CERMIN: WAIT FOR A CHANGE
https://www.habkorea.net/wp-content/uploads/2018/04/Korean-school-uniform-rental-01.jpg
WAIT FOR A CHANGE
Vera Caroline Sribina Tarigan: +6282370781561
Email: jesikaclaudiatarigan@gmail.com
"Jangan lupakan *** ya!”
“Kring... Kring... Kring... ” Bunyi alarm membangunkanku dari mimpi. Pagi itu tidak seperti pagi biasanya yang cerah.
“Ah... hujan ini membuatku malas ke sekolah.” Keluhku sambil menatap keluar jendela kamarku. Segera aku tinggalkan rasa malas itu dan mulai bersiap-siap untuk pergi ke sekolah.
“Tae Hwon …, Lee Tae Hwon.” Mendengar teriakan itu, aku pun berhenti berjalan dan setengah tubuhku berbalik sambil memegang payung.
“Ada apa Choi Do?” Teriakku dari kejauhan. Segera Choi Do berlari menghampiriku.
“Ayo ke kelas bareng.” Kata Choi sambil tertawa kecil.
“Aku pikir ada hal yang ingin kau sampaikan. Sampai kau berlari begitu cepatnya.”
“Ya. Ada, tapi kau akan tahu nanti.” Balas Choi tersenyum dan tergesa-gesa. Aku penasaran, apa yang sebenarnya yang ingin diberi tahu Choi kepadaku.
Apa mungkin group kesukaanku datang ke sekolah kami seperti yang ada di acara televisi atau menjadi siswi baru di sekolah kami seperti di novel.
“Ah …, tidak mungkin!” Ucapku sambil menggelengkan kepala.
“Teng ...Tong ...Teng ... ”
Bunyi bel sekolah, menandakan bahwa semua siswa-siswa harus masuk kelas.
“Selamat pagi anak-anak.” Sapa Min Hye wali kelas kami.
“Kita hari ini kedatangan seseorang yang akan bergabung dengan kelas ini.” Lanjut Min Hye.
“Tuk ...Tuk ...Tuk .… ”
Suara sepatu melangkah ke kelasku. Seketika aku menundukkan kepala dan tidak mau mendengarkan apa pun.
“Annyeong... nama saya Go Daehi Rin.” Ucap siswi baru itu.
"Yah …, kupikir group kesayanganku." Ucapku, segera menyandarkan kepala di atas kedua tanganku di atas meja.
“Tae …, ini yang inginku beri tahu, tidakkah dia menawan menurutmu?” Bisik Choi dari belakangku sambil tersenyum.
“Aku lihat dia lebih menawan daripada group BP.” Lanjutnya.
“Apa kau buta, dia tidak sebanding dengan group BP di mataku.” Jawabku masih dengan posisi menyandarkan kepala.
“Dasar aneh.” Lirih Choi sambil kembali ke tempat duduknya.
“Baiklah Daehi kamu bisa duduk di samping Tae.” Ucap Min Hye.
“Tae sekarang kamu memiliki teman sebangku, baik-baiklah padanya” Lanjut Min Hye tersenyum.
“Baik Bu.” Jawabku lemas dan masih menunduk.
“Hai …, mari seperti sebelumnya.” ucap Deahi tersenyum. Aku hanya diam dan tidak menghiraukannya.
Suasana kelas pun hening dan mulai belajar. Aku merasa tidak nyaman dengan keberadaan wanita itu di sampingku. Saat mereka semua sibuk belajar, aku hanya fokus pada telepon genggamku.
"Apa yang kau lakukan Tae? Kau tidak mengerjakan soal-soal ini?" Tanya Daehi dengan raut wajah bingung. Aku tidak menjawab pertanyaannya, aku tidak menyukainya.
Semua siswi di kelas kami tidak ada yang mau berbicara denganku sementara dia berbicara padaku.
"Teng …, Tong …, Teng …."
"Tae kamu gak ke kantin?" tanya Choi menepuk bahuku.
"Ah... enggak aku gak lapar, kalian aja." Jawabku melihat wanita itu di samping Choi Do. Mereka akhirnya pergi ke kantin dan meninggalkanku di kelas.
Sambil menunggu waktu istirahat berakhir aku melihat-lihat semua isi beranda sosial mediaku.
Seketika mataku terbuka lebar dengan raut wajah terkejut. "Waw... BP akan comeback dalam waktu dekat." Ucapku lirih dan senang.
"Dae, kenapa kamu tidak sebangku dengan yang lain saja sepertinya Tae tidak memperlakukanmu dengan baik seperti sebelumnya." Ucap Choi prihatin.
"Aku tidak akan menyerah Choi." Balas Daehi sedih "Aku yakin aku dapat mengubahnya." Lanjut Daehi dengan senyuman percaya diri.
"Teng …,Tong …,Teng …. "
"Eh... sudah bel, ayo ke kelas Dae." Ajak Choi.
"Baiklah." Balas Daehi. Langkah demi langkah mereka lewati bersama menuju kelas.
"Gret …, " Suara bangku yang digeser Daehi di sebelahku.
"Tae, kau gak lapar? Kau mau roti ini?" ucap Daehi menyodorkan roti. Seperti biasa aku hanya diam dan sibuk dengan telepon genggamku.
"Baik anak-anak kita mulai pelajaran hari ini." Ucap seorang guru di depan kelas.
Kami memulai pelajaran dan aku hanya memikirkan apa yang sedang group BP lakukan dan judul lagu apa yang akan mereka bawakan nanti.
Selama jam pelajaran, Daehi selalu melirikku hingga membuat aku menjadi merasa semakin tidak nyaman.
