MINDPORTER 2: Archilum


MINDPORTER 2:
Archilum
M.S. Gumelar


Di samping itu aku ingin memeriksa kembali apakah air yang ada sudah cukup hingga esok, termasuk persediaan rumput. Chatura tidak membuntutiku, ia masih makan buah ketika aku memutuskan buat menyelinap ke pintu depan.

Kedua kuda kami terlihat sedang bersantai setelah perjalanan yang cukup panjang. Mereka juga akan tidur pulas seperti aku.

Pastinya senang jika memiliki kuda sendiri, bukannya kuda pinjaman.

Kami harus membayar dengan sekeranjang bahan makanan saat pulang nanti. Tapi jika memiliki kuda, maka tidak akan ada yang sempat buat mengurusnya. Rasanya untuk sekarang tidak memungkinkan buat kami memelihara kuda.

"Suatu saat aku akan memiliki sepasang kuda, kemudian mereka akan beranak," ucapku penuh harap.

Aku tidak segera masuk kembali saat yakin semuanya sudah beres. Aku masih menggunakan beberapa menit untuk memandangi bulu-bulu mereka yang berkilau tertimpa cahaya bulan. Cantik.
Kuda-kuda yang anggun.

Entah kapan kali aku melihat makhluk secantik mereka. Hari-hariku sudah dipenuhi oleh Brachuura. Makhluk berkaki sepuluh dengan empat capit yang selalu ingin menyerang. Melihat kuda-kuda ini, aku jadi merasa mereka sebenarnya adalah makhluk berkaki empat yang pendamai.

Saat masuk kembali ke dalam, meja makan sudah dibereskan. Namun ibuku dan kembarannya masih di sana sembari ditemani buah-buahan.

Aku ingin mengambil beberapa, tapi karena tidak terlalu nyaman untuk berada di dekat bibi, aku memutuskan untuk langsung masuk ke dalam kamar saja.

Kupikir Chatura sudah mendengkur namun dugaanku salah. Matanya masih terbuka dan memandangi langit-langit rumah yang terbuat dari anyaman bambu.

Ia tidak bergerak, begitu tenang, seolah sedang berkonsentrasi dengan napasnya.

"Apa yang kau pikirkan?"
Dia tidak menoleh, masih dalam posisi yang sama seolah tidak mampu mengubah letak tubuh juga ekspresinya.

"Banyak hal," jawabnya singkat.

"Sungguh? Aku tidak tahu kalau di dunia ini ada banyak hal untuk dipikirkan."

Aku mendekati ranjang milikku dan merebahkan diri di atasnya. Rasanya sangat senang bisa meluruskan punggung setelah perjalanan seharian. Benar-benar nyaman.

"Bisa jadi itu benar, bisa jadi itu tidak," katanya.

Aku ikut memandangi langit-langit kamar. Siapa tahu aku jadi bisa menerka apa yang kira-kira sedang mengganggu pikiran kakakku.

Tapi aku tidak tahu, aku tidak akan tahu jika dia tidak memberitahu.

Meski terlihat sedang akur seperti sekarang, sebenarnya kami tetap tidak mahir dalam memahami satu sama lain.

Sejak kecil aku dan kakak memiliki cara pikir yang berbeda maka dari itu kami lebih sering berselisih dari pada kakak adik kebanyakan.

Kadang Chatura terlihat sangat keras karena merasa memiliki tanggung jawab yang besar. Ia anak tertua dan kami tidak memiliki ayah. Kondisi semacam itu sedikit banyak membuatnya tertekan.

Tekanan yang dialaminya dimanifestasikan dalam sikap gusar dan cepat marah. Ia sangat ketakutan keluarga kami menghadapi kondisi yang lebih buruk. Ia merasa harus menjadi seorang penjaga dari keluarga ini.

Mungkin karena itulah sampai sekarang ia belum menikah, meskipun mungkin sebenarnya ingin.

Aku sendiri tidak pernah mendengar ia menceritakan gadis. Berbeda dengan Aswin yang sangat gemar membicarakan kisah asmaranya, Chatura tidak pernah membahas hal-hal yang berkaitan dengan percintaan.

Kata-katanya didominasi dengan pekerjaan. Ia sangat suka membicarakan cuaca juga tanaman.
Sangat mahir dalam ilmu jamur juga pakis. Ia bahkan sempat mencoba melakukan budidaya di rumah. Tidak sepenuhnya gagal, tapi juga masih jauh dari berhasil.

Meski terkesan hanya memikirkan aktivitasnya juga alam, sebenarnya aku pernah memergoki Chatura secara tidak sengaja.

Saat itu aku melihatnya tengah meraih tangan seorang gadis.

