“HARIMAU OMPONG”
http://www.ayeey.com/2015/02/25-gambar-harimau-yang-lucu.html
Niken Penta Dewi
“Berpikirlah seperti gunung dan bertindaklah seperti angin.”
Berjuang untuk apa pun pasti memberi kesan ataupun momen yang membanggakan meski mayoritasnya adalah kenangan yang buruk, baik dalam menghadapi serangan dari pihak lawan untuk kebaikan pihak sendiri maupun untuk kemaslahatan orang banyak.
Bagaimana upayaku untuk mengatasi segala permasalahan yang timbul selain diperlukan taktik dan nalar juga mempertimbangkan firasat yang berasal dari pengalaman orang lain maupun diri sendiri.
“Aku tak pernah bertemu orang yang sepayah kamu,” omel Dio yang membuat emosiku hampir tak terkontrol, jemari tangan kanan sudah terkepal siap meninju mulutnya, “pukul aku lalu hadapi persoalan dengan otakmu bukan hatimu!” tantang Dio lagi.
Aku berpikir sejenak untuk benar-benar memukulnya lalu ragu-ragu, tapi akan menghadapinya dengan kepandaianku, suatu hari nanti.
“Aku akan memberi waktu padamu untuk memikirkan kebenarannya,” kataku pelan dengan mata menatapnya tajam dan kepala ini rasanya berlipat-lipat menahan emosi jiwa.
“Dia memancarkan diri kepercayaan seorang pemimpin,” bisik kawan Dio yang terdengar telinga sewaktu aku memutar balik badan meninggalkan mereka berdua dengan langkah tegap seorang lady boss.
Sepatu hitam ber high heels menambah keanggunan dan percaya diri saat bergelut dengan masalah kerja yang tak ada habisnya. Bagai pepatah, mati satu tumbuh seribu.
“Ibu Dewi, bagaimana?” songsong Nenny, sekretaris kantor ini. Aku hanya membalas dengan mengangkat jempol kiri karena tangan kanan masih membawa tas kerja yang belum sempat kuletakkan di meja ruangan kerja selaku pemilik usaha bidang lanskap dan pertamanan.
“Pak Setya kehilangan pekerjaan yang telah 70% akan didapatnya karena deadlock saat presentasi dengan pimpinan proyek yang baru. Sebab seminggu lalu, mendadak ada pergantian pimpro menggantikan yang lama karena dimutasikan ke daerah Lombok, pascabencana gempa bumi di Agustus lalu” Nenny berbicara menjelaskan tanpa kuminta lagi.
“Begitulah jika hubungan dua arah tak dibangun dengan baik dan komunikasi adalah kunci dari penyelesaian segala hal baik yang remeh- temeh maupun serius antara dua orang atau lebih. Seperti contoh, Nenny dengan pasangan hidupnya, tentu terus membangun komunikasi yang berkualitas meski kuantitasnya hanya sedikit,” kubuat senyum semanis mungkin untuk menepis kegalauan pikiran, Nenny jadi tertawa malu dan beringsut menjauh.
Aku duduk terpekur sendiri, seusai menyelesaikan administrasi rutin dikantor mungil ini. Tak terasa sudah 12 tahun aku membangun usaha di bidang pertanian
khususnya tanaman hias dan sekarang berkutat dengan dunia pertamanan semenjak 3 tahun belakangan ini.
Proyek pertama yang kukerjakan di bidang pertamanan adalah pemindahan pohon sebagai boulevard jalan utama kotaku di Pekanbaru sewaktu pembangunan jembatan layang.
Pohon-pohon yang sudah besar dan rindang dipindahkan ke jalan utama menuju stadion dan terminal bis yang baru dibangun dalam keadaan harus tumbuh dan hidup lagi. Pekanbaru
sedang menggeliat memperbaiki dan membangun sarana dan prasarana yang dibutuhkan sebagai tuan rumah Pekan Olahraga Nasional.
Di sinilah, aku berkenalan dengan Dio, selaku Manager perusahaan milik Pak Setya yang menunjukku sebagai subkontraktor dalam pekerjaan pemindahan pohon ini.
Awalnya Dio terlihat baik dan gentlemen, namun setelah satu tahun pekerjaan pemindahan pohon usai belum juga selesai dia membayarkan kewajibannya pada perusahaanku.
Tapi aku masih bersabar dan positif thinking, lalu dia memberi lagi pekerjaan taman di boulevard jalan utama menuju bandara Sutan Syarif Qasim II dan berlanjut hingga bulan lalu yaitu menanam rumput di seputaran stadion utama. Begitu pekerjaan terakhir selesai, aku segera membuat daftar tagihan biaya pekerjaan sesuai Surat Perjanjian Kerja yang telah ditanda tangani bersama.
