CERMIN: AKAR PAHIT BERBUAH MANIS

https://goo.gl/bCSjWE

AKAR PAHIT BERBUAH MANIS
Jesica Clawdia Sri Karolina Tarigan Tambak: +6281388843282
Email: cjesica54@yahoo.com

Siye, dia seorang anak kecil yang tinggal dengan kakek dan neneknya. Usianya pada saat itu baru berumur 2 tahun.

Ayah dari anak tersebut sedang mengalami sakit yang cukup serius, sehingga harus menjalani perawatan yang panjang.

Tiga bulan berlalu ayah dari anak tersebut kembali ke tempat perantauan untuk melanjutkan pekerjaan dan mengurus keluarga kecilnya, tetapi anak kecil tersebut diminta oleh kakek dan nenek untuk tetap tinggal di kampung halaman ayahnya.

“Nak, maukah kamu tinggal dengan kakek dan nenek?” tanya sang ayah.

“Ya Ayah, aku ingin tinggal bersama dengan mereka,” jawab anak tersebut dan dia tinggal di kampung sementara sang ayah kembali ke perantauan.

Pertumbuhan anak tersebut sangat cepat menjadi gadis mungil yang lucu dan manis. Kini ia berumur lima tahun, namannya adalah Siye Hiela.

Semua orang menyayanginya di masa itu. Dia tinggal bersama nenek, kakek, paman dan dua bibinya. Sewaktu masih TK dia selalu diantar dan dijemput kakeknya, dia sangat menyayangi sang kakek.

Kakek selalu mengajaknya makan daging sepulang dari TK secara sembunyi-sembunyi agar tidak ketahuan nenek, karena apabila nenek tahu maka nenek bisa marah besar kepada kakek dan Siye. Pada saat itu hari-harinya terasa indah.

Suatu ketika di umurnya yang ke tujuh tahun sang kakek meninggal dunia. Kepergian sang kakek tidak langsung diberitahukan kepadanya.

“Siye! Kamu sudah pulang Nak?” tanya nenek dengan mata sembab.

Siye membalas pertanyaan nenek, “Nenek kenapa? Nenek menangis? Siapa yang membuat nenekku menagis? Ayo jawab Nek?” dengan perlahan nenek mengajak Siye dari pintu luar ke dalam rumah. Saat berjalan masuk, Siye bingung dengan kondisi rumah yang sangat ramai.

Perlahan nenek menjelaskan kepada anak kecil yang manis dan lugu itu, “Nak, kamu jangan sedih ya jika melihat kakek tak menjawab tanyamu di tidurnya yang panjang?”

Anak tersebut menjawab, “Nenek Siye tidak tahu apa yang Nenek katakan.”

Ketika berjalan masuk dan melihat ke arah ruang tamu anak tersebut melihat kakek yang tidur.

“Kakek! Siye  pulang, kok kakek gak jawab aku? Kakek marah karena Siye nakal ya?” Seketika Siye menyadari bahwa kakek telah tiada.

Siye tersontak berlari ke arah kakek yang terbaring kaku sambil berteriak dengan sekuat tenaga, “ Kakek! Kakek! Bangun …, Bangun …, Jangan tinggalin Siye!”

Tanpa henti anak itu menangis sekuat tenaga tidak  lagi memerhatikan orang lain di sekitarnya. Perasaan yang dialaminya seakan dunianya ikut kiamat karena rasa cintanya kepada sang kakek yang selalu menemani menjaga di setiap langkahnya.

Besok adalah hari penguburan kakeknya, dia mengiringi kepergian kakeknya dengan sangat sedih.

Pada saat pemakaman anak tersebut melemparkan tanah untuk perpisahan sambil berkata, “Kakek aku ingin ikut bersama, siapa temanku kalau Kakek tidak ada?” nenek langsung memeluk Siye.

“Jangan bicara seperti itu, Nenek juga temanmu,” tutur sang nenek dengan rasa sedih yang bercampur cinta.

Siye mencoba menerima untuk kepergian sang kakek. Siye belajar dengan giat walau dia tak sepintar anak yang lainnya. Tak jarang Siye sering di-bully oleh teman-temannya karena kurang pintar dan selalu diam termenung di sekolah.

