CERPEN: PENYEMBAH LISTRIK
PENYEMBAH LISTRIK
Archana Universa
“Tuhan kita adalah listrik! Tanpa listrik, kita akan buta saat malam hari dan banyak hal yang tidak dapat kita lakukan tanpa listrik. Listrik sangatlah penting, seperti oksigen bagi manusia.”
Aku berusaha tidak menguap tiap kali mendengarkan ceramah Yorsia, guru spiritual, mengenai listrik, mengenai bagaimana dia memujanya dan bagaimana kami semestinya juga sependapat dengan mereka.
Ini adalah agama orang-orang di zamanku. Tapi sama sekali bukan agamaku.
Aku tidak tahu. Apakah di luar sana ada tuhan lain selain listrik karena agama kami hanya satu.
Orang-orang memuja listrik, memosisikannya di tempat yan maha tinggi, maha kudus. Listrik adalah sumber kehidupan. Tanpa listrik, tidak ada kehidupan. Semacam itu.
Agama kami memiliki benda-benda suci. Generator, kabel, lampu adalah benda yang harus dijaga dengan baik. Tidak semua orang boleh berurusan dengan benda-benda suci. Hanya para insinyur yang boleh melakukan ritual pada benda-benda tersebut.
Tentunya ada hukuman berat yang menantimu bila kau berusaha menyentuh apa yang tidak kau ketahui. Mulai dari pengucilan sosial, sebagai hukuman paling ringan. Hukuman paling beratnya adalah kematian itu sendiri.
“Pada tahun 237, Migas mencoba menyentuh benda-benda tuhan. Dia bukan seorang insinyur, tapi dengan tangannya yang penuh dosa, dia melakukan kesalahan yang tidak tuhan maafkan. Apakah ada yang tahu apa yang terjadi pada pendosa itu?” tanya Yorsia.
“Kematian,” sahutku sembari menyembunyikan nada bosan. Bukan sesuatu yang hebat sebenarnya karena cerita soal Migas amat sangat terkenal di antara kami. Diwariskan secara turun-temurun.
Kadang aku berpikir, cerita semacam ini bertujuan untuk menakut-nakuti kami. Atau memang agar kami tidak menyentuh benda-benda yang tidak kami ketahui, termasuk benda yang dianggap suci.
Yorsia mengangguk dengan gerakan yang agak didramatisir. Aku heran kenapa dia tidak melamar pekerjaan di teather saja. Yorsia lebih cocok menjadi artis dari pada guru, sungguh.
“Kematian,” ulang guru spiritual itu.
“Bahkan tuhan kita, listrik, sekalipun tidak mengampuni dosa Migas. Tidak saat dulu dia membuat kesalahan, tidak juga sekarang dan di masa depan. Listrik adalah terlarang bagi orang-orang non insinyur! Tentunya kisah soal Migas akan selalu membuat kita ingat untuk tidak menyentuh benda-benda suci.”
“Bagaimana tuhan mendorong manusia untuk melakukan perbuatan baik, cinta kasih, pemaaf.
Sementara dia sendiri tidak memaafkan Migas sampai kapan pun?” Kerrt yang duduk di sampingku memuntahkan pertanyaan yang selama ini kami sering bahas, tapi tidak di dalam kelas. Hanya percakapan anak muda biasa.
“Ada beberapa hal yang membuat tuhan memutuskan untuk memberikan hukuman. Tuhan telah memberikan neraka pada Migas, bukan tanpa alasan yang jelas,” jawab Yorsia.
“Tuhan kita maha adil, Kerrt. Dia akan memberi surga pada manusia yang taat padanya dan memberikan neraka pada yang memberontak. Tentunya tidak adil jika manusia yang baik dan buruk sama-sama masuk surga.”
“Jadi tuhan maha pemaaf atau maha pendendam sehingga memberikan hukuman tanpa akhir?” desak Kerrt.
“Para insinyur selalu berkata kita semua adalah anak tuhan! Lalu orang tua macam apa yang suka melihat anaknya disiksa selamanya dalam api neraka? Aku tidak tahu apakah aku harus membenarkan orang tua yang kejam pada anaknya!”
