sayang sekali, seandainya aku tahu kalian akan tertarik, aku tidak aakn memberitahu kalian,” seringainya, kentara tidak senang.

“Aku tidak senang banyak orang yang berusaha menjadi bagian dari sejarah.”

“Sayang sekali bukan?” ejekku.

"Lihat siapa yang sedang bicara. Kau tidak ingat, kalau bukan aku yang memberitahumu, apa yang akan kauketahui soal Archilum?"

"Kalau bukan kau. Aku akan mendengarnya dari orang lain,” timpalku, kalem.

“Benar. Tanpa kau memberitahu kami sekalipun, kami juga akan mendengar soal Archilum.”

“Seluruh orang di dunia bawah mengetahuinya karena mereka dapat menyaksikannya dari tempat yang jauh,” tambah Aswin sembari melipat kedua lengannya di depan dada.

“Perhatian seluruh pejuang langit. Sesi Arc segera dimulai. Persiapkan diri kalian untuk menjadi pejuang langit agung kali ini dengan melompat dari tempat yang tertinggi,” ujar pendeta kuil pusat.

“Pertunjukannya segera dimulai. Kuharap kalian tidak menghalangiku. Akulah yang akan menjadi pejuang agung untuk Archilum kali ini,” tegas Rawi, tajam.


Chapter 20

“Jangan menghalanginya dia bilang? Kurasa aku berubah pikiran Aswin. Aku akan mengalahkan dia dan menjadi pejuang agung,” desisku, tidak senang.

Aku tidak mengerti mengapa aku tidak menyukai orang itu. Mungkin karena dia sepertinya memiliki maksud terselubung. Mungkin karena dia merendahkanku lewat kata-katanya.

Yang jelas aku tidak suka sikap Rawi padaku dan Aswin, seolah kami lebih rendah dari dia dan tidak boleh menjadi lebih hebat darinya.

“Orang itu sungguh arogan. Dia benar-benar ingin pamer saja ketika membicarakan Archilum pada kita. Ingin pamer jadi orang terhebat. Tapi siapa sangka kita juga ada di sini untuk menjadi lawannya,” dengus Aswin, sama tersinggungnya.

Sesi Arc telah dimulai. Seluruh peserta diperbolehkan memulai memanjat tebing untuk meraih tempat teratas. Para pendeta mulai memanjatkan doa-doa sembari menabur bunga ke atas permukaan air yang masih tenang.

Alat-alat musik dimainkan, orang-orang memanjatkan puji-pujian pada dewa, beberapa bahkan menari-nari.

Goncangan pertama datang. Aku merasa beberapa batu pinggir tebing longsor  ke bawah.
"Aku sangat bersemangat, sobat!" sahut Aswin yang berdiri di sebelahku.

"Aku sangat ketakutan, sejujurnya," keluhku.

"Sama. Kuharap kita bisa melalui semuanya dengan lancar."

"Ayo ke atas bersama-sama, Aswin!"

Kami mulai bergerak ke atas. Tidak terlalu terburu-buru. Keselamatan menjadi poin terpenting. Percuma saja memanjat hingga paling tinggi tapi pada akhirnya tidak bisa melakukan lompatan yang baik.

"Hati-hati, Aswin," kataku memperingatkannya.

"Aku tahu, fokus pada batu yang kau pijak."

"Aku takut gemuruh menjatuhkanku."

"Cari tumpuan yang sekiranya kuat. Jangan memandang ke bawah atau kau akan makin ketakutan," pesan Aswin.

Angin berhembus dan menerbangkan wangi bunga-bunga sesaji. Aku mencoba berkonsentrasi pada hal yang tengah aku lakukan. Cukup memanjat saja. Tidak perlu menjadi yang paling tinggi. Tapi aku tetap ingin lebih tinggi dari Rawi.

Cari tempat yang sekiranya akan memudahkanku melompat ke dalam air ketika semburan datang. Lompatan yang bagus yang akan membawaku ke dunia atas, dunia yang disebut-sebut sebagai surga dunia.

Rasanya benar-benar mendebarkan. Aku tidak mengerti mengapa selama ini aku begitu bertekad mengikuti Archilum. Mungkin karena aku tidak benar-benar membayangkan kondisinya seperti ini.
Aku tidak tahu kalau akan berlayar menggunakan ikan, memanjat di tebing keramat dan melihat gerbang ke dunia atas yang terasa begitu jauh.

Semuanya terlihat lebih mudah ketika aku belum mengetahui kondisi yang sebenarnya. Tapi biarpun aku ketakutan, bukan berarti aku ingin mundur.

Untuk tiba di tempat ini aku sudah mengusahakan banyak hal. Yang terberat adalah untuk meyakinkan Chatura dan aku sudah berhasil melalui fase tersebut.

Tidak perlu takut, lagi pula ada Aswin yang menjagaiku. Lucu rasanya jika selama ini aku yang ngotot pergi, sekarang malah Aswin yang menjagaiku dari bawah. Dia sama sekali tidak memiliki masalah terhadap ketinggian.

"Ayo, Candhra, naik lagi, kau pasti bisa!" seru Aswin memberiku semangat.

Senang rasanya kami bisa pergi bersama-sama. Jika tidak ada Aswin, pasti aku akan lebih gugup dari pada sekarang. Dia benar-benar teman yang baik.

Rawi memanjat dengan cepat. Sepertinya ia sengaja mengerahkan seluruh kekuatannya di awal. Panjatannya sangat gesit dan mantap, ia berhasil memimpin, berada di tempat yang paling tinggi.

“Orang sinting itu hebat juga,” sahut Aswin yang ada di bawahku. Kami hanya terpisah sedikit.
“Jangan khawatir. Dia akan segera kelelahan dan kita bisa menyusulnya,’ kataku memberikan semangat.

“Kau benar. Dia akan segera beristirahat jika memanjat dengan membabi buta seperti itu. Saat dia beristirahat kita akan bisa melampaui ketinggiannya.”

Kami terus naik ke atas. senti demi senti.

Peserta lain agak kebingungan dengan konsep pejuang agung. Tidak banyak dari mereka yang memahami apa artinya. Mereka ikut memanjat hanya karena peserta lain ikut memanjat. Meski begitu mereka tidak berambisi untuk menjadi yang tertinggi seperti halnya Rawi.

Perkiraanku benar. Setelah hampir sepuluh menit lamanya sesi Arc berlangsung, Rawi mulai kehilangan kecepatannya.

Semangat panjatannya mulai mengendur. Apalagi gemuruh yang terus datang dari dalam bumi membuat dia kadang beringsut mundur beberapa jengkal dan membuat lututnya berdarah.

