MINDPORTER 2: Archilum oleh M.S. Gumelar di An1magine Volume 3 Nomor 1 Januari 2018


MINDPORTER 2:
Archilum
M.S. Gumelar


Aku sempat berpikir melihat seseorang di luar sana, meski tidak terbukti. Aku juga sudah mengatakan pada diriku sendiri untuk tidak terus memikirkannya, tapi anehnya ketakutan itu sudah terlanjur bercokol dalam kepalaku.

Apakah aku ini penakut? Tidak. Aku sedikit bisa bela diri. Chatura yang mengajariku. Ia berkata kami perlu kemampuan untuk melindungi diri, terlebih karena kami tidak memiliki ayah lagi.

Maka dari itu ia dan aku harus bisa bela diri. Untuk menjaga ibu, untuk meloloskan diri kami dari bahaya. Menjadi penyelamat satu sama lain karena kami adalah keluarga.

Meski Chatura hanyalah seorang petani, namun staminanya lebih bagus daripadaku. Ia selalu berlatih saat pagi hari, sebelum bekerja. Atau bila tidak, ia akan melakukannya sebelum mandi sore.

Oleh karenanya, aku tidak pernah sekalipun menang melawan dia ketika latihan. Dia selalu mendominasi dan mampu menjatuhkanku.

Tidak terlalu keras sebenarnya, tapi terasa sakit juga ketika badanku menghantam tanah. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana jika Chatura benar-benar membantingku. Mungkin beberapa tulangku akan patah, kulit memar sudah pasti, mungkin juga aku akan berdarah.

Aku ke luar rumah dan membersihkan tangan di pancuran, Aswin mengikuti hal serupa untuk menghilangkan darah ikan dari tangannya.

“Kalau sudah begini, aku jadi merasa seperti pembunuh berdarah dingin,” dengusnya.

“Mungkin aku harus mulai mempertimbangkan untuk hanya makan sayur dan buah saja.”

“Jangan,” tahanku. “Kita memperlukan semuanya. Sayur, buah, juga daging. Jangan dihilangkan salah satu. Asal makan dengan seimbang kurasa segalanya akan baik-baik saja.”

“Kita memang memperlukan semuanya. Tapi kadang aku kasihan dengan ikan yang kupotong atau ayam yang kusembelih untuk dimakan.”

“Mungkin kau lebih nyaman jadi tukang masak saja. Masalah membunuh hewan dan menguliti mereka, biar dikerjakan orang lain.”

“Juru masak mana yang bisa melarikan diri dari memotong-motong hewan,” gerutunya.

“Mungkin suatu saat akan ada caranya.”
“Seperti apa?”

Aku mengangkat bahu. “Daging buatan, mungkin?”

“Bagaimana caranya membuat daging buatan coba?” cibirnya sembari mengejekku.

“Aku juga tidak tahu, Anggap saja itu sebagai ide awal saja. Entah bisa terealisasi atau tidak.”

Aswin mengangguk-angguk. “Hidup yang misteri. Dulu bahkan kakekku saja hanya tahu pakaian dari kulit pohon. Generasi kini bisa membuat pakaian dari kulit ikan, tanpa tercium amis!”

“Peradaban yang berkembang, kuharap bisa selalu mengarah pada hal yang lebih baik,” gumamku sembari memandangi air yang sudah mulai panas. Beberapa gelembung naik dari dasar perkakas menuju permukaan.

Kami benar-benar memasak semuanya. Telur, ikan, juga jamur padahal kami hanya berdua saja. Aroma masakan kami menguar ke udara, menerbitkan liur. Membuat aku yang sebenarnya sudah sempat makan sebelum kemari, menjadi lapar lagi.

“Sepertinya enak,” gumamku sembari memandangi piring-piring penuh makanan.

“Tentu saja enak. Kita yang masak, bahan-bahan yang digunakan hanya yang segar dan baik,” ujar Aswin sembari memandangi masakannya dengan bangga.

“Aku bertanya-tanya apakah kita bisa menghabiskan semua ini.”

“Harus habis. Jika tidak memakannya hari ini juga, makanannya akan menjadi basi. Tentunya kita tidak ada rencana untuk membuang-buang makanan. Tidak perlu langsung habis. Kita bisa memakan sebagian sekarang dan menghabiskannya nanti.”

“Kau benar.”

Kami mulai makan. Aswin memberikan beberapa potongan ikan padaku. Ia membakarnya dengan benar-benar kering. Sangat enak.

“Kau benar-benar andal dalam memasak,” pujiku.

“Kau juga. Kuah jamurnya sangat enak. Kurasa kalau bukan karena kau, akan sangat jarang bagiku untuk bisa memakan jamur. Hanya hasil perairan, hari demi hari.”

“Terima kasih pada ibuku yang memberiku ini jadi kita bisa makan jamur bersama.”

“Benar. Aku sudah lama tidak main ke rumahmu.”

“Kalau begitu, lain waktu, giliran kau yang menginap.”