"Teng …,Tong …,Teng …." Bunyi bel tanda waktu pulang ke rumah masing-masing.
"Tae, pulanglah bersamanya, rumah kalian berseberangan," ucap Choi.
"Apa? Dia tinggal tepat di seberang rumahku?" jawabku.
Ya, Daehi bilang dia tinggal di seberang rumahmu, kau bawa motorkan?" tanya Choi.
"Aku tidak lihat ada yang pindah ke depan rumahku kemarin." Pikirku terdiam.
"Hei Tae jawab dong!" seru Choi menyentak.
"Hah …, apa?" tanyaku bingung.
"Kau bawa motor? Antar dia pulang!" ucap Choi.
"Ah...tidak kau saja yang mengantarnya, kalian cocok kok," ucapku sedikit kesal.
"Hei …, kalian tidak pulang?" tanya Daehi yang baru selesai dari toilet.
"Daehi kau pucat, pulanglah bersama Tae, rumah kaliankan dekat." Ucap Choi khawatir dengan keadaan Daehi.
"Ak …, aku tidak bawa motor, kau saja yang antar Choi." Jawabku berbohong.
"Tidak apa-apa aku pulang sendiri saja." Ucap Daehi lemas. Segera Daehi mengambil tasnya dan bergegas meninggalkan aku dan Choi di kelas.
"Oh …, namanya Daehi." Ucapku dalam hati. Segera aku menyandang tasku dan akan memulai langkah pertamaku.
Tiba-tiba Choi menarikku dan berkata "Kau lupakan janjimu, kau sungguh tega Hwon, dalam keadaan seperti itu kau biarkan dia pulang sendiri." Aku pun memegang tangan Choi dan menghempaskannya.
"Jika kau suka dan peduli padanya, kenapa tidak kau saja yang mengantarnya pulang." Jawabku dengan amarah.
"Aku tidak membawa motor, Tae, kau seharusnya mengerti, dia tinggal berdekatan denganmu. Itu lebih efektif." Sahut Choi sambil meredakan amarahnya.
"Ya sudahlah, dia juga sudah pergi, kuharap dia baik-baik saja." Lanjut Choi khawatir. Kami pun keluar kelas bersama-sama menuju gerbang sekolah.
Sesampainya di parkiran segera aku tancap gas, dengan harapan sampai di rumah dengan cepat. Dalam perjalanan aku sudah berencana akan bermain game dan melihat seluruh penampilan group kesayanganku di Youtube. Ketika berencana, aku teringat pada ucapan Choi yang mengatakan aku lupakan janjiku. Aku bingung, aku berjanji tentang apa dan pada siapa.
"Jangan lupakan *** Ya!" Terlintas kata-kata itu di pikiranku hingga membuatku menarik pedal rem motorku dengan sangat keras. Aku pun berhenti di pinggir jalan.
"Mimpi itu sudah berkali-kali aku mimpikan. Siapa dia? Dan apa yang dia katakan saat itu? Aku tidak ingat sama sekali". Suara di benakku dengan raut wajahku yang penuh pertanyaan.
Tiba-tiba aku melihat Daehi berada di seberang jalan. Aku melihat dia jalan dengan tertatih-tatih.
Aku ingin memanggilnya, namun aku masih merasa kesal akan tingkahnya. Tidak disangka, tiba-tiba dia pingsan. Segera aku turun dari motor dan menghampirinya.
"Hei... kau kenapa? Hei …, bangun". Ucapku khawatir sambil mengguncangkan tubuhnya.
"Dia sudah tidak sadar lagi," ucapku lirih dengan khawatir. Segera aku mengangkatnya ke atas motorku dan melingkarkan kedua tangannya di pinggangku dan memegangnya karena takut terlepas. Dengan perlahan-lahan aku mengendarai motorku dan berharap bahwa dia tidak kenapa-kenapa.
Beberapa menit kemudian, kami pun sampai di depan rumah Daehi. Segera aku mengangkatnya dan mengetuk pintu rumahnya.
Seorang perempuan membuka pintu tersebut, aku pun tidak menghiraukannya dan langsung mengangkatnya ke dalam. Kubaringkan dia di atas Bangku panjang.
"Bu …, Ibu, Mamanya Daehi?" tanyaku pada perempuan yang membuka pintu rumahnya Daehi.
"Tidak, saya hanya pembantu di sini nak."
"Lalu, di mana orang tua Daehi?" tanyaku penasaran.
"Sejak umur 5 tahun Daehi hidup tanpa orang tuanya." Jawab ibu itu.
"Apa orang tuanya telah tiada Bu?". Bisikku dengan pelan.
"Panggil saya Bibik aja. Jadi orang tuanya meninggal saat kecelakaan mobil dan yang selamat hanya Non Daehi." Jawab ibu itu.
"Ternyata kami sama," Ucapku dalam hati.
"Oh... jadi begitu. Lalu, bagaimana dengan biaya hidupnya Bik?" tanyaku kembali.
"Setiap bulan dia mendapat kiriman dari tantenya" Jawab Bibik.
"Baiklah bik, saya pulang dulu ya. Kalau butuh bantuan, rumah saya di seberang ya bik." Ucapku.
Segera aku mengendarai motorku menuju rumah. Sesampainya di rumah, aku berlari menuju kamarku. Melihat tempat tidur di hadapanku, aku pun merebahkan tubuhku di atasnya.
Terlintas di benakku tentang janji itu, dan mimpi itu. Kedua hal itu tidak berhenti berputar dalam pikiranku hingga aku tertidur.
"Dring...Dring...Dring..."
Bunyi telepon membangunkanku. Aku pun terbangun dan menerima panggilan dari Choi.
