IDRUS J. EKO: Gambar, Komik, Sinetron, dan Movie
Idrus J. Eko, salah satu penggiat seni yang malang melintang di dunia sinetron dan movie, memulainya dari menggambar, lalu berkecimpung di dunia komik.
Saat ditanya beberapa pertanyaan, Idrus J. Eko menggunakan kata ganti “saya” dalam menyebut nama dirinya, dan ramah dengan ketawa renyahnya sebagai ciri khas.
1. Bidang apa saja yang Kak Idrus sukai dan menjadi pencapaian sejauh ini?
2. Suka duka apa saja di bidang yang Kak Idrus alami di bidang tersebut?
Sebenarnya dari kecil saya sangat menyukai dunia menggambar, khususnya komik. Saya juga menyukai literasi, yaitu membaca ataupun menulis. Dari kelas 4 SD, saya terbiasa menulis diary. Sering saya menulis diary itu dalam bentuk puisi. Selama masa sekolah, dari SD sampai SMA, saya sering dimintai teman- teman untuk membantu pekerjaan rumah menggambar.
Bahkan waktu SD, nilai rapor saya yang paling tinggi itu cuma di pelajaran menggambar, bahasa Indonesia, dan bahasa Jawa. Sisanya, angka rapor saya katrolan semua. He he he he …. Saya masih ingat, di zaman SD dulu, cewek-cewek itu suka sekali sama cowok yang bisa gambar vinyet dan saya termasuk salah satu cowok yang lumayan jago bikin vinyet.
Ciri khas vinyet karya saya itu, selalu saya sertakan puisi pendek. Bahkan, masih di masa yang sama,saat 'trend' saling tukar diary di antara sesama teman, lalu kita wajib mengisinya dengan biodata kita plus kata- kata mutiara, saya selalu menyertaka suatu ilustrasi.
Dan dari dulu saya sangat menyukai superhero punya DC Comics: Batman. Sosok superhero inilah yang
selalu jadi ilustrasi 'biodata' saya di semua diary teman-teman saya. Karena banyaknya teman-teman wanita yang menyukai karya saya, otomatis saya lebih banyak hang out dengan teman-teman cewek daripada teman-teman cowok.
Hal ini berlanjut sampai saya lulus SMA. Buat Mama saya hal tersebut bukan sesuatu yang aneh dan patut dikuatirkan, seperti yang terjadi di masa milenial ini, di mana adik-adik dan atau anak-anak kita sontak menjadi alay dan bangga pula disebut cowok kemayu, begitu punya teman cewek lebih banyak daripada cowoknya.
Hal yang membuat Mama saya kuatir itu, karena ada 1 cewek, teman SD yang sering banget kirim surat cinta monyet ke saya dan ada saja alasan dia untuk membuat saya datang ke rumah dia itu hampir setiap hari. Sementara saya, dari dulu, memang nggak bisa diam kalau ada teman butuh bantuan, ini berlaku jugauntuk teman-teman cowok lho.
Setelah cewek itu nikah dan suaminya secara fisik sangat mirip dengan
saya, barulah saya nyadar kalau cewek itu bener- bener jatuh hati ke saya sejak kami masih SD. He he he he ….Kalau mau dibilang playboy, ya hitungannya iya juga. Walau sebenarnya saya termasuk penakut lho dalam urusan cewek, apalagi kalau si cewek ini mulai agresif dan istilah anak-anak sekarang itu, mulai pe de ka te.
Saya baru kenal yang namanya pacaran itu malah saat duduk di bangku SMA kelas 2. Itu pun hanya sebatas jalan berdua ke mana-mana. Mau pegangan tangan dan cium pipi aja, keringet dingin itu ngucur dan terasa sampai berhari-hari deg-degannya. Ha ha ha ha . . . .
Nah! Perjalanan saya untuk menekuni dunia komik itu sempat berputar-putar sejenak. Berawal dari adanya lowongan kerja dari badan sosial di sebuah gereja di bilangan Jakarta Barat, ada sebuah Production House(PH) bernama Scorta, membutuhkan karyawan yang bisa menggambar, karena mereka berencana untuk membuat TV seri animasi.