“Kau tidak boleh meragukan tuhanmu, Kerrt! Meragukan tuhan adalah sikap pendosa! Jangan mengikuti langkah Migas, anakku!” seru Yorsia, dengan nada tajam.
“Bertobatlah selagi tuhanmu masih memberikan kesempatan buatmu hidup! Dan lakukan perbuatan baik, nak!”
Aku menyikut pelan Kerrt agar tidak melanjutkan konfrontasi dengan guru kami. Yorsia sangat taat pada agama, tidak pernah menanyakan apa pun mengenai tuhannya. Sehingga tingkah Kerrt pasti tidak akan diterimanya.
Kerrt terdiam, ia memahami sinyal yang kuberikan. Ia masih ingin beradu pendapat dengan Yorsia, hal itu tersirat jelas di wajahnya. Tapi ia berusaha menenangkan diri.
“Jangan berdebat dengan orang yang tidak waras.” Kalimat itu pernah kuberikan pada Kerrt. Bahwa orang-orang penyembah listrik tidak lagi kritis.
Mereka hanya menerima apa yang sudah diterima selama berabad-abad, tanpa ada pertanyaan apa pun karena bagi orang-orang ini agama listrik adalah kebenaran.
Tidak, kau salah kalau berpikir aku berada di pihak Yorsia. Aku seribu persen setuju dengan Kerrt hanya saja percuma berbicara dengan orang yang sudah menutup pikirannya. Ia sudah menciptakan dunianya sendiri. Siapa pun yang mencoba mengubah nilai-nilai yang dianut Yorsia adalah orang jahat.
“Tentu kami tidak akan mengikuti langkah Migas, ma’am,” kataku, berusaha untuk mencairkan suasana agar tidak terlalu tegang.
Selama sisa pelajaran, tidak ada lagi siswa yang berani menginterupsi penjelasan Yorsia mengenai tuhannya, tuhan orang-orang kami. Sesekali memuji listrik, sesekali menyindir sikap tidak terpuji Kerrt dengan perumpamaan-perumpamaan tak langsung.
Tubuh Kerrt menegang. Sama sepertiku, dia tidak menikmati pelajaran ini. Indoktrinasi agama, cuci otak. Seolah agama adalah sumber kebenaran.
Tapi di sini kami penjahatnya. Agama kami tidak memberikan ruang untuk bertanya. Keraguan dalam bentuk apa pun tidak dapat diterima. Pendosa dapat dihukum seret hingga mati. Bisa juga dibakar hidup-hidup.
Begitu bel tanda pelajaran berakhir tubuh Kerrt menjadi lebih santai, tidak terlalu tegang.
Yorsia memberikan kami tugas membaca kitab listrik supaya kami dapat mempertebal iman kami.
Menurutnya, segala pertanyaan kehidupan sudah tertuang dalam kitab oleh karenanya, setiap manusia yang masih mempertanyakan tuhannya adalah manusia yang tidak membaca kitab.
“Dekatkanlah diri kalian pada tuhan, anakku,” ujarnya sembari keluar dari kelas.
“Kurasa cara terbaik untuk mendekatkan diri pada tuhan adalah mati. Kau bisa segera berangkat menuju surga,” cibir Kerrt.
“Kalau begitu, lakukanlah wahai pendosa! Aku yakin tuhan tidak akan membukakan pintu surga buatmu!” seru Jero yang sangat agamis. Dia adalah siswa kesayangan Yorsia.
“Tuhan yang pasti tidak punya banyak kerjaan karena harus menjaga pintu,” bisik Kerrt ditelingaku.
Tidak hanya Jero, kebanyakan orang di dunia kami sangatlah agamis. Jadi percakapan semacam anti-tuhan sebenarnya cukup berbahaya.
Bukan karena tuhan akan turun dan menghukummu. Tapi orang-orang itulah yang akan menghukummu. Para agamis bertindak sebagai hakim, sebagai tuhan itu sendiri.