"Halo... ada apa Choi?" tanyaku.
"Tae segera datang ke Severance Hospital." Seru Choi panik sambil mengendarai motor.
"Untuk apa? Ada apa? Siapa yang sakit? Kau menabrak orang lagi?" Jawabku panik.
"Tidak ada waktu lagi. Nanti kau akan tahu. Segera berangkat Tae!" ucap Choi, kemudian meng-off-kan teleponnya.
Segera aku mengganti pakaian dan bergegas pergi. Selama perjalanan aku tidak berhenti memikirkan kejadian yang terjadi akhir-akhir ini.
Mulai dari kejadian dalam mimpi, tentang janji, hingga harus pergi ke rumah sakit.
Sesampainya di rumah sakit, segera aku menelpon Choi, "Halo...Choi, aku sudah sampai, sekarang aku harus ke mana?" tanyaku bingung.
"Kita bertemu di resepsionis," ucap Choi.
"Baiklah," Jawabku. Kemudian aku memarkirkan motor dan segera menuju resepsionis.
Beberapa saat kemudian, Choi datang dan memanduku ke suatu ruangan.
"Bukalah," ucap Choi.
Perlahan-lahan kubuka pintu kamar itu. Terlihat seseorang terbaring tidak berdaya di atas tempat tidur rumah sakit. Setelah aku mendekatinya ternyata seseorang yang berbaring di sana adalah Daehi.
"Hei …, Choi apa maksudmu membawaku ke sini?" tanyaku bingung.
"Tidakkah kau lihat siapa di atas tempat tidur itu Tae?" tanya Choi tidak menjawab pertanyaanku.
"Daehi …, Apa sangkut pautnya denganku?" tanyaku sedikit kesal.
"Tae bukankah nama lengkapmu Lee Tae Hwon?" ucap Daehi lemas.
"Ya, lalu kenapa?" tanyaku dengan ekspresi bingung.
"Kau ingat anak bernama Rin?" tanya Daehi kembali. Sesaat mendengar nama itu aku terdiam. Tiba-tiba ucapan dalam mimpiku tersusun sempurna.
"Jangan lupakan aku ya!".
"Aku janji Rin."
Teringatku dialog dua orang anak di dalam mimpiku.
"Nama itu pernah aku ucapkan pada seorang anak perempuan dalam mimpiku," ucapku pada Daehi.
"Tae... nama lengkap Daehi adalah Go Daehi Rin," ucap Choi
"Lalu, apa sangkut pautnya dengan anak bernama Rin?" jawabku kebingungan.
"Tunggu …, nama belakangmu mirip dengan anak itu," ucapku pada Daehi.
"Aku kecewa padamu Tae. Kau melupakan janjimu." Ucap Daehi menangis. Seketika aku terdiam mendengar ucapan Daehi. Kupikir itu hanya mimpi saja, ternyata itu pernah terjadi.
Aku baru ingat bahwa saat aku kecil dulu, aku hanya memiliki seorang teman di dekat rumahku sebelum aku pindah ke daerah rumahku sekarang.
Dulu tidak ada yang ingin menemaniku, karena bagi mereka aku terlalu culun untuk menjadi teman mereka.
Tiba-tiba Daehi sesak napas, aku pun mulai tersadar dari pikiranku. Secepat mungkin Choi berlari memanggil dokter. Beberapa menit kemudian, dokter datang dan kami harus menunggu di luar kamar.
"Choi bagaimana kau tahu bahwa Rin adalah Daehi." Tanyaku.
"Beberapa bulan lalu, Daehi mengirimku pesan melalui akun Facebook." Ucap Choi.
"Kalian sudah kenal sebelumnya?" tanyaku penasaran.
"Tidak, kami belum pernah kenal sebelumnya, dia mendapatkan akunku dari daftar teman yang kau miliki di akun Facebookmu Tae."
"Temanku di Facebook ada banyak. Apa mungkin dia mengirim pesan kepada mereka semua?"
"Awalnya aku juga berpikir seperti itu, tapi katanya hanya aku teman di Facebookmu yang satu sekolah denganmu, selebihnya orang luar negeri dan tidak satu sekolah dengan kita." Jawab Choi.
"Lalu, Dae cerita, dulu kau tidak memiliki teman selain dia. Dia juga bilang kau pernah berjanji tidak melupakan pertemanan kalian ….”
“..., tapi ternyata kau melupakan dia. Dia pernah mengirimmu beberapa pesan melalui Facebook dan Instagram, tapi kau mengabaikan pesannya." Lanjut Choi.
Sejenak aku terdiam memikirkan tentang pesan yang pernah aku terima lewat dua akun itu.
"Apa kau ingat pesan yang dikirimnya Tae?" Tanya Choi.
"Aku ingat sekarang."
"Lalu kenapa kau tidak membalasnya pada saat itu?" tanya Choi sedikit kesal.
"Aku tidak ingin membalasnya karena aku merasa tidak mengenal namanya. Aku hanya fokus pada hal-hal yang dilakukan group BP tentang konser dan comebacknya mereka." Jawabku sambil mengerutkan dahi.
Tiba-tiba dokter keluar dari kamar Daehi dirawat dan berkata "Keadaannya semakin buruk, kemungkinan sangat kecil baginya untuk bertahan lebih lama," ucap dokter dengan ekspresi sedih.
"Sekarang dia masih tidak sadarkan diri, semangatilah dia saat sudah siuman, agar lebih semangat," lanjut dokter.
"Baik Dok." Jawab Choi. Kami pun segera masuk ke kamar rawat Daehi. Saat kami sudah berada di dalam kamar rawat, ternyata Daehi sedang tertidur. Mungkin dia masih dalam pengaruh obat bius.