Aku tidak mengenalnya, itu bahkan pertama kali aku melihat gadis itu. Yang pasti gadis itu bukan seorang petani jamur karena aku tidak pernah melihatnya memetik jamur.

Kadang lidahku ingin menanyakan siapa sebenarnya gadis itu dan mengapa Chatura tidak terlihat bersamanya lagi.

Tapi pasti kakakku akan mengira aku ini penguntit atau semacamnya karena ia sendiri tidak pernah menceritakan apa-apa.

Jadi aku hanya menerka-nerka saja. Mungkin mereka memang pernah bersama kemudian berpisah, maka dari itu aku tidak pernah melihat gadis itu bersama Chatura lagi.

Mungkin juga Chatura belum bisa mencintai gadis lain, maka dari itu ia masih melajang hingga sekarang.

Ia memang sayang, sayang pada ibu. Tapi jika merawat ibu dijadikan alasan untuk tidak menikah maka itu adalah alasan yang konyol. Hidup memang akan berubah saat menikah, tidak sama seperti masih bujangan. Namun ia masih bisa merawat ibu.

Banyak pasangan yang sudah menikah, masih tinggal bersama orang tua. Merawat dan menjaga mereka di saat-saat tua.

Orang tua bisa menjaga cucu-cucu mereka kelak, sementara anaknya pergi mencari makan.

Hari ini sepertinya juga akan sama. Chatura tidak akan menceritakan apa pun yang sedang bersemayam dalam kepalanya. Itu rahasianya, dan itu haknya untuk tidak membagi secuil pun rahasianya padaku.

Bukan masalah. Aku tidak akan memaksanya menceritakan apa pun dan membuat hubungan kami makin terasa tidak nyaman.

Meski kami sama-sama belum terjatuh tidur, namun kami tidak bercakap-cakap. Suatu keadaan yang berbeda jauh ketika kebersamaanku dengan Aswin. Teman baikku itu selalu mengoceh, menceritakan banyak hal.

Ia kadang menceritakan apa yang sedang menjadi buah bibir di desa. Kadang ia mengulang kejadian-kejadian yang diingatnya.

Sering juga ia membagikan harapan-harapannya di masa depan.

Jika Aswin sangat terbuka padaku dengan menceritakan hal-hal tanpa aku perlu menanyakannya, maka Chatura kebalikannya. Ia tidak akan bercerita dan aku tidak akan bertanya meski sebenarnya penasaran.

Dulu saat masih kecil aku sering mengajaknya bicara, mengenai hidupku, mengenai apa yang terjadi hari itu. Tapi lambat laun aku menyadari bahwa hanya akulah yang berbicara.

Chatura akan mendengarkan kisah-kisahku, kadang memberikan nasihat dan opininya. Namun ia tidak pernah membagikan rahasia-rahasianya padaku. Lambat laun aku mulai mengurangi interaksiku dengannya.

Keheningan yang dia berikan padaku, kupandang sebagai rasa tidak percaya. Bagiku dia tidak mempercayaiku, bagiku dia tidak yakin aku bisa memahami persoalan-persoalan yang dialaminya. Dan perlahan aku muak padanya.

Untuk apa aku berusaha terus mengajaknya bicara jika dia sendiri hanya diam. Beruntung akhirnya aku bertemu dengan Aswin.

Teman yang gemar berkisah, aku juga bisa membagikan cerita padanya dan itu menyenangkan.

Saling membagi cerita dan rahasia. Bukan hanya satu orang saja yang bercerita.

“Kau belum mengantuk Candhra?”

Aku menoleh ke arah Chatura yang memunggungiku. Dia sekarang bahkan menyembunyikan ekspresinya, pasti ia sedang sedih. Ia selalu berpaling ketika sedih dan menatapku ketika marah.

“Kurasa aku akan berusaha tidur,” katanya lagi tanpa menunggu jawabanku.

Ya, tidurlah saja. Lagi pula tidak ada gunanya sama-sama terbangun tapi tidak berinteraksi satu sama lain, juga tidak melakukan apa pun.

Aku memejamkan mata namun belum terlelap. Aku mencoba mendengarkan. Samar-samar aku masih bisa menangkap suara-suara kabur yang dihasilkan ibuku dengan kembarannya.

Mereka pasti masih menumpahkan kerinduan satu sama lain.
Aku jadi bertanya-tanya.

Mungkinkah suatu saat nanti aku bisa mengobrol sampai pagi bersama Chatura? Sama seperti Outi dan ibuku, sama seperti ketika aku bersama Aswin.

Kemungkinannya kecil mengingat karakter Chatura yang cukup pendiam.

Ah... sebaiknya aku tidak berharap terlalu banyak mengenai hubunganku dengan Chatura. Tidak perlu berandai-andai. Cukup memikirkan apa yang akan kami lakukan besok.