“Pasti!” janjinya.

Kami makan hingga kenyang, itu pun masih banyak makanan yang belum tersentuh. Aswin menyimpan makanan kami ke dalam lemari untuk di santap lagi nanti malam. Sementara aku membereskan ruang makannya dan mencuci perkakas.

Waktu yang kami habiskan buat memasak pastinya lumayan panjang. Apalagi menunggu api mendidihkan air untuk merebus jamur tidak bisa dilakukan secara cepat.

Sekarang senja sudah merayap ke kaki langit dan membuat bayang-bayang menjadi panjang daripada saat siang hari.
Daerah ini terasa sangat sepi karena orang-orang pergi ke kuil. Jika biasanya jarang ada yang menggunakan jalan, maka hari ini benar-benar tidak ada yang keluyuran di jalanan.

Kebanyakan orang-orang yang belum cukup umur memilih untuk bersantai di rumah. Mereka akan tidur panjang atau sekadar bermalas-malasan di tempat tidur karena memang tidak ada yang bisa dikerjakan.

Aswin menghampiriku ke pancuran.
“Biar kubantu,” katanya.

“Tidak perlu, aku hampir selesai,” ujarku sembari membilas perkakas-perkakas yang kami gunakan untuk memasak. “Kau masukkan saja ternakmu ke kandang.”

Aswin menghela napas panjang. “Kau benar. Setelah itu bagaimana kalau kita mandi di sumur?”

Aku mengangguk.

Aswin bukanlah orang yang mahir dalam memelihara ayam dan burung dara. Kebanyakan Angga yang melakukannya.

Jadi tidak heran kalau ia harus berlari ke sana-kemari untuk mengejar ayam-ayam mereka. Menggiring makhluk-makhluk itu ke kandangnya.

“Aku tidak mengerti bagaimana ayam-ayam ini bisa sangat pilih kasih. Mereka sepertinya hanya mau didekati oleh Angga dan Akusara. Tadi saja aku kena patuk saat hendak mengambil telur,” gumamnya tidak senang.

“Karena kau tidak banyak menghabiskan waktu dengan mereka,” celetukku.

“Kau benar. Angga tidak akan bisa mengurus Brachuura sebaik aku. Dia memang bukan pekerja tambak, ia lebih suka menghabiskan waktu dengan ayam-ayamnya di rumah.”

“Ayahmu tidak masalah?”

“Tidak, ia justru senang memiliki anak yang bisa beternak ayam. Lagi pula aku dan Akusara sudah membantunya di tambak. Ia tidak akan kekurangan bantuan.”

“Kau benar. Aku mau tidak mau jadi sependapat dengan ayahmu, memiliki anggota keluarga yang bisa beternak di rumah ternyata menguntungkan juga. Senang sekali aku bisa menyantap telur ayam. Ibuku sangat menyukainya.”

“Benarkah? Aku bisa meminta beberapa telur pada Angga, jadi kau bisa memberikan pada ibumu saat jadwal pulang.”

“Wah! Ibuku pasti akan sangat senang.”
Aswin benar-benar kewalahan mengejar ayam-ayam milik kakaknya. Namun ketika senja benar-benar hampir tidak berbekas, ayam-ayam itu ternyata bisa pulang sendiri ke kandang.

“Tahu begitu aku tunggu gelap saja,” gerutu Aswin sembari memastikan seluruh pintu kandang sudah ditahan dengan kayu sehingga ayam-ayam itu tidak akan keluar saat malam.

“Tapi aku senang melihatmu berolah raga seperti itu.”

“Hei! Yang gendut itu kau. Perutku sama sekali tidak buncit, jadi sebenarnya kau yang perlu olahraga.”

Aku memberikan cengiran pada Aswin. Kami kemudian berjalan menuju ke sumur.
Jika ada yang kurang menyenangkan untuk tinggal di daerah pesisir adalah air sumurnya yang terasa asin. Tidak benar-benar kuat sebenarnya, tapi itu membuatku merindukan air pegunungan dari tempatku berasal.

Meski banyak mengeluh soal airnya saat pertama kali pindah, lambat laun aku mulai bisa mengatasinya. Lagi pula, tidak benar-benar seasin air laut. Hanya terasa sedikit asin, jadi aku berusaha beradaptasi.

“Saat kecil aku selalu berpikir orang-orang yang tinggal di pesisir tidak perlu kesulitan buat memasak karena airnya sudah asin.
Tinggal merebus bahan makanan dan sudah terasa enak. Tapi semakin dewasa aku semakin tertarik untuk belajar mengenai rempah-rempah.”

“Kau harus belajar dari bibiku jika mau mahir soal rempah-rempah.”

“Kau punya bibi? Dia tidak tinggal bersamamu kan?”

Aku menggeleng. “Dia ada di daerah gunung. Kadang keluargaku mengunjunginya. Ia adalah kembaran ibu dan tidak menikah.”

“Maksudmu dia sebatang kara?”