"Daehi adalah Rin, tapi wajahnya berbeda dengan dia saat kecil dulu, sampai aku tidak mengenalinya." Pikirku.
"Tae …," panggil Choi mengalihkan tatapan kosongku.
"Ya …," jawabku sedikit terkejut.
"Setelah aku pikir-pikir kau harus berubah Tae."
"Apa maksudmu?" jawabku sinis.
"Dari awal kita berteman hingga sekarang kau tidak pernah peduli pada sekitarmu, bahkan untuk dirimu sendiri saja kau tidak perduli. Kau lebih mementingkan apa saja yang ada di setiap akun media sosialmu ….”
“ …, tentang pertemanan dan masa depanmu saja kau abaikan. Kau lebih memilih bermain game, melihat seluruh video dan foto BP daripada belajar ….”
“..., saat ini saja kau lihat teman masa kecilmu terbaring sakit, tapi kau tidak bertanya dia sedang sakit apa." Jelas Choi dengan perlahan padaku.
Mendengar perkataan Choi membuatku terdiam. Aku baru sadar bahwa aku sebenarnya tidak perduli sekitarku dan hanya sibuk dengan dunia sosial mediaku.
"Choi …, sebenarnya dia sakit apa?" tanyaku lirih dengan rasa menyesal.
"Kenapa baru sekarang Tae. Dia sakit Leukemia. Stadium akhir." Balas Choi dengan ekspresi sedih.
Seketika air mataku menetes dan terdiam mendengar ucapan Choi. Segera aku meninggalkan ruangan itu sambil menutupi air mataku yang mengalir.
"Sudahlah Tae, ayo kita ke dalam, Dae sudah siuman," ucap Choi sambil menepuk bahuku. Kami pun masuk ke kamar rawat Daehi.
Setelah aku sudah masuk ke dalam, Daehi tersenyum dan berkata,"Tae duduklah di sebelahku. Ada yang ingin ku sampaikan."
Mendengar ucapan Daehi, aku segera menghampirinya. "Tae, kau tahu? Kalau aku ke sini hanya ingin bertemu denganmu untuk terakhir kalinya, walaupun aku tahu untuk membuatmu ingat padaku tidaklah mudah.”
“Aku selama ini mencari banyak informasi tentang kamu melalui Choi. Aku ingin kau berubah, kau harus berbaur dengan sekitarmu dan tidak merasa dikucilkan. Jadilah orang yang berani,Tae." Ucap Daehi dengan posisi duduk di atas tempat tidur.
"Tae berjanjilah untuk tidak menjadi penyendiri dan lakukan segala yang kamu suka bersama teman-temanmu dan tidak melupakan aku." Lanjut Daehi mengulurkan jari kelingkingnya sambil tersenyum.
Mendengar ucapan Daehi membuatku meneteskan air mata. Kugapai uluran jari kelingkingnya dengan jari kelingkungku sambil berkata,"Ya, Rin."
Segera kupeluk Daehi. Tiba-tiba aku merasa Daehi terasa berat. Ternyata Daehi pingsan. Melihat keadaan Daehi, Choi berlari ke luar ruangan dan berteriak memanggil dokter.
Aku melepaskan pelukanku dari Daehi dan terdiam. Setelah dokter datang, segera Choi membawaku keluar.
Aku tidak dapat melakukan apa pun. Aku merasa sangat bersalah pada Daehi. Seandainya aku membalas pesan yang Daehi kirim sebelumnya, pasti aku tidak semenyesal ini. Hatiku terasa hancur, dan napasku terasa sesak.
Tiba-tiba dokter keluar dari kamar rawat Daehi. Segera aku, Choi, dan Bibik menghampirinya.
"Dok, bagaimana kedaan Rin." Kataku dengan ekspresi khawatir.
"Maafkan kami, tapi pasien tidak dapat diselamatkan. Kami sudah berusaha semaksimal mungkin. Sekali lagi maafkan kami." Ucap dokter memelas.
Mendengar perkataan dokter, aku segera berlari menghampiri Daehi,"Rin …, aku masih belum melakukan banyak hal bersamamu. Aku juga belum mengatakan MAAFKAN AKU," ucapku memeluknya dan menangis.
"Sudahlah Tae, dia telah pergi dan sudah tenang. Aku juga yakin dia telah memaafkanmu," ucap Choi berusaha menguatkanku.
Keesokan harinya aku mulai menjalani hidupku sesuai janjiku pada Rin. Setiap kali aku bangun pagi, aku menatap langit dari jendela kamarku. Hari ini aku sekolah tanpa Rin yang duduk di sebelahku.
Aku mulai menjalani hidup tanpa terobsesi dengan group BP lagi, walaupun aku sedikit melihat-lihat perkembangannya dan datang ke konsernya. Aku mulai memiliki banyak teman dan menjadi juara umum di sekolah.
Setelah tamat sekolah aku lulus seleksi masuk ke universitas terbaik. Aku juga ikut mendaftar sebagai anggota group di dunia hiburan seperti BP. Sekarang aku menjadi seorang idola banyak orang dan kuliah di universitas ternama.
"Rin …, aku tidak lagi seperti dulu. Sekarang aku punya banyak teman dan banyak orang yang menyayangiku. Aku sudah menepati janjiku Rin," ucapku dalam hati sambil menatap langit biru yang cerah.
Cermin ini ada di majalah AN1MAGINE Volume 3 Nomor 9 September 2018 eMagazine Art and Science yang dapat di-download gratis di Play Store, share yaa
WAIT FOR A CHANGE
Vera Caroline Sribina Tarigan: +6282370781561
Email: jesikaclaudiatarigan@gmail.com
"Jangan lupakan *** ya!”