Memancing. Kuharap besok cerah.

*

Chapter 7

Langit tidak mengabulkan harapanku.

Paginya hujan tipis-tipis sudah turun di desa dan ibu tidak akan mengizinkan kami pergi mendekati sungai. Dia takut anak-anaknya akan tergelincir dan terbawa arus sungai.

Namun sebenarnya kemarin sesaat sebelum tidur aku memang sempat memikirkan supaya acara memancing hari ini batal. Rasanya aku belum ingin memancing berduaan dengan orang pendiam seperti Chatura.

Lebih baik aku mancing sendiri dari pada ditemani, tapi terasa sendirian. Jadi sebenarnya tidak seratus persen harapanku ditolak oleh langit.

Saat aku terbangun, Chatura masih mendengkur di ranjangnya. Berani taruhan, semalam sebenarnya ia sulit tidur tapi ia berlagak seolah-olah akan tidur untuk menghindari bicara denganku.

Orang itu lebih mahir menekan dan menyudutkan seseorang dengan kata-katanya. Ia tidak bisa diajak ngobrol normal, sungguh.

Aku menemukan ibu dan bibi sedang berada di area belakang rumah. Mereka tengah meremas-remas daun hingga air perasannya berkumpul.

“Apa itu?” tanyaku dengan mata berair, masih sedikit mengantuk.

“Kami akan membuat dari daun-daun ini, makanan kesukaanmu,” jawab ibu sembari tersenyum.
Aku mengangguk dan menghindari tatapan dengan Outi. Entah mengapa aku bersikap seperti menghindarinya.

Maksudku Outi tidaklah jahat.

Aku merinding pelan ketika angin berhembus masuk ke dalam rumah. Mereka membuka pintu belakang dan aku bisa melihat hujan turun mulai lebat sekarang.

“Tidakkah  di sini dingin?” sahut Outi dengan suara seraknya.

Aku mengangguk. “Karena di sini adalah area pegunungan. Semalam ketika aku mandi, rasanya aku sedang mengguyur tubuhku dengan air es.”

“Di sini memang sejuk,” timpal Outi.

“Dia serpertinya sudah tidak terbiasa dengan dingin, saudaraku. Candhra sudah lama bekerja di tambak dan lebih banyak menghabiskan waktunya di bawah sinar matahari,” sela ibuku sembari masih meremas-remas daun di tangannya.

Outi bertanya padaku. “Benarkah? Jadi mana yang lebih kau sukai? Dimandikan cahaya matahari atau dibalut kabut yang dingin?”

“Sebenarnya aku lebih suka di sini karena sejuk jadi tidak gampang berkeringat. Namun di sini aku tidak bisa bekerja membudidayakan Brachuura,” ujarku jujur.

“Kau mengucapkan sesuatu yang sudah lama tidak terlintas di kepalaku. Brachuura, mirip kata ajaib saja.”

“Dia sering membawakan Brachuura buat kakaknya. Chatura sangat suka serangga air itu,” tambah ibuku.

“Begitu? Kau benar-benar anak baik Candhra.”

Nah! kalau sudah begini aku tidak tahu harus menimpali apa. Di luar gemuruh terdengar dari kejauhan, hujan sudah menjadi lebat sekarang. Aku merasa ruanganku berada makin gelap.

“Apa kita perlu menyalakan lilin?” Outi kali ini memberikan pertanyaannya pada ibuku.

Oura menggeleng. “Tidak perlu. Kita pindah saja ke ruangan depan. Dekat dengan kaca.”

Rumah masa kecil ibuku ini sebenarnya masih terkesan sangat kuno, kebanyakan jendelanya masih menggunakan tutup kayu. Namun Outi belum lama ini mengganti jendela ruangan depan dengan kaca lebar.

Melihat pemandangan luar dari dalam rumah kini bukanlah sebuah hal yang sulit. Aku jadi teringat pada jendela kamar Aswin yang memperlihatkan lautan lepas. Memesona.

Mereka memindahkan bahan-bahan agar daun dan perkakas masak ke area ruangan depan. Aku turut membantu membawa benda-benda itu.

Outi menutup pintu belakang dan mengganjal pintunya dengan kayu supaya tidak ada orang atau hewan yang sembarangan masuk.

Setelah itu ia membuka pintu depan dan segera saja ruangan terasa sejuk kembali. Ia nampaknya suka membuka bagian-bagian rumahnya.

“Aku suka angin bisa masuk ke dalam rumah,” ujarnya seolah tengah mengafirmasi pikiranku.

“Asal kau tidak lupa menutup seluruh pintu dan jendela saat hendak tidur, saudaraku,” ucap ibuku memperingatkan.