Agama yang katanya menjauhkan manusia dari dosa, justru membuat manusia melakukan dosa karena agama. Tidakkah itu menyedihkan?
“Apa yang dapat kita lakukan pada orang-orang ini?” desahku setelah kelas kosong. Tinggal aku berdua dengan Kerrt.
“Sebelum bertanya soal itu, mestinya kau berada di pihakku tadi saat pelajaran si tua bangka Yorsia!” dengus Kerrt, tidak senang.
“Apa? Memberimu dukungan untuk menyerang tuhannya? Secara frontal? Di depan seluruh kelas? Kau tahu kita tidak memiliki kekuatan untuk itu, kau bisa diseret hingga mati jika terus melakukannya,” balasku.
“Melakukan apa?” tantang Kerrt.
“Merendahkan tuhan orang-orang secara frontal,”sahutku. “Kau mungkin benar, dan berani. Tapi terlalu gegabah.”
“Berhentilah mengguruiku seperti Yorsia! Dasar pengecut!” seru Kerrt yang keluar kelas, meninggalkanku.
Aku menghela napas. Kerrt benar, aku memang pengecut. Tapi tetap saja aku ingin dia berhenti mengobarkan peperangan seperti itu. Kerrt bisa dihabisi.
Aku memasukkan semua alat tulisku ke dalam tas dan mulai keluar. Mungkin aku tidak akan menyusulnya.
Suasana hati Kerrt sedang tidak bagus dan aku tidak mau jadi korban yang dimarahinya karena aku berada di dekatnya.
Seunit bola lampu di korridor mendadak meledak. Jero yang ternyata masih ada di dekat kelas berceletuk, “Kurasa tuhan sedang marah karena Kerrt hari ini meragukannya. Kuharap anak itu baik-baik saja.”
Kupandangi Jero dengan tatapan tidak suka.
“Jangan terlalu dekat dengan anak itu, Lux. Aku tidak akan melakukannya kalau jadi kau. Kerrt ibarat bom yang bisa meledak setiap saat, kau bisa terluka,” desis Jero sembari memicingkan mata.
“Terima kasih atas perhatianmu,” jawabku sembari berlalu.
“Listrik adalah Cahaya, Lux! Kau harus mengikutinya! Pendosa tertarik pada kegelapan!” peringat Jero.
Kerrt pernah berkata kalau orang-orang yang terlalu agamis pada tuhan listrik adalah orang-orang sakit jiwa dan hari ini aku sangat setuju padanya.
Aku tahu Jero memang membenci Kerrt karena mereka bertolak belakang dalam urusan spritual. Tapi tetap saja, aku mengharapkan Jero bersikap lebih baik. Bukankah itu yang diajarkan oleh agama? Mendorong manusia berbuat baik?
Lalu mengapa Jero selalu bersikap sinis dan tidak pemaaf? Mengapa orang-orang ini, antara ucapan dengan perbuatannya berbeda?
Apakah Jero merasa dirinya lebih suci sehingga sudah sepantasnya dia memperlakukan Kerrt yang pendosa di matanya secara buruk?
Aku tidak tahu. Aku mulai pusing memikirkan semuanya.
Jujur aku sangat setuju dengan pemikiran-pemikiran Kerrt yang terkesan pemberontak. Aku senang melihat keberaniannya. Tapi aku tidak siap jika harus menyerang seperti dia.
Kerrt benar. Aku memang pengecut. Termasuk kelakuanku menghindarinya sekarang, makin mengukuhkan kenyataan kalau aku ini pengecut.
Aku tahu kemana Kerrt pergi tiap kali ia kesal. Sungai. Maka aku segera keluar dari lingkungan sekolah dan menuju danau.
Orang yang kucari sedang duduk di bawah pohon. Menggigit apel jatuh di dekatnya.
“Kita harus menyembah tuhan listrik? Buktinya siang hari ada matahari, Lux!” gerutu Kerrt tanpa harus menoleh untuk mengetahui siapa yang datang.
“Karena energi kita sangat bergantung pada listrik,” jawabku.