“Kring... Kring... Kring... ” Bunyi alarm membangunkanku dari mimpi. Pagi itu tidak seperti pagi biasanya yang cerah.
“Ah... hujan ini membuatku malas ke sekolah.” Keluhku sambil menatap keluar jendela kamarku. Segera aku tinggalkan rasa malas itu dan mulai bersiap-siap untuk pergi ke sekolah.
“Tae Hwon …, Lee Tae Hwon.” Mendengar teriakan itu, aku pun berhenti berjalan dan setengah tubuhku berbalik sambil memegang payung.
“Ada apa Choi Do?” Teriakku dari kejauhan. Segera Choi Do berlari menghampiriku.
“Ayo ke kelas bareng.” Kata Choi sambil tertawa kecil.
“Aku pikir ada hal yang ingin kau sampaikan. Sampai kau berlari begitu cepatnya.”
“Ya. Ada, tapi kau akan tahu nanti.” Balas Choi tersenyum dan tergesa-gesa. Aku penasaran, apa yang sebenarnya yang ingin diberi tahu Choi kepadaku.
Apa mungkin group kesukaanku datang ke sekolah kami seperti yang ada di acara televisi atau menjadi siswi baru di sekolah kami seperti di novel.
“Ah …, tidak mungkin!” Ucapku sambil menggelengkan kepala.
“Teng ...Tong ...Teng ... ”
Bunyi bel sekolah, menandakan bahwa semua siswa-siswa harus masuk kelas.
“Selamat pagi anak-anak.” Sapa Min Hye wali kelas kami.
“Kita hari ini kedatangan seseorang yang akan bergabung dengan kelas ini.” Lanjut Min Hye.
“Tuk ...Tuk ...Tuk .… ”
Suara sepatu melangkah ke kelasku. Seketika aku menundukkan kepala dan tidak mau mendengarkan apa pun.
“Annyeong... nama saya Go Daehi Rin.” Ucap siswi baru itu.
"Yah …, kupikir group kesayanganku." Ucapku, segera menyandarkan kepala di atas kedua tanganku di atas meja.
“Tae …, ini yang inginku beri tahu, tidakkah dia menawan menurutmu?” Bisik Choi dari belakangku sambil tersenyum.
“Aku lihat dia lebih menawan daripada group BP.” Lanjutnya.
“Apa kau buta, dia tidak sebanding dengan group BP di mataku.” Jawabku masih dengan posisi menyandarkan kepala.
“Dasar aneh.” Lirih Choi sambil kembali ke tempat duduknya.
“Baiklah Daehi kamu bisa duduk di samping Tae.” Ucap Min Hye.
“Tae sekarang kamu memiliki teman sebangku, baik-baiklah padanya” Lanjut Min Hye tersenyum.
“Baik Bu.” Jawabku lemas dan masih menunduk.
“Hai …, mari seperti sebelumnya.” ucap Deahi tersenyum. Aku hanya diam dan tidak menghiraukannya.
Suasana kelas pun hening dan mulai belajar. Aku merasa tidak nyaman dengan keberadaan wanita itu di sampingku. Saat mereka semua sibuk belajar, aku hanya fokus pada telepon genggamku.
"Apa yang kau lakukan Tae? Kau tidak mengerjakan soal-soal ini?" Tanya Daehi dengan raut wajah bingung. Aku tidak menjawab pertanyaannya, aku tidak menyukainya.
Semua siswi di kelas kami tidak ada yang mau berbicara denganku sementara dia berbicara padaku.
"Teng …, Tong …, Teng …."
"Tae kamu gak ke kantin?" tanya Choi menepuk bahuku.
"Ah... enggak aku gak lapar, kalian aja." Jawabku melihat wanita itu di samping Choi Do. Mereka akhirnya pergi ke kantin dan meninggalkanku di kelas.
Sambil menunggu waktu istirahat berakhir aku melihat-lihat semua isi beranda sosial mediaku.
Seketika mataku terbuka lebar dengan raut wajah terkejut. "Waw... BP akan comeback dalam waktu dekat." Ucapku lirih dan senang.
"Dae, kenapa kamu tidak sebangku dengan yang lain saja sepertinya Tae tidak memperlakukanmu dengan baik seperti sebelumnya." Ucap Choi prihatin.
"Aku tidak akan menyerah Choi." Balas Daehi sedih "Aku yakin aku dapat mengubahnya." Lanjut Daehi dengan senyuman percaya diri.
"Teng …,Tong …,Teng …. "
"Eh... sudah bel, ayo ke kelas Dae." Ajak Choi.
"Baiklah." Balas Daehi. Langkah demi langkah mereka lewati bersama menuju kelas.
"Gret …, " Suara bangku yang digeser Daehi di sebelahku.
"Tae, kau gak lapar? Kau mau roti ini?" ucap Daehi menyodorkan roti. Seperti biasa aku hanya diam dan sibuk dengan telepon genggamku.
"Baik anak-anak kita mulai pelajaran hari ini." Ucap seorang guru di depan kelas.
Kami memulai pelajaran dan aku hanya memikirkan apa yang sedang group BP lakukan dan judul lagu apa yang akan mereka bawakan nanti.
Selama jam pelajaran, Daehi selalu melirikku hingga membuat aku menjadi merasa semakin tidak nyaman.
"Teng …,Tong …,Teng …." Bunyi bel tanda waktu pulang ke rumah masing-masing.
"Tae, pulanglah bersamanya, rumah kalian berseberangan," ucap Choi.
"Apa? Dia tinggal tepat di seberang rumahku?" jawabku.