“Aku tidak pernah lupa,” balas Outi meyakinkanya. “Aku memang tua, tapi aku tidak pikun.”
“Apakah ada hewan yang pernah menerobos masuk ke dalam rumah?” tanyaku penasaran.

Outi memicingkan matanya padaku. “Ular.”

“Dan kau bisa mengatasinya?” tanyaku, kaget.

“Aku tidak hanya melumpuhkannya. Aku membunuh kemudian memasaknya juga menjual bisa ular yang tersesat itu di pasar,” kenangnya, bangga.

“Aku tahu biar aku ini terlihat lemah, tapi sebenarnya aku bukanlah orang yang bisa diremehkan.”

“Kau sangat hebat!” pujiku tulus.

Outi terkekeh senang mendengar ucapanku, sementara ibuku hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya. Outi memang bukan orang biasa.

Aku sendiri tidak yakin ibuku bisa mengalahkan ular.

Mereka menyambung kembali pekerjaan membuat agar daun. Cairan hijau kental meluncur dari sela-sela jari menuju tempat yang telah disediakan.

Aku memandanginya dan membayangkan agar daun yang sudah jadi, tapi nampaknya masih butuh waktu yang cukup lama hingga air perasan itu mengeras dan menjadi agar.

“Apakah Chatura masih tidur?”

Aku mengangguk, tapi mataku masih memandangi cairan agar daun itu. Entah kapan terakhir kali ibu membuatnya untukku. Sepertinya sudah lama sekali.

“Sepertinya kami tidak akan memancing hari ini.”

“Sebaiknya memang tidak usah karena pinggiran sungai akan menjadi becek dan licin. Kalian bisa dengan mudah jatuh ke air. Berbahaya,” ujar ibuku mewanti-wanti.

“Kita bisa menyembelih salah satu ayam atau bebek yang kurawat,” ujar Outi sembari menimbang-nimbang menu makanan hari ini.

“Apa kau punya telur?” tanyaku bersemangat.

“Tentu saja. Tapi aku belum ke kandang hari ini untuk memeriksanya. Tunggulah hingga hujan mereda dan kita dapat ke belakang bersama-sama,” usul Outi.

“Kalau kau sudah lapar, aku masih punya persediaan ikan kering juga nasi, tadi pagi ibumu sudah membuatnya.”

“Aku lebih ingin minum sesuatu yang hangat. Apakah kalian juga mau?” sahutku menawarkan.

“Minuman hangat di cuaca sedingin ini pasti menyenangkan. Buatkan untukku juga bibimu. Ingat, tanpa gula,” kata ibu sembari tersenyum.

“Akan kubuat,” anggukku sembari meluncur ke dapur.

Dapur orang-orang masa lalu benar-benar luas. Besarnya seluas kamar yang aku gunakan bersama Chatura. Dulu dapur juga digunakan sebagai tempat nongkrong. Orang-orang memasak sembari menggosip.

Untung zaman itu sudah mulai ditinggalkan. Orang-orang kini lebih menyukai teras untuk menerima tamu mereka. Dapur kini benar-benar digunakan untuk meramu dan mematangkan makanan.

Aku mencari-cari bubuk kopi di dapur. Ibu dan bibi akan lebih menyukai teh, tapi aku ingin sesuatu yang pekat dan panas. Kopi akan menjadi jawaban yang tepat dari keinginanku.

Aku menemukannya. Letaknya ada di sebelah teh, ternyata tidak sulit untuk mendapatkan bubuk kopinya biar aku tidak benar-benar mengenai dapur ini. Aku memang sering bolak-balik ke tempat ini, tapi aku tidak pernah menaruh perhatian yang besar pada barang-barang di sini.

Kusiapkan tiga cangkir dan satu poci, semuanya dari tanah liat. Kurasa benda-benda ini umurnya lebih tua daripadaku. Aku harus memperlakukan mereka dengan hati-hati dan jangan sampai pecah.

Hampir saja lupa, aku segera mengambil air dari tempat penyimpanan dan merebusnya. Setelah itu aku menaruh sejumput teh ke dalam poci. Satu cangkir kuisi dengan bubuk kopi juga sedikit gula.

Ibu dan bibi tidak suka manis, maka dari itu tadi ibu mengingatkanku untuk tidak menaruh gula pada minumannya. Aku juga sebenarnya tidak terlalu suka manis, tapi kopi murni tanpa gula?

Sepertinya aku tidak dapat meminumnya.

Aku mendengarkan, siapa tahu Chatura sudah bangun, tapi aku masih belum mendengar suaranya. Kupastikan dia masih tidur sekarang. Mungkin perjalanan kemarin benar-benar membuatnya lelah.