“Bisa disebut begitu karena ia tinggal sendirian. Biasanya ibu akan mengunjunginya per satu tahun. Kami akan menunggang kuda buat mencapai rumahnya.”

“Apakah begitu jauh?”

“Lumayan. Bibiku itu orangnya cukup pandai. Ia mengetahui rempah-rempah dan pengetahuannya tentang bumi juga cukup luas. Ia bisa menebak waktu dengan melihat bayang-bayang, juga memahami rasi bintang.”

“Kau bisa belajar banyak dari dia, sobat. Tidak banyak orang hebat seperti itu,” saran Aswin.

Aku menyiram tubuhku dengan air sumur yang terasa dingin di kulitku.

“Aku berharap begitu, hanya saja aku tidak dekat dengannya. Ketika melakukan kunjungan, aku akan lebih banyak bersama Chatura. Ibu dan bibi akan bersama sepanjang waktu, membicarakan hal-hal yang tidak kuketahui.”

“Senangnya memiliki saudara yang tinggal jauh. Keluargaku benar-benar orang perairan seutuhya. Maksudnya, biar mereka bukan bekerja di air, mereka akan tetap berada di daerah pesisir.”

“Mereka tidak pernah mengunjungimu ke sini?”

Aswin menggeleng. “Tidak. Keluargaku juga jarang berkunjung. Katakanlah ini sebagai sisi buruk memiliki keluarga dalam jumlah besar. Melakukan perjalanan akan lebih merepotkan.”
“Apakah saudaramu juga orang-orang hebat?”

“Kebanyakan normal seperti keluargaku. Namun aku memiliki seorang paman dengan pekerjaan yang cukup unik.”

“Ceritakan padaku,” pintaku sembari mengeringkan badan dan kembali mengenakan pakaian.

Aswin mengikutiku dari belakang. “Dia mengantar orang-orang untuk menyeberang pulau. Menjelajahi tempat lain. Itu benar-benar terdengar sangat keren karena seumur-umur aku belum pernah pergi ke pulau lain.”

“Aku juga belum pernah,” kataku mengaku. “Aku bahkan tidak pernah memikirkan untuk mengunjungi pulau lain.”

“Tapi paling tidak kau pernah pergi ke gunung. Aku saja tidak pernah berpergian jauh. Paling jauh hanya sampai desamu saja. Benar-benar tidak luas hidupku ini.”

“Kau juga menyadarkanku kalau sebenarnya masih banyak hal yang belum kita lihat di dunia ini. Bepergian ke pulau lain benar-benar tidak pernah terlintas di kepalaku.”

“Memang tidak banyak yang berpikiran ke sana. Kebanyakan dari kita sudah bekerja di umur yang muda dan tidak menjelajah. Terlalu terbuai dengan pekerjaan sehingga tidak memikirkan hal-hal lain.”

Aku mendorong pintu rumahnya. Sekarang keadaan di dalam rumah cukup gelap. Aswin membuka sekotak laci dan menyalakan beberapa lilin.

“Mandi membuatku kedinginan dan dingin membuatku lapar.”

“Kau sudah mau makan lagi?” tanyaku agak terkejut.

“Aku lapar, sungguh. Ayo bawa makanannya ke atas.”

Aku membawa ikan dan jamur sementara Aswin membawa lilin dan menerangi anak-anak tangga. Telur yang tadi diambilnya sudah kami lahap habis. Mungkin karena jarang memakannya jadi terasa sangat enak. Kalau boleh menambah, sebenarnya aku masih ingin makan telur.

Kamar yang sekarang menjadi milik Aswin menghadap ke pantai dan memiliki jendela yang besar. Aku bisa membayangkan bagaimana sinar matahari dapat masuk dengan leluasa ke ruangan ini dan menerangi tiap sudutnya.

“Tidak hanya memiliki jendela yang besar, kita juga bisa memanjat ke bagian atap dan duduk-duduk di sana. Aku sangat menyukai kamar ini,” ujarnya sembari meletakkan lilin di atas meja.

Kuletakkan makanan kami di dekat lilin. Harus kuakui kamarnya memang keren.
Biar lebih kecil dari kamarnya yang lama, kamar ini terasa lebih nyaman. Terutama dengan pemandangan ke laut lepas.
“Kau sangat beruntung bisa mendapatkan kamar ini.”

“Angga mengalah,” ujarnya tanpa menutup-nutupi sesuatu. “Lagi pula tidak lama lagi ia akan punya rumah sendiri dan akan tinggal bersama calon istrinya.”

“Jadi Akusara juga sudah punya rumah sendiri?”

Aswin menggeleng. “Kalau dia sih tinggal dengan mertuanya. Tidak jauh dari sini. Istrinya itu tidak punya kakak atau adik, jadi mertuanya meminta dia tinggal bersama.”

“Menurutmu apa kau akan kesepian mengingat seluruh saudaramu sudah menikah?”

