Keberagaman di Teras Sharing #3
NUSANTARA: Keberagaman
di Teras Sharing #3
Widayanti Arioka
widarioka.wordpress.com
Teras Sharing merupakan program rutin bulanan Yayasan Wisnu yang bertujuan menciptakan ruang untuk kaum muda berbagi karya dan pemikiran di Bali Selatan.
“Kolaborasi Nusantara” menjadi tajuk Teras Sharing yang ketiga. Tajuk tersebut dipilih karena kegiatan ini dilaksanakan dalam rangka memperingati Hari Nusantara tanggal 13 Desember 2017.
Disebut kolaborasi karena melibatkan delapan pihak yakni Geo Coffee, Coral Reef Alliance (CORAL), Reef Check Indonesia (RCI), Klik Amed, Jaringan Ekowisata Desa (JED), Pusat Pendidikan Lingkungan Hidup (PPLH), dan Yayasan IDEP.
Teras Sharing #3 dilaksanakan selama lima hari, dari tanggal 9-13 Desember 2017 di Geo Coffee. Pameran foto, pemutaran video dan film, serta diskusi terkait masyarakat nusantara, menjadi bagian dari rangkaian Teras Sharing #3: Kolaborasi Nusantara.
Pameran Foto “Bunutan Bercerita”
Kegiatan ini berlangsung sepanjang penyelenggaraan Teras Sharing #3 dan memamerkan foto-foto yang telah diseleksi dari kegiatan “Mari Bicara Lewat Foto (MBLF)” di Desa Bunutan, Karangasem.
Kegiatan MBLF difasilitasi oleh CORAL, RCI, dan Klik Amed, dengan mengadaptasi metode “Photovoices” untuk membantu masyarakat menceritakan kisahnya melalui media foto.
Pembukaan pameran foto pada tanggal 9 November 2017, diisi dengan lelang foto, serta pemutaran video “Sepenggal Desa: Bunutan Berbicara”. Dari hasil lelang, terjual 2 foto yang hasilnya akan diberikan kepada masyarakat terdampak erupsi Gunung Agung.
Masyarakat Kaki Gunung Berapi: Antara Relokasi atau Beradaptasi
Pada tanggal 11 November 2017, diadakan pemutaran film bertema bencana erupsi gunung berapi. Ada tiga film yang diputarkan yakni, film “Ancaman Gunung Sinabung” (karya Yayasan IDEP), “Merapi Berduka” (karya Yayasan IDEP), dan “Digdaya Ing Bebaya” (karya BW Purba Negara).
Ketiga film ini memperlihatkan perbedaan karakter gunung berapi dan cara masyarakat di masing-masing kaki gunung dalam menghadapi erupsi gunung berapi. Masyarakat di kaki Gunung Sinabung harus direlokasi karena kondisi Gunung Sinabung yang masih erupsi dari tahun 2010 sampai sekarang.
Sementara film “Digdaya Ing Bebaya” justru menceritakan masyarakat di desa tertinggi di Merapi yang menolak direlokasi dan memilih untuk beradaptasi dengan Gunung Merapi.
Diskusi usai pemutaran film membicarakan pula hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pembuatan film tentang kebencanaan, dan apa yang bisa dilakukan untuk menghadapi erupsi Gunung Agung.
Diskusi terkait konteks Gunung Agung dilakukan dengan bercermin pada ketiga film yang bercerita tentang erupsi dari Gunung Sinabung dari tahun 2010 sampai 2013 dan Gunung Merapi di tahun 2010.
Kepercayaan Lokal di Indonesia: Masihkah ada?
Di tanggal 13 November 2017 kembali diadakan pemutaran film dengan tema kepercayaan lokal di Indonesia.
Film yang diputar adalah “Ahu Parmalim” karya Cicilia Maharani yang bercerita tentang kehidupan remaja bernama Carles Butar Butar yang menganut Ugamo Malim.
Juga pemutaran “Karatagan Ciremai” karya Ady Mulyana yang mendokumentasikan kehidupan remaja bernama Anih Kurniasih dan keluarganya yang menganut kepercayaan Sunda Wiwitan. Kedua film ini adalah film dari Yayasan Kampung Halaman.
Pemutaran film kemudian dilanjutkan dengan diskusi terkait kepercayaan lokal di Indonesia, yang dimoderatori oleh Nura Batara dari Aliansi Masyarakat Adat Nasional (AMAN). Dalam diskusi, ada beberapa kepercayaan lokal yang disebutkan peserta diskusi selain Ugamo Malim yang dianut Parmalim di Sumatra Utara dan Sunda Wiwitan di Cicuruk.
Kepercayaan lokal lainnya yaitu Aluk Todolo di Toraja, Kaharingan di Kalimantan Selatan, Marapu di Sumba, Perbegu di Sumatra Utara, Kejawen di Jawa Tengah, Mojokerto, hingga Bali Aga di Bali.
Diskusi ini kemudian membahas perbedaan penerimaan masyarakat terkait kepercayaan lokal tersebut. Peserta diskusi juga mengapresiasi film yang diputar dan kehidupan dua remaja penganut kepercayaan lokal dalam film tersebut.
Pada akhirnya muncul usulan bagi sutradara film “Karatagan Ciremai” untuk membuat film dokumenter lanjutan tentang penganut kepercayaan Sunda Wiwitan pasca Keputusan MK yang mengakui adanya penghayat kepercayaan di Indonesia, mengingat dalam film tergambar bagaimana sulitnya penganut Sunda Wiwitan mengurus administrasi kependudukan mereka.
Hal ini diusulkan untuk melihat efek dari keputusan tersebut terhadap kehidupan penganut kepercayaan lokal yang terkait dengan urusan administrasi di catatan sipil dan kependudukan.
“Menerbitkan buku, komik, novel, buku teks atau
buku ajar, riset atau penelitian di jurnal? An1mage jawabnya”
AN1MAGINE BY AN1MAGE: Enlightening Open Mind Generations
AN1MAGE: Inspiring Creation Mind Enlightening
website an1mage.net www.an1mage.org
Comments
Post a Comment