Mengingat semalam ibu tidur lebih larut dan pagi ini dia bangun lebih awal, kurasa ibu memiliki stamina yang lebih bagus dari pada anak-anaknya. Beliau tetap butuh tidur, hanya saja tidak sebanyak kami.

Karena Chatura masih berada di alam mimpi, aku tidak jadi menyiapkan minuman buatnya. Air yang kurebus sudah matang. Aku langsung menuangkannya ke dalam poci dan sisanya ke dalam gelasku.

Takaranku benar-benar jitu. Aku bisa memperkirakan air yang kubutuhkan dengan tepat. Luar biasa.

Ketika aku kembali ke area ruangan depan, hujan telah menjadi rintik dan aku tidak melihat ibu di sana.

Hanya ada bibi yang nampaknya sudah hampir menyelesaikan perasannya.

“Di mana ibu?” tanyaku sembari meletakkan minuman hangat di dekat baskom tempat air perasan agar daun.

“Dia sedang ke kandang untuk mendapatkan telur sesaat setelah hujan reda. Dia benar-benar bersemangat, kurasa kalian harus memiliki kandang ayam di rumah.”

Kandang ayam, seperti rumah Aswin, pikirku. Bukan ide yang buruk. Mungkin aku bisa menabung setelah ini dan membuatkan kandang ayam buat ibu.

Isinya awal cukup dua saja mengingat aku butuh bekerja keras lagi untuk mendapatkan ayam.

Setelah itu ibu dan Chatura bisa merawat ayam-ayam itu dan membuat hewan kecil itu bertambah banyak. Aku harus membeli sepasang ayam karenanya, jantan dan betina.

“Oura sangat menyukai telur. Kau tahu telur merupakan salah satu persembahan terbaik untuk dewa-dewa agung?”

Agung. Dewa. Upacara agung.

“Bibi apakah kau pernah mendengar upacara Archilum?”

Pertanyaan itu meluncur saja dari bibirku sebelum aku bisa berpikir lebih jauh. Archilum benar-benar bercokol di kepalaku selama berhari-hari. Sesuatu yang sangat ingin kuketahui kebenarannya.

“Pernah,” katanya singkat.

“Jadi upacara teragung itu memang ada.”

“Tentu saja ada.”

Aku terlalu bersemangat hingga tidak menyadari ia tengah memicingkan mata padaku.

Seolah aku mengetahui hal yang salah. Seolah aku tidak punya hak untuk tahu mengenai upacara agung itu.

Aku terlalu senang karena ternyata upacara Archilum sungguhan ada. Rawi mengatakan kebenaran dan aku tertarik untuk memahaminya lebih lanjut, setidaknya itulah yang ada di kepalaku saat itu.

“Apakah kau tahu kapan terjadinya dan apakah aku bisa ikut? Aku sangat ingin mengetahuinya. Kudengar melalui acara itu, orang hidup bisa mencapai nirwana. Bisakah kau memberitahuku bibi?”

“Hanya orang-orang yang dipilih dewa yang boleh ikut.”

“Ya, aku sudah mendengar hal itu. Katanya orang yang terpilih akan mendapat tanda-tanda. Kuharap aku mendapatkannya meski aku tidak tahu jelas tanda seperti apa gerangan yang dimaksud. Apa kau mengetahuinya?”

“Candhra,” ujar bibiku dalam nada pelan yang tajam. “Sebelum kita membahasnya lebih lanjut. Bagaimana jika kau memberitahuku dari mana kau mendengarnya.”

Ups! Aku terlalu terbawa suasana dan rasa penasaran hingga melupakan hal semacam itu.

Dari mana aku mengetahuinya? Tentu dari Rawi. Tapi orang itu akan mendapat masalah jika aku mengatakan kejujuran bukan?

Kurasa aku perlu berbohong kali ini. Rawi memang mengatakan sesuatu yang hebat, membuatku terus bertanya-tanya karena ucapannya. Namun bukan berarti aku harus menyeretnya di hadapan bibiku.

“Aku tidak sengaja mencuri dengar,” ujarku sembari tertunduk.

Bibi makin menyipitkan matanya padaku.

Mendadak aku merasa mual. Mungkinkah dia tahu kalau aku tengah berbohong? Dia tahu dari bahasa tubuhku dan sekarang dia sedang curiga?

Apakah ia tidak akan membagi secuil pun informasi padaku kalau dia tahu aku sedang bohong?
Rasanya kepalaku mau pecah. Aneh sekali mengapa aku menanyakan hal ini pada bibi. Mengapa bukan pada ibuku. Kalau Chatura aku yakin dia tidak tahu.

Seandainya tahu, orang sejenis Chatura paling juga hanya akan diam saja. Si pendiam itu memiliki tumpukan rahasia yang tingginya lebih dari gunung.