Dari sinilah saya berkenalan dengan dunia sinematografi, sebagai salah satu pelakon di balik layar untuk
pertama kalinya. Sebenarnya, seni pertunjukan cinema bukan hal aneh buat saya. Ayah saya adalah pelopor bioskop keliling atau layar tancap atau misbar (gerimis bubar), minimal di Jawa Timur.
Rasa penasaran saya dengan dunia atau seni pertunjukan ini dimulai saat suatu hari Ayah atau Papa saya membawa film India, saya lupa judulnya. Di film tersebut, saya menyukai peran 'Ayah' yang dilakoni oleh Amitabh Bachchan.
Namun sayangnya, di akhir film tersebut, karakter 'ayah' ini meninggal. Saya sempat menangis sampai
beberapa hari. He he he he …. Seminggu kemudian, Papa kembali membawa pulang film India dengan peran utama Amitabh Bachchan lagi. Kali ini sang aktor berperan seperti karakter Jungle Jim, TV seri ini pernah tayang di TVRI era 70- 80an, Sesosok hero layaknya Tarzan.
Jungle Jim berkostum ala pemburu dalam film-film Hollywood. Dan kali ini Amitabh Bachchan nggak mati. Saking sukanya saya dengan film ini, saya sempat hafal dengan refrain dari theme song film tersebut. Ha ha ha ha ha ….
“Keanehan” (dalam tanda kutip) tersebut (Amitabh Bachchan 'meninggal” di satu film, tapi tetap hidup di film lainnya) sempat saya tanyakan kepada Papa saya. Jawaban Papa saya waktu itu, “Di film, semua pemainnya itu nggak benar-benar mati, nggak benar-benar hidup.” Jadi intinya, semua itu bikinan dan ada banyak orang berperan di dalam seni pertunjukan layar tersebut. Sempat saya melupakan dunia sinematografi ini hingga Om saya menawari saya untuk kuliah di
Jakarta. Awalnya Om membebaskan saya untuk memilih jurusan yang saya maui. Namun begitu saya menyebut IKJ (Insitut Kesenian Jakarta), saya pun langsung “ditelantarkan” (pakai tanda kutip). Maka tempat pelarian saya ya gereja. Ini sudah jadi habit saya sejak menginjak ABG. Selama di kampung, Lumajang, Jatim, saya sangat aktif di hampir semua kegiatan gereja, kecuali WKRI ya?! Ya iyalah. WKRI.
Itu singkatan dari kata Wanita Katolik Republik Indonesia. He he he he he …. Nah, dari PH Scorta tersebutlah saya mulai belajar semua dasar sendi sinematografi secara otododak. Memasuki masa kerja +/- 1,5 tahun, ada Produser inHouse TPI yang menyewa ruang editing PH tersebut selama beberapa waktu.
Hingga akhirnya saya ditawari untuk jadi karyawan TPI (sekarang MNC_TV). Di TPI inilah beberapa nama besar sutradara sempat secara langsung maupun hanya krisan, menambah perbendaharaan lmu sinematografi saya, mulai dari: Arifin C. Noer, Teguh Karya (saya lebih suka memanggilnya “Om Steve
Liem”), Sjumandjaja, Wim Umboh.
Bahkan saya secara langsung tanpa harus ikut duduk di bangku kuliah IKJ diajari ilmu editing oleh dosen jurusan editing IKJ waktu itu, Pak Soemardjono.
Dari sisi penulisan skenario dan penyutradaraan, saya banyak menimba ilmu secara langsung dari Ali Shahab dan Putu Wijaya. Sementara dari sisi DoP (Direct of Photography) banyak sekali sineas senior kelas FFI yang dengan suka hati membagi ilmunya ke saya.
Sebagai movie editor, saya selalu jadi nominator editor terbaik, sejak Piala Vidia pertama kali diadakan di 1994 hingga 2012 dapat dilihat di link berikut ini: https://id.wikipedia.org/wiki/Festival_Film_In donesia_2011. Saat itu saya memakai nama St. Ahmad Idus JM dan …, tidak pernah menang. Ha ha ha ha ….
Namun saya beberapa kali mendapat “Editor Terpuji” di Festival Fim Bandung, seperti untuk FTV “Suamimu Gak Bisa Pulang, Cien”; Editor Terbaik di sebuah festival di Jepang ('keroyokan' dengan Tim Editor Citra Sinema) untuk TV seri “Para Pencari Tuhan, Jilid 2” . Dari TV seri inilah saya mendapat bonus umroh.
