CERMIN: TABIR ZAHRI
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhDnbj1y3D1_nlvgnz3xrWSJVBsKwpOZ2CUj5mtpYvE9Dj4JUizBxumsrh4VPUVL6dCK4U87NIn6O8YfOgSdCbGEVQGFN1sePAhWH-6wPWXq3QyQgg6BwTOXh3QWjqUDpGcH3T5aQQeZUoL/s1600/CIMG5579.JPG
TABIR ZAHRI
Dee Dee: helwyna@yahoo.com
Aku belum lama di Jakarta dan baru malam ini aku mencoba menyusuri jalan-jalan sekitaran Blok M. Malang nasibku, aku rupanya salah turun bis di wilayah Bulungan.
Telisik perlahan menggunakan aplikasi peta online, rupanya jarak antara Bulungan dan area yang kutuju tak begitu jauh. Baiklah, berjalan pun tak mengapa. Terlebih lagi angin tengah bersahabat sore ini, azan magrib belum juga berkumandang.
Cukuplah berjalan selama beberapa menit, juga menambah pengetahuanku akan Jakarta.
Salah belok sekali lagi dan kutemukan diriku berdiri di taman Ayodya sebelah jalan Mahakam. Walah, harusnya aku tadi lurus saja dan pasti aku sudah sampai.
Taman Ayodya cukup ramai sore ini, aku memutuskan beristirahat sejenak menikmati masa. Lama-kelamaan langit menggelap, saatnya aku kembali melangkah. Belum juga jauh melangkah, suara mengerang terdengar dari balik pohon besar tak jauh dariku. Khawatir ada apa-apa, aku memutuskan untuk mengecek.
Pemandangan yang kudapatkan sungguh tak terduga, seorang lelaki tengah disetubuhi oleh lelaki lain. Mulut tersumpal dan tangan si lelaki terikat sementara dia berkali-kali dinikmati. Aku yang terkejut bagaimana pun tidak bisa menahan diri dan memekik kecil.
Lelaki yang menyetubuhi menoleh, jelas terkejut melihatku, buru-buru menarik diri dan lari. Aku hanya dapat menepok jidat. Si lelaki yang disetubuhi otomatis terjerembab di tanah, lengkap dengan pantat telanjang.
Kasihan, aku pun membuka sumpalan mulutnya. Dia terlihat sangat malu dan meminta agar ikatan tangannya dibuka, aku menurut. Setelah dia bebas dan merapikan dirinya, dia pun menghampiriku yang duduk tak jauh dari lokasi kejadian perkara.
“Maaf pak, tadi pelanggan saya. Ga enak banget ya pak.”, ujarnya sembari duduk di sebelahku.
Oh, rupanya dia gigolo. Aku makin menepok jidatku. “Jangan salah paham ya, mas. Saya hanya kaget tadi, tidak ada niat mengganggu urusan kamu.”, balasku.
Dia hanya tersenyum lebar, memamerkan deretan gigi putih dan rapi. Kuamati, lelaki ini belum dewasa. Kemungkinan belum genap dua puluh tahun.
“Saya malah bersyukur tadi Bapak memekik, pelanggan tadi mainnya kasar Pak. Masa saya sempat dicekik”, dia terkekeh.
Ekspresi wajahku yang semakin mumet rupanya hanya membuat anak muda ini makin tertawa.
“Kalau dari gaya-gayanya, Bapak bukan dari wilayah sini nih? Jangan bilang Bapak nyasar?” tanyanya sembari mengamati aku. Dia benar dan seharusnya aku waspada terhadap pemuda macam dia. Namun, firasatku tidak memberikan tanda bahaya apa-apa, maka harusnya baik-baik saja bukan.
Suara azan berkumandang dan suara lirih mengikuti. Mataku liar mencari-cari asal suara dan betapa takjub sebab suara lirih tersebut berasal dari pemuda di sebelahku. Gigolo dan bersuara emas?
“Saya memang kotor menjual diri, Pak. Tetapi dahulu saya juara muazin di masjid dekat rumah saya”, ungkapnya polos.
Firasatku makin yakin kalau pemuda ini istimewa. Dia menawarkan tangan, “Saya Ari, Pak. Mari saya antar Bapak. Mau ke mana, Pak?”
Kusambut tangannya, memperkenalkan diri, dan kunyatakan tujuanku. Ari mengangguk dan mengantarku sampai ke tujuan. Belum lagi Ari berlalu, kutarik tangannya dan menawari makan malam bersama, dengan syarat dia menantiku selama setengah jam. Ari menyetujui dan aku pun menemuinya selepas urusanku selesai.
Kuputuskan mengajak dia makan di restoran sekitaran Blok M Plaza, kubebaskan dia memilih dan dia memilih restoran keluarga. Sembari makan malam, kami mengobrol seru. Firasatku sama sekali tidak salah.