“Tidak. Yah, sebenarnya kadang aku merindukan masa kecil kami yang penuh dengan pertengkaran. Ibu bisa berteriak setiap jam melihat kelakuan anak-anaknya. Aku dan kakakku akan menjerit satu sama lain. Sekarang kupikir kami sudah dewasa. Kami tidak akan berkelahi seperti dulu.”

“Terdengar kalau kau sangat merindukannya.”

“Memang....”

Aswin memicingkan matanya lurus-lurus ke pantai. Aku mengikuti arah pandangannya dan melihat seorang sosok di sana yang melambai-lambai ke arah kami.

Jujur saja aku tidak ingin menemukan orang itu. Tidak, bukan berarti aku tidak mau diganggu saat sedang bersama Aswin, bukan seperti itu. Aku hanya tidak menyukai kenyataan bahwa orang itu lagi-lagi ada di sekitar kami.

Rawi mendekati rumah Aswin kemudian berteriak dari bawah.

“Apa kau punya tali atau semacamnya jadi aku bisa ikut naik?” pintanya.

Aswin menunjuk pohon yang ada di dekat rumahnya.
“Kau benar-benar mengundang orang itu kemari?” bisikku agak tidak setuju.

“Dia yang meminta bergabung, aku tidak enak jika harus mengusirnya,” balas Aswin, juga dalam bisikkan.

Rawi mengikuti petunjuk yang diberikan Aswin dan menghampiri kami di atap. Berhubung ini lantai dua, jadi sebenarnya jarak yang harus dipanjatnya tidak terlalu tinggi. Apalagi dengan bantuan cabang pohon, menjadi sangat mudah.

“Bukannya kau sudah cukup umur buat mengikuti Shinar?” tanya Aswin sembari memicingkan mata.

Ah! Itu benar, seingatku Rawi satu angkatan dengan Chatura. Bahkan dengar-dengar dia sebenarnya lebih tua.

“Memang, tapi aku melarikan diri. Aku tidak terlalu menyukainya. Maksudku, tahun lalu dan tahun sebelumnya lagi aku sudah pernah mengikutinya dan sebenarnya tidak ada yang menarik dari Shinar. Ngomong-ngomong kalian punya makanan?” ujarnya sembari agak ngos-ngosan karena baru naik pohon.

“Tidak ada,” sergah Aswin cepat.
Nampaknya temanku itu juga kurang nyaman dengan kehadiran Rawi, ia tidak benar-benar menerima Rawi untuk bergabung.

Rawi memamerkan seringainya. “Sayang sekali. Tapi tidak masalah, aku akan mencari makanan sebentar lagi. Biarkan aku beristirahat di sini selama beberapa menit.”

“Memangnya bagaimana kau bisa kabur?” tanyaku sembari mengerutkan dahi.

“Mudah saja, tinggal menyingkir perlahan dan perlahan, menyusuri pantai dan kau akan mendapati dirimu berada di area ini.

Orang-orang itu terlalu fokus pada upacara. Tumpah ruah, sangat banyak jadi mereka tidak akan ada yang sadar jika ada satu orang yang menghilang.”

“Tapi kenapa kau kabur, sementara banyak orang yang ingin cepat dewasa dan ingin cepat mengikuti Shinar?” celetuk Aswin.

“Kuberitahu pada kalian. Shinar tidaklah sehebat yang kalian dengar. Biasa saja.”

“Bagaimana kau bisa menyebut Shinar sebagai perayaan yang biasa-biasa saja?” tuntut Aswin.

"Sebenarnya upacara Shinar bukanlah yang teragung di bumi ini. Ada yang lebih dahsyat."

“Mana mungkin, kalau memang ada, pasti kami sudah mendengar upacara yang lebih dahsyat itu. Nyatanya kami selalu tahu bahwa Shinar merupakan upacara termegah,” sergahku, tidak setuju.

"Tolong beritahu kami," sahut Aswin dengan semangat menggebu-gebu. Aku tidak mengerti dari mana ia mendadak mendapatkan semangatnya.

“Aku ingin memberitahu kalian, tapi tenggorokanku sangat kering. Apa aku boleh meminta minum?” pintanya.

“Akan kuambilkan. Kau harus menceritakannya pada kami Rawi!” seru Aswin senang, ia bergegas turun untuk mengambilkan air.

“Pastinya kau sangat kelelahan berjalan jauh dari kuil hingga sampai ke sini,” sahutku sembari memandang lautan yang hitam, sehitam malam.

“Aku sudah mulai berjalan sebelum tengah hari, ternyata sampai sini sudah gelap. Mulanya kukira aku bisa sampai sebelum malam muncul, tapi ternyata prediksiku salah,” jawabnya, santai.

“Kau pasti benar-benar tidak menyukai Shinar sampai kabur begitu.”
“Itu benar,” katanya ringan.

Aswin muncul lagi dengan gelas berisi air di tangannya. Ia benar-benar ingin segera mendengar cerita Rawi rupanya. Pasti tadi dia setengah berlari saat di bawah dan buru-buru kembali ke atas.