Kalau dibilang senangnya berprofesi sebagai movie editor itu …, bisa jalan-jalan ke seluruh Nusantara dengan biaya dari rumah produksinya. He he he he ….
Hal itu terjadi saat saya bekerja paruh waktu di Citra Cinema. Contohnya, FTV “Bakpao Pingping” membawa saya melangkah ke Singkawang (Kalbar) untuk pertama kalinya dan jerih payah saya terganjar sebagai
Nomimator Editor Terbaik FFI, Piala Vidia 2011.
Soal kenal aktor/aktrisnya sih, bukan sesuatu yang 'wah' buat saya, karena saya sering juga didapuk dadakan oleh Sutradaranya untuk jadi figuran berdialog dan lawan main saya adalah aktris pemeran utama atau pemeran pembantunya.
Seperti dalam FTV “Maaf Lebaran Ini Kami Tidak Pulang” karya Sutradara Guntur Soeharjanto, produksi Citra Cinema. Di samping saya memang Editornya, saya sempat 'cameo' 2 scene sebagai 'pengemudi motor' yang disangka oleh karakter yang diperankan Jiyan Btari sebagai ojek. Ha ha ha ha ….
Dukanya, yang sering kali adalah upah kita bekerja siang malam itu tidak dibayar oleh PH. Dan itu nilainya sering nggak sedikit, bisa menembus angka 20 juta.
Saya pernah diutang honornya oleh salah satu PH yang punya kantor mewah di bilangan Kuningan, Jakarta Pusat. Hingga saat ini, hak saya tersebut susah sekali ditagih. Namun buat kami (semua kru sinetron, khususnya pekerja striping), Itu bukan hal yang aneh, karena kontrak kerja hitam di atas putih itu tidak pernah ada.
Apalagi jika pemilik PH-nya itu orang India yang punya kantor mewah di bilangan Kuningan, Jakarta Pusat.
Dan nggak sedikit dari kami (kru film/sinetron) yang sampai saat ini belum punya rumah alias masih ngontrak di rumah petak tanpa kamar, cuma disekat tembok 2 lapis tanpa pintu, termasuk saya pada waktu itu.
Kenapa? Salah satu persyaratan untuk KPR itu: slip gaji. 1 hal yang tidak mungkin dipunyai oleh kami, kru sinetron khususnya.
Duka yang lain. Harga kru hingga Sutradara itu kian hari kian turun, sementara kebutuhan hidup kian lama bertambah mahal. Kami (semua kru senior) bisa memaklumi karena kerasnya kehidupan di Jakarta dan ulah segelintir kru yunior yang notabene (ngakunya) lulusan sebuah akademi (yang tempat kuliahnya cuma ruko dan sering beriklan di jam tayang televisi di dini hari).
Di sisi lain, Produser jama sekarang itu lebih menyukai kuantitas daripada kualitas. Jadi jangan heran jika sinetron saat ini kualitasnya makin hari makin turun.
Perjalanan hidup tak selamanya ada di atas
Banyak kesuksesan yang saya raih di dunia sinematografi, namun bukan berarti sukses pula rumah tangga
saya. Pernikahan pertama saya kandas di tahun 2015, saat saya tengah berada di proses akhir pembuatan film “PONTIEN, Pontianak Untoltd Story”. Namun di akhir April 2018, saya mencoba memulai berumahtangga kembali dan hijrah ke Tenggarong, Kalimantan Timur.
Karena belum ada kenalan dari dunia sinematografi, saya kembali menekuni hobby lama saya untuk saya jadikan sebagai profesi: komik. Namun tehnologi saat ini berkembang pesat. Ternyata komik itu bagian dari sebuah profesi enterpreunteur yang disebut Digital Artist.
Profesi inilah yang kini tengah saya geluti di usia yang sudah nggak bisa dibilang muda lagi. Di samping itu, mulai dari bulan Desember 2018, di Tenggarong ini saya juga aktif sebagai angota Majelis Kebudayaan Kutai Kartanegara dan 'anak cabang'nya, Dewan Kesenian Kutai Kartanegara.
3. Filosofi atau pepatah apa yang menjadi pegangan Kak Idrus dalam menghadapi tantangan yang ada sejauh ini di bidang tersebut?