“Ada yang mulai kelelahan,” sindir Aswin merasa puas melihat Rawi terduduk di tebing, tidak jauh dari tempat kami memanjat.

“Fokus Aswin. Jangan biarkan dirimu terluka seperti orang bodoh itu.”

“Aku tidak sinting, tenang saja.”

Rawi melihatku dan Aswin dengan pandangan berkilat-kilat marah.

“Kalian tidak boleh berada di tempat yang lebih tinggi dariku! Berhenti! Berhenti! Aku yang akan menjadi pejuang agung! Kalian tidak boleh naik lagi!” serunya marah.

“Simpan tenagamu untuk memanjat, Rawi. Tidak perlu membuang-buang tenagamu untuk marah-marah seperti orang gila,” ejekku sembari tetap naik mendekatinya.

“Tidak boleh! Jangan mendekat atau aku akan menyakitimu!” seru Rawi gusar.

"Semestinya kau menunjukkan padaku kalau kau sebenarnya orang yang tahu terima kasih Candhra.”

“Aku sudah memberitahumu banyak hal, secara tidak langsung membantumu melewati beberapa rintangan. Maka dari itu mengalahlah padaku."

“Lihat orang itu mulai berbicara seperti orang sinting,” cibir Aswin.

“Kuperingatkan kalian untuk berhenti!”

“Wah bagaimana ya? Kami tertarik mendekatimu, nih,” godaku sembari terus memanjat.

“Bukan hanya mendekati, kami akan melewati ketinggianmu. Kau istirahat saja di situ yang lama,” cibir Aswin.

“Sialan! Dasar dua orang sialan. Mati saja kalian!” pekik Rawi frustasi. Ia bangkit dari istirahatnya yang masih terlalu singkat dan mulai merangkak naik lagi.

“Sudah lupakan saja keinginanmu untuk menjadi pejuang agung. Berikan posisi itu pada kami,” kekeh Aswin, “hati-hati tergelincir.”

Gemuruh itu datang lagi. Makin lama, makin kencang.

Rawi merosot beberapa meter dari tempatnya berada.

“Sialan! Sialan!” umpatnya.

Sekarang jarak antara aku dan Rawi sudah sangat dekat. Kami hampir sejajar sekarang.

“Sudah, istirahat saja dulu kau Rawi. Percuma saja kan memanjat tapi harus merosot karena peganganmu tidak kuat,” ejek Aswin.

“Tidak! Aku tidak mau dikalahkan oleh orang-orang tolol seperti kalian!” jerit Rawi.

“Kasar sekali orang sinting ini,” cibir Aswin.

"Aku tidak tahu mengapa kakekmu harus memiliki cucu sepicik engkau, Rawi."

"Seenaknya saja bicara. Memangnya kau tahu apa tentang diriku? Dunia ini dipenuhi manusia jahat. Ditolong dan malah menyakiti. Seperti kakekku yang berusaha kembali setelah sekian lama menjelajahi dunia atas, dia malah diburu karena menurut masyarakat di sini, orang yang sudah mencapai surga hendaknya tidak kembali lagi."

"Kukira keadaan semacam ini nyaris mirip dengan posisiku sekarang. Aku memberitahu kalian soal upacara teragung di sini tapi kalian malah ingin menghalangiku."

"Kami tidak pernah memintamu untuk tidak mengikuti Archilum," desisku, kesal.

"Kau memang tidak, tapi aku tahu kau ingin menjadi sosok terpuji melalui upacara tersebut.  Melompat dari tempat paling atas dan mencetak sejarah. Bukankah itu yang kau inginkan, Candhra?"
Rawi memicingkan matanya padaku, sorot matanya yang penuh kebencian menerorku hingga ke tulang-tulang. Aku tidak pernah tahu kalau Rawi bisa semenakutkan ini.

Sebelumnya aku memandangnya sebagai sosok yang hebat. Memang mulanya aku meragukan dia, mengiranya sebagai pembual. Tapi seiring berjalannya waktu aku tahu kalau apa yang dikatakannya bukanlah suatu bualan.

Kemudian aku mendapatinya berani kabur dari upacara Shinar. Pemberontakan yang keren. Aku menganggapnya sebagai sosok yang istimewa, seseorang yang mampu melakukan hal-hal yang tidak berani dilakukan oleh orang lain.

Namun hari ini seluruh rasa kagum itu sirna. Ia memang hebat, aku tidak akan menyangkalnya. Namun ia juga jahat.

Sepertinya tebakan Outi memang benar meskipun logika yang mendasarinya tidak sepenuhnya tepat.
"Lalu jika kau menginginkan tempat yang tertinggi dari upacara itu, mengapa kau membocorkannya padaku juga Aswin? Kami tidak pernah memintamu buat melakukannya."

"Kesalahan," gumamnya muram.

"Seandainya aku tahu kalian juga ingin ikut, aku tentu tidak akan membagi rahasia itu."

"Biar kau tidak memberitahu, pada akhirnya aku dan Aswin juga akan mengetahuinya karena Archilum bukanlah sebuah rahasia .…”

“..., orang-orang memang melupakannya karena waktu yang berjalan maju. Tapi bukan berarti ia adalah sesuatu yang wajib ditutup-tutupi."

"Memang, tapi katakanlah aku hanya kesal karena akhirnya kalian mengetahui hal-hal mengenai Archilum sebanyak yang aku punya. Itu benar-benar membuatku nyaris sinting," hardik Rawi padaku.

“Jadi benar kakekmu adalah penulis?”

"Kakekku adalah penulis dari buku Archilum. Menyenangkan bukan mendapatkan bocoran dari hal-hal yang tidak semua orang ketahui?" seringainya.

"Apa maksudmu?" dengusku, tidak senang.

"Apa dia tahu apa yang dimaksud dengan komputer?" tuntut Aswin.

Rawi bersandar di area batu yang ada pijakan untuk kakinya, melipat kedua tangannya di depan dada. Lagi-lagi menyeringai.

Kini aku memandanginya secara lebih seksama. Seringaiannya mengisyaratkan ejekan. Wajahnya benar-benar jelek saat melakukannya.

“Aku tidak tahu. Tapi aku akan mencari tahu setelah berhasil mencapai dunia atas.”

“Kau sama saja tidak tahu. Jangan-jangan buku Archilum juga merupakan karangan semata.”

“Tidak! Itu adalah kebenaran!” Rawi memanjat sembari terengah-engah.