“Terima kasih,” senyum Rawi sembari menerima air dari Aswin.

“Ceritakan soal upacara terhebat di bumi ini,” katanya tanpa basa-basi.

"Namanya upacara Archilum. Melalui upacara tersebut didengung-dengungkan seseorang dapat meraih hidup yang lebih baik. Bahkan beberapa mengatakan
peraihnya bisa mendapatkan surga."

"Surga? Tempat para dewa berada?"

"Tidak jelas. Tapi yang jelas, menurut kabar angin, kau akan dibawa ke area yang lebih baik dari sini. Jauh, jauh lebih baik dari yang bisa kau bayangkan."
Aku mengernyitkan dahi.

"Tidak ada yang pernah mengatakan hal itu selama ini. Apakah itu termasuk rahasia?" tanyaku, penasaran.

Rawi mengangkat gelasnya dan meneguk isinya hingga separo.

"Seandainya ingin dirahasiakan maka akan sangat sulit."

"Aku tidak mengerti," ujarku, lirih, lebih pada diri sendiri.

"Aku juga tidak," ucap Aswin sembari memandangi langit.

"Kalau semua orang mengetahuinya, harusnya upacara Archilum sudah banyak dibicarakan juga."

"Mestinya memang begitu tapi kita sedang menunggu sang juru kuil menyebarkan informasi resminya," balas Rawi seraya menendang-nendangkan kakinya ke udara.

"Dengar kalau kau hanya ingin membual...."

"Kalau tidak mu mendengarkan ocehanku, kau bisa melakukan hal lain Candhra," sergah Rawi ketus.

Sial. Aku sudah terlanjur penasaran dengan kisahnya. Kuharap ini semua bukan satu lelucon karena sama sekali tidak jenaka.

"Boleh kulanjutkan?" cibirnya. "Jadi Archilum terjadi dalam rentang waktu ratusan tahun. Bumi akan meluncurkan daya dorongan yang kuat hingga membuat ksatria terpilih meluncur menuju surga. Ingat hanya yang terpilih, bukan pecundang."

Jelas ia sedang mengolok-olokku. Tapi Aswin berhasil menahanku tepat pada waktunya.

Berkelahi tentunya bukan jalan keluar. Tidak, aku tidak takut. Aku bahkan lebih sering berkelahi dibanding Chatura. Tapi biasanya aku memukul karena ada sebabnya.

Ejekan picisan tidak akan mengganggu pikirannya atau menyulut kemarahanku.
“Bagaimana cara untuk mengetahui seseorang terpilih atau tidak?” tanya Aswin.

“Tanda-tanda. Yang kudengar masing-masing orang akan mendapatkan tanda yang berbeda,” jelas Rawi.

“Dewa akan mengirimkan tanda-tanda pada manusia seperti yang tertulis di kitab-kitab?” Aswin sampai membulatkan matanya. Jelas ia tertarik dengan upacara Archilum.

Rawi mengangkat bahunya. “Aku sendiri juga belum mendapatkan informasi sebanyak itu.” Dia menghabiskan isi gelasnya kemudian menyeringai ke arahku. “Kurasa aku akan pulang sekarang.”

“Tentu. Kau pasti sangat lelah,” ucap Aswin sembari meminggirkan gelas yang telah digunakan Rawi ke dekat jendela. Itu supaya nantinya ia tidak lupa untuk membawa gelas itu masuk.

Seperti kedatangannya, Rawi menggunakan cabang pohon untuk turun. Jujur saja turun lebih mudah dari pada naik. Ia melakukannya dengan cepat kemudian segera menghilang di balik bayang-bayang pohon.

“Apa kau percaya ucapannya tadi?” tanya Aswin dalam bisikan, takut kalau-kalau Rawi sebenarnya masih bisa mendengar percakapannya. Mungkin orang itu sedang bersembunyi dan hendak menguping.

Aku mengangkat bahu. Sebenarnya akan lebih mudah jika aku tidak percaya, tapi sebenarnya ada sisi dari diriku yang mengharapkan upacara semacam itu benar-benar ada.



Chapter 5
“Atheos, kenapa kau melawan kami, para dewa?”

“Dengar Zeus… aku tidak melawanmu, tetapi kau mendatangiku…kau bukan dewa, bukan tuhan, tuhan tidak ada, hanya mahluk berbentuk manusia yang mengaku dirinya sebagai dewa, tuhan, dan atau sejenisnya” Ucapku mantap.

“Aku memiliki kekuatan melebihi manusia, kekuatan listrik, petir!” teriak Zeus.

“Sama denganku, aku memiliki kekuatan ion dan healing, tapi aku tidak mengklaim diriku adalah tuhan, dewa, kekonyolan macam apa ini? bahkan telah berlangsung ribuan tahun tidak ada yang berani melawan penindasan pada manusia yang telah kita lakukan?” Ujarku.
“Tidakkah kau sadar bahwa tuhan yang sesungguhnya telah menyerahkan kekuatannya pada kita, para dewa untuk menuntun manusia yang tidak memiliki kekuatan seperti kita ke jalan kebaikan?” cetus Zeus.