4. Wejangan apa yang Kakak share untuk generasi milenial penerus bangsa di bidang tersebut?
Dari serentetan pengalaman dan “ilmu” dari dunia sinematografi itulah yang saya coba tuangkan ke dalam setiap panel-panel komik karya saya. Hal ini bisa disimak di komik “Az-Zahra” saya yang terbit reguler di An1magine. Setiap panel komik saya itu sebenarnya adalah sebuah 'standar' storyboard untuk produksi seni pertunjukan layar. Hanya layoutnya saja mengikuti aturan 'baku' layout komik Eropa. Karena saya kurang suka tatanan komik Amerika saat ini atau Manga: (buat saya) nggak beraturan.
Sementara untuk artwork dan kisahnya sendiri saya selalu mencoba menggabungkan style Manga dan komik Amerika/Eropa. Banyak teman yang komentar, artwork komik saya itu seperti comic artist, Jim Lee. Ha ha ha ha ….
Padahal saat saya browsing, berasa kayak bumi sama langit artwork saya dibanding artwork Jim Lee. Kalau
ditanya filosofi, saya termasuk bukan penyuka ujaran para filsuf untuk saya terapkan dalam hidup saya. Buat saya, the show must go on aja.
Namun ketika saya memeluk agama Islam, saya menemukan beberapa ayat-ayat yang selalu jadi penyemangat, saya saat saya stuck. Semisal lagi buntu ide, saya selalu merujuk ke QS 18:19. Lalu kalo lagi kesel sama sesuatu, saya selalu meredamnya dengan QS 6:32.
Namun kalau harus muhasabah (introspeksi), ada satu pepatah Cina kuno yang bisa dijadikan wejangan kepada anak- anak dan adik-adik kita, An1mareaders: “janganlah jadikan masa lalumu sebagai penghalang langkahmu. Tapi jadikan ia cermin, agar kamu tidak salah langkah di masa depanmu”.
Saat ditanya beberapa pertanyaan, Idrus J. Eko menggunakan kata ganti “saya” dalam menyebut nama dirinya, dan ramah dengan ketawa renyahnya sebagai ciri khas.
1. Bidang apa saja yang Kak Idrus sukai dan menjadi pencapaian sejauh ini?
2. Suka duka apa saja di bidang yang Kak Idrus alami di bidang tersebut?
Sebenarnya dari kecil saya sangat menyukai dunia menggambar, khususnya komik. Saya juga menyukai literasi, yaitu membaca ataupun menulis. Dari kelas 4 SD, saya terbiasa menulis diary. Sering saya menulis diary itu dalam bentuk puisi. Selama masa sekolah, dari SD sampai SMA, saya sering dimintai teman- teman untuk membantu pekerjaan rumah menggambar.
Bahkan waktu SD, nilai rapor saya yang paling tinggi itu cuma di pelajaran menggambar, bahasa Indonesia, dan bahasa Jawa. Sisanya, angka rapor saya katrolan semua. He he he he …. Saya masih ingat, di zaman SD dulu, cewek-cewek itu suka sekali sama cowok yang bisa gambar vinyet dan saya termasuk salah satu cowok yang lumayan jago bikin vinyet.
Ciri khas vinyet karya saya itu, selalu saya sertakan puisi pendek. Bahkan, masih di masa yang sama,saat 'trend' saling tukar diary di antara sesama teman, lalu kita wajib mengisinya dengan biodata kita plus kata- kata mutiara, saya selalu menyertaka suatu ilustrasi.
Dan dari dulu saya sangat menyukai superhero punya DC Comics: Batman. Sosok superhero inilah yang
selalu jadi ilustrasi 'biodata' saya di semua diary teman-teman saya. Karena banyaknya teman-teman wanita yang menyukai karya saya, otomatis saya lebih banyak hang out dengan teman-teman cewek daripada teman-teman cowok.
Hal ini berlanjut sampai saya lulus SMA. Buat Mama saya hal tersebut bukan sesuatu yang aneh dan patut dikuatirkan, seperti yang terjadi di masa milenial ini, di mana adik-adik dan atau anak-anak kita sontak menjadi alay dan bangga pula disebut cowok kemayu, begitu punya teman cewek lebih banyak daripada cowoknya.