“Kakekku berhasil ke dunia atas. Ia sebenarnya hanya ingin mencuri lihat ke kuil pusat jadi ia tidak pernah mendaftarkan diri. Kemudian secara tidak sengaja ia terseret oleh semburan. Ia tinggal di dunia atas selama beberapa minggu.”

“Kalau kakekmu memang benar pernah ke dunia atas, bagaimana mungkin dia bisa kembali dan menulis buku?” tuntut Aswin.

“Itu juga keberuntungan. Ia mendapati sebatang pohon dengan akar-akar yang keluar dari tanah. Dia menggunakan akar pohon itu untuk turun ke titik di mana gravitasi dunia bawah mampu menahannya kembali.”

“Omong kosong!” dengus Aswin.

“Kau mengatakan kakekku sebagai pembohong? Sudah kukira memang dunia ini diisi oleh orang-orang tidak tahu terima kasih.”

“Kau bahkan membaca tulisannya dan mendapatkan banyak informasi dari sana. Sekarang kau mengatai kakekku?” lolong Rawi, marah.

Aku menghela napas. Kurasa Aswin juga mulai keterlaluan. Aku memberikan isyarat padanya untuk tidak melanjutkan kata-kata kasarnya.

“Karena orang-orang meragukan kakekku yang hebat, aku jadi termotivasi untuk mengikuti Archilum. Aku akan membuktikan bahwa orang yang bisa ke atas, juga bisa kembali ke bawah!”
Rawi menghentikan langkahnya.

“Kalian!” Dia menggeram, “kalian sudah menuduh kakekku sebagai pembohong. Akan kuhabisi kalian! Aku tidak akan membiarkan manusia rendahan seperti kalian mencapai dunia atas!”
Rawi menginjak tanganku. Aku melolong kesakitan.

“Hei! Lepaskan dia!” seru Aswin marah.

Mendadak gemuruh itu datang lagi. Tanah bergetar. Rawi sempat kehilangan keseimbangan, namun tidak jatuh ke bawah. Kondisinya sudah makin genting sekarang.

Kurasa sebentar lagi semburannya akan datang. Aku bisa merasakannya. Seolah-olah bumi sedang berkomunikasi denganku. Seolah aku memiliki kemampuan seperti ibu.

Tanganku terbebas. Kemudian aku naik melewati Rawi. Tapi Rawi tidak tinggal diam. Dia menarik kakiku. Orang ini benar-benar sudah sinting! Dia bisa saja membunuhku!

“Jangan ganggu, Candhra!” pekik Aswin. Dia naik sejajar di tempat Rawi berada. Kemudian memukul orang sinting itu. Kakiku kembali bebas.

Rawi terhuyung-huyung. Tubuhnya menabrak dinding.

“Aswin, jangan hiraukan dia!” jeritku memperingatkan. Bukan sesuatu yang menguntungkan untuk berkelahi di pinggir tebing seperti ini. Salah langkah, kami bisa celaka.

Aswin menurut. Dia kembali mengikutiku untuk meninggalkan Rawi.

“Sudah kukatakan kalian tidak boleh lebih tinggi dariku!”

Detik berikutnya yang kutahu Aswin menjerit panik. Aku melihatnya. Aku melihat kakinya disentak oleh Rawi.

Aswin kehilangan keseimbangan. Sementara tebing yang dipijak Rawi runtuh ke bawah.

Gempa itu datang seperti ada raksasa yang hendak keluar dari tanah.

Aswin meluncur ke bawah bersama Rawi tepat pada saat semburan datang. Hanya saja mereka terjun ke arah yang salah, mereka menjauhi pusat semburan.

Tubuh mereka tidak terangkat oleh air.

“Aku…”

“Aku menjadi diriku kembali” aku segera dengan cepat melihat situasi saat itu, bila aku terus di sini, akan terkena air semburan itu dan terhempas mati ke pinggir area bebatuan semenanjung di atasku.

Pandanganku menyapu semenanjung di atas, dan kulihat ada area lubang sangat besar di tengahnya, tepat di bawahnya semburan terjadi, aku bisa lolos dari maut bila melompat ke semburan tersebut dan tepat di tengahnya agar lolos dari maut.

Aku terbiasa mindporting ke wadah mahluk yang mendadak saat genting seperti ini, sudah menjadi keahlianku untuk cepat tanggap dalam situasi sesulit apa pun, bukan berarti pasti berhasil, tetapi berusaha, walaupun juga pernah ada gagalnya.

Tentu saja wadah yang kutempati mendadak mati konyol karena ulahku, entah …, apakah aku harus reset dan remindporting lagi sampai berhasil?

Terkadang itu terjadi sampai aku berhasil, tetapi kabar buruknya, reset itu tidak selalu terjadi.

“Semburan air itu yang super kuat itu” aku berpikir cepat.

Aku tahu tugasku, aku harus terjun ke sana, tubuh yang kumasuki ragu-ragu, aku harus membantu ….
Air semburan datang dengan kekuatan yang penuh, aku dapat merasakannya.

Aku terjun.


Chapter 21

Air itu menyembur dengan sangat keras dari perut bumi dan aku merasa hanyut terbawa olehnya.
Seandainya saja tidak ada secercah sinar yang berasa dari lubang di atas sana, aku tidak akan tahu arah. Tapi biar aku tahu arah, gelombang air membuatku tidak berdaya.

Kurasa aku menelan cukup banyak air. Aku sudah mengambil napas dalam dan mencoba menahannya. Namun arus yang keras seolah tengah memukuli seluruh tubuhku. Memukuliku sembari membawaku ke atas.

Aku terlempar, bergulingan beberapa kali yang tidak terhitung jumlahnya, mendarat di tanah yang lembek. Matahari bersinar kuat, tapi aku kedinginan karena basah. Meski begitu, aku masih belum bisa membuka mata.

Rasa sakit itu mengalir bersama tubuh dalam pembuluh darahku. Air yang keras ternyata menyakitkan juga. Aku tidak pernah tahu kalau air bisa melukai. Kupikir air hanyalah benda positif yang baik. Menyingkirkan haus dan membersihkan kotoran tubuh.

Sekarang untuk pertama kalinya aku mengetahui bahwa air juga bisa memberikan bahaya. Aku tahu air bisa menenggelamkan, tapi bukan memberikan sensasi tersayat-sayat seperti ini. Tubuhku benar-benar terasa perih.

Hanya saja rasa perih dalam dadaku lebih tajam dan nyata.

Sepertinya tugasku telah selesai, aku off-lagi dari wadah…. Dari tubuh ini, siapa pun aku dalam tubuh ini.