“Menuntun kepada kebaikan? Tidakkah kau lihat mereka saling membunuh satu sama lainnya karena memiliki dewa yang berbeda, apakah itu kebaikan?” argumenku.

“Dengan agama dan pengikut yang menyembah dewa, menyembah tuhan, mampu membuat manusia yang baik menjadi jahat, itu menggelapkan, bukan mencerahkan mereka” Jelasku.

“Tidakkah kau tahu, ada masa saat sebelum kita, para manusia juga ada yang menyembah tuhan yang satu, tetapi mereka juga tetap saling membunuh karena berbeda persepsi?” Jelas Zeus membenarkan dirinya.

“Ah jangan munafik Atheos, kau juga memiliki  manusia yang menyembahmu” cerca Zeus melanjutkan.

“Tidakkah kau lihat, aku mengusir mereka dan menghancurkan setiap kuil yang mereka bangun untukku, agar mereka tidak menyembahku dan mengatakan pada mereka secara langsung bahwa dewa tidak ada, aku hanya manusia seperti mereka” aku menjelaskan perbuatanku.

“Ya bisa kulihat, dan mereka tetap memujamu, penjelasan bodoh, bagaimana kau menjelaskan bahwa kau manusia tetapi kau memiliki kemampuan kekuatan ion, healing, dan teleport? Penjelasan bodoh dan sia-sia bukan?” ejek Zeus.

“Mereka para penyembahmu malah mendukungmu untuk menghancurkan kuil lainnya, dan penyembah dewa lainnya, mereka mengelu-elukanmu sebagai dewanya para dewa, dewa yang paling kuat, Atheos, dewa antidewa, Atheos dewa kegelapan, bahkan mereka memberimu nama baru, mengganti Atheos menjadi Hades” ejek Zeus berlanjut.

“Dan lihatlah telah banyak dewa yang mati ditanganmu, sepertinya para penyembahmu benar, kau dewa antidewa, kini tinggal kita bersembilan, dari para dewa dengan kekuatan paling kuat yang tersisa, sembilan termasuk dirimu, kau juga salah satu yang terkuat” Zeus melanjutkan kata-katanya.

“Dengar Zeus, mereka datang padaku, menantangku, aku tidak memintanya, mereka mengancam hidupku, aku hanya berusaha bertahan hidup, pada saat seperti itu, aturan sudah tidak ada, yang ada hanya berusaha untuk bertahan hidup” jelasku.

“Ah alasan yang bagus Atheos, wisdom, kebijaksanaan, alasan untuk mengelak dari kenyataan” ejek Zeus.

“Bukan mengelak, kenyataan yang tidak perlu kuelakkan, seperti kau datang ke sini, kau sendiri yang datang dengan permasalahan yang sama seperti manusia dengan kekuatan lainnya yang mengaku dewa” jelasku.

“Harum…. Aroma wewangian dari bunga, itu persembahan dari penyembahmu Atheos” ucap Zeus.

“Kau adalah Dewa Atheos, Dewa Hades SI DEWA KEGELAPAN” Teriak Zeus. Mendadak suaranya mengeras dengan tekanan kuat.

“AKU BUKAN DEWA!” balasan teriakku lebih lantang.

“Ah kau benar, kau bukan dewa, tapi dewi, Dewi Atheos karena kau wanita” Ejek Zeus semakin menjadi.

*

“Aku… bukan… dewi” gumamku.
“Dewa dewi… Hei bangun, kau tertidur sebentar sepertinya, dan bergumam, mengigau dalam tidur, ayo bangun, banguuuun” ujar seseorang.

“Kau tertidur saat aku bercerita, sungguh tidak sopan he he he” lanjut suara itu.

Kami masih di tempat yang sama, dan banyak tanaman bunga yang sedang berbunga sangat lebat disekitar area tersebut, aroma wangi bunga menyebar menguar ke sekitarnya.

"Adakah angin memiliki wangi? Karena aku mampu mencium harummu bersama udara yang berhembus masuk dalam tubuh ini."

"Aswin...."

"Ya?"

"Bacakan puisi itu di depan gadis yang kausukai." Ucapku sembari mengerjapkan mata menyesuaikan cahaya yang masuk setelah bangun dari tidur, mulai tersadar.

“Aku tidak yakin Vedika menyukai puisi-puisiku,” balasnya, muram.

“Kau tidak pernah menyampaikannya. Bagaimana kau tahu dia menyukai atau tidak menyukai puisimu?” sindirku, ketus.

“Hei! Jangan mengatakannya keras-keras. Aku tidak mau ada yang sampai mendengar dan mengetahui aku menyimpan perasaan pada gadis itu. Sungguh aku belum punya keberanian untuk memberitahunya.”