Hal yang membuat Mama saya kuatir itu, karena ada 1 cewek, teman SD yang sering banget kirim surat cinta monyet ke saya dan ada saja alasan dia untuk membuat saya datang ke rumah dia itu hampir setiap hari. Sementara saya, dari dulu, memang nggak bisa diam kalau ada teman butuh bantuan, ini berlaku jugauntuk teman-teman cowok lho.
Setelah cewek itu nikah dan suaminya secara fisik sangat mirip dengan
saya, barulah saya nyadar kalau cewek itu bener- bener jatuh hati ke saya sejak kami masih SD. He he he he ….Kalau mau dibilang playboy, ya hitungannya iya juga. Walau sebenarnya saya termasuk penakut lho dalam urusan cewek, apalagi kalau si cewek ini mulai agresif dan istilah anak-anak sekarang itu, mulai pe de ka te.
Saya baru kenal yang namanya pacaran itu malah saat duduk di bangku SMA kelas 2. Itu pun hanya sebatas jalan berdua ke mana-mana. Mau pegangan tangan dan cium pipi aja, keringet dingin itu ngucur dan terasa sampai berhari-hari deg-degannya. Ha ha ha ha . . . .
Nah! Perjalanan saya untuk menekuni dunia komik itu sempat berputar-putar sejenak. Berawal dari adanya lowongan kerja dari badan sosial di sebuah gereja di bilangan Jakarta Barat, ada sebuah Production House(PH) bernama Scorta, membutuhkan karyawan yang bisa menggambar, karena mereka berencana untuk membuat TV seri animasi.
Dari sinilah saya berkenalan dengan dunia sinematografi, sebagai salah satu pelakon di balik layar untuk
pertama kalinya. Sebenarnya, seni pertunjukan cinema bukan hal aneh buat saya. Ayah saya adalah pelopor bioskop keliling atau layar tancap atau misbar (gerimis bubar), minimal di Jawa Timur.
Rasa penasaran saya dengan dunia atau seni pertunjukan ini dimulai saat suatu hari Ayah atau Papa saya membawa film India, saya lupa judulnya. Di film tersebut, saya menyukai peran 'Ayah' yang dilakoni oleh Amitabh Bachchan.
Namun sayangnya, di akhir film tersebut, karakter 'ayah' ini meninggal. Saya sempat menangis sampai
beberapa hari. He he he he …. Seminggu kemudian, Papa kembali membawa pulang film India dengan peran utama Amitabh Bachchan lagi. Kali ini sang aktor berperan seperti karakter Jungle Jim, TV seri ini pernah tayang di TVRI era 70- 80an, Sesosok hero layaknya Tarzan.
Jungle Jim berkostum ala pemburu dalam film-film Hollywood. Dan kali ini Amitabh Bachchan nggak mati. Saking sukanya saya dengan film ini, saya sempat hafal dengan refrain dari theme song film tersebut. Ha ha ha ha ha ….
“Keanehan” (dalam tanda kutip) tersebut (Amitabh Bachchan 'meninggal” di satu film, tapi tetap hidup di film lainnya) sempat saya tanyakan kepada Papa saya. Jawaban Papa saya waktu itu, “Di film, semua pemainnya itu nggak benar-benar mati, nggak benar-benar hidup.” Jadi intinya, semua itu bikinan dan ada banyak orang berperan di dalam seni pertunjukan layar tersebut. Sempat saya melupakan dunia sinematografi ini hingga Om saya menawari saya untuk kuliah di
Jakarta. Awalnya Om membebaskan saya untuk memilih jurusan yang saya maui. Namun begitu saya menyebut IKJ (Insitut Kesenian Jakarta), saya pun langsung “ditelantarkan” (pakai tanda kutip). Maka tempat pelarian saya ya gereja. Ini sudah jadi habit saya sejak menginjak ABG. Selama di kampung, Lumajang, Jatim, saya sangat aktif di hampir semua kegiatan gereja, kecuali WKRI ya?! Ya iyalah. WKRI.
Itu singkatan dari kata Wanita Katolik Republik Indonesia. He he he he he …. Nah, dari PH Scorta tersebutlah saya mulai belajar semua dasar sendi sinematografi secara otododak. Memasuki masa kerja +/- 1,5 tahun, ada Produser inHouse TPI yang menyewa ruang editing PH tersebut selama beberapa waktu.