Namun apatah yang aku dapatkan, justru ancaman dan kekerasan mental. Aku serasa pengemis di ruangan Dio saat menagih kewajiban perusahaannya, bahkan belagak bak harimau ompong yang pandai menggertak.
Aku pun tak meladeninya. Sabar memang tak ada habisnya, tapi kesabaranku sudah di titik nadir hingga sering menghindar bertemu secara fisik dengannya. Namun, kian lama tak bisa mengabaikan segala ancamannya dengan kepala dingin maka diperlukan trik yang cerdas agar terjadi win win solution.
Pintu ruang kerja diketuk orang, kupersilahkan masuk dan ternyata pak Setya datang dengan raut muka kacau balau dengan senyum yang dipaksakan.
“Dewi, berikan Bapak waktu untuk menyelesaikan pelunasan utang sisa pembayaran proyek yang lalu. Dan saat ini, bisa tolong perhitungan dan gambar detil dari sketsa lanskap di perempatan jalan Sudirman dengan
Jl. Imam Munandar ini,” beliau berbicara manis dan santun tutur katanya dengan mata yang memancar penuh harap, “Bapak suka elemen alami dan modern seperti ini, terlihat artistik” kembali mata beliau berkilat senang.
Senyum kegembiraan mengembang ceria dan diriku serasa melayang di awang-awang saat mendengar pujiannya, hmm … aku juga manusia biasa kan?
“Maaf Bapak, saya dan tim kerja akan berpikir ulang untuk bekerjasama lagi dengan bapak dalam proyek ini,” ke dua tangan kuletakkan di meja kerja dengan mencondongkan badan ke arah wajahnya sambil menatap tajam, menandakan keseriusan pendapatku.
“Dewi, mengapa membatalkannya?” panik melandanya, “Bapak suka bekerjasama dengan Dewi, selain hasilnya memuaskan juga terlihat ada ketulusan dalam membantu menyelesaikannya,” terbersit rasa iba bercampur senang dipuji lagi.
Tiba-tiba ruangan dilanda sunyi, kami berdua sama-sama tenggelam dalam pikiran masing- masing. Hanya suara dengung mesin pendingin ruangan dan gesekan kertas gambar yang masih dipegangnya.
Aku teringat nasihat ayah saat mengeluh tentang sikap Dio, “Menjauhlah dari orang yang seperti itu, jangan bertindak dan berargumentasi. Tersenyum sajalah lalu kerjakan hal lain, daripada pikiranmu menjadi bingung dan kamu harus pandai mengubah kesulitan menjadi keuntungan”.
Rasanya aku harus bicara jujur apa adanya daripada malu mengatakannya karena harga diri yang meninggi hingga harus mengorbankan keuntungan yang pasti didapat dari pekerjaan yang baru ini.
“Terus terang, kami sudah kehabisan modal kerja karena terbenam di 2 proyek yang sebelumnya. Dan, saat menagih ke kantor Bapak justru mendapat perlakuan bagaikan saya peminta-minta” tegasku.
“Menagihnya kepada siapa?” tanya beliau sambil menyilangkan kaki dan bersandar, terlihat terkejut mendengar perkataanku.
“Dio” singkatku.
“Itu memang wewenangnya, tapi dia tak pernah mengatakan jika ada kesulitan tentang
pembayaran dengan pihak lain, terutama pada Dewi,” terlihat sekali beliau prihatin dengan permasalahanku.
“Baik, nanti Bapak akan selesaikan dengan Dio. Namun Bapak berharap Dewi terus melanjutkan proyek baru ini dengan menyelesaikan detil- detil tadi, bisa 2 hari ke depan Bapak terima di kantor?” kembali beliau menunjukkan sikap harap-harap cemas.
“Begini Pak Setya, seringnya pihak Bapak yang melanggar dan menabrak kesepakatan ataupun mengubah desainnya. Terutama Dio, suka mengacaukan kesepakatan dengan klien Bapak yang lain selain saya,” aku berhenti sejenak merilekskan gejolak amarah yang sudah lama kutahan.