“Matahari juga bisa menjadi energi,” gumam Kerrt lambat-lambat.
“Bagaimana caranya? Kebanyakan orang hanya menggunakan sinar matahari untuk menjemur pakaian agar cepat kering,” balasku.
“Aku tidak tahu. Tapi kurasa manusia akan bisa mengubah energi panas matahari menjadi energi,” kata Kerrt, lebih pada dirinya sendiri.
Aku duduk disampingnya. Mengambil sebuah apel jatuh, memeriksa bagian yang masih baik lalu menggigitnya.
“Masalahnya hingga kini belum terbukti kalau panas matahari bisa kita jadikan sumber energi. Tapi aku tidak mau menutup kemungkinan itu,” sahutku di antara sela-sela mengunyah.
“Kadang aku juga tidak tahu dari mana mendapat pemikiran semacam itu,” ujar Kerrt dengan tatapan menerawang, seolah sedang berada di tempat yang jauh.
“Orang agamis menyebutnya sebagai wahyu. Mereka yang mistik bisa menyebutnya sebagai wangsit? Kalau kau akan menyebutnya apa?” timpalku.
“Transfer memory,” jawab Kerrt, tenang. Jelas sekali amarahnya di ruang kelas tadi sudah sepenuhnya menghilang.
“Dari siapa?” tanyaku sembari mengernyitkan dahi.
“Entah dari siapa, yang jelas informasi itu sampai padaku. Aku penerimanya,” tawa Kerrt seolah dia baru saja menceritakan sesuatu yang lucu.
Aku kembali fokus, alasanku mengejar Kerrt kesini. “Aku sungguh minta maaf. Semestinya aku membelamu di depan Yorsia.”
“Oh, tidak. Yang kau lakukan tadi benar,” sanggah Kerrt.
Untuk sedetik aku mengira Kerrt gila. Dia tadi marah, sekarang memaklumiku. Entah dia atau aku yang gila. Sepertinya salah satu dari kami gila. Tapi yang jelas aku senang Kerrt tidak marah-marah. Ia aneh, tapi jauh lebih baik ketika tidak marah.
“Jadi apa yang harus kita lakukan? Membiarkan saja? Karena mereka sudah terpenjara pemikirannya dan memilih untuk tetap tinggal di penjara tersebut?” celetukku.
“Kau benar. Kita tidak akan langsung menghantam orang-orang seperti Yorsia atau Jero. Percuma, terlalu buang-buang waktu dan tenaga,” angguk Kerrt.
“Lalu?”
“Lalu kita akan mulai bicara pada generasi baru yang mau mendengarkan. Mereka mungkin tidak menerima pemikiran kita sekarang.”
“Mungkin banyak yang akan berseberangan pendapat. Hanya saja, ketika mereka sudah mau mendengarkan, itu artinya kita punya kesempatan,” ujar Kerrt menjabarkan rencananya.
“Fokus pada generasi baru dan biarkan generasi lama. Tidak perlu mengubah generasi lama yang memang sudah terlambat untuk diubah,” simpulku.
“Kurang lebih seperti itu. Jadi kurasa kita sudah punya rencana yang lebih baik.” Kerrt memberikan sebuah apel yang masih baik padaku, belum jatuh ke tanah tapi sudah matang.
“Kau tidak akan menyaksikanku diseret hingga mati atau dibakar hidup-hidup, Lux. Maaf sudah membuatmu khawatir, partner!”
Aku menangkap apel itu sebelum menyentuh tanah.
“Mari bekerja sama untuk itu, partner!”
Cerpen ini ada di majalah AN1MAGINE Volume 2 Nomor 12 Desember 2017 eMagazine Art and Science yang dapat di-download gratis di Play Store, share yaa
“Menerbitkan buku, komik, novel, buku teks atau
buku ajar, riset atau penelitian di jurnal? An1mage jawabnya”
AN1MAGINE: Enlightening Open Mind Generations
AN1MAGE: Inspiring Creation Mind Enlightening
website an1mage.net www.an1mage.org
Comments
Post a Comment