Aku adalah aku…

“Ya kau, bantu dia membawa makanan berkualitas ini ke sana” kata mahluk seperti serangga besar pendorong kotoran satwa yang pernah aku lihat di area budidaya jamur, namun ukurannya besar, tunggu dia bisa bicara, dan aku mengerti apa yang dikatakannya.

Lalu aku menoleh ke arah yang ditunjukkan olehnya. Area ini seperti restoran, tetapi berada di dalam tanah, semua yang ada di restoran tersebut adalah serangga, sepertinya beragam jenis serangga besar, berbudaya, memiliki aksesoris, walaupun tidak berpakaian, mereka tidak perlu pakaian, cangkang mereka sudah keren seperti baju zirah kesatria perang.

Mereka sedang menikmati makanan, apa yang mereka makan. Mereka makan kotoran …, kotoran? Astagaaaaaaa.

Kemudian aku melihat barang di atas piring yang aku bawa dan benar, ini kotoran, kotoran manusia dan mereka memakannya.

Aku mual dan hampir terjatuh, seseorang tidak …, bukan orang, seserangga yang ada di dekatku menahanku.

“Hei kau tidak apa-apa?” Sapanya dengan ramah sembari menahanku tubuhku. Eh dia serangga besar yang menyuruhku tadi

“Eh Oh …, iya uh aku baik-baik saja” ucapku dengan bahasa yang mereka mengerti, aku bisa berbicara bahasa mereka …, mimpi apa ini? Aneh benar? Tapi biarlah, aku segera berusaha berdiri seperti semula.

“Terima kasih dengan bantuannya,” ujarku kepadanya.

“Baik kalau begitu, ada baiknya kau segera istirahat setelah mengantarkan makanan di tanganmu ke meja nomor 7 di sana” ucapnya ramah dengan nada perintah.

Segera aku menuju meja yang dimaksud dan meletakkannya. Serangga tersebut segera mengambilnya, kemudian memakannya dengan lahap kotoran tersebut.

Aku mundur, dan segera berbalik untuk pergi. Aku melangkah ke tempat semula, baru beberapa langkah.

“Hei …, jangan lupa minumannya, ga pake lama!” suara yang berasal dari serangga besar yang aku baru letakkan kotoran eh makanan di mejanya

“Eh oh baik Pak aku akan bawa segera,” Jawabku.

Serangga itu mendadak berdiri, “Hei… kau tidak sopan, aku bukan Pak, Aku masih gadis belum menikah, aku perempuan” ucapnya ketus.

“Eh oh… maaf, salah bicara, maaf nona …,” ucapku merasa bersalah. Bagaimana aku harus tahu dia perempuan atau pria, bagaimana aku bisa membedakannya, ini hanya mimpi, keluhku.

“Ya sudah, bawakan aku minumannya, ga pake lama!” ucapannya meninggi, sepertinya kesal, kemudian dia duduk seperti semula.

Aku segera berbalik ke arahku semula dan berjalan. Seseorang menyodorkan minuman kepadaku, segera saja aku minum.

Kemudian kepalaku mendadak kena tepukan keras, ” Hei minuman kencing rasa Trhrista itu untuk gadis tadi bukan untuk kamu!” Ucapnya kesal, ah dia serangga yang menolongku tadi saat hampir jatuh, tepukan itu berasal darinya.

“Kencing?” ucapku, tapi yang kuminum tadi tidak terasa air kencing, tetapi minuman sangat segar, harum dan rasa yang belum pernah aku rasakan, rasa Trhrista, rasa apa itu? Ah tentunya rasa yang aku rasakan di minuman itu tadi.

“Ah sudahlah, habiskan saja, aku buat yang baru lagi,” ujarnya kesal.

“Ma… maaf,” ucapku, lalu membuang minuman tersebut ke tempat tong sampah.

“Ada apa denganmu Kstr Bji Htm hari ini?” kata serangga tersebut sembari mengambil gelas dan mulai menuangkan air kencing yang menjadi minuman rasa Trhrista.

“hukgh,” aku mulai mual lagi.

“Entahlah aku tidak tahu apa yang terjadi padaku, aku seperti terkena penyakit lupa ingatan,” Jawabku dengan alasan memori yang menghilang.

“Ah jangan-jangan kau juga lupa namaku,” ujarnya penasaran.

“Tebakan jitu,” jawabku mengangguk, tetapi sulit, kenapa sulit. Aku segera mencari cermin, ya cermin. Siapa aku sebenarnya.

Aku bergerak mencari cermin, tidak menemukannya. Serangga tadi bertanya siapa namanya sepertinya bengong.

“Apa lagi?” tanyanya sembari mengangkat tangannya sejajar dada.

“Cermin” jawabku singkat, sembari berputar dan mencari-cari benda tersebut.

“Ah… ada di toilet,” ke arah sana, belok, kanan, kanan, kanan, kanan, lalu kiri, kau sering ke sana setiap hari kalau ke toilet.

Aku segera bergerak ke arah yang ditunjuknya. Kanan, kanan, kanan, kanan, kok masih ada kanan lagi, aku berhenti sebentar, mungkin dia lupa, aku berjalan lagi ke kanan dan ke kiri, ada tulisan toilet.

Aku segera masuk. Mendadak ada yang keluar dari area tersebut saat aku masuk.

“Hei hati-hati,” katanya kesal.

“Maaf, terburu-buru,” jawabku.

Cermin… , akhirnya ketemu. Kulihat wajahku.

Tidaaaaak ini wajah serangga, tak heran aku kesulitan mengangguk.

Aku berusaha menguasai diri, ini mimpi. Aku tinggal mengikutinya dan berperan sesuai apa yang ada dalam mimpi. Mudah.

Aku kembali ke tempat semula, di sana serangga yang menanyakan namanya sepertinya sudah siap dengan kotoran lainnya yang sepertinya harus aku antar ke meja tertentu untuk serangga lainnya.
“Ah kau sudah baikan,” tanyanya.

“Iya,” jawabku singkat, ini hanya mimpi kenapa diambil pusing.

“Baiklah, agar kau ingat lagi, namaku Kwk Rst Jgt” dan kau Kstr Bji Htm.

“Bawa pesanan ini ke meja sembilan ya,” ujarnya.

“Baik,” kataku, ya apa lagi yang harus aku lakukan, ini mimpi, segala yang aneh bisa hadir saat mimpi.

Setelah aku meletakkan kotoran eh makanan di meja ke sembilan aku segera balik lagi menuju serangga yang aku lupa namanya.