“Saya tak bisa memaksa orang jika mereka tak menginginkan, tapi karena pihak Bapak sudah menunjuk saya selaku subkontraktor tentunya komitmen dengan peraturan yang telah dibuat. Sebab peraturan itu bukan sebuah ilusi yang bisa dihilangkan sekehendak hati …”
“... tapi adalah suatu kehormatan bermartabat yang membuat hidupnya suatu usaha atau jalannya suatu pekerjaan. Itu inti dari semua hal permasalahan kita selama ini. Dan saya selalu mengutamakan mutu serta tepat waktu dalam hal pekerjaan, bukan hanya modal kerja berupa uang saja yang dibutuhkan
menyelesaikannya …”
“... meskipun Bapak sering kali mengulur-ulur waktu pembayaran hasil jerih payah perusahaan saya,” kuambil gelas minum menyegarkan tenggorokan untuk menetralisir suasana yang mulai memanas serta mempersilakan beliau minum juga.
“Insiden ini membuat semua terasa semakin suram,” Pak Setya bergumam pelan sambil meletakkan gelas minumnya yang dihidangkan oleh Nenny sewaktu beliau baru masuk ruang kerja tadi.
“Iya, dan ini seperti mimpi buruk seakan bukan saya dan Bapak yang bertikai. Cerita awalnya yang manis jadi kacau balau, tapi mari kita benahi ulang agar tak terlalu terpuruk dan biaya proyek ini bisa dikendalikan dengan baik. Mungkinkah Bapak merevitalisasi sumber daya manusia?” sengaja kuberi jeda, menunggu reaksi beliau namun ternyata Pak Setya hanya diam mematung.
Kulanjutkan bicara serius yang menggantung, “namun jangan khawatir, saya akan komitmen untuk terus menyelesaikan kontrak pekerjaan ini sesuai kesepakatan yang telah kita tanda tangani bersama meski saya tak punya uang,” aku mencoba tersenyum tulus.
“Untuk itu mohon bapak lunasi pembayaran pekerjaan saya beberapa bulan lalu yang telah selesai, dan besok siang sudah masuk ke rekening perusahaan saya,” tegasku.
Aku telah belajar banyak hal tentang kelemahan dan kelebihan beliau dari Dio alias si harimau ompong yang tak lain adalah orang kepercayaannya. Seperti kata pepatah, jika
ingin menjatuhkan lawanmu maka jadikanlah dia kawan.
“Baik, akan saya pertimbangkan tentang restrukturisasi dan besok diusahakan sebelum jam rehat kerja dana pelunasan pekerjaan lalu sudah masuk rekening perusahaan Dewi.”
“Terima kasih, sekarang Bapak sudah merasa lebih baik,” kata pak Setya menutup pertemuan siang ini. Dan beliau berlalu dengan raut wajah ceria, kembali jadi dirinya sendiri.
Touch down.
Terkadang diperlukan waktu sejenak dengan membiarkan permasalahan pelik dengan orang lain agar saling menginstropeksi diri dan merenungi segala sebab-akibat yang timbul.
In real life, dalam hidup sesungguhnya yang tak sempurna ini sepantasnya memberi waktu
untuk berbenah diri sendiri dulu baru membantu yang lainnya maka hasilnya lebih menyenangkan serta indah pada akhirnya.
Tak perlu kita menyerah dengan keadaan yang sulit meski harus berdarah-darah menuntaskannya. Bukankah sebuah permasalahan merupakan sebuah tantangan tersendiri? Menjadikan kita bertambah dewasa penuh kematangan dalam berpikir, bersikap dan berucap.
“Setiap pembangkangan ada harga yang harus dibayar dan itu tidak murah”
Niken Penta Dewi
nama pena Kirey Dewi Aju. Menerbitkan buku: Puisi “LipstikBicara”, Novel “Diva: Cinta Yang Tak Dirindukan”dan “Pelangi Jingga”, Juara I Cerpen “Rumah Biru” oleh Panrita IP, 30 buku antologi puisi dan cerpen. Facebook: Kirey Dewi Aju & Niken Penta Dewi. email: kireykembangaju@gmail.com nikenpenta@yahoo.com
An1magine versi online ini secara lengkap ada di An1magine emagazine volume 4 Nomor 1 Januari 2019 yang dapat diunduh gratis di Play Store, Google Book, dan di An1mage Journal
“Menerbitkan karya digital untuk buku, komik, novel, buku teks atau buku ajar, riset atau penelitian jurnal
untuk terindeks di Google Scholar dan berada di Play Store untuk pemasaran global? An1mage jawabnya”
untuk terindeks di Google Scholar dan berada di Play Store untuk pemasaran global? An1mage jawabnya”
AN1MAGINE BY AN1MAGE: Enlightening Open Mind Generations
Comments
Post a Comment