Ya, Daehi bilang dia tinggal di seberang rumahmu, kau bawa motorkan?" tanya Choi.
"Aku tidak lihat ada yang pindah ke depan rumahku kemarin." Pikirku terdiam.
"Hei Tae jawab dong!" seru Choi menyentak.
"Hah …, apa?" tanyaku bingung.
"Kau bawa motor? Antar dia pulang!" ucap Choi.
"Ah...tidak kau saja yang mengantarnya, kalian cocok kok," ucapku sedikit kesal.
"Hei …, kalian tidak pulang?" tanya Daehi yang baru selesai dari toilet.
"Daehi kau pucat, pulanglah bersama Tae, rumah kaliankan dekat." Ucap Choi khawatir dengan keadaan Daehi.
"Ak …, aku tidak bawa motor, kau saja yang antar Choi." Jawabku berbohong.
"Tidak apa-apa aku pulang sendiri saja." Ucap Daehi lemas. Segera Daehi mengambil tasnya dan bergegas meninggalkan aku dan Choi di kelas.
"Oh …, namanya Daehi." Ucapku dalam hati. Segera aku menyandang tasku dan akan memulai langkah pertamaku.
Tiba-tiba Choi menarikku dan berkata "Kau lupakan janjimu, kau sungguh tega Hwon, dalam keadaan seperti itu kau biarkan dia pulang sendiri." Aku pun memegang tangan Choi dan menghempaskannya.
"Jika kau suka dan peduli padanya, kenapa tidak kau saja yang mengantarnya pulang." Jawabku dengan amarah.
"Aku tidak membawa motor, Tae, kau seharusnya mengerti, dia tinggal berdekatan denganmu. Itu lebih efektif." Sahut Choi sambil meredakan amarahnya.
"Ya sudahlah, dia juga sudah pergi, kuharap dia baik-baik saja." Lanjut Choi khawatir. Kami pun keluar kelas bersama-sama menuju gerbang sekolah.
Sesampainya di parkiran segera aku tancap gas, dengan harapan sampai di rumah dengan cepat. Dalam perjalanan aku sudah berencana akan bermain game dan melihat seluruh penampilan group kesayanganku di Youtube. Ketika berencana, aku teringat pada ucapan Choi yang mengatakan aku lupakan janjiku. Aku bingung, aku berjanji tentang apa dan pada siapa.
"Jangan lupakan *** Ya!" Terlintas kata-kata itu di pikiranku hingga membuatku menarik pedal rem motorku dengan sangat keras. Aku pun berhenti di pinggir jalan.
"Mimpi itu sudah berkali-kali aku mimpikan. Siapa dia? Dan apa yang dia katakan saat itu? Aku tidak ingat sama sekali". Suara di benakku dengan raut wajahku yang penuh pertanyaan.
Tiba-tiba aku melihat Daehi berada di seberang jalan. Aku melihat dia jalan dengan tertatih-tatih.
Aku ingin memanggilnya, namun aku masih merasa kesal akan tingkahnya. Tidak disangka, tiba-tiba dia pingsan. Segera aku turun dari motor dan menghampirinya.
"Hei... kau kenapa? Hei …, bangun". Ucapku khawatir sambil mengguncangkan tubuhnya.
"Dia sudah tidak sadar lagi," ucapku lirih dengan khawatir. Segera aku mengangkatnya ke atas motorku dan melingkarkan kedua tangannya di pinggangku dan memegangnya karena takut terlepas. Dengan perlahan-lahan aku mengendarai motorku dan berharap bahwa dia tidak kenapa-kenapa.
Beberapa menit kemudian, kami pun sampai di depan rumah Daehi. Segera aku mengangkatnya dan mengetuk pintu rumahnya.
Seorang perempuan membuka pintu tersebut, aku pun tidak menghiraukannya dan langsung mengangkatnya ke dalam. Kubaringkan dia di atas Bangku panjang.
"Bu …, Ibu, Mamanya Daehi?" tanyaku pada perempuan yang membuka pintu rumahnya Daehi.
"Tidak, saya hanya pembantu di sini nak."
"Lalu, di mana orang tua Daehi?" tanyaku penasaran.
"Sejak umur 5 tahun Daehi hidup tanpa orang tuanya." Jawab ibu itu.
"Apa orang tuanya telah tiada Bu?". Bisikku dengan pelan.
"Panggil saya Bibik aja. Jadi orang tuanya meninggal saat kecelakaan mobil dan yang selamat hanya Non Daehi." Jawab ibu itu.
"Ternyata kami sama," Ucapku dalam hati.
"Oh... jadi begitu. Lalu, bagaimana dengan biaya hidupnya Bik?" tanyaku kembali.
"Setiap bulan dia mendapat kiriman dari tantenya" Jawab Bibik.
"Baiklah bik, saya pulang dulu ya. Kalau butuh bantuan, rumah saya di seberang ya bik." Ucapku.
Segera aku mengendarai motorku menuju rumah. Sesampainya di rumah, aku berlari menuju kamarku. Melihat tempat tidur di hadapanku, aku pun merebahkan tubuhku di atasnya.
Terlintas di benakku tentang janji itu, dan mimpi itu. Kedua hal itu tidak berhenti berputar dalam pikiranku hingga aku tertidur.
"Dring...Dring...Dring..."
Bunyi telepon membangunkanku. Aku pun terbangun dan menerima panggilan dari Choi.
"Halo... ada apa Choi?" tanyaku.
"Tae segera datang ke Severance Hospital." Seru Choi panik sambil mengendarai motor.
"Untuk apa? Ada apa? Siapa yang sakit? Kau menabrak orang lagi?" Jawabku panik.