Tapi sepertinya sensing-ku benar. Tepat aku bertanya pada bibi. Buktinya ia tahu. Lebih penting lagi, apa yang ia ucapkan sama persis dengan yang Rawi katakan.

“Tidak perlu menahan napas seperti itu.”

Ah! Dia benar. Sejak tadi aku memang menahan napas. Menunggunya memuaskan rasa penasaranku. Aku merasa bibi punya banyak informasi mengenai Archilum.

“Di mana kau mendengarnya?”

“Di dekat area tambak.”

Bibi menghela napas. Sepertinya ia juga sempat tegang tadi.

“Aku tidak mengerti mengapa orang-orang tidak membicarakannya di tempat yang lebih banyak orangnya. Misalnya pasar.”

“Karena kupikir ini rahasia dan orang-orang tidak boleh tahu. Mungkin hanya orang-orang yang terpilih yang tahu, bukannya sembarang orang.”

“Menurutmu begitu?”

“Tidak juga sih, karena konon katanya seluruh orang bisa menyaksikan upacara ini meski dari tempat yang jauh. Jadi kurasa itu bukan suatu rahasia.”

“Kau benar.” Bibi menghela napas lagi.

“Jadi mengapa sepertinya orang-orang belum mengetahuinya.”

“Karena upacara ini dilakukan sekitar empat ratus tahun sekali, jadi tidak setiap generasi mendapat kesempatan. Karena ada jarak yang panjang, orang-orang jadi tidak mengingatnya.”

“Jadi upacara itu datang tiap rentang waktu yang sangat lama,” gumamku sembari mengangguk-angguk.

“Benar, tapi untuk waktu sekarang ada suatu keunikan yang datang. Bumi akan melemparkan orang-orang ke surga dalam waktu kurang dari dua puluh tahun setelah kejadian yang terakhir. Generasi ini sangatlah beruntung.”

“Maksudmu Archilum akan terjadi dalam waktu dekat?” tanyaku, menggebu-gebu.

Bibi mengangguk.

“Tunggu, tapi dari mana kau bisa tahu?”

“Karena aku juru kuil untuk melaksanakan Archilum. Aku bisa merasakannya. Terserah kau mau percaya padaku atau tidak.”

“Kau... juru kuil Archilum? Itukah alasanmu hidup sendirian dan tidak menikah?” tanyaku, mendadak dirayapi rasa gugup.

Outi mengangkat bahu. “Sebenarnya orang yang harus menjadi pendeta adalah ibumu. Tapi dia menolak dan memilih untuk menikah juga memiliki anak. Sebenarnya aku tidak semahir ibumu dalam merasakan gejolak alam. Jadi aku berpura-pura jadi dia. Menggunakan namanya dan mengambil posisinya.”

Aku merasakan kepalaku berdenyut-denyut dengan hebat. Bagaimana mungkin sebenarnya ibuku sebenarnya adalah juru kuil.

“Apakah kunjungan kali ini....”

“Ibumu memperingatkanku mengenai tanda-tanda Archilum yang sudah semakin jelas. Ia bisa merasakannya seolah memiliki keterikatan dengan Bumi ini...

“…Tapi ia belum tahu pasti kapan Archilum akan datang. Karena ibumu belum tahu, jadi aku juga belum tahu. Jika kau ingin tahu kapan saatnya maka kau harus menunggu.”

“Aku tidak yakin ibu akan menjawab pertanyaanku meski aku bertanya padanya,” desahku muram.

“Ia akan menjawab saat mengetahui saatnya. Itulah kewajiban yang harus diembannya karena memiliki hubungan dengan Bumi. Ia akan mengatakannya, tapi yang pasti kau harus bertanya padanya.”

“Tapi mengapa kau memberitahuku? Kau membongkar rahasia kalau kau bukanlah juru kuil yang asli.”

“Tidak masalah. Kau tidak akan menyakiti ibumu, aku yakin kau tidak akan bertindak gegabah dan menjeratku juga ibumu ke dalam masalah,” jawab Outi santai.

Itu benar. Aku menyayangi ibu, meski tidak dekat sebelum hari ini, aku juga tidak mengharap ada sesuatu yang buruk menimpa Outi karena mereka semua adalah keluargaku.

“Tapi apakah upacara itu benar-benar akan membawa orang dari Bumi ke surga.”

“Siapa yang tahu? Aku sendiri belum pernah mencobanya. Oura juga tidak pernah ke atas meski ia bisa mengetahui tanda-tanda alam.”

“Apakah ada yang berhasil?”

“Tentu banyak yang berhasil, tapi tidak sedikit pula yang gagal.”