Hingga akhirnya saya ditawari untuk jadi karyawan TPI (sekarang MNC_TV). Di TPI inilah beberapa nama besar sutradara sempat secara langsung maupun hanya krisan, menambah perbendaharaan lmu sinematografi saya, mulai dari: Arifin C. Noer, Teguh Karya (saya lebih suka memanggilnya “Om Steve
Liem”), Sjumandjaja, Wim Umboh.
Bahkan saya secara langsung tanpa harus ikut duduk di bangku kuliah IKJ diajari ilmu editing oleh dosen jurusan editing IKJ waktu itu, Pak Soemardjono.
Dari sisi penulisan skenario dan penyutradaraan, saya banyak menimba ilmu secara langsung dari Ali Shahab dan Putu Wijaya. Sementara dari sisi DoP (Direct of Photography) banyak sekali sineas senior kelas FFI yang dengan suka hati membagi ilmunya ke saya.
Sebagai movie editor, saya selalu jadi nominator editor terbaik, sejak Piala Vidia pertama kali diadakan di 1994 hingga 2012 dapat dilihat di link berikut ini: https://id.wikipedia.org/wiki/Festival_Film_In donesia_2011. Saat itu saya memakai nama St. Ahmad Idus JM dan …, tidak pernah menang. Ha ha ha ha ….
Namun saya beberapa kali mendapat “Editor Terpuji” di Festival Fim Bandung, seperti untuk FTV “Suamimu Gak Bisa Pulang, Cien”; Editor Terbaik di sebuah festival di Jepang ('keroyokan' dengan Tim Editor Citra Sinema) untuk TV seri “Para Pencari Tuhan, Jilid 2” . Dari TV seri inilah saya mendapat bonus umroh.
Kalau dibilang senangnya berprofesi sebagai movie editor itu …, bisa jalan-jalan ke seluruh Nusantara dengan biaya dari rumah produksinya. He he he he ….
Hal itu terjadi saat saya bekerja paruh waktu di Citra Cinema. Contohnya, FTV “Bakpao Pingping” membawa saya melangkah ke Singkawang (Kalbar) untuk pertama kalinya dan jerih payah saya terganjar sebagai
Nomimator Editor Terbaik FFI, Piala Vidia 2011.
Soal kenal aktor/aktrisnya sih, bukan sesuatu yang 'wah' buat saya, karena saya sering juga didapuk dadakan oleh Sutradaranya untuk jadi figuran berdialog dan lawan main saya adalah aktris pemeran utama atau pemeran pembantunya.
Seperti dalam FTV “Maaf Lebaran Ini Kami Tidak Pulang” karya Sutradara Guntur Soeharjanto, produksi Citra Cinema. Di samping saya memang Editornya, saya sempat 'cameo' 2 scene sebagai 'pengemudi motor' yang disangka oleh karakter yang diperankan Jiyan Btari sebagai ojek. Ha ha ha ha ….
Dukanya, yang sering kali adalah upah kita bekerja siang malam itu tidak dibayar oleh PH. Dan itu nilainya sering nggak sedikit, bisa menembus angka 20 juta.
Saya pernah diutang honornya oleh salah satu PH yang punya kantor mewah di bilangan Kuningan, Jakarta Pusat. Hingga saat ini, hak saya tersebut susah sekali ditagih. Namun buat kami (semua kru sinetron, khususnya pekerja striping), Itu bukan hal yang aneh, karena kontrak kerja hitam di atas putih itu tidak pernah ada.
Apalagi jika pemilik PH-nya itu orang India yang punya kantor mewah di bilangan Kuningan, Jakarta Pusat.
Dan nggak sedikit dari kami (kru film/sinetron) yang sampai saat ini belum punya rumah alias masih ngontrak di rumah petak tanpa kamar, cuma disekat tembok 2 lapis tanpa pintu, termasuk saya pada waktu itu.
Kenapa? Salah satu persyaratan untuk KPR itu: slip gaji. 1 hal yang tidak mungkin dipunyai oleh kami, kru sinetron khususnya.