“Siapa namamu lagi?” tanyaku, tidak ingat karena nama yang aneh.

“Kwk Rst Jgt,” jawabnya singkat.

“Baiklah Kwk Rst Jgt, ini restoran bukan?” tanyaku.

“Bukan, ini warung, ya mirip restoran, tapi lebih sederhana dengan menu yang sederhana dengan harga terjangkau,” jelas Kwk Rst Jgt.

“Baiklah, lalu siapa kokinya?” tanyaku.

“Koki? Tukang masak? Serangga tidak memasak, manusia dan mahluk nonserangga yang memasak untuk kita” Jawab Kwk Rst Jgt.

“Maksudmu kotoran poop dan kencing itu makanan dan minuman kita?” ucapku dengan jelas sekaligus pertanyaan, bagi dia mungkin tidak perlu dijawab.

“Hei kenapa kau membuat kalimat rhetorika, iya, serangga memang mendapatkan makanan dari mahluk lainnya, mereka nonserangga menyebutnya kotoran tetapi kita menyebutnya makanan, hanya beda persepsi,” ujarnya dengan polos dan tanpa bersalah.

“Maksudmu serangga jenis kita, ada jenis lainnya yang tidak makan kotoran bukan?” elakku berargumen.

“Benar, tetapi spesies dan ras seperti kita makanannya ya begitu,” jelasnya enteng.

“Oh …,” ucapku pendek. Kini malah keingintahuanku mendadak muncul.

“Apakah kotoran eh …, makanan yang dihasilkan spesies nonserangga berbeda rasa dan kualitas?” tanyaku iseng.

“Hm …, selama wirausaha sebagai bos warung, selama 60 tahun dan sebagai serangga wanita aku sering berkelana sebelumnya,” jelas Kwk Rst Jgt.

Astaga ternyata dia juga wanita, sebagai bosku malah, kurasa serangga pria seperti aku. Pria? Lebih tepatnya disebut serangga jantan, aku berpikir sendiri di kepalaku dengan keusilan.

“Ada makanan berkualitas yang dihasilkan beberapa spesies nonserangga seperti kita, bila dia memakan makanan tertentu akan menjadi rasa tertentu, seperti makanan yang mereka makan. Contohnya minuman rasa Trhrista yang kau minum adalah kualitas kelas C karena aku pernah minum yang berkulitas A, dihasilkan oleh manusia dengan susunan perut dan ginjal yang unik sehingga rasanya luar biasa” jelas Kwk Rst Jgt.

Serangga ras kita berani membayar mahal bagi manusia seperti itu untuk menjadi partner dagang untuk membuka restoran kelas atas, atau minimal pekerja dengan upah yang sangat tinggi.

“Ah mimpi yang aneh, dan membuatku mual, pusing, ternyata mengikuti mimpi juga tidak selalu menyenangkan,” pikirku.

“Ah sebentar lagi warung ini tutup, ayo bersiap-siap,” ujarnya.

Beberapa pelanggan mulai keluar dari ruangan ini, dan meja 11 adalah tamu terakhir yang keluar.
Aku dan bosku segera membersihkan ruangan warung tersebut, merapikan kursi dan meja. Saatnya pulang.

Aku melangkah ke pintu keluar warung melalui pintu, eh pintu ini mendadak seperti bersinar dan  membawaku entah ke mana.

*

“Di mana aku?” Aku mulai tersadar dari mimpi.

“Surga? Dunia atas?” tanyaku, kepada siapa?

“Apakah aku berhasil?”

“Aswin .…”

Aswin. Aswin. Aswin.

Aku terus mengulang-ulang nama sahabatku seperti tengah membaca mantra. Bibirku bergetar tiap kali mengucapkannya. Tidak hanya mulutku, tapi aku bisa merasakan tubuhku bergetar.

Aswin sudah mati. Mati. Mati. Mati.

Aku tidak percaya. Sahabatku, saudaraku mati. Bagaimana mungkin hal itu terjadi? Bukankah Aswin mengatakan kalau dia akan menemaniku menjelahi dunia atas? Kami akan bertahan hidup bersama di dunia yang baru. Tapi mengapa ....

Apakah Aswin benar-benar mati? Apakah aku harus memercayai apa yang kulihat?

Ya. Aku jelas-jelas melihatnya jatuh. Tebing itu runtuh dan aku tahu dia jatuh ke bawah.

Lolongannya terendam oleh semburan air. Tapi aku ingat benar ekspresinya.

Bagaimana matanya terbelalak ngeri dan tangannya menggapai-gapai ke arahku.

Aswin mati. Ia berusaha melindungiku dari Rawi yang jahat tapi ia juga menjadi korban. Dengan kata lain aku ikut andil dalam kematiannya.

Aku membunuh Aswin. Bagaimana mungkin aku bisa membunuh sahabat karibku sendiri?

Mengapa aku tidak menolongnya? Karena posisiku tidak memungkinkan untuk meraih tangannya.
Aku ada di atas dan dia ada di bawah. Seandainya aku mengulurkan tangan, aku tetap tidak mampu buat menggapainya.

Aku membunuh Aswin. Perasaan bersalah ini benar-benar menyiksaku dan aku merasa benar-benar tolol.

Mengapa harus Aswin yang mati? Harusnya kami pergi bersama-sama ke dunia atas.

Aku tidak peduli jika Rawi berusaha menghalangiku karena bagaimanapun juga aku akan melompat. Tapi mengapa Aswin melakukan itu?

Aku tidak mengerti mengapa ia harus mencoba menyingkirkan Rawi dan membuat dirinya ikut tersingkir juga?

Apakah Aswin tidak memperhitungkan kemungkinan kalau dirinya akan jatuh karena berusaha menolongku?

Apakah Aswin terlalu memfokuskan diri untuk membantuku melepaskan diri dari Rawi sehingga dia tidak memerhatikan keselamatannya sendiri?

Jauh di bawah alam sadarku, aku berharap ada suatu keajaiban di mana Aswin masih tetap bisa hidup meski terjatuh dari tempat setinggi itu. Suatu keajaiban di mana tangan dewa menopangnya.

Menghambat jatuhnya kemudian membantunya mendarat ke atas tanah dengan selamat.

Tapi aku tidak tahu, dewa tidak pernah muncul. Bahkan aku selalu menyangsikan keberadaan dewa. Tapi entah mengapa untuk sekali saja aku berharap kalau dewa itu eksis dan membantu Aswin.