“Apakah yang berhasil tidak akan bisa kembali ke dunia bawah?”

Outi menyeringai, sungguh menakutkan. Ia tidak berusaha menakut-nakutiku, aku yakin. Memang pembawaannya saja yang cukup seram, jadi salah ekspresi sedikit saja mampu membuat nyali orang di hadapannya menciut.

“Pertanyaannya, kalau memang di atas memang adalah surga, lalu untuk apa orang-orang yang berhasil kembali ke bawah?” dengusnya dengan nada mengejek.

Masuk akal juga. Tapi tidakkah ada di antara orang-orang yang berhasil itu yang kembali untuk menceritakan apa yang sebenarnya ada di dunia atas. Bahkan lebih dari itu, dia bisa mengajari orang-orang untuk sama bahagianya dengan orang-orang di surga.

Namun pertanyaan lainnya adalah apakah Archilum sebenarnya hanyalah upacara satu arah belaka. Mengantar orang dari dunia bawah ke dunia atas, tapi tidak berlaku sebaliknya?

Sayang bibi tidak tahu, ia bukan juru kuil yang asli. Meski ibuku adalah juru Archilum, sepertinya ia juga belum mendapati ada orang yang berhasil kembali setelah menuntaskan upacara agung tersebut.

Ini menjadi semakin rumit dan semakin menggiurkan.... Bagaimana jika aku mengikuti upacara tersebut? Jika berhasil aku akan mencari jalan kembali dan menceritakan seperti apa wujud surga.

“Apakah kau ingin mencoba ke atas Candhra.”

Aku mengangguk mantap. “Tapi aku harus menunggu tanda-tanda dari dewa bukan? Masalahnya aku tidak tahu tanda seperti apa yang diberikan. Bisa saja dewa sudah memberiku tanda tapi aku tidak menganggapnya sebagai tanda.”

“Tanda bagi masing-masing orang berbeda. Yang pasti dirimu akan mengetahuinya jika kenyataannya kau memang dilahirkan untuk ikut upacara Archilum. Percayalah kau mampu merasakannya, apakah kau terpilih atau tidak,” ujar bibi sembari tersenyum misterius.

Aku benar-benar tidak menyukai ekspresinya yang seperti itu, seolah ia sedang berusaha menerorku saja.

“Kuharap aku dapat segera mendapatkan jawabannya. Aku benar-benar ingin mencoba pergi ke dunia atas.”

“Kau pasti akan mendapatkan jawabannya, tidak perlu ada yang di khawatirkan.”

Bibi menuang teh dari poci dan membiarkan uap panasnya menguar di udara. Aku melirik kopiku dan menyadari kalau suhu panasnya sudah merendah selama kami berbicara.

“Bagaimana kalau aku meminum kopimu dan kau meminum teh saja?” usul bibi.

Aku mengangguk kemudian menyodorkan gelas kopiku padanya. Anehnya keinginanku untuk minum kopi juga sudah lenyap. Nampaknya pembicaraan mengenai Archilum ini berhasil menyita perhatianku.

“Ngomong-ngomong Candhra, aku tahu kalau bagian mencuri dengar itu bohong, seseorang pasti memberitahumu. Tapi aku tidak akan mempermasalahkannya. Aku juga tidak akan membuatmu mengatakan siapa orang itu. Tapi kau harus hati-hati padanya siapa tahu dia memiliki maksud yang buruk.”

*

Chapter 8

"Haciiih!"

Aku memandangi Aswin dengan sudut mata kemudian menggerutu dalam pikiran.

Mestinya aku tidak mengajaknya kemari. Aswin memang lebih cocok untuk tinggal di area yang memiliki sinar matahari yang melimpah, bukan berada di tempat yang lembab dan gelap seperti ini.

Jadi aku cukup senang ketika ia berkata kalau bersedia menemaniku masuk gua hari ini. Kami akan memancing di danau yang ada di dalam gua.

"Aku akan mendapatkan pengalaman baru hari ini. Kuharap keberuntungan menyertaiku. Haciiih!"

"Kau sangat beruntung karena bisa bersin berkali-kali," cibirku sembari menggoyang-goyangkan keramba yang kusediakan untuk menyimpan hasil tangkapan kami nantinya.

"Kau harus menghargai usahaku untuk mendapatkan pengalaman baru. Kau tahu benar aku sangat gemar memancing. Kurasa memancing di danau dalam gua akan menjadi pengalaman tak terlupakan."

Aswin hendak bersin lagi ketika menyelesaikan kalimatnya, tapi ia tahan. Sejurus kemudian pertahanannya jebol, ia bersin lagi.

"Kuharap ikan-ikan di sini tidak akan kaget tiap aku bersin," keluhnya.