Dia selalu mencoba untuk selalu bahagia di depan orang lain, karena takut nenek ikut sedih melihatnya.

Siye anak yang sangat perduli dengan orang lain. Dia selalu menolong orang yang membutuhkan pertolongan. Tapi paman selalu memarahinnya karena dia anak yang terlalu baik, alasan paman adalah paman takut Siye diganggu orang lain karena terlalu peduli dengan orang lain dan membuat malu.

Suatu ketika Siye membuat kesalahan saat paman sedang menjemur tempat tidur, Siye tanpa sadar memegang silet dan menggores-goreskan kain yang membalut tempat tidur yang dijemur.

Paman melihat kejadian itu, kemudian paman memanggil Siye dengan nada yang tinggi dan amarah yang meluap-luap, “Siye! Dasar anak bandel! Kenapa kamu silet kain ini ! Jawab? Dasar anak pungut!”

Siye terkejut dan menangis sambil berkata, “Kakek…” Siye tidak berhenti menangis dan paman semakin marah karena dia menangis, paman kemudian mendorongnya dan jatuh telungkup, setelah itu paman menginjak punggung Siye sambil berkata,“Diam!”

Setelah beberapa menit kemudian Siye diam dan duduk di sudut kamar sambil menunggu kepulangan nenek dari tempat temannya.

Anak kecil itu memiliki sikap yang mandiri namun jarang terlihat oleh orang lain sehingga dia dianggap anak pemalas. Setiap Sabtu dia selalu mencuci baju, sepatu dan kaus kaki sesudah pulang sekolah.

Tahun demi tahun berlalu, umur Siye sekarang 12 tahun, dia sering dipukul oleh paman setiap membuat kesalahan. Masa kecilnya hilang hanya mengikuti semua kenginan paman dan bibinya, tak jarang jadi tempat pelampiasan amarah mereka.

Suatu hari nenek mengalami sakit yang cukup hebat di bagian perut. Kemudian nenek dirawat di rumah sakit. Nenek didiagnosis terkena kanker.

Seminggu sesudah didiagnosis nenek berencana untuk berobat ke luar negeri. Sesudah selesai operasi dan kondisi pulih nenek kembali kerumah dan rawat jalan.

Tak sadar ternyata operasi nenek mengalami infeksi. Tiga hari di rawat di rumah sakit tenyata sia-sia, nenek meninggal dunia. Saat mengetahui itu semua keluarga menangis, Siye mulai ketakutan dan jiwanya tergoncang.

Siye mengalami banyak tekanan semasa hidupnya, dia pernah melakukan kesalahan kecil namun hukuman yang didapat tak setimpal, jauh lebih berat. Semua orang pasti akan mengetahui semua kesalahannya jika dia berbuat salah.

Terkadang Siye merasa malu atas cibiran tentang dirinya. Dunia seakan mengetahui betapa hina dirinya, tetapi semua itu tidak sesuai dengan fakta yang sebenarnya. Ketika dia dimarahi, dia tidak boleh tidur sampai jam tengah malam, dipukul bahkan dicaci maki.

Sekarang Siye sudah beranjak dewasa. Suatu saat Siye bertemu dengan seorang pemuda yang baik hati dan taat peraturan. Mereka bekenalan dan sering bertemu. Pemuda tersebut sangat menyayangi Siye karena sikapnya yang sangat mandiri dan terbuka kepada orang lain.

Ketika berjalannya hubungan pertemanan mereka, mereka mulai merasa nyaman satu sama lain sehingga mereka saling bercerita mengenai suka duka mereka sehari-hari.

Tanpa sadar mereka hampir sering bertemu bahkan sang pemuda dapat bercerita dengan sangat terbuka kepada Siye hingga menyucurkan air mata. Sang pemuda bercerita tentang ayahnya yang lama pergi meninggalkannya tanpa tahu ke mana.

Tak jarang Siye bercerita tentang dukanya juga, dia menceritakan tentang hidupnya yang kelam karena ditinggal oleh orang-orang yang disayanginya.