Aku benar-benar terluka. Mengapa aku harus kehilangan sahabat di saat kami masih ingin menjelajahi dunia bersama. Aku dan Aswin adalah sahabat sejati dan kami sudah banyak berbagi suka dan duka.

Akan lebih melegakan jika dia tidak mengikutiku ke atas. Aku akan lebih senang jika dia tetap hidup dan berternak Brachuura. Harusnya aku tidak memengaruhinya untuk pergi ke dunia atas. Harusnya dia cukup menyaksikanku pergi dari kejauhan.

Aku akan lebih dapat merelakannya tetap di dunia bawah dan hidup, bukannya mati dan tidak memiliki kesempatan untuk mencapai dunia atas. Lebih baik dia tetap aman di dunia bawah.
Aswin. Aswin. Aswin.

Kumohon maafkan aku. Kuharap kau tidak membenciku. Aku benar-benar merasa bersalah dan kehilangan sekarang.

Bertahun-tahun kita sudah menjalani hari-hari bersama. Menyantap Brachuura bersama, saling menolong di kala kesusahan, saling menghibur di kala masa-masa sulit.

Kini aku tinggal di tempat asing dan harus kehilangan sahabat. Benar-benar lebih buruk dari pada mimpi buruk.

Ini adalah kenyataan yang buruk dan aku tidak bisa terbangun dari kenyataan karena segala yang terjadi di sini adalah nyata.

"Apa kau menangis? Kau tidak mati, setidaknya belum. Jadi apakah kau benar-benar terharu karena bisa mencapai dunia atas?"

Suara itu benar-benar merdu, sedikit melengking tapi benar-benar enak di dengar. Seperti suara malaikat. Tapi seperti halnya dewa, aku juga tidak percaya kalau malaikat itu ada.

Dia bilang aku tidak mati? Tentu saja. Aku tahu dengan jelas karena orang mati tidak dapat merasakan sakit. Sementara sakit di sekujur tubuhku benar-benar terasa nyeri.

Kurasa malaikat ini pasti sedang mencoba berkelakar padaku, sayangnya aku tidak terhibur. Tapi dia bilang aku menangis? Benarkah aku menangis?

Detik berikutnya aku bisa mendengarkannya. Ya, aku menangis, gemuruh yang berasal dari dadaku dan lelehan air mata itu terasa sangat nyata.

Sedari tadi aku tidak menyadarinya, aku hanya berfokus pada Aswin, temanku yang malang. Teman yang tidak bisa menyertaiku lagi. Hari ini adalah hari terakhir kami bersama. Hari terakhir dia hidup di dunia yang fana ini.

Aswin sudah mati. Dan aku ikut andil dalam kematiannya.

"Sampai kapan kau mau berbaring begitu." Sang malaikat kembali menegurku.

"Aswin."

"Namamu Aswin? Dengar Aswin, sebaiknya kau bangun. Kau tidak berencana untuk berbaring selamanya di sini, bukan?" kata si malaikat lagi, kali ini dengan nada mendesak.

Ia benar-benar ingin aku bangun nampaknya. Tapi aku merasa seluruh tubuhku lumpuh. Aku tidak bisa bergerak, atau sebenarnya aku tidak ingin bergerak. Aku tidak tahu. Aku tidak memikirkannya. Aku hanya tahu sahabatku sudah mati.

"Aswin," bisikku lagi.

"Hei! Bangunlah. Orang-orang yang lain sudah siuman sejak tadi bahkan rombongan sudah mulai berangkat ke kuil Archya. Masa kau mau terus-terusan di sini?" ujarnya, sedikit kesal.

Malaikat itu memeriksa tubuhku dan menekan-nekan di beberapa persendian.

"Kau tidak terluka kan? Ada lecet di sana-sini memang, tapi aku tidak menemukan ada yang parah."
Aku mengembuskan napas pelan. Mencoba mendengarkan alunan merdu si malaikat. Ada sesuatu yang magis di sana. Entah mengapa aku merasa lebih tenang tiap kali mendengar suaranya. Seolah-olah malaikat ini memiliki kemampuan untuk memanipulasi emosiku.

Rasa bersalah itu sedikit berkurang dan kepedihanku berangsur-angsur ringan. Tidak hilang, tapi lebih terkontrol.

"Aku tahu kau sedang shock, Archilum memang istimewa. Tapi kuharap kau baik-baik saja. Aku tidak tahu apa yang sudah terjadi di bawah sana, tapi kuharap kau bisa menghadapinya ...."
Aku terkekeh mendengar cerocosan sang malaikat.

"Kau …, tertawa? Aku senang kalau kau sadar," sahut si malaikat, sedikit menggerutu.

"Apa aku sudah ada di dunia atas?"

"Kau benar-benar aneh. Sudah kukatakan sejak awal kalau kau berhasil," gerutu si malaikat. Entah mengapa gerutuannya benar-benar membuatku terhibur.

"Sekarang coba buka matamu lebih dulu."

Dia benar. Sedari tadi aku terus berbaring sembari memejamkan mata, seolah aku ini sudah mati. Nyaris tidak bergerak.

Aku mematuhinya. Matahari benar-benar menyilaukan di sini, tapi anehnya aku merasa di sini lebih dingin dibanding duniaku. Tidak sampai menggigil, tapi aku bisa merasakan perbedaan suhunya.
Kemudian malaikat itu mendekatkan wajahnya ke arahku. Ia mengerjapkan matanya dua kali kemudian membentuk senyuman dengan bibirnya.

"Apa kau ini malaikat?"

Sontak saja gadis yang ada di hadapan itu tertawa terbahak. Bodohnya aku mengutarakan apa yang ada di pikiranku, tapi dia benar-benar cantik.

Rambutnya sepanjang bahu, tidak seperti gadis-gadis di dunia bawah yang kebanyakan dibiarkan terurai dan panjang, rambut gadis ini seolah membingkai wajahnya. Poni gadis ini dipotong rata sejajar dengan alisnya. Benar-benar manis.

Tapi yang paling menyita perhatianku adalah matanya yang lebih kecil, dan tidak belok seperti mataku, kulitnya juga lebih terang ke kuningan. Jika kulitku coklat gelap, maka kulitnya kuning terang. Kulit yang belum pernah kulihat sebelumnya.

Baju gadis itu terbuat dari bahan seperti dari kapas, tidak seperti aku yang menggunakan pakaian dari kulit ikan. Di duniaku tetap ada pakaian dari kapas atau bulu hewan, hanya saja pakaian dari kulit ikan lebih umum.

Model pakaian gadis itu juga aneh. Dia bahkan menutupi bagian atas tubuhnya. Tidak seperti wanita-wanita di dunia bawah yang membiarkan dada mereka terbuka.