"Tenang saja, tempatnya tidak terlalu lembab seperti aksesnya. Akan ada cahaya matahari yang masuk, jadi kurasa bersinmu akan mereda," terangku.

"Terdengar menyenangkan," kekehnya, kemudian bersin lagi.

Harusnya aku tidak menceritakan gua ini padanya. Ia pasti penasaran dan akan meminta ikut memancing. Tapi mau bagaimana lagi, sudah terlanjur kuceritakan, tidak ada jalan kembali.

Lagi pula nyatanya Aswin sudah di sini, dengan kata lain ia sudah membulatkan tekadnya untuk melihat salah satu tempat terbaik di Bumi. Aku cukup bangga dengan usahanya. Bahwa ia tidak segera pergi setelah bersin-bersin.

"Tapi Candhra, anehnya aku tidak merasa gatal di sini. Padahal biasanya aku gampang gatal-gatal," ujarnya memberitahu.

Aku berpikir sejenak. "Kau benar. Mungkin spesies tanaman di sini berbeda dengan yang membuatmu gatal-gatal. Kuharap kau bisa menahannya sebentar lagi karena kita akan segera tiba di danau."

"Aku sangat tidak sabar," cengirnya.

"Tenang saja, bersin-bersinmu akan dibayar setimpal dengan panorama yang indah di danau," ujarku menyemangati.

Aswin memberikan jempolnya padaku. Kali ini tidak diiringi dengan bunyi bersin. Kuharap keadaannya segera membaik ketika kami sudah masuk ke area danau.

Jalan menuju danau agak menanjak tapi tidak terjal. Tetap menguras tenaga sebenarnya, nampaknya kami akan makan banyak sebelum kembali ke dunia luar.

Kurasa dua ekor ikan tidak akan cukup meskipun ukurannya besar-besar. Yang jelas aku tidak akan menghabiskan seluruh tangkapanku, aku akan membawakan beberapa untuk ibu.

Aku tidak berpikir untuk menangkap sedikit hari ini, aku akan membawa beberapa ekor sekaligus bahkan menaruhnya di kolam penyimpanan.

Mungkin ibu akan membakarnya atau memasaknya dengan rempah, aku tidak tahu yang mana, tapi keduanya terasa lezat.

Ibu mestinya bekerja sebagai tukang masak bagi para penjaga kuil saja, bukannya menjadi petani jamur.

Kemampuannya bahkan bisa dikatakan di atas para tukang masak kebanyakan. Aku bertaruh dia akan mudah dalam kariernya jika menjadi tukang masak.

Sayangnya kemampuan itu tidak disalurkan. Ibu hanya mau memasak untuk keluarganya, untuk anak-anaknya saja. Aku pernah menanyakan hal itu pada ibu dan ia hanya tertawa.

Katanya ia benci membersihkan perkakas masak, maka dari itu ia tidak mau jadi juru masak karena memasak dan mencuci perkakas adalah satu paket pekerjaan yang harus dijalani.

"Tapi bukannya kau suka pergi ke kuil?" tuntutku.

"Benar. Di kuil aku merasa damai. Aku juga tidak mengerti mengapa, tapi aku lebih suka berkumpul dengan keluargaku. Itu jauh lebih berharga."

Itulah yang jawaban yang kudapatkan ketika menanyainya. Jelas ibu memang memaksudkan hal itu.
“Jadi bagaimana perjalananmu ke Jathilan? Kau selalu menceritakan kalau ibumu memiliki saudara kembar yang seram,” kata Aswin sembari mengusap-usap hidungnya yang merah.

“Benarkah aku mengatakan kalau bibiku itu mengerikan?”

Aswin mengangguk.

“Kau berkali-kali bilang begitu.”

“Hmm.... Kalau aku menceritakannya begitu, berarti dulu aku memang menilainya seperti itu,” ujarku lambat-lambat.

“Berarti sekarang dia sudah tidak menyeramkan lagi?” sahut Aswin mencoba menyimpulkan dari ucapanku barusan.

“Kurasa kami memang tidak terlalu dekat, tapi dia tetaplah bibiku,” kataku sok diplomatis.


Bersambung....


Cerbung ini ada di majalah AN1MAGINE Volume 3 Nomor 3 Maret 2018 eMagazine Art and Science yang dapat di-download gratis di Play Store, share yaa


“Menerbitkan buku, komik, novel, buku teks atau 
buku ajar, riset atau penelitian di jurnal? An1mage jawabnya”

AN1MAGINE BY AN1MAGE: Enlightening Open Mind Generations
AN1MAGE: Inspiring Creation Mind Enlightening 
website an1mage.net www.an1mage.org

Comments

Popular Posts

PARTNERS

Contact Form

Name

Email *

Message *