“Simpan saja terus, sampai kau sadar semuanya terlambat dan puisimu akan lebih mirip makanan basi daripada karangan bunga yang indah,” cibirku padanya.

“Jahat sekali kata-katamu itu,” ujar Aswin, cemberut.

Aku menghela napas. OK, barusan itu memang keterlaluan. Namun Aswin harusnya sadar kalau percuma saja ia membuat puisi namun tidak pernah disampaikan. Aku jadi memandangnya seperti tengah menghibur dirinya sendiri.

Harus kuakui itu salah Aswin kalau hubungannya tidak memiliki kemajuan apa pun. Gadis ini, si Vedika, dan dia hanya mengetahui nama satu sama lain. Mungkin saja Vedika sudah lupa nama Aswin. Mungkin saja karena mereka tidak ngobrol dalam jangka waktu yang cukup lama.

Jadi ceritanya Aswin bertemu dengan gadis ini saat dia ke perpustakaan kuil. Gadis itu ada di sana dan Aswin tidak berani mengajaknya berkenalan. Ia tahu nama gadis itu Vedika karena petugas perpustakaan menyapa orang itu.

Sementara mereka berkenalan karena petugas perpustakaan yang mengenalkan mereka. Saling menyebutkan nama tanpa ada kelanjutan.

“Kau tahu aku tidak gemar membaca buku. Aku ke sana hanya untuk mengantarkan pesanan Brachuura karena waktu itu Akusara sedang sakit, jadi aku menggantikannya.”

“Bukan berarti kau tidak punya bahan obrolan. Masa hanya menyebutkan nama kemudian bubar? Yang lebih hebat lagi, gadis itu bisa membuatmu jatuh cinta pada pandangan pertama. Kalian bahkan tidak mengobrol.”

“Itulah kekuatan cinta, temanku. Aku tidak akan memaksamu memahamiku karena kau memang belum pernah terkena panah asmara, jadi akan sulit buat menjelaskannya.”

Aku mengerutkan dahi.
“Bahkan kalian belum bertemu lagi setelah beberapa bulan berlalu. Aku tidak mengerti bagaimana gadis itu bisa selalu berada di kepalamu.”
“Sebenarnya minggu lalu kami bertemu, atau lebih tepatnya aku melihatnya sementara dia tidak melihatku,” ujar Aswin dengan senyuman di wajahnya. Sangat kentara kalau dia bahagia.

“Benarkah?”

Aswin mengangguk riang. “Aku melihatnya di pasar. Minggu lalu aku pergi ke sana bersama ibuku dan Amrita. Membeli kain untuk digunakan keluargaku pergi ke upacara Shinar. Dan aku melihat Vedika di tempat penjual bahan sandang.”

“Apa kau menyapanya?” tanyaku sembari menguap, kantuk menyerang lagi, tapi kuharap kali ini tidak mendadak jatuh tertidur seperti sebelumnya, aku yakin saat tertidur Aswin kemungkinan besar mengoceh sendiri tanpa aku tahu, dan dia baru sadar aku telah tertidur saat aku mengigau.

Rasanya kepalaku benar-benar berat. Aku nyaris tidak tidur setelah itu, semalaman mengobrol dengan Aswin hingga larut malam.

Kami membicarakan banyak hal. Baik yang sudah pernah kami bicarakan juga hal-hal yang masih hangat jadi perbincangan di desa.

“Lidahku kelu. Aku tidak bisa berpikir, tidak bisa merangkai puisi indah seperti biasanya. Seolah ia memiliki aura magis, aku hanya bisa menatapnya dari toko lain dan terus menatapnya.”

Kau hanya tidak berani mencoba mengenal gadis itu lebih dekat, pikirku, ketus. Aswin sudah tergila-gila pada gadis itu selama satu tahun terakhir, dan sinting dia masih belum berani maju.

Aswin tidak perlu menyatakan cinta karena pasti aneh jika ia mengatakan mantra-mantra kasih sayangnya di hadapan gadis yang mungkin saja sudah melupakannya. Ia perlu mendekati gadis itu lebih dulu. Mendekati secara nyata, bukan sekadar memikirkannya.

Aswin yang malang. Sebenarnya yang ia perlukan hanya rasa percaya diri. Secara tidak disengaja ia sudah dibantu petugas perpustakaan untuk berkenalan dengan Vedika, sayang ia tidak berani untuk melanjukan usahanya.

Hanya menatap dan mengagumi, namun punya keinginan untuk memiliki. Tidakkah itu terdengar cukup rumit? Entahlah apa yang sebenarnya merasukinya atau memang cinta sebenarnya bisa membuat seseorang menjadi lumpuh dan merasa tak berdaya.

Tapi kadang aku merasa Aswin merasa beruntung karena memiliki sosok untuk dipikirkan. Bagi orang semacam aku yang belum menyentuh kehidupan cinta, kejadian-kejadian dalam hidupkulah yang akan terus kupikirkan.