"Aku tahu kalau aku ini lumayan cantik. Tapi terang saja aku bukan malaikat, sudah kubilang kau belum mati. Oh ya tambahan juga aku bukan dewi. Jadi jangan menanyakan hal itu padaku," ujarnya, ceria.

"Jadi sebenarnya kau ini apa?" tuntutku.

"Aku? Aku manusia sepertimu. Hanya saja aku tinggal di dunia atas. Ah benar! Aswin, kau jangan mengajakku mengobrol. Kita harus ke kuil lebih dulu. Di sana kau akan dibekali beberapa ilmu mengenai dunia atas. Sebaiknya kau segera bangun atau kita akan terlambat."

Gadis itu membantuku berdiri. Seperti yang dikatakannya, aku tidak mendapat luka yang serius karena semburan itu. Aku bisa berdiri dengan kedua kakiku dengan mudah.

"Ayo kita ke arah sana. Orang-orang sudah berkumpul. Aku yakin penyuluhannya akan dilaksanakan sebentar lagi," sahut si malaikat sembari menunjuk kuil yang mirip dengan kuil Archilum di bawah.
"Apakah kau pendeta di kuil dunia atas?" tanyaku.

"Aku hanya sukarelawan. Kau tahu? Bekerja tanpa di bayar. Ini adalah salah satu kegiatan sosial yang kuikuti. Senang rasanya bisa menjadi bagian dari peristiwa yang terjadi ratusan tahun sekali.”

“Memang sih kali ini berbeda, Archilum kali ini memang terjadi dengan sangat cepat! Oh ya aku belum memberitahu namaku. Panggil aku Kristal!"

"Kristal," ulangku sembari mengerutkan dahi. Nama yang aneh.

"Kau mengucapkannya dengan benar. Kurasa kau akan mampu belajar dengan cepat," ujarnya senang.

Aku tidak bisa memikirkan apa-apa lagi karena kami sudah tiba di kuil. Di sana aku bisa melihat orang-orang dari duniaku duduk di pelataran. Aku bisa mengenalinya dengan mudah karena mereka sama seperti aku.

Berkulit sawo matang dan memakai pakaian dari kulit ikan.

Sementara orang-orang yang berpakaian seperti Kristal duduk di pinggir-pinggir barisan. Tidak semua berkulit putih. Ada juga yang berkulit sepertiku, bahkan ada yang berkulit lebih gelap, dan berkulit pink.

Semuanya terlihat siaga, sekaligus ramah. Aku bisa melihat keadaannya di sini agak kacau. Beberapa cewek yang berhasil melewati Archilum menangis.

Ada yang melamun sembari duduk bergoyang maju mundur. Ada yang mengukir-ngukir tanah dengan jari.

Orang-orang yang berhasil terlihat linglung. Mereka pasti tidak tahu apa yang harus dipikirkan. Siapa sangka di atas sini ada pesta penyambutan. Setidaknya orang-orang dunia atas cukup ramah. Itu adalah awal yang baik, pikirku.

Seorang wanita berumur dua puluhan naik ke panggung kemudian berbicara. Aku tahu dia berbicara dengan nada biasa, tapi entah mengapa suaranya mendadak bisa terdengar di seluruh alun-alun kuil.
"Selamat datang kepada seluruh sahabat dari dunia bawah. Aku Presiden Terra menerima kalian di dunia atas”

“Izinkan aku mengucapkan selamat atas keberhasilan kalian dalam mengalahkan rasa takut dan ketegaran kalian untuk bisa sampai di sini.

Dunia atas tentunya berbeda dengan dunia bawah. Kami memiliki peraturan-peraturan yang wajib dipatuhi. Karena kalian sudah sampai di sini, harap dimengerti kalau kalian adalah bagian dari dunia atas, kalian bukan lagi masyarakat dunia bawah”

“Maka dari itu selama beberapa minggu kedepan kalian akan tetap tinggal di kuil untuk mendapatkan berbagai informasi dasar mengenai dunia atas. Setelah masa karantina selesai, kalian boleh menjalankan hidup sebagai masyarakat normal dunia atas."

Aku mendengarkan tapi tidak benar-benar memahami. Kadang Presiden Terra mengucapkan kata-kata yang sulit kupahami. Kupikir ada perbedaan bahasa antara dunia atas dengan bawah.

Bagus juga ada program karantina, jadi para pendatang lebih siap berbaur nantinya. Apalagi kami tidak punya rencana apa pun setelah berhasil sampai di atas.

Tadinya aku pikir kehidupan di sini akan mirip dengan dunia bawah. Tapi semenjak melihat Kristal, melihat baju yang di kenakannya, aku merasa ada banyak hal yang perlu kupelajari di sini.

Untuk mempermudah proses pembelajaran kami di bagi dalam beberapa kelompok. Kristal menjadi penanggung jawab dari kelompokku. Satu kelompok terdiri dari empat orang.

"Sebenarnya program ini masih baru. Kalian adalah angkatan kedua yang mengikuti program ini," jelas Kristal sembari memandu kami keluar dari kuil untuk menuju tempat tinggal sementara di dunia atas.

"Hal-hal seperti apa yang akan kalian ajarkan?" tanya seorang pria dari timku. Badannya tinggi besar dan kekar. Kurasa umurnya hampir tiga puluh.

"Berapa lama kami akan di karantina?" Anggota lain dari kelompokku bertanya. Dia adalah pria yang botak.

"Soal bertahan hidup di sini. Karantina sekitar tiga atau empat bulan," jelas Kristal sembari menunjukkan jalan.

"Apa kami akan diajarkan bercocok tanam?" tanya si botak lagi.

"Beragam hal. Nantinya ada tur. Tur itu semacam pergi berkeliling untuk melihat lingkungan dunia atas. Sisa hari ini kalian boleh beristirahat dulu. Pastikan untuk tidak meninggalkan tempat tinggal. Mulai besok kita akan mulai pengenalan dunia atas."

Kami masuk ke sebidang bangunan yang bertingkat-tingkat. Bangunan di sini benar-benar tinggi. Di dunia bawah tidak ada yang semacam ini. Rumah-rumah ada di atas tanah, atau bila ingin tinggi, orang-orang akan membangunnya di atas pohon.

Di sini juga dindingnya sudah menggunakan batu. Tidak ada lubang-lubang tempat angin masuk seperti dinding bambu. Bangunan di sini lebih solid dan terlihat kokoh.