"Tidak ada waktu lagi. Nanti kau akan tahu. Segera berangkat Tae!" ucap Choi, kemudian meng-off-kan teleponnya.
Segera aku mengganti pakaian dan bergegas pergi. Selama perjalanan aku tidak berhenti memikirkan kejadian yang terjadi akhir-akhir ini.
Mulai dari kejadian dalam mimpi, tentang janji, hingga harus pergi ke rumah sakit.
Sesampainya di rumah sakit, segera aku menelpon Choi, "Halo...Choi, aku sudah sampai, sekarang aku harus ke mana?" tanyaku bingung.
"Kita bertemu di resepsionis," ucap Choi.
"Baiklah," Jawabku. Kemudian aku memarkirkan motor dan segera menuju resepsionis.
Beberapa saat kemudian, Choi datang dan memanduku ke suatu ruangan.
"Bukalah," ucap Choi.
Perlahan-lahan kubuka pintu kamar itu. Terlihat seseorang terbaring tidak berdaya di atas tempat tidur rumah sakit. Setelah aku mendekatinya ternyata seseorang yang berbaring di sana adalah Daehi.
"Hei …, Choi apa maksudmu membawaku ke sini?" tanyaku bingung.
"Tidakkah kau lihat siapa di atas tempat tidur itu Tae?" tanya Choi tidak menjawab pertanyaanku.
"Daehi …, Apa sangkut pautnya denganku?" tanyaku sedikit kesal.
"Tae bukankah nama lengkapmu Lee Tae Hwon?" ucap Daehi lemas.
"Ya, lalu kenapa?" tanyaku dengan ekspresi bingung.
"Kau ingat anak bernama Rin?" tanya Daehi kembali. Sesaat mendengar nama itu aku terdiam. Tiba-tiba ucapan dalam mimpiku tersusun sempurna.
"Jangan lupakan aku ya!".
"Aku janji Rin."
Teringatku dialog dua orang anak di dalam mimpiku.
"Nama itu pernah aku ucapkan pada seorang anak perempuan dalam mimpiku," ucapku pada Daehi.
"Tae... nama lengkap Daehi adalah Go Daehi Rin," ucap Choi
"Lalu, apa sangkut pautnya dengan anak bernama Rin?" jawabku kebingungan.
"Tunggu …, nama belakangmu mirip dengan anak itu," ucapku pada Daehi.
"Aku kecewa padamu Tae. Kau melupakan janjimu." Ucap Daehi menangis. Seketika aku terdiam mendengar ucapan Daehi. Kupikir itu hanya mimpi saja, ternyata itu pernah terjadi.
Aku baru ingat bahwa saat aku kecil dulu, aku hanya memiliki seorang teman di dekat rumahku sebelum aku pindah ke daerah rumahku sekarang.
Dulu tidak ada yang ingin menemaniku, karena bagi mereka aku terlalu culun untuk menjadi teman mereka.
Tiba-tiba Daehi sesak napas, aku pun mulai tersadar dari pikiranku. Secepat mungkin Choi berlari memanggil dokter. Beberapa menit kemudian, dokter datang dan kami harus menunggu di luar kamar.
"Choi bagaimana kau tahu bahwa Rin adalah Daehi." Tanyaku.
"Beberapa bulan lalu, Daehi mengirimku pesan melalui akun Facebook." Ucap Choi.
"Kalian sudah kenal sebelumnya?" tanyaku penasaran.
"Tidak, kami belum pernah kenal sebelumnya, dia mendapatkan akunku dari daftar teman yang kau miliki di akun Facebookmu Tae."
"Temanku di Facebook ada banyak. Apa mungkin dia mengirim pesan kepada mereka semua?"
"Awalnya aku juga berpikir seperti itu, tapi katanya hanya aku teman di Facebookmu yang satu sekolah denganmu, selebihnya orang luar negeri dan tidak satu sekolah dengan kita." Jawab Choi.
"Lalu, Dae cerita, dulu kau tidak memiliki teman selain dia. Dia juga bilang kau pernah berjanji tidak melupakan pertemanan kalian ….”
“..., tapi ternyata kau melupakan dia. Dia pernah mengirimmu beberapa pesan melalui Facebook dan Instagram, tapi kau mengabaikan pesannya." Lanjut Choi.
Sejenak aku terdiam memikirkan tentang pesan yang pernah aku terima lewat dua akun itu.
"Apa kau ingat pesan yang dikirimnya Tae?" Tanya Choi.
"Aku ingat sekarang."
"Lalu kenapa kau tidak membalasnya pada saat itu?" tanya Choi sedikit kesal.
"Aku tidak ingin membalasnya karena aku merasa tidak mengenal namanya. Aku hanya fokus pada hal-hal yang dilakukan group BP tentang konser dan comebacknya mereka." Jawabku sambil mengerutkan dahi.
Tiba-tiba dokter keluar dari kamar Daehi dirawat dan berkata "Keadaannya semakin buruk, kemungkinan sangat kecil baginya untuk bertahan lebih lama," ucap dokter dengan ekspresi sedih.
"Sekarang dia masih tidak sadarkan diri, semangatilah dia saat sudah siuman, agar lebih semangat," lanjut dokter.
"Baik Dok." Jawab Choi. Kami pun segera masuk ke kamar rawat Daehi. Saat kami sudah berada di dalam kamar rawat, ternyata Daehi sedang tertidur. Mungkin dia masih dalam pengaruh obat bius.
"Daehi adalah Rin, tapi wajahnya berbeda dengan dia saat kecil dulu, sampai aku tidak mengenalinya." Pikirku.
"Tae …," panggil Choi mengalihkan tatapan kosongku.