Berulang-ulang, memikirkan hal yang sama hingga ada hal yang baru datang.
Hal baru yang menggelitik rasa penasaran dan seolah tidak memperbolehkanku buat tenang, seperti kisah upacara agung semalam.

Cerita Rawi nyaris tidak masuk akal. Namun hal yang lebih tidak masuk akal lagi adalah aku memikirkannya. Konsep upacara yang tidak pernah kudengar sebelumnya benar-benar mengganggu pikiran.

Upacara yang tidak semua orang dapat menyelesaikannya, upacara yang hanya diikuti segelintir orang. Upacara bagi pemberani.

Tentunya jika upacara itu benar-benar ada, maka banyak orang yang akan penasaran karena hanya dengan mendengarnya saja aku sudah terjebak di dalamnya, ingin tahu lebih banyak dan berharap itu bukan sebatas imajinasi atau bualan seorang Rawi.
Aku ingin tahu lebih dalam soal upacara itu, mendapatkan informasi yang lebih detail. Tapi masalahnya dari siapa? Aku tidak ingin bertanya pada Rawi lagi.
Aku memerlukan info minimal dari satu orang lagi, siapa?

Aku akan mencarinya. Cepat atau lambat aku bakal mendapat jawabannya. Aku harus tahu lebih banyak. Yang terpenting, aku harus yakin kalau upacara Archilum itu memang ada.

“Oh ya kau tidak ingin menyambut kepulangan kakakmu, Candhra? Ini adalah pertama kalinya ia mengikuti Shinar. Kurasa ia akan bercerita banyak hal padamu.”

Aku menoleh dan kemudian menyadari bahwa aku mestinya pulang sebelum ibu dan kakakku pulang. Kalau aku bergegas sekarang, aku bisa tiba di rumah duluan, tapi entah mengapa segalanya menjadi kabur.

Seolah kepalaku ini hanya dapat diisi oleh kisah dari Rawi. Cerita itu benar-benar mengangguku. Aku ingin informasi yang lebih detail dan lengkap. Tapi aku tidak ingin bertanya pada Rawi lagi.

Harus ada orang lain. Masalahnya siapa?
Semakin memikirkannya, semakin kepalaku terasa berat dan ingin pecah. Minimal aku harus tahu lebih lanjut.

Apakah Archilum benar-benar ada, atau bualan saja. Jika benar, maka pencarianku akan kulanjutkan lebih dalam lagi. Jika itu hanya tipuan Rawi, aku harus memastikan kalau ceritanya memang palsu.

Aku mendesah pelan dan membalas ucapan Aswin.

“Kau benar, semestinya aku berada di rumah dan mengucapkan selamat.”
“Chatura pasti senang berjumpa denganmu.”

Sayangnya aku tidak yakin dia akan senang. Sebenarnya aku memang akan mengajaknya bicara, atau lebih tepatnya bertanya apakah ia mendengar mengenai upacara Archilum saat di kuil.

Ya, aku akan mencoba bertanya pada Chatura meski tidak yakin orang itu akan mengetahuinya.

Masalahnya aku tidak punya pilihan lain, aku tidak tahu harus bertanya pada siapa lagi.

Hari ini aku benar-benar tidak fokus. Mirip mayat yang berkeliaran. Aku bahkan tidak benar-benar ingat perjalananku hingga tiba di pekarangan rumah.

Pasti aku berjalan sembari melamun tadi.

Hanya ada kesadaran sedikit, seperti ketika melompati batu atau menghindari lubang di tanah. Aku benar-benar aneh, hanya berjalan menuju rumah saja, sementara pikiranku terus mengingat-ingat apa yang di katakan Rawi.

Saat aku sadar, aku sudah berada di dapur dan memandangi tungku yang menghitam karena api.

Rumah ini benar-benar sepi, sepertinya aku berhasil datang sebelum ibu dan kakakku tiba di rumah. Sekarang yang perlu kulakukan adalah menyiapkan makanan buat mereka.

Kedua orang itu pasti lelah, terutama ibu.

"Kau pulang tanpa membawa makanan lagi, Candhra."

Chatura masuk ke dalam dapur sembari melipat tangannya di depan dada.

"Tadinya aku berharap kau akan membawa ikan atau Brachuura," sambungnya sembari memerhatikanku yang sedang menyiapkan makan siang buat ibu dan dia.

Bersambung...


Cerbung ini ada di majalah AN1MAGINE Volume 3 Nomor 1 Januari 2018 eMagazine Art and Science yang dapat di-download gratis di Play Store, share yaa


“Menerbitkan buku, komik, novel, buku teks atau 
buku ajar, riset atau penelitian di jurnal? An1mage jawabnya”

AN1MAGINE BY AN1MAGE: Enlightening Open Mind Generations
AN1MAGE: Inspiring Creation Mind Enlightening 
website an1mage.net www.an1mage.org

Comments

Popular Posts

PARTNERS

Contact Form

Name

Email *

Message *