Ari rupanya berasal dari keluarga yang cukup berada, namun kedua orang tuanya senantiasa bertengkar. Dia sudah belajar mengaji dan agama semenjak dia berusia 6 tahun, juga salah satu juara di setiap lomba MTQ di wilayah rumahnya.
Saat usianya menginjak 12 tahun, Ari tidak lagi sanggup dengar pertengkararan orangtuanya dan memutuskan untuk kabur.
Tidak memiliki uang dan saat berjualan koran selalu direbut penghasilannya, Ari mencoba untuk menjual diri. Penghasillan cukup lumayan dan dia senantiasa dilindungi oleh preman sekitaran Blok M di mana dia menjajakan diri. Mendengar kisah Ari, aku hanya terkesima.
“Kamu tidak ingin kembali ke keluargamu, Ari? Mungkin mereka sudah berubah?”, tanyaku. Wajah Ari memerah, “Ingin, tetapi malu. Boro-boro kembali ke keluarga, ke Tuhan saja saya malu”.
Aku menggelengkan kepala dan membuka tas, kukeluarkan seikat scarf kotak-kotak hitam-putih dan kusampirkan ke bahu Ari.
Kutarik keluar sejilid kitab suci, Al Quran, berukuran mini dan kukepalkan ke tangan Ari. “Jika kau mau kembali, Tuhan Maha Penyayang, Ari. Akan kubantu kamu, temui saja aku di taman Ayodya besok pukul enam sore ya”, kutepuk-tepuk kepala Ari perlahan.
Mata Ari mulai basah dan hanya mengangguk. Aku pun berlalu, berharap besok Ari sungguh datang, Aku tidak main-main untuk membantu dia.
Hari ini, aku kembali melangkahkan kaki ke taman Ayodya. Waktu menunjukkan pukul lima lebih tiga puluh menit, masih cukup untuk berjalan santai. Aku pun memilih bangku di mana aku duduk bersama Ari kemarin.
Saat menunggu, aku membuka lembaran kitab suci yang kubawa, turut berdoa akan kehadiran Ari. Kutetapkan akan menanti Ari hingga pukul delapan malam. Menit demi menit berlalu, kini sudah pukul enam lewat empat puluh lima menit. Tak kunjung terlihat batang hidung Ari, tak mengapa, toh aku sudah berniat menanti hingga pukul delapan malam.
Pukul tujuh lebih lima belas menit, matahari telah tenggelam dan taman Ayodya mulai disinari lampu-lampu besar nan temaram. Suara langkah kaki mendekatiku, berat namun pasti. Kemudian duduk tepat di sebelahku. Ari datang, dia membungkus dirinya dengan scarf yang kemarin kuberikan, tangannya erat mendekap kitab suci mini.
“Pak, Tuhan itu benar-benar Maha Pengasih, Pak?”, tanya Ari. Aku mengangguk dan tersenyum.
“Maaf saya terlambat, Pak. Saya tadi dihadang sebab diminta melayani, tapi saya menolak, Pak. Mereka tidak terima dan melakukan ini ke saya pak …, saya takut,” Ari menyingkap scarf dari dadanya dan kupandang Ari tidak percaya.
Sebilah pisau tertancap di situ, tepat di antara tulang rusuknya, kaus yang dikenakannya telah basah oleh darah. Ini jenis luka yang bila ditarik biang masalahnya, korban akan segera mati.
Oh Tuhan, pikiranku hampir liar melihat Ari. “Pak, nama saya Zahri, Pak. Bukan Ari, Pak. Semua mulai gelap, Pak. Bisa tuntun saya, Pak?”, pintanya, matanya mulai basah dengan air mata. Kugenggam tangan Zahri, kubisikkan dua kalimat di telinganya dan Zahri terbata-bata mengikuti, perlahan namun pasti.
Zahri tidak lagi berbicara, hanya matanya menyatakan dia masih ada. Aku sibuk menelepon polisi dan rumah sakit. Dia menggenggamkan secarik keras ke dalam tanganku dan perlahan kusaksikan kehidupan beranjak pergi dari tubuhnya.
Lima menit berlalu, polisi dan ambulans datang, membawa tubuh Zahri jauh dari taman Ayodya. Sementara aku menatap kertas pemberian Zahri, di dalamnya tertulis nama lengkap, nomor telepon dan alamat rumah.
Kuangkat telepon sekali lagi, memencet nomor sesuai kertas, dan memberitahu seorang perempuan di sisi lain bahwa putranya baru saja meninggalkan dunia.
Dee Dee terinspirasi dari karya @Idrus J. Eko
Cermin ini ada di majalah AN1MAGINE Volume 3 Nomor 9 September 2018 eMagazine Art and Science yang dapat di-download gratis di Play Store, share yaa
“Menerbitkan buku, komik, novel, buku teks atau
buku ajar, riset atau penelitian di jurnal? An1mage jawabnya”
AN1MAGINE BY AN1MAGE: Enlightening Open Mind Generations
AN1MAGE: Inspiring Creation Mind Enlightening
website an1mage.net www.an1mage.org
Comments
Post a Comment