"Kalian akan tinggal di lantai tujuh. Kita akan ke atas menggunakan lift. Sejujurnya kalian cukup beruntung karena di lantai tujuh terdapat taman yang indah," kata Kristal.

"Taman di atas awan?" tanya si kekar.

"Eh …, tidak di atas awan sih," jawab Kristal binggung.

"Jadi kami akan tinggal di negeri langit?" tanya cowok di sampingku. Rambutnya agak coklat karena sering terpapar sinar matahari.

"Tidak seperti itu. Ini bukan negeri langit. Kita masih di Bumi," jelas Kristal agak putus asa.

Kami kemudian masuk ke suatu ruangan. Kristal menekan sesuatu di dinding kemudian muncul pintu dan memerangkap kami di dalam.

"Kenapa kau menyandera kami di sini?" protes si cowok rambut coklat.

"Astaga! Ini bergerak! Ini bergerak! Aku bisa merasakan goncangannya!" pekik si kekar. Ia benar-benar ketakutan sekarang.

"Apa? Aduh! Ini lift! Kita naik dengan ini," ujar Kristal menenangkan. Ia kemudian menatap ke arahku seolah meminta bantuan.

"Apakah ini semacam alat panjat?" tanyaku, berusaha tidak menyudutkannya.

"Benar. Seperti alat panjat. Hanya saja sudah otomatis. Menggunakan mesin."

"Apa itu mesin?" tanyaku lagi.

Kristal memandangiku dengan ekspresi tidak percaya.

"Begini, aku akan membantu kalian memahami dunia atas secara perlahan. Aku tahu dunia kita sangat berbeda, maka dari itu pemerintah kami membuat program karantina ini”

“Sekarang aku ingin kalian beristirahat. Aku tahu kalian punya banyak pertanyaan, tapi sebaiknya kita mulai pelajarannya besok. Aku akan mengajari kalian dari hal-hal yang sederhana lebih dulu. Ingat perlahan," cerocosnya panjang lebar.

"Maaf kami merepotkanmu," bisik si botak merasa tidak enak.

"Aku tahu ini akan sulit bagi kalian. Maka dari itu kita akan mempelajarinya pelan-pelan. Kuharap kita bisa bekerja sama dan jangan membuat masalah," pinta Kristal dengan nada memohon.
Kami berempat mengangguk.

Lift berhenti kemudian kami keluar dari ruangan kecil tadi.Kami melangkah keluar dan berada di tempat yang berbeda.

"Kamar kalian ada di sini dan ada kamar mandi di ujung gang ini. Kurasa aku harus memberi tahu kalian soal kamar mandi di sini. Di sini tidak ada sumur”

“Ada semacam pancuran yang di tanam ke dinding. Yang harus kalian lakukan adalah membuka penutupnya dengan cara menekannya, jangan lupa untuk mematikan pancurannya setelah kalian tidak menggunakannya," jelas Kristal sembari memberikan contoh.

"Jujur, Kristal, kamar mandi di sini benar-benar aneh," ujar si rambut coklat.

"Kalian akan melihat banyak hal aneh di sini. Selamat datang di dunia atas," desah Kristal sembari memandangi kami berempat secara bergantian.

Kristal menjelaskan beberapa hal lain, seperti ketika mendengar bel, artinya kami harus turun ke lantai bawah untuk makan. Sebelum dia pergi, kami diajari cara menggunakan lift.

"Intinya tekan tombol di bawah ini untuk ke ruang makan. Untuk kembali ke lantai kamar, tekan tombol yang ini. Kalian harus saling membantu mengingat hal-hal baru di sini dan selalu pergi secara berkelompok. Kita akan bertemu lagi saat waktu makan. Sekarang kalian istirahat saja dulu."
Kristal keluar dari kamar dan menyisakan kami berempat di dalam kamar.

Kamar itu tidak terlalu besar, tapi cukup rapi. Ada dua ranjang susun di sana. Aku kebagian ranjang di sisi kiri bagian bawah.

Sendainya Aswin berhasil ke dunia atas, mungkinkah kami akan berada dalam satu tim dan kamar yang sama?

"Mereka menyiapkan baju ganti untuk kita," decak si kekar sembari memandangi pakaian yang ada di atas ranjang.

"Kupikir kita harus membersihkan diri terlebih dulu sebelum tidur. Sayang sekali kalau tempat sebersih ini harus kotor," usul si kekar.

"Kalau begitu kalian dulu saja. Aku masih ingin duduk di sini," usulku.

"Baiklah. Tolong jaga ruangan ini," kata si botak, setuju.

Maka dari itu keluarlah mereka bertiga untuk mandi sementara aku sendiri tinggal dikamar sembari memandang ke luar jendela.

Dunia atas benar-benar rumit. Banyak hal yang tidak kuketahui di sini. Belum apa-apa aku sudah merasa seperti orang bodoh.

Kuharap aku bisa belajar dengan cepat dan tidak membuat masalah buat Kristal. Dia pasti akan sama susahnya dengan para pendatang. Mencoba menjelaskan hal-hal yang tidak pernah kami ketahui sebelumnya.

Tiga bulan ke depan kami akan dijejali berbagai ilmu sebelum benar-benar resmi menjadi masyarakat dunia atas.

Dunia atas bukan surga. Karena jika ini surga, aku akan bisa bertemu dengan Aswin kembali di sini. Dunia atas bukan neraka karena jika ini neraka, aku tidak akan bertemu dengan malaikat secantik Kristal.

Tekadku sudah bulat. Aku akan belajar banyak di sini supaya kepergianku dari keluarga dan dunia asalku tidak sia-sia.

Aku juga ingat janjiku pada Vedika untuk mencoba menemukan jalan ke dunia bawah. Dan bila aku beruntung, mungkin aku bisa menemukan ayah yang sudah lebih dulu tiba di sini dua puluh tahun lamanya.

Banyak hal yang belum kumengerti, banyak hal yang harus kupelajari. Namun satu hal yang aku ketahui di sini, petualanganku baru saja dimulai.

TAMAT


Cerbung ini ada di majalah AN1MAGINE Volume 3 Nomor 9 September 2018 eMagazine Art and Science yang dapat di-download gratis di Play Store, share yaa


“Menerbitkan buku, komik, novel, buku teks atau 
buku ajar, riset atau penelitian di jurnal? An1mage jawabnya”

AN1MAGINE BY AN1MAGE: Enlightening Open Mind Generations
AN1MAGE: Inspiring Creation Mind Enlightening 
website an1mage.net www.an1mage.org

Comments

Popular Posts

PARTNERS

Contact Form

Name

Email *

Message *