“Tahukah kamu aku dihujat di dunia ini, irisan ditubuhku mulai terasa tanpa mengeluarkan darah. Dahulu kau berjanji menyayangiku tanpa batas! Kau tak adil pergi tanpa bicara padaku!” Teriak Siye di pantai.

Hembusan angin mulai merasuk ketubuhnya sambil menangis mengenang kakek dan nenek yang selalu memanjakannya tetapi sekarang dia merasa tersiksa karena kebencian pamannya.

Spontan sang pemuda berdiri dari tempat duduknya dan kemudian memeluk Siye sambil berkata “Siye, sadar! Jangan terlalu gegabah orang lain akan mendengarmu.”

“Aku mengerti sakitnya kehilangan seseorang, tetapi aku juga menyayangimu dan mencintaimu.” Siye pun terkejut dengan perkataan sang pemuda itu kemudian dia merenung sejenak sambil memandang ke arah mata sang pemuda.

“Terima  kasih atas perhatianmu tapi aku sungguh bingung dengan perasaanku,” sahut Siye.

Sang pemuda pun berkata “Sudah tenangkan saja dulu dirimu, aku akan menjadi tempat untuk mendengar ceritamu”. Karena sudah mulai sore mereka kembali ke rumah mereka masing-masing.

Pada suatu hari paman berjalan keluar rumah dan mulai membersihkan sangkar burung peliharaan, ternyata pemuda tersebut datang ke rumahnya Paman Siye untuk bertemu dengan Siye.

Dia berkata, “Pak saya boleh bertemu dengan Siye tidak? Saya ingin menanyakan soal tugas sekolah?” paman tampak penasaran dan mulai memangil Siye.

“Siye... Ada seseorang mencarimu.” Tidak lama kemudian Siye keluar dan berbincang sebentar dengan sang pemuda.

Lima menit kemudian Siye masuk ke rumah dan kemudian permisi kepada paman, “Paman aku ingin mengerjakan tugas dengan teman-temanku. Apakah aku boleh keluar sebentar?” tanya Siye kepada paman yang sedang merawat burung kesayangannya.

Paman hanya menjawab,”Hm …, cepat pulang!” Siye lalu pergi dengan pemuda itu.

*

Paman duduk di teras rumah, saat itu beberapa orang tetangga lewat dan memanggil paman, “Pak! Tahu tidak?”

“Saya sering sekali melihat Siye jalan dengan seorang pemuda, dia bermesraan di depan umum seperti tidak tahu malu. Tolong ajari dong Pak nanti anak kami meniru hal yang salah.”

Kemudian paman pergi ke dalam rumah dan mulai memanggil Siye sambil mengambil sapu rumah yang terbuat dari kayu dan berteriak teriak. “Keluar dari kamar! Perempuan gak benar kau ya!” bentak paman.

Pada saat itu Siye tidak bisa menjelaskan apa pun, tidak ada yang percaya dengannya.

Dia mulai jenuh dan depresi dengan keadannya yang lebih sering mengalami pukulan dari paman, bahkan ayahnya tidak percaya lagi dengannya karena sering mendengar berita kalau dia selalu melakukan kesalahan.

Semalaman Siye memikirkan tentang hidupnya yang suram, orang yang membencinya lebih banyak daripada yang mencintainya.

Tanpa pikir panjang Siye pergi dari rumah paman dan mulai membangun jati dirinya dengan bekerja keras dan membuka usahanya sendiri.

Dia tidak hanya menjadi wanita yang sukses, namun dia juga menjadi wanita yang bijaksana dan penolong. Siya suka menolong anak yang kurang mampu dan yang berkebutuhan khusus.


Cermin ini ada di majalah AN1MAGINE Volume 3 Nomor 9 September 2018 eMagazine Art and Science yang dapat di-download gratis di Play Store, share yaa


“Menerbitkan buku, komik, novel, buku teks atau 
buku ajar, riset atau penelitian di jurnal? An1mage jawabnya”

AN1MAGINE BY AN1MAGE: Enlightening Open Mind Generations
AN1MAGE: Inspiring Creation Mind Enlightening 
website an1mage.net www.an1mage.org

Comments

Popular Posts

PARTNERS

Contact Form

Name

Email *

Message *