"Ya …," jawabku sedikit terkejut.
"Setelah aku pikir-pikir kau harus berubah Tae."
"Apa maksudmu?" jawabku sinis.
"Dari awal kita berteman hingga sekarang kau tidak pernah peduli pada sekitarmu, bahkan untuk dirimu sendiri saja kau tidak perduli. Kau lebih mementingkan apa saja yang ada di setiap akun media sosialmu ….”
“ …, tentang pertemanan dan masa depanmu saja kau abaikan. Kau lebih memilih bermain game, melihat seluruh video dan foto BP daripada belajar ….”
“..., saat ini saja kau lihat teman masa kecilmu terbaring sakit, tapi kau tidak bertanya dia sedang sakit apa." Jelas Choi dengan perlahan padaku.
Mendengar perkataan Choi membuatku terdiam. Aku baru sadar bahwa aku sebenarnya tidak perduli sekitarku dan hanya sibuk dengan dunia sosial mediaku.
"Choi …, sebenarnya dia sakit apa?" tanyaku lirih dengan rasa menyesal.
"Kenapa baru sekarang Tae. Dia sakit Leukemia. Stadium akhir." Balas Choi dengan ekspresi sedih.
Seketika air mataku menetes dan terdiam mendengar ucapan Choi. Segera aku meninggalkan ruangan itu sambil menutupi air mataku yang mengalir.
"Sudahlah Tae, ayo kita ke dalam, Dae sudah siuman," ucap Choi sambil menepuk bahuku. Kami pun masuk ke kamar rawat Daehi.
Setelah aku sudah masuk ke dalam, Daehi tersenyum dan berkata,"Tae duduklah di sebelahku. Ada yang ingin ku sampaikan."
Mendengar ucapan Daehi, aku segera menghampirinya. "Tae, kau tahu? Kalau aku ke sini hanya ingin bertemu denganmu untuk terakhir kalinya, walaupun aku tahu untuk membuatmu ingat padaku tidaklah mudah.”
“Aku selama ini mencari banyak informasi tentang kamu melalui Choi. Aku ingin kau berubah, kau harus berbaur dengan sekitarmu dan tidak merasa dikucilkan. Jadilah orang yang berani,Tae." Ucap Daehi dengan posisi duduk di atas tempat tidur.
"Tae berjanjilah untuk tidak menjadi penyendiri dan lakukan segala yang kamu suka bersama teman-temanmu dan tidak melupakan aku." Lanjut Daehi mengulurkan jari kelingkingnya sambil tersenyum.
Mendengar ucapan Daehi membuatku meneteskan air mata. Kugapai uluran jari kelingkingnya dengan jari kelingkungku sambil berkata,"Ya, Rin."
Segera kupeluk Daehi. Tiba-tiba aku merasa Daehi terasa berat. Ternyata Daehi pingsan. Melihat keadaan Daehi, Choi berlari ke luar ruangan dan berteriak memanggil dokter.
Aku melepaskan pelukanku dari Daehi dan terdiam. Setelah dokter datang, segera Choi membawaku keluar.
Aku tidak dapat melakukan apa pun. Aku merasa sangat bersalah pada Daehi. Seandainya aku membalas pesan yang Daehi kirim sebelumnya, pasti aku tidak semenyesal ini. Hatiku terasa hancur, dan napasku terasa sesak.
Tiba-tiba dokter keluar dari kamar rawat Daehi. Segera aku, Choi, dan Bibik menghampirinya.
"Dok, bagaimana kedaan Rin." Kataku dengan ekspresi khawatir.
"Maafkan kami, tapi pasien tidak dapat diselamatkan. Kami sudah berusaha semaksimal mungkin. Sekali lagi maafkan kami." Ucap dokter memelas.
Mendengar perkataan dokter, aku segera berlari menghampiri Daehi,"Rin …, aku masih belum melakukan banyak hal bersamamu. Aku juga belum mengatakan MAAFKAN AKU," ucapku memeluknya dan menangis.
"Sudahlah Tae, dia telah pergi dan sudah tenang. Aku juga yakin dia telah memaafkanmu," ucap Choi berusaha menguatkanku.
Keesokan harinya aku mulai menjalani hidupku sesuai janjiku pada Rin. Setiap kali aku bangun pagi, aku menatap langit dari jendela kamarku. Hari ini aku sekolah tanpa Rin yang duduk di sebelahku.
Aku mulai menjalani hidup tanpa terobsesi dengan group BP lagi, walaupun aku sedikit melihat-lihat perkembangannya dan datang ke konsernya. Aku mulai memiliki banyak teman dan menjadi juara umum di sekolah.
Setelah tamat sekolah aku lulus seleksi masuk ke universitas terbaik. Aku juga ikut mendaftar sebagai anggota group di dunia hiburan seperti BP. Sekarang aku menjadi seorang idola banyak orang dan kuliah di universitas ternama.
"Rin …, aku tidak lagi seperti dulu. Sekarang aku punya banyak teman dan banyak orang yang menyayangiku. Aku sudah menepati janjiku Rin," ucapku dalam hati sambil menatap langit biru yang cerah.
Cermin ini ada di majalah AN1MAGINE Volume 3 Nomor 9 September 2018 eMagazine Art and Science yang dapat di-download gratis di Play Store, share yaa
“Menerbitkan buku, komik, novel, buku teks atau
buku ajar, riset atau penelitian di jurnal? An1mage jawabnya”
AN1MAGINE BY AN1MAGE: Enlightening Open Mind Generations
AN1MAGE: Inspiring Creation Mind Enlightening
website an1mage.net www.an1mage.org
Comments
Post a Comment