Duka yang lain. Harga kru hingga Sutradara itu kian hari kian turun, sementara kebutuhan hidup kian lama bertambah mahal. Kami (semua kru senior) bisa memaklumi karena kerasnya kehidupan di Jakarta dan ulah segelintir kru yunior yang notabene (ngakunya) lulusan sebuah akademi (yang tempat kuliahnya cuma ruko dan sering beriklan di jam tayang televisi di dini hari).
Di sisi lain, Produser jama sekarang itu lebih menyukai kuantitas daripada kualitas. Jadi jangan heran jika sinetron saat ini kualitasnya makin hari makin turun.
Perjalanan hidup tak selamanya ada di atas
Banyak kesuksesan yang saya raih di dunia sinematografi, namun bukan berarti sukses pula rumah tangga
saya. Pernikahan pertama saya kandas di tahun 2015, saat saya tengah berada di proses akhir pembuatan film “PONTIEN, Pontianak Untoltd Story”. Namun di akhir April 2018, saya mencoba memulai berumahtangga kembali dan hijrah ke Tenggarong, Kalimantan Timur.
Karena belum ada kenalan dari dunia sinematografi, saya kembali menekuni hobby lama saya untuk saya jadikan sebagai profesi: komik. Namun tehnologi saat ini berkembang pesat. Ternyata komik itu bagian dari sebuah profesi enterpreunteur yang disebut Digital Artist.
Profesi inilah yang kini tengah saya geluti di usia yang sudah nggak bisa dibilang muda lagi. Di samping itu, mulai dari bulan Desember 2018, di Tenggarong ini saya juga aktif sebagai angota Majelis Kebudayaan Kutai Kartanegara dan 'anak cabang'nya, Dewan Kesenian Kutai Kartanegara.
3. Filosofi atau pepatah apa yang menjadi pegangan Kak Idrus dalam menghadapi tantangan yang ada sejauh ini di bidang tersebut?
4. Wejangan apa yang Kakak share untuk generasi milenial penerus bangsa di bidang tersebut?
Dari serentetan pengalaman dan “ilmu” dari dunia sinematografi itulah yang saya coba tuangkan ke dalam setiap panel-panel komik karya saya. Hal ini bisa disimak di komik “Az-Zahra” saya yang terbit reguler di An1magine. Setiap panel komik saya itu sebenarnya adalah sebuah 'standar' storyboard untuk produksi seni pertunjukan layar. Hanya layoutnya saja mengikuti aturan 'baku' layout komik Eropa. Karena saya kurang suka tatanan komik Amerika saat ini atau Manga: (buat saya) nggak beraturan.
Sementara untuk artwork dan kisahnya sendiri saya selalu mencoba menggabungkan style Manga dan komik Amerika/Eropa. Banyak teman yang komentar, artwork komik saya itu seperti comic artist, Jim Lee. Ha ha ha ha ….
Padahal saat saya browsing, berasa kayak bumi sama langit artwork saya dibanding artwork Jim Lee. Kalau
ditanya filosofi, saya termasuk bukan penyuka ujaran para filsuf untuk saya terapkan dalam hidup saya. Buat saya, the show must go on aja.
Namun ketika saya memeluk agama Islam, saya menemukan beberapa ayat-ayat yang selalu jadi penyemangat, saya saat saya stuck. Semisal lagi buntu ide, saya selalu merujuk ke QS 18:19. Lalu kalo lagi kesel sama sesuatu, saya selalu meredamnya dengan QS 6:32.
Namun kalau harus muhasabah (introspeksi), ada satu pepatah Cina kuno yang bisa dijadikan wejangan kepada anak- anak dan adik-adik kita, An1mareaders: “janganlah jadikan masa lalumu sebagai penghalang langkahmu. Tapi jadikan ia cermin, agar kamu tidak salah langkah di masa depanmu”.
An1magine versi online ini secara lengkap ada di An1magine emagazine volume 4 Nomor 1 Januari 2019 yang dapat diunduh gratis di Play Store, Google Book, dan di An1mage Journal
“Menerbitkan karya digital untuk buku, komik, novel, buku teks atau buku ajar, riset atau penelitian jurnal
untuk terindeks di Google Scholar dan berada di Play Store untuk pemasaran global? An1mage jawabnya”
untuk terindeks di Google Scholar dan berada di Play Store untuk pemasaran global? An1mage jawabnya”
AN1MAGINE BY AN1MAGE: Enlightening Open Mind Generations
Comments
Post a Comment